Kisah Sahabat Nabi SAW

PERJALANAN RASULULLAH SAW KE THAIF

Selama sembilan tahun sejak kerasulan, Nabi Muhammad SAW telah berusaha menyampaikan ajaran agama islam dan mengusahakan hidayah serta islah kaumnya di Makkah, namun sengat sedikit yang menerima ajakan baginda, kecuali orang-orang yang telah awal masuk islam selain mereka, ada orang-orang yang belum masuk islam, tetapi sedia membantu Rasulullah SAW dan kebanyakan orang-orang kafir Makkah selalu menyakiti dan mempermainkan baginda dan para sahabat baginda.

Abu Thalib termasuk orang yang belum memeluk islam, namun sangat mencintai Nabi Saw. Dia akan melakukan apa saja yang dapat menolong Nabi Saw. pada tanggal sepuluh kenabian, ketika Abu Thalib meninggal dunia, kaum kuffar semakin berkesempatan untuk mencegah perkembangan islam dan menyakiti kaum muslimin.

Rasulullah SAW pun pergi ke Thaif dan di sana ada suatu kabilah bernama Tsaqif, yang sangat banyak anggotanya. beliau berpendapat, jika mereka memeluk islam, kaum muslimin akan terbebas dari siksaan orang-orang kafir tersebut, dan akan menjadikan kota itu. Sebagai pusat penyebaran islam. setibanya di Thaif, Nabi Saw. langsung menemui tiga orang tokoh masyarakat dan berbicara dengan mereka mengajak mereka kepada agama Allah, dan mengajak mereka agar membantu Rasulullah Saw.

Namun, mereka bukan saja menolak, bahkan sebagai bangsa Arab yang terkenal dengan adatnya yang sangat menghormati, itupun tidak mereka lakukan. bahkan, mereka menjawab dengan terang-terangan dan menerima beliau dengan sikap yang sangat buruk. mereka menunjukkan perasaan tidak suka dengan kedatangan Nabi Saw.. pada mulanya, beliau berharap agar kedatangan beliau kepada tokoh masyarakat itu akan disambut dengan baik dan sopan. ternyata sebaliknya, diantara mereka ada yang berkata, "Wahai, kamukah orang yang di pilih oleh Allah sebagai Nabinya?" lain berkata, "Tidak adakah orang selain kamu yang lebih baik dipilih Allah sebagai Nabi?" yang ketiga berkata, "Aku tidak mahu berbicara denganmu, sebab jika kamu memang seorang Nabi seperti pengakuanmu, lalu aku menolakmu, tentu itu akan mendatangkan bencana. dan jika kamu berbohong, aku tidak ingin berbicara dengan orang seperti itu." 


Selain itu, dengan perasaan kecewa terhadap mereka, Nabi Saw. berharap dapat berbicara dengan orang-orang selain mereka. inilah sifat Nabi Saw. yang selalu bersungguh-sungguh, teguh pendirian, dan tidak mudah putus asa. Ternyata, tidak seorangpun diantara mereka yang bersedia menerima beliau. Bahkan mereka membentak beliau dengan berkata, "Keluarlah kamu dari kampung ini! pergilah kemana saja yang kamu sukai!"


Ketika Nabi Saw. sudah tidak dapat mengharapkan mereka dan bersiap-siap meninggalkan mereka, mereka menyuruh anak-anak kota tersebut mengikuti Nabi Saw, lalu mengganggu, mencaci, serta melemparinya dengan batu, sehingga sandal baginda berlumuran darah. Dalam keadaan seperti inilah Nabi saw meningalkan Thaif.

Ketika beliau menjumpai sebuah tempat dianggap aman dari kejahatan mereka. Beliau berdoa kepada Allah.,

"Ya Allah, kepada-Mulah ku adukan lemahnya kekuatanku, kurangnya upayaku, dan kehinaanku dalam pandangan manusia. Wahai Yang Maha rahim dari sekalian raahimin, Engkaulah Tuhanku, kepada siapakah Engkau serahkan diriku. Kepada orang asing yang akan memandangku dengan muka masam atau kepada musuh yang Engkau berikan segala urusanku, tiada keberatan bagiku asalkan Engkau tidak marah kepadaku. Lindungan-Mu sudah cukup bagiku aku berlindung kepada-Mu dengan nur wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan, dan dengannya menjadi baik dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu kepadaku atau turunnya ketidakridhaan-Mu kepadaku. Jauhkanlah murka-Mu hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu."

Allah swt. penguasa seluruh alam pun memperlihatkan keperkasaan-Nya Demikian sedih doa Nabi saw., sehingga Jibril a.s.

datang untuk memberi salam kepada beliau dan berkata, "Allah mendengar perbincanganmu dengan kaummu, dan Allah pun mendengar jawaban mereka, dan dia mengutus kepadamu Malaikat penjaga gunung agar siap melaksanakan apapun perintahmu kepadanya."Malaikat itupun datang dan memberi salam kepada Nabi saw. seraya berkata, "Apapun yang engkau perintahkan akan ku laksanakan. bila engkau suka, akan kubenturkan kedua gunung disamping kota ini sehingga siapa saja yang tinggal diantara keduanya akan hancur binasa jika tidak apapun hukuman yang engkau inginkan aku siap melaksanakannya." Rasulullah saw. yang bersifat pengasih dan mulia ini menjawab, "Aku hanya berharap kepada Allah seandainya saat ini mereka tidak menerima islam, semoga kelak keturunan mereka akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah."

Pelajaran dari kisah di atas

Demikianlah, akhlak seorang Nabi yang paling mulia. Kita mengaku bahwa diri kita adalah pengikutnya namun jika kita mendapatkan sedikit kesulitan, kita akan mencela atau bahkan membalas dendam. Kezhaliman dibalas dengan kezhaliman, demikianlah perilaku kita saat ini. Padahal seharusnya, dengan pengakuan tersebut, segala tingkah laku kita haruslah mengikuti beliau. Rasulullah SAW sendiri jika mengalami kesulitan ataupun penderitaan yang pedih dari orang lain, beliau tidak pernah membalas keburukan dengan doa keburukan, dan tidak pernah berkeinginan untuk membalas dendam.

KISAH ANAS BIN NADHAR RA MENCIUM BAU SYURGA DI DUNIA

Anas bin Nadrah ra adalah seorang sahabat Nabi saw yang tidak sempat turut serta dalam perang Badar. Ia sangat menyesal karena tidak dapat menyertai peperangan yang pertama dan besar dalam sejarah Islam itu. Untuk itu, ia sangat berharap agar dalam pertempuran selanjutnya ia dapat menebusnya. Ternyata, kesempatan itu datang ketika perang Uhud. Dia turut serta didalamnya sebagai seorang pejuang yang berani dan bersemangat.

Dalam perang Uhud tersebut, pada mulanya kaum Muslimin telah memperoleh kemenangan lebih dahulu. Namun, di akhir peperangan, disebabkan kekhilafan sebagian pasukan kaum Muslimin, akhirnya kaum Muslimin mendapatkan kekalahan. Mereka telah khilaf bahwa Nabi Saw telah menentukan beberapa orang sahabat untuk berjaga-jaga di bukit Uhud. Rasulullah Saw menyuruh mereka agar jangan meninggalkan tempat tersebut, dalam keadaan bagaimanapun, karena musuh dapat menyerang dari arah belakang.

Sebenarnya ketika permulaan perang, pasukan kaum Muslimin telah memperoleh kemenangan, dan kaum kafir telah melarikan diri. Melihat kemenangan ini, orang-orang yang telah ditunjuk oleh Nabi Saw itu, segera meninggalkan tempat tugas mereka. Mereka menyangka bahwa kaum Muslimin telah menang, dan peperangan telah usai, karena orang-orang kafir telah melarikan diri.

Akhirnya, mereka menuju tempat bekas peperangan, dan meninggalkan bukit tersebut. Pada saat itulah, pasukan kafir yang sedang melarikan diri melihat bahwa tempat yang seharusnya dijaga oleh kaum Muslimin telah kosong ditinggalkan oleh para penjaganya, maka mereka telah kembali, dan menyerang kaum Muslimin dari arah belakang. Hal ini sama sekali tidak disangka oleh kaum Muslimin sehingga mereka kalah, dan terjepit dalam kepungan kaum kafir, dan pasukan muslimin menjadi kacau balau.

Dalam keadaan demikian, Anas ra melihat seorang sahabat, yaitu Sa'ad bin Mu'adz ra sedang menuju ke arahnya. Anas ra berkata, "Hai Sa'ad, mau kemana engkau? Sungguh demi Allah, saya mencium harumnya surga datang dari arah Uhud". Setelah berkata demikian, beliau mengacungkan pedang yang saat itu berada di tangannya, dan terus menyerbu kaum kafir sehingga ia syahid dalam perang Uhud. Ketika tubuh beliau diperiksa, tubuhnya begitu rusak karena luka-luka senjata tajam. Kira-kira terdapat delapan puluh luka akibat tebasan pedang dan panah di tubuhnya. Hanya saudari perempuannya saja yang masih dapat mengenalinya melalui jari-jari tangannya.


Pelajaran dari kisah diatas

Demikianlah, jika seseorang dengan ikhlas dan kesungguhan hati menunaikan perintah ALLAH SWT., ketika masih hidup di dunia pun, Allah memberinya kesempatan untuk merasakan nikmatnya surga. Inilah kisah kehidupan Anas Bin Nadhar RA yang telah mencium harumnya surga saat ia masih hidup di dunia.

KISAH ABU JANDAL & ABU BASHIR RA. DI PERJANJIAN HUDAIBIYAH

Pada tahun ke-6 Hijriah, Nabi Muhammad SAW ingin berumrah dan berziarah ke Makkah. Kabar ini diketahui oleh orang-orang kafir Makkah dan membuat mereka merasa terhina, sehingga mereka berencana akan menghalangi perjalanan Muhammad SAW pergi bersama para sahabat yang telah siap mengorbankan jiwa raga mereka di jalan Allah SWT. Namun, demi kebaikan penduduk Makkah, Rasulullah SAW tidak menghendaki perang. Beliau berusaha mengadakan perjanjian dengan mereka. Walaupun para sahabat telah siap berperang, Rasulullah SAW tetap memperhatikan orang-orang kafir dan menerima syarat yang mereka ajukan. Sebenarnya para sahabat sangat tertekan dengan perjanjian ini, tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun terhadap keputusan Rasulullah SAW. Bahkan seorang pemberani seperti Umar r.a. pun merasa tertekan dengan perjanjian ini.


Adapun salah satu isi keputusan perjanjian tersebut adalah:

Orang-orang kafir yang telah masuk Islam dan berhijrah, harus dikembalikan ke Makkah, dan orang Islam yang murtad dari Islam (Na’udzubillah) tidak dikembalikan ke kaum muslimin.

Belum selesai perjanjian itu, seorang sahabat bernama Abu Jandal r.a.; yang telah ditahan, disiksa, dan dirantai oleh kaum kafir karena keislamannya, jatuh bangun mendatangi mereka. Ia berharap dapat bergabung dengan kaum muslimin dan terbebas dari musibah yang dialaminya. Ayahnya, Suhail, yang pada saat itu belum masuk Islam (ia masuk Islam pada saat Fatal Makkah. Dan ia adalah wakil orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah), menampar anaknya dan memaksanya kembali ke Makkah.

Sabda Rasulullah SAW, “Perjanjian belum diputuskan, maka belum ada peraturan yang berlaku.” Namun Suhail terus memaksa. Rasulullah SAW menjawab, “Aku meminta agar ada satu orang yang diserahkan kepadaku.” Namun mereka menolak pertukaran itu.

Abu Jandal r.a. berkata kepada kaum muslimin, “Aku datang untuk islam, banyak penderitaan yang telah aku alami. Sayang, sekarang aku akan dikembalikan lagi.”. Hanya Allah Yang mengetahui betapa sedihnya para sahabat ketika itu. Atas nasihat Rasulullah SAW , Abu Jandal r.a. bersedia kembali ke Makkah. Rasulullah SAW berusaha menghibur hatinya dan menyuruhnya tetap bersabar.

Beliau bersabda, “Dalam waktu dekat, Allah akan membukakan jalan bagimu.”

Setelah selesai perjanjian Hudaibiyah, seorang sahabat yang bernama Abu Bashir r.a. melarikan diri ke Madinah setelah keislamannya. Kaum kuffar mengutus dua orang untuk membawanya kembali ke Makkah. Dan sesuai dengan perjanjian, Rasulullah SAW mengembalikan AbuBashir kepada mereka.

Abu Bashir berkata, “Ya Rasulullah, aku datang setelah menjadi muslim, dan engkau kembalikan aku kepada kaum kuffar?”

Rasulullah SAW menasihatinya agar bersabar dan beliau bersabda, “Insya Allah, sebentar lagi Allah akan membukakan jalan bagimu.” Akhirnya, Abu Bashir r.a. dikembalikan ke Makkah bersama kedua utusan tadi.

Di tengah perjalanan, Abu Bashir r.a. berkata kepada seorang penjaganya, “Hai kawan, pedangmu bagus sekali.” Karena merasa pedangnya dipuji, orang itu dengan bangga mengeluarkan pedangnya, “Ya, aku telah menebas banyak orang dengan pedang ini.”

Sambil berkata demikian, ia memberikan pedangnya kepada Abu Bashir r.a. Begitu berada di tangannya, Abu Bashir r.a. langsung mencoba pedang itu kepada pemiliknya. Ketika orang kafir lainnya melihat temannya tewas, ia merasa bahwa sekarang adalah gilirannya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melarikan diri ke Madinah. Setibanya di hadapan Rasulullah SAW, ia berkata, “Temanku telah dibunuh dan sekarang giliranku.”

Pada saat itu, Abu Bashir r.a. pun tiba di hadapan Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, engkau telah memenuhi janjimu dengan mereka, dan aku pun telah dipulangkan, namun aku tidak memiliki janji apa pun yang menjadi tanggung jawabku atas mereka. Kulakukan semua ini karena mereka berusaha mencabut agama dari diriku.”

Rasulullah SAW menjawab, “Kamu telah menyulut api perang. Seandainya ada yang dapat menolongmu.”

Atas sabda itu, Abu Bashir r.a. memahami bahwa jika ada kaum kafir yang memintanya kembali, maka ia akan dikembalikan lagi kepada mereka. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat di dekat pantai. Berita ini telah diketahui oleh orang-orang di Makkah. Abu Jandal r.a., yang telah diceritakan dalam kisah sebelumnya pun melarikan diri dan bergabung dengan Abu Bashir r.a. Demikian juga orang-orang yang telah masuk Islam, banyak yang bergabung dengan Abu Bashir r.a.

Dalam beberapa hari, mereka menjadi sebuah gerombolan kecil. Mereka sampai di sebuah hutan yang di dalamnya tidak ada makanan atau kebun sedikitpun, juga tidak ada penduduk. Hanya Allah Yang mengetahui keadaan mereka. Namun, mereka telah mencekik leher para penzhalim yang kezhalimannya membuat mereka melarikan diri. Jika ada kafilah yang melewati tempat tersebut, mereka akan melawannya atau menyerangnya.

