Pertemuan 12
- Sebelum Melakukan Pembelajaran Silahkan Lakukan Absensi Online
- Setelah Membaca Do'a Sebelum Belajar, Silahkan Baca Materi dibawah ini,
- Materi Ini dapat diakses setiap hari kecuali absensi Online dan Evaluasi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan mengkomunikasikan, peserta didik mampu :
Memahami definisi tentang materi Kaidah Dhahir dengan baik;
Menyimpulkan tentang materi Kaidah Dhahir dengan baik;
Mengomunikasikan tentang materi Kaidah Dhahir dengan baik;
Kaidah DhahirÂ
Kaidah dhahir adalah prinsip dalam ilmu ushul fiqh (ilmu dasar hukum Islam) yang mengacu pada makna yang nyata atau tampilan luar dari teks hukum Islam. Secara harfiah, "dhahir" dalam bahasa Arab berarti "yang nyata" atau "yang tampak." Prinsip ini menekankan bahwa ketika menafsirkan atau mengaplikasikan hukum Islam, makna yang jelas dan tegas dari teks harus diikuti dengan tepat, tanpa mengalami perubahan atau interpretasi yang berlebihan.
Dalam konteks kaidah dhahir, teks hukum Islam, seperti al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW, dianggap sebagai sumber utama hukum. Jika sebuah teks memiliki makna yang jelas dan tegas, maka makna tersebut harus dianggap sebagai panduan utama dalam menentukan hukum yang berlaku.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa dalam ilmu ushul fiqh, terdapat prinsip-prinsip lain yang juga memainkan peran dalam menafsirkan hukum Islam, seperti kaidah istihsan (preferensi), kaidah maslahah mursalah (kemaslahatan umum), kaidah istislah (kepentingan masyarakat), dan sebagainya. Oleh karena itu, kaidah dhahir hanyalah salah satu dari banyak prinsip yang digunakan untuk memahami hukum Islam, dan kadang-kadang perlu adanya penyeimbangan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam situasi yang kompleks atau ambigu.
Berikut beberapa poin penting terkait dengan kaidah dhahir:
Definisi Kaidah Dhahir: Kaidah dhahir menekankan bahwa ketika menafsirkan hukum Islam, tampilan luar atau makna yang jelas dari teks harus diutamakan. Ini berarti bahwa jika sebuah teks hukum memiliki makna yang jelas dan tegas, maka makna tersebut harus diikuti.
Prioritas pada Teks Al-Quran dan Hadis: Dalam konteks kaidah dhahir, teks al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW memiliki prioritas tertinggi. Ini karena teks-teks ini dianggap sebagai sumber utama hukum Islam, dan maknanya harus diambil sejelas mungkin.
Pentingnya Bahasa Arab: Kaidah dhahir juga menekankan pentingnya pemahaman bahasa Arab dalam menafsirkan teks-teks hukum Islam. Sebab, teks asli dalam Islam adalah dalam bahasa Arab, dan pemahaman yang tepat tentang bahasa ini penting untuk memahami makna yang dhahir dari teks.
Keterbatasan Tafsir Personal: Kaidah dhahir menyarankan agar individu tidak mencoba menafsirkan teks hukum secara pribadi atau sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus mencari panduan dari ulama dan cendekiawan yang kompeten dalam ilmu ushul fikih.
Konteks Sejarah dan Budaya: Meskipun kaidah dhahir mengutamakan makna yang jelas, penting juga untuk mempertimbangkan konteks sejarah dan budaya ketika menafsirkan teks. Beberapa teks mungkin memiliki makna yang berubah seiring waktu, dan pemahaman ini juga harus dipertimbangkan.
Fleksibilitas dalam Kasus Ambigu: Kaidah dhahir memungkinkan fleksibilitas dalam kasus-kasus di mana teks hukum tidak memiliki makna yang jelas atau mengandung ambiguitas. Dalam situasi seperti ini, ulama dapat menggunakan metode interpretasi yang lebih mendalam dan kreatif untuk mencari pemahaman yang lebih baik.
Harmonisasi dengan Prinsip-prinsip Lain: Kaidah dhahir harus dipahami dalam konteks prinsip-prinsip lain dalam ushul fikih. Misalnya, ketika ada konflik antara kaidah dhahir dan prinsip kemaslahatan (maqasid al-shariah), ulama harus mencoba untuk menemukan keseimbangan yang sesuai.
Perbedaan antara makna dhahir (zahir) dan makna kiasan (mujmal) dalam teks hukum Islam adalah sebagai berikut:
Makna Dhahir (Zahir):
Makna dhahir merujuk pada makna yang jelas, langsung, dan nyata dari teks hukum. Ini adalah makna yang dapat dipahami secara harfiah tanpa perlu mengambil interpretasi khusus.
Makna dhahir mencakup makna teks seperti yang disampaikan dalam bahasa Arab tanpa perlu mengalami perubahan atau penafsiran tambahan.
Makna Kiasan (Mujmal):
Makna kiasan mengacu pada makna yang lebih umum, abstrak, atau tidak langsung dalam teks hukum. Ini seringkali memerlukan pemahaman atau interpretasi tambahan.
Makna kiasan dapat melibatkan metafora, analogi, atau makna yang lebih dalam yang tidak dapat dipahami secara harfiah dari teks itu sendiri.
Contoh perbedaan antara keduanya:
Makna Dhahir: Dalam ayat al-Quran yang mengatakan "Janganlah kamu mendekati shalat jika kamu dalam keadaan mabuk," makna dhahirnya adalah bahwa seseorang tidak boleh shalat jika mereka dalam keadaan mabuk. Ini adalah makna yang jelas dari teks tersebut.
Makna Kiasan: Dalam sebuah hadis yang mengatakan "Islam dibangun di atas lima pilar," makna kiasan adalah bahwa lima pilar tersebut adalah prinsip-prinsip pokok Islam, bukan secara fisik sebagai bangunan. Dalam hal ini, makna kiasan lebih abstrak dan memerlukan pemahaman tambahan tentang ajaran Islam.
Penting untuk diingat bahwa dalam ilmu ushul fiqh, baik makna dhahir maupun makna kiasan dapat digunakan dalam menentukan hukum, tergantung pada konteks teks dan prinsip-prinsip lain dalam ilmu ushul fiqh. Kadang-kadang, sebuah teks mungkin memiliki makna dhahir yang tegas, sementara dalam kasus lain, makna kiasan dapat diterapkan untuk merinci hukum dengan lebih baik. Ulama dan cendekiawan Islam biasanya melakukan penelitian yang mendalam untuk memahami bagaimana teks tersebut sebaiknya diinterpretasikan sesuai dengan konteks dan prinsip-prinsip hukum Islam.