Ijtihad
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan mengkomunikasikan, peserta didik mampu :
Menganalisis materi tentang Ijtihad dengan baik;
Memahami materi tentang Ijtihad dengan baik;
Mengomunikasikan hasil evaluasi tentang Ijtihad dengan baik.
IJTIHAD
Ijtihad adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada usaha atau upaya intelektual untuk melakukan penafsiran dan deduksi hukum Islam dari sumber-sumber utamanya, yaitu Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Ijtihad melibatkan usaha menerapkan metodologi analisis dan prinsip-prinsip ushul fikih (ilmu penalaran hukum Islam) untuk menghasilkan pandangan atau hukum baru terkait dengan masalah-masalah yang belum memiliki panduan tegas dalam sumber-sumber klasik.
Ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid, yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum Islam, teks-teks suci, serta pemahaman tentang metodologi dan prinsip-prinsip ushul fikih. Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan solusi hukum yang relevan dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi isu-isu baru atau kompleks yang tidak diatur secara spesifik dalam sumber-sumber klasik.
Ijtihad memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam dan memungkinkan agama ini untuk tetap relevan dalam berbagai situasi dan zaman. Namun, ijtihad juga memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi dan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, sejarah, dan hukum Islam. Selain itu, hasil ijtihad juga harus memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian dan konsistensi dengan ajaran Islam secara keseluruhan.
Dengan kata lain, ijtihad merupakan usaha untuk melakukan interpretasi kreatif dan analisis dalam rangka menghasilkan pemahaman hukum yang relevan dengan perubahan zaman dan situasi, sehingga hukum Islam tetap dapat diterapkan dengan baik dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Menurut al-Khudhari Bek dan Wahbah al-Zuhailli, klasifikasi dari hukum ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Ijtihad dikatakan fardu'ain jika seorang mujtahid bertemu sebuah peristiwa baru yang sudah dia ketahui hukumnya. Selain itu juga dikatakan fardu 'ain jika tidak ada mujtahid lainnya, sehingga ketetapan tentang peristiwa baru itu hukumnya harus segera diputuskan untuk menghindari ketidakjelasan hukumnya apa. Akan tetapi, status hukumnya masih dapat ditangguhkan apabila suatu saat ditemukan kerancuan.
2. Ijtihad dikatakan fardu kifayah saat ditemukan peristiwa namun di sana terdapat lebih dari satu orang mujtahid. Hal ini memiliki arti, jika sudah ada satu mujtahid yang memberikan status hukumnya, maka kewajiban mujtahid lain gugur. Namun, jika dari beberapa mujtahid tersebut tidak ada yang memberikan kepastian hukumnya, maka semua mujtahid itu bisa berdosa akan hal tersebut.
3. Ijtihad dikatakan sunnah ketika berhadapan dengan peristiwa yang belum benar-benar terjadi.
4. Ijtihad dikatakan haram apabila hasil ijtihad tersebut bertentangan dengan nas qath'i atau memiliki kebalikan dengan ijma.
Jenis-Jenis Ijtihad
Dalam buku Ushul Fiqh Kontemporer: Koridor Dalam Memahami Konstruksi Hukum Islam karya Aldi Candra dkk (2017), disebutkan bahwa terdapat beberapa jenis ijtihad berdasarkan segi dalilnya, yakni antara lain:
1. Ijtihad Bayani atau ijtihad yang berusaha untuk menemukan hukum yang terdapat dalam nash atau Al-Qur'an dan hadits. Ijtihad ini dilakukan ketika ditemukan adanya arti tersirat yang memiliki perbedaan dengan nash.
2. Ijtihad Qiyasi atau ijtihad yang memiliki tujuan untuk menggali serta menetapkan hukum ketika terdapat kejadian yang ketentuannya tidak ada dalam dalil nash atau ijma. Ijtihad ini dilakukan dengan cara melihat terlebih dahulu peristiwa serupa yang dalilnya sudah ada dalam nash.
3. Ijtihad Istilahi atau ijtihad yang bertujuan untuk menggali, merumuskan, serta menemukan hukum yang dalilnya tidak ada dalam nash. Berbeda dengan qiyas, ijtihad ini menjadi pegangan untuk jiwa hukum syara' yang berperan dalam mencapai kemaslahatan umat.