Kaum kuffar di Makkah pun merasa ketakutan sehingga mereka terpaksa menjumpai Rasulullah SAW dan merayunya dengan membawa nama Allah, alasan kekeluargaan, dan sebagainya aga mereka dipanggil, dan kelak dapat diikat dengan perjanjianyang telah disepakati sebagaimana orang-orang muslim lainnya dan perjalanan mereka pun lancer kembali. Akhirnya, Rasulullah SAW menulis surat kepada mereka dan mengizinkan mereka kembali. Ketika surat itu tiba di tangan Abu Bashir r.a., ia sedang menderita sakit yang sangat parah. Dan ia wafat ketika tangannya sedang memegang surat Rasulullah SAW. (Bukhari-Fathul Bari).


Pelajaran dari kisah diatas

Jika agama yang kuat terdapat pada diri seseorang, dangan syarat agamanya benar, maka kekuatan apa pun tidak akan dapat melepaskan agam yang ada pada dirinya. Dan Allah SWT berjanji akan menolong setiap muslim dengan syarat ia benar-benar muslim.

KISAH ISLAMNYA BILAL BIN RABAH DAN PENDERITAANNYA

😀 Bilal bin Rabah al Habsy r.a adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal. Dia adalah seorang mu’adzdzin (juru adzan) di masjid Nabawi. Sebelumnya, ia seorang hamba sahaya milik salah seorang kafir Quraisy, kemudian memeluk Islam.

Keislamannya telah menyebabkan Bilal r.a mengalami banyak penderitaan dan kesengsaraan akibat perbuatan orang-orang kafir. Umayah bin Khalaf adalah seorang kafir yang paling keras memusuhi orang Islam, dia telah membaringkan Bilal r.a di atas padang pasir yang panas membakar ketika matahari sedang terik sambil menindihkan batu besar di atas dadanya, sehingga Bilal r.a tidak dapat menggerakkan badannya sedikitpun. Umayah berkata, “Apakah kamu bersedia mati dalam keadaan seperti ini? Ataukah kamu mau terus hidup, dengan syarat kamu tinggalkan agama Islam?”. Walaupun Bilal r.a disiksa seperti itu, namun dia berkata, “Ahad! Ahad!” (maksudnya, Allah Maha Esa).

Pada malam harinya, Bilal r.a diikat dengan rantai, kemudian dicampuk terus menerus hingga badannya luka-luka. Pada siang harinya, dia dibaringkan kembali di atas padang pasir yang panas. Tuannya berharap Bilal r.a akan mati dalam keadaan seperti itu. Orang kafir yang menyiksa Bilal r.a silih berganti, suatu kali Abu Jahal yang menyiksanya, terkadang Umayah bin Khalaf, bahkan orang lain pun turut menyiksanya juga. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyiksa Bilal r.a dengan siksaan yang lebih berat lagi. Ketika Abu Bakar r.a melihat penderitaan Bilal r.a, beliau segera membebaskannya.


Pelajaran dari kisah diatas

Orang Arab jahiliyah, ketika itu menyembah berhala. Karena itulah, Islam mengajarkan ketauhidan untuk mengubah keyakinan mereka, yaitu hanya menyembah Allah swt. Inilah yang menyebabkan Bilal r.a mengucapkan, “Ahad. Ahad.” Hal ini disebabkan karena keimanannya yang begitu kuat. Sekarang, seberapa besar keimanan dan kecintaan kita kepada Allah? Kecintaan inilah yang menyebabkan Bilal r.a rela disiksa demi mempertahankan agama. Walaupun orang-orang kafir di Makkah terus menyiksanya, namun dia tetap mengucapkan, “Ahad, Ahad”.

Inilah contoh kehidupan yang pernah dialaminya. Sebelum Rasulullah saw wafat, dia bertugas sebagai juru adzan di masjid Nabi. Setelah Rasulullah saw wafat, pada mulanya dia tetap tinggal di Madinah Thayyibah. Tetapi karena tidak kuat menahan kesedihan setiap kali melewati makam Rasulullah saw, akhirnya dia meninggalkan Madinah dan pergi bersama pasukan jihad fii sabilillah. Sampai beberapa waktu lamanya dia tidak kembali ke Madinah.

Pada suatu hari, dia bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi saw berkata kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga engkau tidak pernah berziarah kepadaku?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal r.a pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain r.a meminta Bilal r.a agar mengumandangkan adzan. Dia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika dia mulai beradzan, maka terdengarlah suara adzan seperti zaman Rasulullah saw. Hal ini sangat menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal r.a. Setelah beberapa hari lamanya Bilal r.a tinggal di Madinah, akhirnya dia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada tahun kedua puluh Hijriyah.

KISAH ABU DZAR AL-GHIFARI RA. MEMELUK ISLAM

Abu Dzar al-Ghifari merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan perbendaharaan ilmu pengetahuannya dan kesolehannya. Ali RA berkata mengenai Abu Dzar RA: “Abu Dzar ialah penyimpan jenis-jenis ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperolehi dari orang lain.”

Ketika dia mulai mendengar khabar tentang kerasulan Nabi SAW, dia telah mengutus saudara lelakinya menyelidiki lebih lanjut mengenai orang yang mengaku menerima berita dari langit. Setelah puas menyelidiki, saudaranya pun melaporkan kepada Abu Dzar bahawa Nabi Muhammad SAW itu seorang yang sopan santun dan baik budi pekertinya. Ayat-ayat yang dibacakan kepada manusia bukannya puisi dan bukan pula kata-kata ahli syair.

Laporan yang disampaikan itu masih belum memuaskan hati Abu Dzar. Dia sendiri keluar untuk mencari kenyataan. Setibanya di Makkah, dia terus ke Baitul Haram. Pada waktu itu dia tidak kenal Nabi SAW, dan melihat keadaan pada waktu itu dia merasa takut hendak bertanya mengenai Nabi SAW. Ketika menjelang malam, dia dilihat oleh Ali RA. Oleh kerana ia seorang musafir, Ali terpaksa membawa Abu Dzar ke rumahnya dan melayani Abu Dzar sebaik-baiknya sebagai tamu. Ali tidak bertanya apa pun dan Abu Dzar tidak pula memberitahu Ali tentang maksud kedatangannya ke Makkah. Pada keesokkan harinya, Abu Dzar pergi sekali lagi ke Baitul Haram untuk mengetahui siapa dia Muhammad. Sekali lagi Abu Dzar gagal menemui Nabi kerana pada waktu itu orang-orang Islam sedang diganggu hebat oleh orang-orang kafir musyrikin. Pada malam yang keduanya, Ali membawa Abu Dzar ke rumahnya.


Pada malam itu Ali bertanya: “Saudara, apakah sebabnya saudara datang ke kota ini?”

Sebelum menjawab Abu Dzar meminta Ali berjanji untuk berkata benar. Kemudian dia pun bertanya kepada Ali tentang Nabi SAW. Ali berkata: “Sesungguhnya dia lah pesuruh Allah. Esok engkau ikut aku dan aku akan membawamu menemuinya. Tetapi awas, bencana yang buruk akan menimpa kamu kalau hubungan kita diketahui orang. Ketika berjalan esok, kalau aku dapati bahaya mengancam kita, aku akan berpisah agak jauh sedikit dari kamu dan berpura-pura membetulkan sepatuku. Tetapi engkau terus berjalan supaya orang tidak curiga hubungan kita.”

Pada keesokkan harinya, Ali pun membawa Abu Dzar bertemu dengan Nabi SAW. Tanpa banyak tanya jawab, dia telah memeluk agama Islam. Kerana takut dia diapa-apakan oleh musuh, Nabi SAW menasihatkan supaya cepat-cepat balik dan jangan mengkhabarkan keislamannya di khalayak ramai. Tetapi Abu Dzar menjawab dengan berani: “Ya Rasullulah, aku bersumpah dengan nama Allah yang jiwaku di dalam tanganNya, bahawa aku akan mengucap dua kalimah syahadah di hadapan kafir-kafir musyrikin itu.”

Janjinya kepada Rasulullah SAW ditepatinya. Selepas ia meninggalkan baginda, dia mengarah langkah kakinya ke Baitul Haram di hadapan kaum musyrikin dan dengan suara lantang dia mengucapkan dua kalimah syahadah.

“Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahawa Muhammad itu pesuruh Allah.”

Tatkala mendengar ucapan Abu Dzar itu, orang-orang kafir pun menyerbunya lalu memukulnya. Kalau tidak kerana Abbas, bapa saudara Nabi yang ketika itu belum Islam, tentulah Abu Dzar menemui ajalnya di situ.

Kata Abbas kepada orang-orang kafir musyrikin yang menyerang Abu Dzar: “Tahukah kamu siapa orang ini? Dia adalah keturunan Al Ghifar. Khafilah-khafilah kita yang pulang pergi ke Syam terpaksa melalui perkampungan mereka. Kalaulah ia dibunuh, sudah tentu mereka menghalangi perniagaan kita dengan Syam.”

Pada hari berikutnya, Abu Dzar sekali lagi mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan orang-orang kafir Quraisy dan pada kali ini juga ia telah diselamatkan oleh Abbas.

Keghairahan Abu Dzar mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan kafir Quraisy sungguh-sungguh luar biasa jika dikaji dalam konteks larangan Nabi SAW kepadanya. Apakah dia boleh dituduh telah mengingkari perintah Nabi? Jawabannya tidak. Dia tahu bahawa Nabi SAW sedang mengalami penderitaan yang berbentuk gangguan dalam usahanya ke arah menyebarkan agama Islam. Dia hanya hendak menunjukkan Nabi SAW walaupun ia mengetahui, dengan berbuat demikian dia melibatkan dirinya dalam bahaya. Semangat keislamannya yang beginilah yang telah menjadikan para sahabat mencapai puncak keimanan dalam alam lahiriyah serta batiniyah.


Pelajaran dari kisah diatas

Keberanian Abu Dzar ini selayaknya menjadi contoh kepada umat Islam dewasa ini dalam rangka usaha mereka menjalankan dakwah Islamiyah. Kekejaman, penganiyaan serta penindasan tidak semestinya boleh melemahkan semangat mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah.

Inilah contoh kehidupan yang pernah dialaminya. Sebelum Rasulullah saw wafat, dia bertugas sebagai juru adzan di masjid Nabi. Setelah Rasulullah saw wafat, pada mulanya dia tetap tinggal di Madinah Thayyibah. Tetapi karena tidak kuat menahan kesedihan setiap kali melewati makam Rasulullah saw, akhirnya dia meninggalkan Madinah dan pergi bersama pasukan jihad fii sabilillah. Sampai beberapa waktu lamanya dia tidak kembali ke Madinah.

Pada suatu hari, dia bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi saw berkata kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga engkau tidak pernah berziarah kepadaku?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal r.a pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain r.a meminta Bilal r.a agar mengumandangkan adzan. Dia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika dia mulai beradzan, maka terdengarlah suara adzan seperti zaman Rasulullah saw. Hal ini sangat menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal r.a. Setelah beberapa hari lamanya Bilal r.a tinggal di Madinah, akhirnya dia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada tahun kedua puluh Hijriyah.

KISAH PENDERITAAN KHABAB BIN AL ARAT RA.

Khabab bin Al Arat ra adalah salah seorang sahabat yang tubuhnya telah dipenuhi keberkahan karena telah mengalami berbagai ujian dan cobaan. Pada awal memeluk Islam, ia telah menerima berbagai penderitaan di jalan Allah. Ketika itu baru lima hingga enam orang yang telah menerima Islam. Karena itulah, ia telah cukup lama menanggung penderitaan tersebut. Ia pernah dipaksa memakai baju dari besi, lalu dibaringkan di atas padang pasir di bawah terik matahari yang sangat panas. Keringat banyak bercucuran dari tubuhnya karena panasnya terik matahari. Begitu lamanya disiksa di bawah terik matahari, lama kelamaan kulitnya mengelupas karena sedemikian panas.

Sebelumnya, Khabab bin Al Arat ra adalah hamba sahaya milik seorang wanita. Ketika tuannya mendapatkan kabar bahwa Khabab ra sering menjumpai Nabi SAW, maka ia menghukumnya dengan memanaskan batang besi, lalu di tusukkan ke kepala Khabab ra.

Fatimah Binti Khattab Bin Naufal Al-Quraisyi adalah saudara perempuan Al-Faruq Umar Bin Khattab. Ia termasuk wanita angkatan pertama yang berbaiat kepada Rasulullah. Ia memeluk Islam sebelum saudara lelakinya masuk Islam. Tapi ia selalu menyembunyikan keIslamannya dari saudara lakinya yang bengis waktu itu. Ia hidup berkhidmat kepada dakwah Islam, dan dalam berkhidmat dia mengalami banyak peristiwa. Khabab Bin Al-Arat adalah orang yang berungkali mengajari Fatimah dan Sa’ad Bin Zaid (suaminya) membaca al-Qur’an. Dengan tekun Khabab memberikan hafal-hafalan ayat-ayat Allah. Ia bacakan, lalu mereka menirukan , hingga kemudioan hafal.

Pada masa khalifah Umar bin Khattab ra, beliau meminta Khabab Al Arat ra untuk menceritakan kembali bagaimana penderitaannya dulu pada saat-saat awal masuk Islam. Ia menjawab, “Lihatlah punggungku ini!” Lalu Umar bin Khattab ra pun melihatnya. Begitu beliau melihat, beliau berkata, “Saya belum pernah melihat punggung seperti ini.” Khabab ra meneruskan ceritanya, “Saya telah diseret ke atas timbunan bara api menyala,sampai lemak dan darah yang mengalir di punggungku telah memadamkan api tersebut.” Pada masa khalifah Umar ra, Islam telah berjaya dengan pesat dan pintu-pintu kemenangan telah banyak diraih. Ketika semua ini terjadi, Khabab ra berkata,“Tampaknya Allah telah membalas penderitaan yang kita alami, saya khawatir di akherat nanti kita tidak akan mendapatkan balasan apapun”.

Khabab ra bercerita, “Suatu ketika Rasulullah SAW melakukan shalat dengan sangat lama, tidak seperti biasanya. Setelah selesai shalat, seorang sahabat ra bertanya kepada beliau tentang rakaat yang tadi. Jawab Nabi SAW,”Ini adalah shalat yang penuh dengan harapan dan rasa takut. Aku telah ajukan tiga permintaan kepada Allah SWT. Dua diantaranya telah dikabulkan oleh-Nya dan yang satu permohonan ditolak oleh-Nya. Aku telah memohon, agar umatku jangan musnah karena kelaparan, do’a ini telah dikabulkan oleh-Nya. Yang kedua, aku meminta agar umatku tidak dihancurkan oleh oleh musuh, dan doa ini pun telah dikabulkan-Nya. Sedangkan yang ketiga aku meminta agar jangan terjadi perpecahan diantara umatku. Tetapi do’a ini tidak dikabulkan-Nya. “

Khabab bin Al Arat ra wafat pada usia yang ketiga puluh tujuh tahun. Ia adalah sahabat yang pertama kali dikuburkan di Kuffah. Suatu ketika, setelah wafatnya, Ali ra melewati kuburnya dan berkata, “Ya Allah, rahmatillah Khabab. Dengan semangatnya ia telah memeluk Islam dan dengan rela menghabiskan waktunya dengan berhijrah, berjihad dan menerima segala penderitaan, serta musibah. Penuh berkahlah, orang yang selalu mengingat hari kiamat dan selalu bersiap-siap untuk menerima kitab amalnya pada hari hisab dan ia jalani kehidupan ini dengan penuh qana’ah, menerima apa adanya dan sangat ridha kepada Tuhannya.”


Pelajaran dari kisah diatas

Sesungguhnya Keridhaan Ilahi adalah tujuan utama kehidupan sahabat RA.

KISAH AMMAR RA. DAN KEDUA ORANG TUANYA

Ammar r.a. Dan kedua orang tuanya telah mengalami penyiksaan yang sangat pedih. Mereka disiksa dengan cara diletakkan diatas tanah yang panas dibawah terik matahari yang panas pula. Setiap Rasulullah s.a.w. melewatinya, Rasulullah s.a.w. menasehatinya agar ia tetap sabar dan diberinya kabar gembira mengenai surga. Akhirnya, bapak Ammar r.a. yaitu Yasir r.a. meninggal dunia akibat penyiksaan tersebut.

Bahkan, penyiksaan yang dilakukan oleh para pezhalim tersebut tidak berhenti sampai disitu saja. Setelah wafatnya Yasir r.a. ibu Ammar, yakni Summayah r.ha telah ditikam kemaluannya dengan tombak oleh Abu jahal.

Tetapi, mereka tetap tidak bisa dihalangi dari islam. Padahal, penganut islam pada saat itu adalah orang-orang tua dan lemah. Tetapi, mereka seolah-olah tidak memperdulikan akibat buruk dari perbuatan mereka.

Dalam sejarah islam, merekalah (orang tua amar) yang pertama kali mati syahid. Sedangkan orang yang membangun masjid pertama kali adalah Ammar r.a., yakni ketika Rasulullah mengusulkan agar dibuat sebuah tempat untuk bernaung Rasulullah s.a.w. sebagai tempat istirahat sementara bagi beliau. Sehingga beliau dapat beristirahat pada waktu siang dan mendirikan shalat dengan tenang ditempatnya.

Maka di Kuba, Ammar r.a. telah mengumpulkan bebatuan untuk pertama kalinya, kemudian didirikan masjid di tempat tersebut.

Dalam menyertai peperangan, Ammar r.a selalu menjalankannya dengan penuh semangat dan tekad yang tinggi. Pernah dalam suatu peperangan ia berkata, ”sebentar lagi aku akan berjumpa dengan kawan-kawanku, berjumpa dengan Nabi Muhammad s.a.w., dan berjumpa dengan jama’ah beliau.” ketika ia merasa sangat haus dan meminta air, tetapi kepadanya disodorkan susu. Ia pun meminumnya, setelah itu ia berkata, “saya telah mendengar bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “didunia ini yang terakhir kamu minum alah susu. ” Setelah berkata demikian, ia pun mati syahid.

KISAH SHUHAIB RA. MEMELUK ISLAM

Sayyidina Shuhaib,RA dan Sayyidina 'Ammar ,RA memeluk Islam dalam waktu yang sama.Pada waktu itu Baginda Nabi Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasalam sedang berada di rumah Sayyidina Arqam,RA. Kedua orang ini berangkat dari tempat yang berbeda untuk menemui Baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Secara kebetulan mereka berdua bertemu di depan pintu rumah Sayyidina Arqam ,RA. Keduanya saling menanyakan maksud kedatangan masing-masing. Ternyata maksud kedatangan mereka berdua sama ,yakni untuk memeluk Islam dan berusaha mengambil keberkahan dari Baginda Nabi Rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam.

Sayyidina Shuhaib,RA pun masuk Islam. Setelah ia masuk Islam ,ia juga mengalami penderitaan seperti kaum muslimin yang jumlahnya masih sangat sedikit dan lemah. Ia di sakiti dengan berbagai macam cara. Akhirnya,karena tidak tahan menanggung penderitaan itu,ia berniat untuk hijrah. Namun kaum kafir Quraisy sangat tidak suka bila orang-orang islam pergi ke tempat lain dan hidup dengan tenang. Apabila orang-orang kafir itu mendengar ada orang islam yang akan hijrah, mereka akan berusaha menghalang-halanginya.

Orang-orang kafir Quraisy pun mengirim serombongan orang untuk mengejar dan menangkap Sayyidina Shuhaib,RA . Sayyidina Shuhaib,RA membawa satu wadah yang penuh dengan anak panah.

Ia berseruh kepada kaum kafir Quraisy, "Dengarkanlah !,kalian tahu aku pemanah yang paling mahir di antara kalian. Selama masih tersisa satu anak panah padaku, kalian tidak akan dapat mendekatiku. Jika anak-anak panah ini habis,akan kugunakan pedangku untuk melawan kalian sehingga pedang ini terlepas dari tanganku. Setelah itu ,berbuatlah semampumu. Tetapi, jika kalian mau, sebagai ganti nyawaku,kalian akan ku beri tahu tempat hartaku di Makkah dan akan aku berikan kepada kalian kedua budak perempuanku. Ambillah semuanya." kaum kafir menyetujui usul tersebut ,Sayyidina Shuhaib ,RA menyerahkan hartanya kemudian melepaskan diri.

Terhadap kejadian ini,maka turunlah ayat AL QUR'AN Surah Al Baqarah ayat : 207


Yang artinya :

"DAN DI ANTARA MANUSIA ADA YANG MENJUAL DIRINYA DEMI MENCARI RIDHA ALLAH swt DAN ALLAH SANGAT PENYAYANG KEPADA HAMBA-HAMBA-NYA."

Ketika itu, Baginda Nabi, saw sedang berada di Quba. Saat melihat kedatangan Sayyidina Shuhaib RA beliau bersabda, "sangat beruntung perniagaanmu ,wahai Shuhaib."

Sayyidina Shuhaib RA bercerita, "suatu ketika Baginda Nabi,saw sedang makan kurma dan aku menyertai beliau makan. Ketika itu mataku sedang sakit, lalu Baginda Nabi saw bersabda, "Hai Shuhaib, matamu sakit, tetapi kamu memakan kurma ?" Aku menjawab, Ya, Rasulullah, aku makan dengan sebelah mataku yang sehat ini. "Baginda Nabi saw tertawa mendengar jawabanku."

Sayyidina Shuhaib banyak membelanjakan hartanya di jalan ALLAH sehingga Sayyidina Umar RA pernah berkata, "Engkau telah berlebih-lebihan,wahai Shuhaib !" Sayyidina Shuhaib RA menjawab, "aku tidak menggunakannya untuk hal yang sia-sia," Ketika Sayyidina Umar RA hampir wafat, Ia berwasiat agar Sayyidina Shuhaib RA mengimami Shalat jenazahnya.(dari kitab Usudul Ghabah).

KISAH UMAR RA. MENDAPAT HIDAYAH

Umar ra. adalah seorang sahabat yang namanya telah menjadi suatu kebanggaan bagi kaum muslimin hingga hari ini. Nama itu meningkatkan gairah keimanan dan menggentarkan hati-hati orang kafir selama 1 .300 tahun yang lahi hingga kini. Dahulu sebelum Islam, ia sering mengganggu, dan menyakiti orang-orang yang masuk Islam. Bahkan, ia pernah akan membunuh Rasulullah saw.

Suatu ketika, orang-orang kafir telah bermusyawarah diantara mereka, apakah ada orang yang berani membunuh Muhammad (saw.). Umar segera menyahut, "Sayalah yang akan membunuhnya!" Mereka berkata, "Ya! kamulah yang layak melakukannya!" Umar langsung menghunus pedangnya dan pergi untuk membunuh Rasulullah saw.. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan seorang sahabat dari kabilah Zuhrah bernama Sa'ad bin Abi Waqqas. (riwayat lain menyebutkan nama lain). Sa'ad ra. bertanya, "Mau pergi ke mana, wahai Umar?" Jawab Umar ra., "Saya akan membunuh Muhammad saw. (Na'udzubillahi). Sa'ad menjawab, "Jika demikian, Banu Hasyim, Banu Zuhrah, dan Banu Abdi Manaf tentu tidak akan berdiam diri, mereka pasti akan membalas dengan membunuhmu!" Umar terkejut dengan ancaman itu. Umar berkata, "Nampaknya kamu pun telah meninggalkan agama nenek moyang kita. Jika demikian, kamulah yang akan kubunuh lebih dahulu!" Setelah berkata demikian, Umar segera menarik pedangnya. Sa'ad ra. menyahut, "Ya, saya memang telah Islam!" Umar langsung menghunuskan pedangnya. Namun sebelum bertarung, Sa'ad ra. berkata, "Hai Umar, dengarlah dulu kabar mengenai rumahmu! Saudara perempuanmu dan iparmu, juga telah masuk Islam." Mendengar itu, Umar sangat marah dan langsung pergi ke rumah saudarinya.

Ketika itu, di rumah saudari perempuan Umar ada Khabbab ra.. Dengan menutup pintu dan jendela, suami istri itu sedang membaca Al-Quran. Tiba-tiba, Umar ra. datang dan berteriak agar dibukakan pintu. Mendengar suara Umar, Khabbab ra. segera bersembunyi, dan meninggalkan lembaran-lembaran ayat suci Al-Qur'an. Lalu saudari perempuannya membukakan pintu. Tangan Umar ra. langsung memukul kepala saudari perempuannya hingga berdarah. Umar ra. berkata, "Kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, kamu telah ikuti agama yang jelek itu!" Kemudian, Umar masuk ke dalam rumah dan bertanya kepada saudarinya, "Apa yang kamu lakukan? Dan suara siapakah yang telah kudengar tadi?" Saudarinya menjawab, "Kami sedang membicarakan hal biasa."JJmar bertanya, "Apakah kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu dan masuk ke agama baru?" Jawab saudara iparnya, "Bagaimana jika agama baru itu ternyata lebih baik?" Mendengar itu, Umar langsung menarik janggutnya, dan mendorongnya hingga terjatuh, lalu Umar memukulinya sampai puas di atas tanah. Saudarinya berusaha memisahkan mereka. Tetapi, mukanya ditampar keras oleh Umar sampai bibirnya berdarah, padahal ia adalah saudarinya sendiri.

Saudarinya berkata, "Hai Umar! apakah kami dipukuli hanya karena kami telah masuk Islam? Memang benar, kami sudah masuk Islam, apa yang ingin engkau lakukan kepada kami, lakukanlah!"

Setelah itu, pandangan mata Umar tertuju kepada lembaran-lembaran ayat-ayat Al-Quran yang tergeletak, karena tertinggal begitu saja. Dan kemarahannya mulai sedikit mereda. Dan ia merasa malu atas perlakuannya terhadap saudarinya yang telah menyebabkan darah menetes dari wajah saudarinya sendiri. Umar berkata, "Bagus, sekarang katakan apa ini?" Saudarinya menjawab, "Kamu tidak suci, dan lembaran ini tidak boleh tersentuh oleh tangan yang tidak suci." Umar mendesaknya, namun saudarinya enggan memberikannya jika tanpa mandi dan berwudhu. Setelah Umar mandi, ia mengambil lembaran-lembaran tersebut, lalu membacanya. Ternyata, di dalamnya berisi surat Thaha ayat 14, ia terus membacanya hingga ayat;

"Akulah Allah. Tiada Tuhan selain-Ku. Maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. "(Thaha: 14)


Selesai membaca ayat-ayat di atas, Umar langsung berubah. la berkata, "Sekarang temukanlah aku dengan Muhammad saw." Mendengar hal itu, Khabbab ra. segera keluar dari tempat persembunyiannya, dan berkata, "Hai Umar, aku sampaikan kabar gembira untukmu; Kemarin, pada malam Jum'at,

aku mendengar Rasulullah saw. berdoa, "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar atau Abu Jahal, siapa saja dari keduanya yang lebih Engkau sukai. (Karena kekuatan keduanya sangat terkenal). Dan sekarang telah diketahui bahwa doa Nabi saw. telah dikabulkan padamu." Setelah kejadian itu, beliau dipertemukan dengan Rasulullah saw., dan beliau masuk Islam pada Jum'at Shubuh. (Khashoish)

Islamnya Umar ra. adalah suatu pukulan berat bagi kafir Quraisy. Walaupun demikian, kaum muslimin masih sangat sedikit jumlahnya, apalagi jika dibandingkan dengan orang-orang kafir di seluruh Arab. Namun, keislamannya telah menimbulkan semangat baru bagi kaum muslimin, sehingga kaum musyrikin telah lebih berupaya untuk menghentikannya. Berbagai cana telah dicoba, tetapi kaum muslimin semakin berani, bahkan mereka berani mendirikan shalat di Masjidil Haram. Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Islamnya Umar ra. adalah kemenangan kaum muslimin, dan hijrah Umar ra. adalah pertolongan bagi kaum muslimin, dan kekhalifahannya adalah rahmat bagi kaum muslimin." (Asadul Ghabah)

KISAH KAUM MUSLIMIN HIJRAH KE HABSYAH

Ketika penyiksaan kaum kafir teifaadap kaum muslimin dan Nabi saw. tidak semakin berkurang bahkan semakin bertambah, Nabi saw.

mulai mengijinkan para sahabat untuk berhijrah ke tempat lain. Banyak diantara sahabat yang berhijrah ke Habasyah. Meskipun Raja Habasyah adalah seorang Nasrani, dan sampai saat itu belum memeluk Islam, namun ia terkenal dengan kelembutan hatinya juga keadilannya.

Pada tahun kelima kenabian, dalarn bulan Rajab, diberangkatkan jamaah pertama ke negeri Habasyah sebanyak sebelas atau dua belas orang laki-laki dan empat atau lima orang wanita. Para kafirin Mekkah berusaha menghalangi kepergian mereka. Setibanya di negeri Habasyah, kaum muslimin mendapat kabar bahwa seluruh penduduk Mekkah telah masuk Islam, dan Islam mendapat kemenangan. Mereka demikian senang atas berita tersebut, sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Tetapi, ketika hampir memasuki Mekkah, mereka baru mengetahui bahwa kabar tersebut tidak benar. Bahkan, bukannya lebih baik, tetapi semakin bertambah memusuhi, dan menyakiti kaum muslimin. Sebagian kaum muslimin ada yang kembali, dan ada yang terus memasuki Mekkah dengan jaminan seseorang. Peristiwa ini disebut hijrah ke Habasyah yang pertama.

Setelah peristiwa itu, ada rombongan sahabat yang lebih banyak jumlahnya, yaitu 83 orang lelaki dan 18 wanita hijrah ke Habasyah. Perjalanan ini disebut hijrah ke Habasyah yang kedua. Sebagian sahabat ada yang mengikuti kedua hijrah ini dan ada yang mengikuti satu saja.

Ketika kaum kafirin mengetahui bahwa kaum muslimin telah hidup tenang di Habasyah, maka mereka bertambah marah. Mereka mengirim satu rombongan ke Habasyah untuk menemui raja Najasyi sambil membawa banyak hadiah. Mereka juga membawa banyak hadiah untuk kalangan penting istana serta untuk para pendeta di sana. Setibanya di Habasyah, pertama kali mereka menjumpai para pembesar kerajaan dan para pendeta kristen. Setelah menyuap mereka dengan hadiah, maka dengan perlindungan mereka, utusan kafirin itu dapat berjumpa dengan Raja Najasyi. Mereka langsung bersujud di hadapan Raja, dan menyerahkan berbagai hadiah kepada beliau. Lalu, mereka mengemukakan maksud mereka dengan diperkuat oleh para pembesar kerajaan yang telah disuap itu. Mereka berkata, "Wahai raja, ada sebagian kecil kaum kami yang bodoh telah meninggalkan agama. nenek moyang mereka dan masuk ke dalarn agama baru, yang kami pun tidak mengenalnya. Begitu juga denganmu. Mereka telah datang dan tinggal di negerimu. Tokoh-tokoh Mekkah yang mulia dan orang tua mereka, serta keluarga mereka, telah mengutus kami untuk membawa mereka pulang. Kami memohon kepadamu untuk menyerahkan mereka kepada kami." Jawab Najasyi, "Kami tidak dapat menyerahkan orang yang telah meminta perlindungan kepada kami, tanpa memeriksa lebih dahulu masalah mereka. Akan kupanggil mereka dan kutanyai mereka. Jika ceritamu benar, maka akan kukembalikan mereka kepadamu." Kaum muslimin pun dipanggil oleh Naj asy i untuk menghadap kepadanya.

Pada mulanya kaum muslimin sangat khawatir apa yang harus mereka lakukan. Tetapi, Allah dengan segala karunia-Nya, telah menolong dan membantu mereka, sehingga mereka dapat memenuhi panggilan raja dan dapat berbicara dengan lancar dan tenang. Mereka memulai perjumpaannya dengan raja dengan ucapan salam. Seseorang menegur mereka, "Kalian tidak beradab kepada raja dengan tidak bersujud di hadapannya!" Jawab mereka, "Kami telah dilarang oleh Nabi kami untuk bersujud kepada selain Allah." Lalu, raja meminta mereka untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya.

Ja'far ra., mewakili yang lainnya maju ke depan dan berkata, "Dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah, kami tidak mengenal Allah, juga tidak mengenal Rasul-Nya. Dulu kami menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat jahat, dan memutuskan kekeluargaan, yang kuat diantara kami menindas yang lemah. Demikianlah keadaan kami dahulu. Ketika kami dalam keadaan seperti itu, Allah mengutus Rasul-Nya, yang keturunannya, kejujurannya, sifat amanahnya, kesucian hidupnya, sangat kami kenal. Beliau mengajak kami untuk menyembah Allah yang Esa yang tiada sekutu bagi-Nya, dan melarang kami dari menyebah berhala. Beliau menyuruh kami untuk berbuat baik, dan melarang kami dari perbuatan jahat. Beliau menyuruh kami berkata jujur, bersifat amanat dan menjaga silaturrahmi. Juga menyuruh agar berbuat baik terhadap tetangga, mengerjakan shalat, berpuasa dan bersedekah. Beliau mengajar kami dengan akhlak yang terpuji, melarang kami dari zina, dusta, memakan harta anak yatim, mencaci orang lain, dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Beliau mengajarkan kami Al-Quran yang mulia, dan kami beriman atasnya, serta mengamalkan segala firman-Nya. Atas hal ini, kerabat kami telah memusuhi kami dan menyiksa kami dengan berbagai penyiksaan. Kami adalah orang-orang yang tertindas, dan Nabi kami telah menyuruh kami untuk hijrah memohon perlindungan di negerimu ini."

Raja Najasyi bertanya lagi, "Sekarang, coba perdengarkanlah kepadaku Al-Quran yang telah dibawa oleh Nabimu itu." Maka Ja'far ra. membacakan sebagian ayat di permulaan swat Maryam. Bacaannya tersebut membuat raja dan para pendeta serta hadirin lainnya menangis, sehingga janggut-janggut mereka basah kuyup oleh air mata. Setelah itu, Raja berkata, "Demi Tuhan, ayat-ayat ini sama dengan ayat-ayat yang telah diturunkan kepada Musa, yang bersumber dari Nur yang sama." Kemudian dengan tegas Raja Najasyi menolak permintaan kaum kafir Qurasy itu, "Saya tidak dapat memenuhi permintaan kalian!" Para utusan itu merasa khawatir dan merasa terhina, sehingga mereka berembuk kembali. Salah seorang dari mereka berkata, "Besok saya akan mengatur sesuatu, sehingga raja akan mengusir mereka." Tetapi, teman-temannya tidak menyetujui usulannya. Teman-temannya berkata, "Walaupun mereka telah menjadi muslim, mereka tetap kaum kerabat kita." Namun temannya itu tidak mau menurutinya.

Pada hari kedua, mereka kembali menemui raja, dan berkata, "Orang-orang Islam itu tidak menerima Nabi Isa as., juga tidak mengakui bahwa Nabi Isa as. adalah anak Allah." Maka raja memanggil kembali kaum muslimin. Sahabat ra. bercerita, "Pada hari kedua, kami dipanggil lagi, dan hal itu membuat kami bertambah cemas. Walaupun demikian, kami tetap menghadap raja. Raja bertanya, "Bagaimana menurut kalian tentang Isa as.?" Kami menjawab, "Kami katakan seperti apa yang diturunkan kepada Nabi kami mengenainya. Bahwa Isa adalah Hamba Allah, Nabi Allah, dan Ruh-Nya. Kami percaya atas kalimah yang diturunkan kepadanya, yang Allah turunkan melalui Maryam yang suci." Najasyi berkata, "Demikianlah pengakuan Isa as. tentang dirinya sendiri, tiada yang berbeda." Para pendeta ketika itu saling berbisik dan gaduh atas jawaban raja. Raja berkata kepada mereka, "Apa yang kalian kehendaki katakanlah!" Kemudian, Raja Najasyi mengembalikan semua hadiah-hadiah yang sudah diberikan kepadanya, lalu berkata kepada kaum muslimin, "Tinggallah kalian di sini dengan aman, orang-orang yang menyakiti kalian akan menerima hukuman yang berat." Kemudian beliau mengumumkan: "Barangsiapa menyakiti kaum muslimin, maka akan dihukum berat. Karena itulah, kaum muslimin di negeri itu sangat dimuliakan dan dilayani dengan baik." (Khamis)

Orang-orang musyrik itu kembali ke Mekkah dengan penuh malu dan kesal. Kaum kuffar di Mekkah pun bertambah marah dan memperlihatkan kemarahan mereka atas hal ini. Bersamaan dengan itu, Umar ra. memeluk Islam, sehingga menambah kekesalan mereka terhadap kaum muslimin. Mereka setiap saat berpikir, bagaimana caranya agar orang-orang tidak dapat bertemu dengan kaum muslimin, dan bagaimana caranya menghancurkan Islam. Untuk itu, para tokoh kafir Mekkah segera mengadakan perundingan besar untuk membunuh Muhammad saw. Membunuh Muhammad saw. bukanlah mudah, karena Bani Hasyim adalah kaum yang sangat besar jumlahnya. Mereka termasuk kaum yang terhormat di Mekkah. Walaupun sebagian besar belum masuk Islam, tetapi mereka tidak akan tinggal diam jika Nabi Muhammad saw dibunuh.

Akhirnya, di pertemuan itu diputuskan suatu ketentuan agar memboikot Banu Hasyim dan Banu Muraallib. Orang-orang dilarang bertemu dengan anggota Banu Hasyim dan Banu Muthallib, ataupun sebaliknya. Juga tidak diperbolehkan jual beli, berbicara dengan mereka, bahkan tidak boleh berkunjung ke rumah-rumah mereka. Ketentuan ini akan terus berlaku, selama mereka tidak menyerahkan Muhammad saw. untuk dibunuh. Keputusan tersebut tidak cukup dengan kata-kata saja, mereka membuat perjanjian tertulis pada tanggal satu Muharram tahun ketujuh kenabian. Dan kertas perjanjian itu digantungkan di Baitullah, agar semua orang dapat menghormatinya dan dapat menunaikan isi perjanjian tersebut. Akibat perjanjian itu, keluarga Banu Hasyim dan Banu Muthallib terkepung diantara dua buah gunung yang menghimpit. Tiada seorang pun yang dapat menemui mereka, dan mereka pun tidak dapat menemui siapapun. Mereka tidak dapat membeli sesuatu dari orang Mekkah dan tiada pedagang pun dari luar yang dapat datang ke tempat mereka. Jika ada seseorang dari mereka yang keluar dari daerah tersebut, maka orang itu akan disiksa. Jika ada yang memerlukan sesuatu dari orang lain, maka jawabannya telah jelas, bahwa barang-barang yang biasa pun sulit didapatkan. Mereka menjalani kehidupan dengan kelaparan ~dan penderitaan. Sehingga kaum wanita pun sudah tidak memiliki air susu lagi untuk disusukan kepada bayinya, dan anak-anak mereka menangis menjerit-jerit kelaparan. Anak-anak itu lebih merasa lapar dari-pada kelaparan yang diderita oleh ibu-ibu dan orang tua mereka.

Setelah tiga tahun berlalu, dengan kemurahan Allah, kertas perjanjian itu hancur dimakan rayap. Dengan ini, penderitaan Banu Hasyim dan keluarganya pun berakhir. Tiga tahun mereka diboikot dan ditutup jalur perhubungan serta perdagangannya, dan selama itulah mereka mengalami penderitaan yang sangat berat. Namun, walau demikian berat penderitaan para sahabat ra., mereka tetap berpegang teguh atas agama ini, bahkan terus menyebarkannya.


Pelajaran dari kisah diatas

Penderitaan dan kesusahan *yang demikian berat telah dijalani para sahabat ra.. Sekarang, kita hanya menyandang nama serta mengaku sebagai pengikut mereka. Namun, kita baru memahami bahwa kemajuan kita, dibandingkan dengan keunggulan para sahabat ra., hanyalah seperti melihat mimpi. Yang jelas, kita perlu merenungkan; bagaimana para sahabat ra. dapat berkorban begitu tinggi untuk agama ini? Sedangkan kita? Apa yang telah kita lakukan untuk agama dan untuk kebangkitan Islam? Sesungguhnya, keberhasilan itu senantiasa diperoleh melahii kesungguhan dan usaha.

Kita menginginkan suatu kehidupan yang damai, sedangkan orang-orang kafir semakin giat merusak agama dan dunia kita. Kemajuan Islam tergantung pada diri kita. Lalu, bagaimanakah kita membuktikannya?

Sebuah syair berbunyi,

Aku khawatir tak dapat mencapai Ka 'bah karena jalan yang kutempuh jalan lain yang menuju Turkistan.

AMALAN RASULULLAH SAW KETIKA TERJADINYA ANGIN TAUFAN

Aisyah r.ha bercerita , jika terjadi awan gelap, angin topan dan sebagainya, wajah Rasulullah SAW yg penuh nur akan berubah pucat. Karena takut, beliau keluar masjid sambil terus membaca doa :

Allahumma inni as aluka khoyroha wa khoyroma fiyha wakhoyroma ursilat bihi Waauwzubikamin syarriha wasyarrima fiyha wasyarrima ursilatbihi

“ Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon kepadaMu kebaikan angin ini dan kebaikan yg berada di dalamnya, dan kebaikan yang dikirim dengannya.”

Jika hujan mulai turun, Wajah Rasulullah Saw mulai cerah. Saya (Aisyah r.ha ) bertanya,’’ Ya Rasulullah, semua orang suka jika melihat awan karena pertanda hujan akan turun, tetapi mengapa engkau seperti ketakutan ?’’ Jawab Nabi saw,’’ Aisyah, bagaimana aku akan tenang jika belum pasti di dalamnya tidak akan turun adzab? Kaum Ad telah di adzab oleh Allah swt dengan keadaan seperti ini. Ketika melihat awan hitam, mereka senang. Mereka menganggap awan itu akan turun hujan. Padahal itu pertanda adzab Allah swt kepada mereka.’’


Allah Swt berfirman disurat Al Ahqaf : 24-25 :

Falamma roawhu aridho mustaqbila awdiyatihim qholuwhaza aridhun mumthiruna bilhuwamas Taqjiltum biiriyhun fiyha azabun aliymin . tudamirrukulla syain biamri robbiha faashbihuw Layuro illa masakinuhum kazaalika najzi qowma mujrimiyn


“Ketika orang2 itu (yaitu kaum ‘Ad) melihat bahwa awan tersebut menuju ke arah lembah-lembah mereka , maka mereka berkata ,’’ Inlah awan yg akan menurunkan hujan keatas kita’ (Allah swt menjawab perkataan mereka ) ‘Bukan, itulah Ancaman yg kamu minta untuk disegerakan ( Karena kalian telah berkata kepada Nabi as,’ Jika kalian memang benar seorang Nabi maka kirimkanlah adzab kepada kami’) Angin yg terdpt di dalam adzab yg sangat pedih. Menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya Sehingga mereka tidak kelihatan, kecuali bekas-bekas rumah-rumah mereka.Demikianlah, kami membalas kaum yg durhaka.’’ ( Al-Ahqaf : 24-25 ).


Pelajaran dari kisah diatas

Demikianlah perasaan takut kepada Allah yang Maha Suci yang telah ditunjukkan oleh Sayyidul Awwalin wal Akhirin Rasulullah Saw. Semua itu dapat diketahui melalui sabda2 beliau Saw. Allah swt berfirman bahwa Allah Swt tidak akan mengadzab suatu kaum selagi Nabi Saw berada di dalamnya. Walaupun Allah swt telah berjanji demikian, Nabi Saw tetap sangat takut kepada Rabbnya.Jika terjadi awan gelap atau angin Topan, beliau teringat kaum-kaum terdahulu yg telah di adzab oleh Allah Swt.

Hendaknya kita juga melihat diri kita yg selalu bergelimang dosa. Tetapi, kita tetap tidak terkesan terhadap gempa dan berbagai adzab lainnya. Bukannya segera menyibukkan diri dengan bertaubat, beristigfar dan shalat, bahkan kita tetap sibuk dengan berbagai jenis kelalaian.

KISAH AMALAN ANAS RA. SAAT TERJADINYA ANGIN TAUFAN

Nadhr bin Abdullah r.a. bercerita, “Pada masa hidup Anas r.a., tiba-tiba pernah terjadi hari menjadi gelap. Maka segera aku jumpai Anas dan bertanya kepadanya, “Apakah ini pernah terjadi pada zaman Nabi saw.?” Jawabnya, “Aku berlindung kepada Allah , jika angin terjadi sedikit kencang pada zaman nabi saw., kami segera pergi ke mesjid karena takut akan terjadi Kiamat.” Abu Darda’r.a. juga bercerita, “Jika terjadi angin ribut, Rasulullah saw. akan cemas dan segera pergi ke masjid.”


Pelajaran dari kisah diatas

Dewasa ini, walaupun berbagai musibah besar melanda kita, siapakah yang mengingat masjid? Jangankan masyarakat awam, bahkan para tokoh hanya sedikit yang memperdulikannya. Silahkan menjawab masalah ini dengan merenungkannya di dalam hati kita masing-masing.

KISAH TANGISAN RASULULLAH SAW SEPANJANG MALAM

Suatu malam Rasulullah saw menangis semalam suntuk. Beliau terus dalam keadaan shalat hingga waktu Shubuh sambil terus menerus membaca Quran surat Al Maidah ayat 118berikut ini :

“Jika Engkau siksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau adalah Maha Perkasa lagi Bijaksana”

“Ya Allah, jika Engkau mengazab mereka, maka Engkaulah penentunya, mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan Engkaulah adalah pemiliknya. Sedangkan pemilik berhak menghukum hambanya yang bersalah. Tetapi jika Engkau memaafkan mereka, maka sesungguhnya Engkau pulalah penentunya. Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maka Engkau pun berkuasa untuk memberi maaf. Engkau pun Maha Bijaksana, maka memaafkan mereka juga sesuai dengan kebijaksanaan-Mu “ (Bayanul Qur’an)


Imam Adham rah.a diriwayatkan pernah pada suatu malam terus menerus membaca ayat :

“Dan berpisahlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berdosa.” (QS. Yasin 59)


Pelajaran dari kisah diatas

Ayat ini mengandung makna bahwa pada hari kiamat orang-orang yang durhaka diperintahkan untuk berpisah dari orang-orang yang berbakti kepada Allah dan tidak diperbolehkan bergaul dengan para shalihin sebagaimana yang pernah dilakukan mereka ketika di dunia.

Membayangkan peristiwa yang akan terjadi, maka mereka yang bertaqwa sering menangis karena takut dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ingkar kepada Allah pada hari hisab kelak.

KISAH PERASAAN TAKUT ABU BAKAR RA. KEPADA ALLAH

Sesuai kesepakatan ahli sunnah, Abu Bakar r.a adalah seorang yang paling utama diantara seluruh manusia di dunia ini selain Anbiya a.s. Keyakinannya demikian tinggi, sehingga Rasulullah SAW sendiri telah memberi kabar gembira bahwa ia akan menjadi pemimpin satu jemaah di surga kelak. Semua pintu surga akan memanggil namanya dan menyampaikan kabar gembira kepadanya. Nabi SAW bersabda,”Orang yang paling dahulu masuk surga dikalangan ummatku adalah Abu Bakar r.a.” Walaupun demikian, Abu Bakar r.a justru berkata,”Seandainya aku menjadi sebatang pohon yang akhirnya ditebang.” Ia juga berkata,”Seandainya aku menjadi rumput yang dimakan hewan.” Kadangkala ia berkata,” Seandainya aku hanya menjadi rambut seorang mukmin.” Suatu ketika, ia pernah berada di dalam sebuah taman, sedangkan didekatnya ada seekor hewan yang sedang duduk. Sambil menarik nafas dingin, Abu Bakar r.a berkata,”Wahai, alangkah nikmatnya hidupmu, kamu makan, minum dan berkeliaran dibawah pepohonan, tetapi di akherat tidak ada hisab bagimu. Andaikan Abu Bakar menjadi sepertimu.” (Tharikhul-Khulafa).


Rabi’ah Aslami r.a bercerita,”Suatu ketika, pernah terjadi kesalahpahaman antara aku dengan Abu Bakar. Ia telah berbicara kata kata kasar kepadaku, tetapi aku diamkan saja. Ketika ia menyadari kesalahannya, ia berkata kepadaku,“Ucapkanlah kata kata kasar kepadaku, sehingga menjadi balasan bagiku.“ Namun aku menolaknya. Ia berkata,“Kamu harus mengucapkannya. Jika tidak, akan kuadukan kepada Rasulullah SAW.“ Aku tetap tidak menjawab apapun. Lalu ia bangun dan pergi meninggalkanku. Ketika itu, beberapa orang Banu Aslam yang menyaksikan kejadian tersebut berkata.“Orang ini aneh sekali, ia sendiri yang memulai dan ia sendiri yang mengadukannya kepada Rasulullah SAW.“ Kataku.“Tahukah kamu siapa dia? Dialah Abu Bakar r.a. Jika ia marah, Rasulullah SAW kekasih Allah, tentu ia akan marah kepada ku dan murka beliau adalah murka Allah. Jika demikian, siapakah yang dapat menyelamatkan kehancuran Rabi’ah?“ Lalu aku pergi menemui Nabi SAW dan menceritakan kejadian tersebut. Sabda beliau,“Baik, benar kamu tidak membalas dan tidak menjawabnya, tatapi sebaiknya kamu berkata, : Semoga Allah memaafkanmu wahai Abu Bakar.“


Pelajaran dari kisah diatas

Inilah keteladanan rasa takut kepada Allah. Hanya karena sepotong kalimat yang sepele, Abu Bakar r.a demikian takut akan balasannya di akherat. Ia sangat cemas dan khawatir sehingga ia sendiri yang minta dibalas, lalu mengadukannya kepada Nabi SAW agar Rabi’ah r.a membalas perbuatannya.

Pada hari ini, kita mudah untuk saling mencaci tanpa rasa khawatir sedikitpun akan balasan perbuatan kita kelak di akherat atau hari Hisab.

KISAH PERASAAN TAKUT SAIDINA UMAR RA KEPADA ALLAH

Kadangkala Umar r.a memegang sebatang kayu dan berkata, ” Seandainya aku menjadi sebatang kayu ini.” Terkadang ia berkata, ” Seandainya ibuku tidak melahirkanku.” Suatu ketika, saat ia sibuk dengan pekerjaannya, seseorang mendatanginya dan berkata, ” Si fulan telah menzhalimiku. Engkau hendaknya menuntut balas untukku.” Umar r.a. segera mengambil sebatang cambuk dan memukul orang itu sambil berkata, “Ketika kusediakan waktuku untukmu, kamu tidak datang. Sekarang, aku sedang sibuk dengan urusan lain, kamu datang dan memintaku untuk menuntutkan balas.” Orang itu pun pergi. Lalu Umar r.a. menyuruh sesorang untuk memanggil kembali orang tersebut. setelah datang, Umar r.a. memberikan cambuk kepadanya dan berkata, ” Balaslah aku.” Jawab orang itu, ” Aku telah memaafkanmu karena Allah.”

Umar r.a. segera pulang ke rumahnya dan mengerjakan shalat dua rakaat. Lalu ia berbicara kepada dirinya sendiri, “Hai Umar, dahulu kamu rendah, sekarang Allah meninggikan derajatmu. Dahulu kamu sesat, lalu Allah memberimu hidayah. Dahulu kamu hina, lalu Allah memuliakanmu, dan Dia telah menjadikanmu sebagai raja bagi manusia. Sekarang telah datang seorang laki-laki yang mengadukan nasibnya dan berkata, ” Aku telah dizhalimi, balaskanlah untukku, tetapi kamu telah memukulnya. Kelak pada hari Kiamat, apa jawabanmu di hadapan Rabbmu?” Lama sekali Umar menghukumi dirinya sendiri.

Pelayan Umar r.a., Aslam r.a.a, berkata, “Suatu ketika aku bersama Umar pergi ke Harrah (salah satu kota dekat Madinah). Lalu terlihat nyala api di atas gunung. Umar berkata, “Itu mungkin kafilah yang kemalaman yang tidak sampai ke kota, mereka terpaksa menunggu di luar kota. Marilah kita lihat keadaan mereka, bagaimana penjagaan malamnya!” Seibanya di sana, tampak seorang wanita dengan beberapa anak kecil menangis di sekelilingnya. Wanita itu sedang merebus air dalam kuali di atas tungku yang menyala. Umar r.a. memberi salam kepada wanita tersebut dan meminta izin untuk mendekat. Ia berkata, “Mengapa anak-anak ini menangis?” Jawab wanita itu, “Mereka kelaparan.” Umar r.a. bertanya, “Apa yang sedang engkau masak dalam panci itu?” Jawabnya, “Panci ini berisi air, hanya untuk menghibur anak-anak agar mereka senang dengan menyangka aku sedang memasak makanan untuk mereka, sehingga mereka tertidur. Semoga Allah menghukum Amirul-Mukminin Umar yang tak mau tahu kesusuhanku ini.” Umar r.a. menangis dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, tetapi bagaimana mungkin Umar mengetahui keadaanmu?” Jawabnya, “Dia pemimpin kami, tetapi tidak memperhatikan keadaan kami.”

Aslam r.a. melanjutkan ceritanya, “Lalu Umar mengajakku kembali ke Madinah. Ia pun mengeluarkan sekarung gandum, kurma, minyak lemak, dan beberapa helai pakaian, juga beberapa dirham dari Baitul-Mal. Setelah karung penuh, ia berkata kepadaku, “Wahai Aslam, letakkan karung ini di pundakku.” Aku menjawab, “Biarkan aku yang membawanya, ya Amirul-Mukminin.” Sahut Umar r.a., “Tidak, letakkan saja di pundakku.” Dua tiga kali aku menawarkan diri dengan sedikit memaksa. Ia berkata, “Apakah kamu akan memikul dosa-dosaku pada hari Kiamat? Tidak, aku sendiri yang akan meikulnya, dan aku yang bertanggung jawab terhadap hal ini.” Aku pun terpaksa meletakkan karung itu dibahunya. Lalu ia bawa karung itu ke rumah tadi dan aku ikut bersamanya. Setibanya di sana, ia langsung memasukkan tepung dan sedikit lemak, ditambah kurma lalu diaduk, dan ia sendiri yang menyalakan tungkunya.”


Aslam bercerita, “Kulihat asap mengenai janggutnya yang lebat, ia memasak sampai matang. Lalu, ia sendiri yang menghidangkan makanan itu dengan tangannya yang penuh berkah kepada keluarga itu. Selesai makan, anak-anak itu bermain denagn riangnya. Wanita itu pun sangat senang, ia berkata “Semoga Allah memberimu balasan yang baik, seharusnya engkau lebih berhak menjadi khalifah dari pada Umar.” Untuk menyenangkan hati ibu tadi, Umar r.a. berkata, “Jika engaku menjumpai khalifah, engkau akan menjumpaiku di sana.” Kemudian Umar r.a. meletakkan kedua tangannya di bawah dan duduk di atas tanah. Beberapa saat kemudian ia meninggalkan mereka. Umar r.a. berkata kepada Aslam r.a., “Aku tadi duduk di situ karena aku telah melihat mereka menangis, dan hatiku ingin duduk sebentar menyaksikan mereka tertawa.” (Asyharu Masyahir).

Dalam shalat -shalat Subuhnya, Umar r.a. selalu membaca surat-surat Al-Qur’an yang panjang. Kadangkala ia membaca surat Al-Kahfi, Thaha, dan surat lainnya sambil menangis terisak-isak, sehingga suara tangisnya terdengar hingga beberapa shaf ke belakang. Suatu ketika, Umar r.a. membaca surat Yusuf dalam Shubuhnya. Ketika sampai di ayat:

yang artinya : “Ya’qub menjawab, “Sesungguhya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (Yusuf : 86)

Ia menangis terisak-isak sampai tidak terdengar suaranya. Terkadang ia terus membaca Al-Qur’an sambil menangis di dalam shalat Tahajjudnya hingga terjatuh dan sakit.


Pelajaran dari kisah diatas

Inilah keteladanan rasa takut seseorang kepada Allah, yang namanya sangat ditakuti oleh raja-raja. Setelah 1300 tahun yang lalu, adakah hari ini seorang raja, pejabat, atau pemimpin biasa yang memiliki tanggung jawab dan kasih sayang terhadap rakyatnya sedemikian rupa seperti umar r.a.?

KISAH IBNU ABBAS RA MEMBERI NASIHAT

Wahab bin Munabbih rah.a. Bercerita, "pada masa tuanya, Abdullah bin Abbas r.huma matanya buta. Aku pernah membawanya ke Masjidil-Haram. Setibanya disana, terdengar suara orang bertengkar. Ia berkata kepadaku, "bawa aku kesitu." kubawa ia ke perkumpulan itu. Ia langsung memberi salam dan mereka mempersilahkan duduk, namun ia menolak. Ia berkata, "kalian tidak mengetahui bahwa hamba-hamba Allah yang istimewa ialah mereka yang rasa takutnya kepada Allah mendiamkan mereka. Padahal ia tidak udzur atau bisu, bahkan ia fasih dan pandai berbicara, tetapi karena sibuk mengingat keagungan Allah, menjadikan akal mereka dan hati mereka dibiarkan hancur, dan lisan mereka dibiarkan bisu. Jika mereka terus dalam keadaan seperti itu, mereka segera beramal shalih. Lalu mengapa kalian lari dari teladan tersebut?" Wahab bin Munabbih rah.a. Berkata, "Setelah kejadian tersebut, aku tidak pernah lagi melihat dua orang berkumpul di suatu tempat."

Karena ketinggian rasa takut Ibnu Abbas r.huma kepada Allah swt., dan karena ia sering menangis, terbentuklah dua aliran air mata di wajahnya. Dan dalam kisah di atas, Abdullah bin Abbas r.huma telah memberikan suatu cara yang mudah untuk beramal shalih, yaitu dengan mengingat kebesaran dan keagungan Allah swt. Tentu akan memudahkan kita beramal shalih dengan keiklasan hati. Apa sulitnya jika kita mencoba meluangkan sebagian kecil waktu kita dalam 24 jam sehari semalam untuk memikirkannya?

KISAH KAAB BIN MALIK RA BERTAUBAT KERANA TIDAK IKUT PERGI BERPERANG DI TABUK

Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk untuk menghadapi orang-orang Romawi dan orang-orang Nashrani Arab di Syam.”

Ibnu Syihab melanjutkan, Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik mengabarkan kepadaku, bahwa Abdullah bin Ka’ab adalah salah satu putra Ka’ab yang menuntunnya ketika ia mengalami kebutaan di masa tua, ia mengatakan, “Aku pernah mendengar Ka’ab bin Malik Radhiyallahu Anhu memberitahukan hadits yang diriwayatkan ketika ia tidak ikut serta bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang tabuk.” Ka’ab bin Malik bercerita, “Aku tidak pernah sama sekali tertinggal untuk menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang yang beliau pimpin kecuali perang Tabuk. Namun aku juga pernah tidak ikut serta dalam perang Badar, akan tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mencela seorang muslim yang tidak turut dalam perang Badar. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin (dalam perang Badar) tujuan awalnya hanyalah ingin menyerang rombongan kafilah dagang beberapa orang dari Quraisy, sehingga Allah mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu ya ngtelah disepakati sebelumnya. Saat itu aku turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam perjanjian Aqabah ketika kami berjanji membela Islam. Bagiku, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut dalam malam perjanjian Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer bagi kebanyakan orang. Di antara kisah ketika aku tidak turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut,

“Aku benar-benar tidak berdaya dan tidak ada orang yang lebih banyak mempunyai keluasan daripada aku ketika tidak turut dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya aku tidak pernah sama sekali menyiapkan dua ekor hewan tunggangan di pelbagai peperangan, namun pada perang Tabuk tersebut aku menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke lokasi perang Tabuk pada cuaca yang sangat panas, beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh dalam jumlah besar. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersama beliau. Oleh karena itu, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang.”

Ka’ab melanjutkan, “Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena tidak ingin turut berperang. Dia mendunga bahwa tindakannya yang tidak ikut serta tersebut tidak akan diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Azza wa Jalla mengenai dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, sehingga aku memalingkan perhatian kepada hasil panen. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin yang menyertai beliau sudah bersiap-siap, dan aku pun segera pergi mencari perbekalan bersama mereka, namun aku pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Aku berkata dalam hati, “Aku sebenarnya bisa memperoleh perbekalan jika aku mau, aku selalu dalam teka-teki antara ya dan tidak sedangkan yang lainnya semakin siap.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat bersama pasukan kaum muslimin, sementara aku belum mempersiapkan perbekalan sama sekali, lalu aku pergi kemudian pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Aku senantiasa dalam kebimbangan seperti itu antara turut berperang atau tidak, sehingga pasukan kaum muslimin sudah bergegas dan perang pun telah berkecamuk. Lalu aku ingin menyusul mereka ke medan perang –duhai kiranya aku benar-benar melakukannya- dan akhirnya aku ditakdirkan untuk tidak ikut serta dalam medan tempur. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke perang Tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diriku. Pada saat keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat aku temui selain orang-orang dicap bergelimang dalam kemunafikan atau aku termasuk orang yang lemah yang diberi udzur oleh Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingat diriku hingga beliau sampai di Tabuk. Ketika beliau sedang duduk di tengah para shahabat di Tabuk, beliau bertanya, “Mengapa Ka’ab bin Malik tidak turut berperang?” Seorang laki-laki dari Bani Salimah menjawab, “Wahai Rasulullah, Ka’ab bin Malik disibukkan oleh pakaiannya dan lebih mementingkan urusan pribadinya dari pada perjuangan ini.” Mendengar ucapan shahabat itu Mu’adz bin Jabal berkata, “Ucapanmu ini sungguh jelek wahai shahabat, demi Allah, wahai Rasulullah, kami tahu bahwa Ka’ab bin Malik adalah orang yang baik.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diam. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiam seperti itu tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai pakaian putih dan hitam yang bergerak-gerak, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kamu pasti Abu Khaitsamah.” Ternyata dia memang Abu Khaitsamah Al-Anshari, seorang shahabat yang pernah menyedekahkan satu sha’ kurma ketika ia dicaci maki oleh orang-orang munafik.

Ka’ab bin Malik melanjutkan ceritanya, “Ketika aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersiap-siap kembali dari Tabuk, aku diliputi kesedihan, lalu aku mulai menggagas alasan untuk berdusta, aku berkata dalam hatiku, “Alasan apa yang besok bisa menyelamatkanku dari amarah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?” Untuk menghadapi itu aku berniat untuk meminta bantuan kepada keluargaku yang bisa memberi jalan keluar. Ketika ada seseorang memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah hampir tiba di kota Madinah, maka semua keinginan untuk berdusta telah hilang dari benakku. Akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah dapat berbohong sedikitpun kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, oleh karena itu aku harus berkata jujur kepada beliau.

Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai di Madinah pada pagi hari. Seperti biasa, beliau langsung menuju masjid sebagaimana kebiasaan beliau setiap kali tiba dari bepergian ke suatu daerah. Lalu beliau melaksanakan shalat sunnah dua raka’at, setelah itu beliau duduk bercengkerama bersama para shahabat. Beberapa saat kemudian, beliau didatangi oleh orang-orang yang tidak turut berperang. Mereka segera menyampaikan alasan kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak ikut bertempur itu berjumlah 80 orang lebih. Ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima alasan mereka yang tidak ikut berperang, membai’at mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah Ta’ala. Tak setelah itu, aku pun datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah mengucapkan salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah, kemudian beliau mengatakan, “Kemarilah!” Lalu aku berjalan mendekat, sehingga aku duduk tepat di hadapan beliau. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, “Mengapa kamu tidak turut berperang? Tidakkah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu demi Islam?” Aku menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain engkau, aku yakin bahwa aku terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu yang dengan kejujuran itu engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu. Demi Allah, sungguh tidak ada udzur yang membuatku tidak turut berperang. Demi Allah, aku tidak pernah berdaya sama sekali ketika itu meskipun punya waktu yang sangat longgar sekali, namun aku tidak turut berperang 

bersamamu.” Mendengar pengakuan tulsu itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang ini telah berkata jujur, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Akhirnya aku pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Lalu beberapa orang Bani Salimah beramai-ramai mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui kamu berbuat dosa sebelum ini, Kamu benar-benar tidak mampu engkau mengemukakan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak turut berperang itu, sungguh istighfar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untukmu yang akan menghapus dosamu.”

Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah, mereka tidak berhenti mencercaku sampai-sampai aku ingin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku dustakan diriku.” Selanjutnya aku bertanya kepada mereka, “Apakah ada orang lain yang menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti aku?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang lain seperti dirimu. Kedua orang itu mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu katakan, dan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang jawaban beliau kepadamu.” Aku bertanya, “Siapa dua orang itu?” Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi. ” Mereka menyebutkan dua orang shalih yang pernah ikut serta dalam perang Badar, dan mereka bisa menjadi teladan. Aku pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepadaku.

Tak dinayana, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak turut dalam perang Tabuk. Kaum muslimin manjauhi kami dan berubah sikap kepada kami bertiga sehingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya bumi ini bukan bumi yang kami kenal sebelumnya, itu berlangsung selama 50 malam. Dua orang temanku yang tidak turut dalam perang Tabuk itu duduk bersedih di rumah mereka sambil terus menangis, sedangkan aku masih muda tetap tegar. Aku tetap beraktifitas seperti sedia kala, aku tetap berani keluar dari rumah, menghadiri shalat berjama’ah dan berjalan-jalan di pasar meskipun tak seorang pun yang mau berbicara denganku. Hingga suatu ketika aku menghampiri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku ucapkan salam kepada beliau ketika beliau berada di tempat duduknya seusai shalat. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?” Kemudian aku shalat di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan mencuri pandang kepada beliau. Ketika aku sudah bersiap hendak shalat, beliau memandangku dan ketika aku menoleh kepada beliau, beliau mengalihkan pandangannya dariku.

Setelah terisolir dari pergaulan kaum muslimin, aku berjalan-jalan sehingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah, dia adalah sepupuku dan dia merupakan orang yang paling aku senangi. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Hai Abu Qatadah, aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Ternyata Abu Qatadah diam saja. Lalu aku ulangi lagi dengan bersumpah seperti itu, tetapi dia tetap diam. Kemudian aku ulangi sekali lagi, lalu dia menjawab, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hal itu.” Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mataku dan aku pun kembali ke rumah sambil menyusuri pagar kebun tersebut.

Pada hari lain, ketika aku berjalan di pasar Madinah, ada seorang dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah yang sudi menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?’ Maka orang-orang pun menunjukkannya kepadaku. Lalu dia datang kepadaku sambil menyerahkan sepucuk surat untukku dari raja Ghassan. Karena saya bisa menulis dan membaca, maka aku bisa memahami surat itu, ternyata isinya sebagai berikut,

“Kami mendengar bahwa temanmu (yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) mengucilkanmu dari pergaulan umum, sedangkan Allah tidak menyia-nyiakanmu, karena itu bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.”

Selesai membaca surat itu aku pun berkata, “Surat ini juga merupakan bencana bagiku.” Lalu aku memasukkannya ke pembakaran dan membakarnya hingga musnah.” Setelah berlalu 40 hari dari 50 hari masa pengucilanku dan wahyu pun tidak turun, tiba-tiba utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangiku untuk menyampaikan pesan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar kamu menjauhi istrimu.” Aku bertanya, “Aku harus menceraikannya atau bagaimana?” Dia menjawab, “Tidak, tapi jauhi dia dan janganlah kamu mendekatinya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengutus orang kepada dua orang temanku yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk dengan pesan seperti yang disampaikan kepadaku. Aku katakan kepada isteriku, “Pulanglah ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan dalam masalah ini.”

Setelah itu, istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah sudah tua, lemah dan tidak memiliki pembantu, apa engkau juga tidak suka kalau aku yang merawatnya?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Tidak, dengan syarat jangan sampai dia mendekatimu.” Perempuan itu berkata lagi, “Demi Allah, dia sudah tidak berhasrat sama sekali, dan demi Allah dia tidak putus menangis semenjak dia mendapatkan ujian tersebut sampai hari ini.”

Ka’ab bin Malik berkata, “Salah seorang keluargaku memberi saran, “Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam persoalan istrimu; sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.” Aku berkata, “Aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam perihal istriku, aku tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika aku minta izin kepada beliau tentang istriku; karena aku masih muda.” Hal itu berlangsung sepuluh malam, sehingga genaplah 50 malam bagi kami, terhitung sejak kaum muslimin dilarang berbicara dengan kami. Kemudian aku melakukan shalat subuh pada pagi hari setelah melewati malam yang ke-50 di bagian belakang rumahku. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan seperti yang Allah sebutkan tentang kami, yaitu diriku diliputi kesedihan yang sangat serta bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan suara keras yang menembus cakrawala, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Lalu aku sujud dan aku tahu bahwa aku telah bebas dari persoalan ini.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumumkan kepada kaum muslimin seusai shalat shubuh, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Orang-orang pun segera memberitahu kami dan mendatangi dua orang temanku untuk memberitahu mereka berdua. Orang-orang dari Bani Aslam datang kepadaku dengan berkuda dan berjalan kaki menyusuri gunung, dan suara mereka lebih cepat daripada suara kuda mereka. Ketika orang yang telah aku dengar suaranya memberi kabar gembira datang, maka aku melepaskan pakaian luarku, lalu aku pakaikan kepadanya sebagai balasan kabar gembiranya kepadaku. Demi Allah, pada saat itu yang aku milikinya hanyalah dua pakaian tersebut. Kemudian aku meminjam dua pakaian, lalu aku pakai. Setelah itu aku menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara orang-orang berduyun-duyun menemuiku untuk mengucapkan selamat atas terkabulnya taubatku. Lalu aku masuk ke mesjid. Ketika itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk di tengah orang banyak. Thalhah bin Ubaidullah berdiri dan berjalan cepat mendekatiku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada orang-orang muhajirin yang berdiri selain Thalhah.

Periwayat hadits mengatakan “Ka’ab tidak pernah melupakan penyambutan Thalhah tersebut.”

Ka’ab berkata, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ketika itu wajah beliau berseri-seri, beliau mengatakan, “Bergembiralah, karena kamu mendapati sebaik-baik hari yang telah kamu lalui semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan untukku ini darimu ataukah dari Allah?” Beliau menjawab, “Dari Allah.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau merasa senang, maka wajah beliau bersinar bagai bulan purnama, kami pun sudah memahami hal itu.

Ketika duduk di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku berkata, “Wahai Rasulullah, di antara bentuk taubatku adalah aku serahkan hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Sisakan sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu.” Lalu aku katakan, “Aku sisakan hartaku yang menjadi bagianku pada perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku hanyalah karena kejujuranku, dan di antara bentuk taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur pada sisa umurku.”

Ka’ab mengatkaan, “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa seorang muslim diuji oleh Allah karena kejujuran bicaranya sejak aku tuturkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, yang lebih baik daripada apa yang telah diujikan oleh Allah Azza wa Jalla kepadaku. Demi Allah, aku tidak lagi ingin berbohong semenjak aku katakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari kedustaan dalam sisa umurku.

Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 117-119).

Ka’ab mengatakan, “Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku setelah Allah menunjukkanku kepada Islam yang aku anggap lebih besar daripada kejujuranku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya aku berdusta, maka aku akan celaka sebagaimana orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan kejelekan orang-orang yang berdusta ketika Allah menurunkan ayat, “Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 95-96).

Ka’ab berkata kepada kedua orang temannya, “Kita bertiga adalah orang-orang yang tertinggal dari kelompok yang telah diterima oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mereka bersumpah, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membai’at mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menangguhkan persoalan kita sampai ada keputusan dari Allah Azza wa Jalla tentang persoalan kita; maka dalam hal tersebut Allah Ta’ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas…” (At-Taubah: 118). Apa yang difirmankan Allah dalam ayat itu bukanlah tentang sikap kita yang tidak ikut serta dalam perang, melainkan tentang tertinggalnya kita untuk menyampaikan alasan kita dari kelompok orang-orang yang bersumpah dan memberikan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau pun menerima alasan mereka.”

HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i.

KISAH RASULULLAH SAW MENGINGATKAN SAHABAT DENGAN ALAM KUBUR

Suatu ketika, Nabi Saw.datang untuk shalat. Lalu beliau melihat sekumpulan Sahabat r.hum sedang tertawa-tawa sampai gigi mereka terlihat jelas. Nabi Saw. bersabda, "Apabila kalian banyak mengingat maut, kalian tidak akan seperti yang kulihat saat ini. Perbanyaklah mengingat maut. Di kubur tiada seharipun terlewati kecuali kubur akan berkata, 'aku rumah yang tidak mengenal persahabatan, aku rumah kesendirian, aku rumah penuh dengan tanah, aku rumah ulat-ulat.' Apabila seorang mukmin diletakan didalam kubur, kubur kan berkata, 'Selamat datang. Bagus engkau datang, diantara orang yang tinggal diatas bumi ini, Engkaulah yang paling kusukai. Sekarang telah tiba, maka aku akan berbuat yang terbaik untukmu.' Lalu kubur akan melebar seluas pandangan mayit, dan akan dibukakan baginya salah satu pintu surga, sehingga berhembus angin surga kepadanya, dan akan tercium harumnya surga.

Dan jika seseorang yang berakhlak buruk dimasukkan ke kubur, kubur berkata, 'Tiada ucapan selamat datang bagimu. Sangat buruk kedatanganmu ini. Dari semua orang yang berada diatas bmi ini, kamulah yang paling kubenci. Sekarang kamu datang kepadaku. Maka lihatlah bagaimana aku memperlakukan dirimu.' Kemudian kubur akan merapat dan terus menghimpitnya, sehingga tulang rusuk saling menikam. Lalu datanglah tujuh puluh ekor ular untuk menyiksanya. Jika satu saja dari bisa itu menetes kebumi, tidak sehelai rumputpun yang dapat tumbuh diatasnya. Ular-ular itu terus mematuknya sampai hari kiamat." Sabda Nabi Saw, "Kubur adalah taman dari taman-taman surga, atau jurang dari jurang-jurang neraka."


Pelajaran dari kisah diatas

Takwa kepada Allah SWT. adalah bekal yang terpenting. Sehingga Nabi Saw. selalu memikirkan dan merenungkannya. Selain itu mengingat maut sangat bermanfaat, sehingga Nabi Saw. saat menerangkan keadaan kubur, beliau bersabda bahwa mengingat kubur itu sangat penting dan bermanfaat.

KISAH PENOLAKAN RASULULLAH SAW TERHADAP GUNUNG EMAS

Rasulullah saw. bersabda,"Tuhanku telah menawarkan kepadaku untuk mengubah bukit-bukit di Makkah menjadi emas. Tetapi aku menadahkan tangan kepada-Nya, sambil berkata, "Ya Allah, saya lebih suka sehari kenyang dan lapar pada hari berikutnya agar saya dapat mengingat-Mu apabila kenyang." (HR. Tirmidzi)


Pelajaran dari kisah diatas

Inilah kehidupan dari jiwa yang suci, yang namanya sering kita sebut, dan kita juga bangga menjadi umatnya. Oleh karena itu, kita harus menjadikan beliau sebagai ittiba' bagi kehidupan kita.

KISAH PERINGATAN RASULULLAH SAW KEPADA UMAR RA.

Suatu ketika Nabi saw. telah bersumpah akan berpisah dengan istri-istrinya selama satu bulan sebagai peringatan bagi mereka. Selama sebulan beliau tinggal seoang diri dalam sebuah kamar yang sederhana yang letaknya agak tinggi. Terdengar kabar dikalangan para sahabat bahwa Nabi saw. telah meneceraikan semua istrinya. Ketika Umar bin Khaththab r.a. mendengar kabar ini, ia segera berlari ke mesjid. Setibanya disana, dia melihat para sahabat sedang duduk termenung, mereka bersedih dan menangis. Juga kaum wanita menangis di rumah-rumah mereka. Kemudian Umar r.a. pergi menemui putrinya, Hafshah r.a. yang telah dinikahi oleh Nabi saw.

Umar r.a. mendapati Hafshah r.a. sedang menangis dalam kamarnya. Umar r.a. bertanya, ”Mengapa engkau menangis? Bukankah selama ini saya telah melarangmu melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Nabi?”

Kemudian dia kembali ke mesjid, terlihat olehnya beberapa orang sahabat sedang menangis di dekat mimbar. Kemudian ia duduk bersama para sahabat beberapa saat, lalu berjalan kearah kamar Nabi saw. yang terletak ditingkat atas mesjid. Dia mendapati Rabah r.a. seorang hamba sahaya sedang duduk di tangga kamar itu. Melalui Rabah r.a. dia minta ijin untuk menemui Nabi saw. Rabah r.a. pergi menjmpai Nabi saw. kemudian kembali dan memberitahukan bahwa dia telah menyampaikan keinginannya, namun Rasulullah saw. hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Permntaannya untuk menjumpai Nabi saw. diulang beberapa kali, hingga yang ketiga kalinya barulah Nabi saw. mengizinkan naik. Ketika Umar r.a. masuk, dia menjumpai Nabi saw. sedang berbaring diatas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga di badan Nabi saw. yang putih bersih dan indah itu terlihat bekas-bekas daun kurma. Di tempat kepala beliau ada sebuah bantal yang dibuat dari kulit binatang yang dipenuhi oleh daun dan kulit pohon kurma.

Umar r.a. bercerita, “Saya mengucapkan salam kepada beliau kemudian bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istri-istri engkau?”. Nabi saw. menjawab, “Tidak.”

Saya merasa sedikit lega. Sambil bercanda saya mengatakan,”Ya Rasulullah, kita adalah kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi setelah kita hijrah ke Madinah, keadaan sungguh berbeda dengan orang-orang Anshar, mereka dikuasai oleh wanita-wanita mereka sehingga wanita-wanita kita terpengaruh oleh kebiasaan mereka.”

Nabi saw. tersenyum mendengar perkataan saya. Saya memperhatikan keadaan kemar Nabi saw., terllihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar itu, selain itu tidak terdapat apapun, saya menangis melihat keadaan itu.

Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?’

Saya menjawab, “Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasulullah. Saya sedih melihat tanda tikar yang engkau tiduri di badan engkau yang mulia dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada tuan bekal yang lebih banyak. Orang-orang Persia dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang ditengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah pesuruh Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan miskin.”

Ketka saya berkata demikian, Rasulullah sedang bersandar di bantalnya, beliau bangun lalu berkata,”Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kehidupan di alam akhirat, tentu akan lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. Jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, kitapun akan memperoleh segala kenikmatan itu di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”

Mendengar sabda Nabi saw. itu saya menyesal, lalu berkata,”Ya Rasulullah, memohon ampunlah kepada Allah untuk saya. Saya telah bersalah dalam hal ini.”


Pelajaran dari kisah diatas

Rasulullah saw. adalah pemimpin agama dan dunia, sekaligus kekasih Allah Swt., namun beliau tidur di atas sehelai tikar yang tidak dilapisi apapun, sehingga menimbulkan goresan bekas tikar itu di badan beliau yang putih. Kita dapat mengetahui bagaimana keadaan ekonomi Rasulullah saw. ketika Umar r.a. mengajurkan beliau agar berdoa kepada Allah supaya diberi harta, beliau malah memperingatkannya.

Seseorang bertanya kepada Aisyah r.a. mengenai tempat tidur Rasulullah saw. Aisyah r.a. menjawab, “Bantalnya itu tebuat dari kulit binatang yang diisi dengan kulit pohon kurma.”

Pertanyaan yang sama dikemukakan kepada Hafshah r.a. Dia menjawab, “ Tikarnya terbuat dari sehelai kain yang dilipat dua. Pada suatu hari untuk memberi kenyamanan kepada Nabi saw., saya telah menghamparkan kain itu berlipat empat. Keesokan harinya Nabi saw. bertanya, “Apakah yang telah engkau hamparkan tadi malam sehingga terasa lebih empuk?” Saya menjawab,” Kain yang sama, tetapi saya melipatnya empat lipatan.” Beliau saw. bersabda,”Lipatlah seperti semula, kenyamanan seperti tadi malam akan menghalangi shalat tahajjudku.”(Syamail Tirmidzi)

Keadaan kita saat ini selalu ingin tidur nyaman diatas kasur yang empuk. Lihatlah Rasulullah saw. padahal Allah Swt. pernah menawarkan harta kekayaan yang banyak kepada beliau, namun beliau menolaknya. Beliau tidak mengeluh sedikitpun.

KISAH ABU HURAIRAH RA PADA MASA KELAPARAN

Suatu ketika, Abu Hurairah r.a. membersihkan hidungnya dengan sehelai sapu tangan yang bagus. Kemudian ia berkata seorang diri, “Ah, lihatlah Abu Hurairah! Sekarang ia membersihkan hidungnya dengan sapu tangan yang bagus. Padahal saya masih ingat keadaan saya dahulu, ketika saya jatuh pingsan dianara mimbar dan rumah Nabi saw. Orang-orang menyangka saya menderita penyakt gila, sehingga mereka memijat-mijat kaki saya. Padahal saya tidak menderita penyakit gila, tetapi sebenarnya saya sedang menderita kelaparan.”


Pelajaran dari kisah diatas

Karena tidak makan selama beberapa hari, Abu Hurairah r.a. sering mengalami kelaparan yang luar biasa berhari-hari lamanya. Bahkan terkadang ia jatuh pingsan karena laparnya. Orang-orang menyangka dia terkena penyakit gila. Pada masa itu penderita penyakit gila diobati dengan diinjak kaki dan kepalanya. Penderitaan Abu Hurairah ini terjadi ketika Islam mulai tersebar di jazirah Arab. Setelah zaman Rasulullah saw., Islam telah menaklukkan banyak wilayah, maka keadaan hidupnya sedikit membaik. Abu Hurairah r.a. adalah seorang ahli ibadah dan rajin menunaikan solat-solat sunnat. Dia mempunyai kantung yang terbuat dari kain yang diisi dengan biji-biji kurma sebagai alat untuk menghitung dzikir dengan cara mengeluarkan biji kurma tersebut satu per satu. Jika biji-biji dalam kantung tersebut habis, maka ia akan mengisi kantung itu lagi dan mulai berdzikir dari awal. Sudah menjadi amalan istiqomah, Abu Hurairah, istrinya dan pelayannya, yaitu membagi malam menjadi tiga bagian. Mereka beramal setiap malam dengan tiga giliran, sehingga setiap malam selalu penuh dengan amal ibadah. (Tadzkiratul Huffazh)

Saya (Muhammad Zakariyya) mendengar dari orang tua saya, bahwa kebiasaan datuk saya juga kurang lebih seperti itu. Pada malam hari hingga pukul 01.00 dini hari, ayah saya menyibukkan diri dengan muthala’ah kitab. Pukul 01.00 datuk saya bangun untuk shalat Tahajjud dan menyuruh ayah saya tidur. Setelah menyibukkan diri dengan shalat Tahajjud, 45 menit sebelum adzan Shubuh, dia membangunkan nenek saya untuk shalat Tahajjud, setelah itu dia sendiri tidur karena ini adalah sunnah

KISAH ABU HURAIRAH RA DAN SYAITAN PENCURI ZAKAT

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan kepadaku menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Ternyata ada seseorang datang dan mengambil sebagian makanan, lalu saya menangkapnya. Saya berkata kepadanya, ‘Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia berkata, ‘Sungguh, saya orang yang membutuhkan. Saya mempunyai keluarga dan saya mempunyai kebutuhan yang mendesak.’ Lantas saya melepasnya.

Pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah! Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia mengeluhkan kebutuhannya dan keluarganya, maka saya kasihan padanya dan saya melepasnya.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah! Sesungguhnya dia berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.’ Saya yakin bahwa dia akan kembali lagi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanya, saya mengintainya.

Ternyata dia datang dan mengambil sebagian makanan, lantas saya berkata kepadanya, ‘Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia berkata, ‘Biarkanlah aku. Sungguh, saya orang yang membutuhkan. Saya mempunyai keluarga. Saya tidak akan mengulangi lagi.’ Saya pun iba kepadanya. Lantas saya melepasnya. Di pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Wahai Abu Hurairah! Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia mengeluhkan kebutuhannya dan keluarganya, maka saya iba kepadanya dan saya melepasnya.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya dia berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.’ Saya pun mengintainya untuk kali ketiga.

Ternyata dia datang dan mengambil sebagian makanan, lalu saya menangkapnya dan saya berkata, ‘Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini yang terakhir –sebanyak tiga kali- kamu telah mengatakan bahwa kamu tidak akan mengulangi lagi, ternyata kamu mengulangi lagi.’ Lalu dia berkata, ‘Biarkanlah aku. Sungguh, aku akan mengajarimu beberapa kalimat, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi manfaat kepadamu berkat kalimat-kalimat tersebut.’ Saya bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ Dia berkata, ‘Apabila kamu telah berbaring di tempat tidur, bacalah ayat kursi, niscaya engkau senantiasa mendapat perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.’

Selanjutnya saya melepasnya. Pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku. ‘Apa yang telah dilakukan oleh tawananmu tadi malam?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Dia mengatakan bahwa dia akan mengajariku beberapa kalimat yang bermanfaat bagiku, lantas saya melepaskannya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat itu?’ Saya menjawab, ‘Dia berkata kepadaku, ‘Apabila kamu telah berbaring di tempat tidur, bacalah ayat kursi dari awal sampai akhir.’ Dia menambahkan, ‘Niscaya engkau senantiasa mendapat perlindungan dari Allah. Setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ketahuilah! Sungguh, dia berkata benar kepadamu padahal dia pendusta. Tahukah kamu siapa yang engkau ajak bicara semenjak tiga hari yang lalu, wahai Abu Hurairah?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Dia adalah setan’.” (HR. Al-Bukhari).

KISAH ABU BAKAR RA DAN DUIT DARI BAITULMAL

Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar r.a adalah seorang pedagang kain. Ia banyak menyibukkan diri dengan perdagangannya tersebut. Setelah dilantikmenjadi khalifah, pada keesokan harinya dengan membawa beberapa helai kain ditangannya, ia berjalan menuju ke pasar untuk berjualan seperti biasanya. Dalam perjalanan itu ia bertemu dengan sahabat Umar bin Khattab r.a. Umar r.a bertanya kemana ia akan pergi. Abu Bakar menjawab, ”Saya akan pergi ke pasar.”. Umar menyahut , “Kalau engkau sibuk berjualan dipasar, siapa yang akan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan?” Abu Bakar r.a menyahut lagi,” Lalu bagaimana saya harus membiayai keluarga saya?”. Umar berkata ,”Marilah kita menjumpai Abu Ubaidah (yang dijuluki Rasulullahs.a.w sebagai penjaga baitu mal) supaya ia menetapkan gaji untukmu. Kemudian keduanya menjumpai Abu Ubaidah r.a dan ia menetapkan uangtunjangan gaji bagi Abu Bakar r.a yang jumlahnya sama dengan yang biasa diberikan untuk seorang muhajirin, tidak kurang dan tidak lebih daripada itu.

Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu Bakar r.a ” Saya ingin membeli sedikit manisan”. Abu Bakar menjawab,”Saya tidak memiliki cukup uang untuk membelinya”. Istrinya berkata,”Kalau engkau mengizinkan, saya aka mencoba menghemat uang perbelanjaan kita sehari-hari sehingga saya bisa membeli masakan itu.” Abu Bakar menyetujuinya. Kemudian setiap hari istri Abu Bakar r.a mengumpulkan sedikit demi sedikit uang perbelanjaan mereka. Beberapa hari kemudian, uang itu pun terkumpul untuk membeli masakan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan kepada suaminya agar dibelikanbahan-bahan masakan itu.

Abu Bakar r.a. berkata, ” Berdasarkan pengalaman ini, ternyata tunjangan yang saya peroleh dari Baitul Mal melebihi keperluan kita”. Maka Abu Bakar pun mengembalikan uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Sejak hari itu , tunjangannya dikurangi dengan sejumlah uang yang dihemat oleh istrinya.


Pelajaran dari kisah diatas

Meskipun Abu Bakar r.a. seorang khalifah dan raja, namun ia tetap berdagang untuk mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya dari pekerjaannya itu, sebagaimana yang telah ia umumkan sendiri ketika diangkat menjadi khalifah. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.ha, ketika Abu Bakar dilantik menjadi khalifah, ia mengatakan pada orang banyak, ” Wahai kaumku, kalian telah mengetahui bahwa saya mencari nafkah dengan berdagang. Keuntungan yang saya peroleh cukup untuk memenuhi keperluan keluarga saya.Tetapi sekarang saya telah disibukkan dengan urusan kaum Muslimin seluruhnya, sehingga untuk keperluan saya beserta keluarga saya terpaksa dipenuhi dari Baitul Mal”

Meskipun demikian, ketika Abu Bakar r.a wafat, ia telah berwasiat kepada putrinya Aisyah r.ha. agar seluruh uang tunjangan yang telah dikeluarkan oleh Baitul Mal untuk keperluan Abu Bakar selama menjadi Khalifah dikembalikan kepada Baitul Mal.

Anas r.a meriwayatkan bahwa ketika wafat, ia tidak meninggalkan apapun, baik dirham maupun dinar. Ia hanya meninggalkan seekor Unta betina untuk diperah susunya, sebuah mangkok dan seorang pelayan. Menurut sahabat-sahabatnya yang lain, ia meninggalkan kain hamparan. Barang-barang ini telah diserahkan kepada Umar r.a ketika ia menggantikannya sebagai khalifah. Umar r.a berkat, ” Semoga Allah mencucuri rahmat kepada Abu Bakar. ia telah menunjukkan jalan yang sukar diikuti oleh penggantinya.”

KISAH KELAPARAN ABU HURAIRAH RA

Abu Hurairah r.a. bercerita, “ Seandainya kalian memperhatikan keadaan kami waktu dulu, kalian akan menjumpai sebagian dari kami tidak dapat berdiri akibat kelaparan selama beberapa hari akibat tidak makan sedikitpun. Karena sangat lapar, tekadang saya berbaring sambil menekan perut saya ke tanah, bahkan terkadang saya mengikatkan batu ke perut saya.”

Suatu ketika, saya sengaja duduk-duduk di pinggir jalan. Saya berharap kalau-kalau ada orang yang saya kenal lewat di depan saya. Ternyata benar, tak lama kemudian datanglah Abu bakar r.a., sayapun berbincang-bincang dengannya. Saya berharap dia mengajak saya ke rumahnya. Seperti kebiasaannya yang mulia, dia akan menyuguhkan makanan kepada tamunya. Tetapi malam itu Abu Bakar tdak mengajak saya ke rumahnya. Dia tidak berbicara banyak dengan saya, sehingga harapan saya itu tidak terlaksana. Mungkin, tidak terpikir olehnya untuk mengajak saya ke rumahnya, atau mungkin di rumahnya sedang tidak ada makanan.

Tidak lama kemudian, Umar al Faruq berjalan melewati saya. Namun pada kali ini harapan sayapun tidak terjadi. Pada akhirnya datanglah Nabi saw., beliau tersenyum lebar ketika melihat keadaan saya, karena Nabi telah menagkap dengan cepat keinginan saya yang tersembunyi. Katanya, “ Mari, ikutlah dengan saya, Abu Hurairah.” Saya segera mengikutinya ke rumah beliau. Ketika kami masuk ke rumahnya, semangkuk susu telah dihidangkan kepada Nabi saw. lalu beliau bertanya, “Siapa yang telah memberi susu ini?” Jawabnya, bahwa susu itu adalah hadiah dari seorang hamba Allah. Kemudian beliau berkata, “Abu Hurairah, panggillah para akhli shuffah agar datang kesini.” Akhli shuffah adalah fakir miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan. Tidak tersedia makanan tetap bagi mereka, dan biasanya mereka menjadi tamu kaum Muslimin. Beliau sendiri akan menerima dua orang akhli shuffah sebagai tamu. Jumlah akhli shuffah ini tidak menentu, terkadang banyak, terkadang sedikit. Dan pada hari itu mereka ada tujuh orang.

Telah menjadi kebiasaan Nabi saw. beliau akan mengundang dua-dua atau empat-empat orang shuffah untuk datang ke rumah-rumah sahabat agar diberi makan. Kebiasaan beliau yang lain, jika diberi makanan oleh seseorang, misalnya dari sedekah, beliau akan memberikan makanan itu kepada mereka, dan beliau sendiri tidak ikut makan bersama mereka. Jika makanan itu berasal dari hadiah seseorang, maka beliau akan mengundang para sahabat dan makan bersama mereka.

Saat itu, Rasulullah saw. meminta saya untuk menyuruh mereka minum bersama. Melihat jumlah susu yang sedikit, saya merasa ragu, apakah susu itu akan mencukupi semua orang? Setelah saya memanggil para akhli shuffah, Rasulullah saw. memerintahkan saya agar membagikan susu itu kepada mereka. Saya berpikir, mungkin saya akan mendapat giliran terakhir, atau tidak mendapatkan susu sama sekali. Tapi saya harus menaati perintah Nabi saw. Setelah akhli shuffah berkumpul, Nabi saw. berkata kepada saya, “Hidangkan susu itu dan bagikanlah.” Saya segera berkeliling sambil memegang mangkuk itu dan menyuguhkan susu kepada setiap orang yang hadir. Setelah mereka puas, mangkuk itu dikembalikan kepada saya.

Sambil tersenyum, Rasulullah saw bersabda kepada saya, “Sekarang tinggal kita berdua.”

“Benar, ya Rasulullah.” Jawab saya.

Beliau bersabda, “Sekarang minumlah.” Segera saya meminumnya.

Setelah berhenti, beliau bersabda, “Minumlah lagi.”

Kata saya, “Sudah, ya Rasulullah.”

Beliau bersabda, “Minumlah lagi.”

Saya terus meminumnya sampai berkata, “ Ya Rasulullah, rasanya sekaang perut saya sudah terisi penuh.” Akhirnya, beliau meminum susu yang masih tersisa di mangkuk.

KISAH NABI SAW SUSAH TIDUR KERANA SEBIJIK KURMA

Suatu ketika Nabi Saw. tidak dapat memejamkan matanya sepanjang malam. Berkali-kali beliau mengubah posisi tidurnya sihingga istri beliau bertanya, “Mengapa engkau tidak dapat tidur ya Rasulullah?” Jawab beliau,” Tadi tergeletak sebutir kurma, kemudian aku memakannya karena khawatir kurma itu terbuang sia-sia. Sekarang aku cemas,mungkin kurma itu dikirim kesini untuk disedekahkan.”


Pelajaran dari kisah diatas

Kemungkinan besar kurma itu milik Rasulullah. Tetapi, karena sedekah biasanya diberikan melalui Nabi Saw. Keraguan itulah yang membuat beliau tidak bisa tidur semalam, khawatir kurma itu harta sedekah, berarti ada harta sedekah yang termakan olehnya.

Demikianlah akhlak pemimpin kita.Hanya karena perasaan ragu,beliau berkali-kali mengubah posisi tidurnya karena cemas dan tidak bisa tidur sepanjang malam. Lalu, bagaimanakah dengan diri kita sebagai pengikutnya? Ada yang memakan suap, korupsi, riba, merampok, dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang agama, tanpa merasa takut dan cemas, sedangkan kita mengaku sebagai umat Nabi Muhammad Saw.??? Mari kita renungkan bersama.

KISAH SAIDINA ABU BAKAR RA MEMUNTAHKAN MAKANAN DARI HASIL TILIK NASIB

Abu Bakar r.a. memiliki seorang budak yang selalu memberikan sebagian pendapatnnya kepada beliau. Pada suatu hari, ia menghidangkan sedikit makanan kepada Abu bakar R.a., lalu dicicipilah sedikit makanan itu. Hamba sahayanya berkata , ” Biasanya engkau selalu bertanya kepadaku dari mana penghasilanku ini. Namun pada hari ini engakau tidak menanyakannya.’ Jawab Abu Bakar R.a., ” Aku sangat lapar sehingga tidak sempat menanyakannya. Sekarang jelaskanlah tentang makanan ini. ” Hamba sahayanya menjawab, ” Dulu pada zaman jahiliyah, aku bertemu suatu kaum dan membacakan mantera. Mereka berjanji kepadaku akan memberi imbalan terhadap jasaku. Dan pada hari ini, aku melewati perkampungan mereka. kebetulan mereka sedang melangsungkan pernikahan, jadi mereka memberiku makanan ini. ” Abu Bakar R.a. langsung berteriak, ” Kamu nyaris membunuhku! “

Kemudian ia berusaha memuntahkan makanan yang telah ditelannya itu dengan memasukkan tangannya ke dalam tenggorokan. Namun karena ia memakannya pada saat sangat lapar, makanan itu sulit dikeluarkan. Kemudian seseorang memberitahu bahwa ia dapat muntah jika minum air sebanyak-banyaknya. Maka ia minta dibawakan segelas besar air minum. Ia langsung meminumnya. Ternyata dengan cara itu ia dapat muntah.

Seseorang berkata kepadanya, ” Semoga Allah merahmati engkau . Engkau telah susah payah mengeluarkan isi perut engkau hanya karena sesuap makanan. ‘ Jawab Abu bakar R.a., ‘ Walaupun aku harus kehilangan nyawa untuk mengeluarkan makanan itu, aku tetap mengeluarkannya. Aku mendengar Nabi Saw. bersabda : Badan yang tumbuh dengan makanan haram. apai neraka pantas untuknya. Aku khawatir, jika sebagian dari badanku ini tumbuh dari makanan ini. ‘

KISAH SAIDINA ALI RA MELEWATI TANAH PERKUBURAN

Kumail r.a. bercerita,” Pada suatu hari, aku berjalan bersama Ali r.a. hingga tiba di sebuah hutan. Lalu Ali r.a. mendekati sebuah kuburan sambil berkata.

”Wahai penghuni kubur, wahai penghuni tempat sunyi, wahai yang berbau busuk, wahai yang penuh ketakutan. Bagaimanakah kabarmu?” Kemudian ia berkata, ”Adapun kabar kami disini, hartamu telah dibagi-bagikan, anak-anakmu telah menjadi yatim, dan istri-istrimu telah menikah lagi. Inilah berita kami, ceritakanlah sedikit tentang kalian.”

Seraya menoleh kepadaku, ia berkata, ”Wahai Kumail, seandainya mereka boleh dan dapat berbicara, mereka akan berkata bahwa sebaik-baik bekal ialah taqwa.” setelah berkata demikian, ia menangis. ”Wahai Kumail, kubur adalah tempat menyimpan amal, dan kita akan menyadarinya setelah maut menjemput kita.” (Muntakhab, Kanzul-Ummal)


Pelajaran dari kisah diatas

Amal baik atau buruk seseorang akan tersimpan di dalam kubur bagaikan tersimpan di dalam kotak. Banyak hadits yang menjelaskan bahwa amal baik akan datang berupa seseorang yang tampan.Ia akan menjadi sahabat dan penghibur si mayit. Sebaliknya, amal buruk akan datang berupa sesuatu yang buruk rupa, busuk, dan hanya akan lebih menyengsarakan mayit.

Sebuah hadits menyebutkan, ” Tiga hal yang mengiringi manusia sampai kekuburnya, yaitu hartanya (sebagaimana kebiasaan orang Arab), keluarganya, dan perbuatannya. Harta dan keluarganya akan kembali setelah penguburan. Dan tinggal bersamanya hanyalah amal perbuatannya.”

Suatu ketika, Nabi saw. bertanya kepada para sahabatnya, ”Tahukah kalian bagaimana perumpamaan kalian dengan sanak saudara kalian, harta kalian, dan amal perbuatan kalian?” Atas keinginan para sahabat, Nabi saw. Bersabda, ”Perumpamaannya bagaikan seseorang yang memiliki tiga saudara.

Menjelang kematiannya, ia memanggil saudara-saudaranya dan berkata, ”Saudara-saudaraku, kalian telah mengetahui bagaimana keadaanku ini, maka bantuan apakah yang dapat kalian berikan kepadaku?” Saudaranya yang pertama menjawab, ”Aku akan menyayangimu, aku akan mengobatimu, dan aku akan melayani segala keperluanmu.

Jika kamu meninggal dunia, aku akan memandikanmu, mengkafanimu, dan menguburkanmu. Lalu aku akan senantiasa mengingat kebaikanmu.” Sabda Nabi saw. , saudara yang seperti ini adalah sanak saudara dan keluarganya.”

Kemudian pertanyaan yang sama diajukan kepada saudara yang kedua. Lalu dijawab, ”Aku akan bersamamu selama engkau masih hidup. Jika kamu meninggal dunia, aku akan pergi kepada yang lain.” Saudaranya ini adalah hartanya. Kemudian ia memanggil saudaranya yang ketiga dan menanyakan hal yang sama.

Maka dijawab, ”Walaupun di dalam kubur, aku akan bersamamu. Akan kutenangkan hatimu jika akan dihisab,dan aku akan beratkan amal baikmu.” Saudaranya yang ketiga ini adalah amal shalihnya.” Sabda Nabi saw., ”sekarang sebutlah, manakah yang menjadi pilihanmu?” Para sahabat r.hum menjawab, ” Ya Rasulullah, jelas saudara yang terakhir itulah yang kami pilih, yang pertama dan kedua kurang bermanfaat.” (Muntakhab,Kanzul-Ummal).

KISAH NABI MUHAMMAD SAW SOLAT SEPANJANG MALAM

Seseorang bertanya kepada Aisyah r.h.a, "Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang luar biasa pada diri Rasulullah SAW. yang pernah engkau lihat." Jawab Aisyah r.ha., "Manakah perbuatan beliau yang tidak luar biasa ? Pernah pada suatu malam beliau berbaring bersamaku, lalu beliau berkata ,"Sekarang biarkanlah aku beribadah kepada Allah." Beliau bangun dari tempat tidurnya, lalu mengerjakan Shalat. Baru saja selesai shalat, beliau langsung menangis bercucuran air mata sehingga membasahi dada beliau. Kemudian beliau Ruku' sambil menangis . Ketika sujud, beliaupun menangis dan bangun dari sujud pun masih menangis, hingga Bilal r.a datang mengumandangkan adzan subuh. Aku berkata, "Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis seperti itu, bukanlah engkau orang yang ma'sum, dan Allah telah berjanji akan mengampuni dosa-dosamu, baik yang akan datang dan yang telah lalu (Jika ada)?" Jawab Nabi SAW., "Tidaklah sepatutnya aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur ?" Lalu Beliau bersabda, "Mengapa aku tudak berbuat demikian ? Padahal Allah SWT telah berfirman:


"Sesungguhnya dalam penciptaann langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk ataupun pada waktu berbaring dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi lalu berkata, "Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau , maka lindungilah kami dari adzab neraka." (Q.S. Ali Imran : 190-191)

KISAH SAIDINA ABU TALHAH RA MEWAKAFKAN KEBUNNYA

Suatu ketika, Abu Thalhah r.a.sedang shalat di kebunnya. Tiba-tiba seekor burung terbang di antara pepohonan. Burung itu terbang kesana kemari, lalu masuk ke dalam rerimbunan daun yang lebat, dan ia tidak dapat keluar dari rerimbunan itu. Melihat kejadian ini, perhatian Abu Thalhah r.a. terarah pada tingkah laku burung itu sehingga ia lupa jumlah rakaat yang telah dilakukannya. Ia merasa sangat panik terhadap perbuatannyaini. Ia sadar bahwa musibah telah menimpanya disebabkan kebunnya, sehingga terlupa dalam sholat. Setelah sholat, ia langsung menjumpai Nabi Muhammad SAW, dan menyampaikan semua kejadian itu. Ia berkata, “Rasulullah, kebunku ini telah membuatku lalai dalam sholat. Oleh sebab itu, aku sedekahkan kebun ini fi sabilillah, gunakanlah sekehendakmu.”

Peristiwa seperti ini juga pernah terjadi pada masa khalifah Utsman r.a. Ketika seorang Anshar sedang sholat di kebunnya, kebetulan pada saat sedang musim kurma masak. Matanya terus memandang dengan senangnya ke arah buah-buah tersebut. Hatinya gembira melihat kurma-kurma yang masak itu, berarti hasil panennya akan bagus. Perhatiannya terhadap kurma itu menyebabkan ia lupa jumlah rakaat yang telah dikerjakannya dalam sholat. Menyadari hal ini, hatinya merasa sangat sedih dan kecewa sehingga ia memutuskan tidak akan membiarkan kebunnya yang menyebabkan musibah itu. Ia pun segera menemui Utsman r.a dan berkata, “Amirul-Mukminin, aku infakkan kebun ini fi sabilillah. Gunakanlah sekehendakmu.”Kebun itu akhirnya dijual seharga 50.000 dirham, dan hasilnya digunakan untuk kepentingan agama.


Pelajaran dari Kisah diatas

Demikianlah semangat keimanan para sahabat r.hum. Karena sholat sangat berharga bagi mereka, mereka dengan mudahnya menginfakkan kebun seharga 50.000 dirham di jalan ALLAH. Syaikh Waliyullah rah.a. menulis dalam Qaulul-Jamil tentang tingkat hubungan dalam tasawuf, “Tidak ada hubungan yang harus didahulukan kecuali untuk mentaati Allah dan bersemangat terhadapnya. Para sahabat r.hum bersemangat dalam menjaga ketaatan kepada Allah SWT.. Lalu mengapa harus memperhatikan hal-hal lainnya?.

KISAH KEINGINAN RABIA'AH RA BERSAMA RASULULLAH SAW DI SYURGA

Rabiah r.a. bercerita, “Aku selalu melayani Rasulullah SAW pada malam hari,. Akulah yang menyedikan air wudhunya, siwaknya, sajadahnya, dan keperluan lainny. Suatu ketika, karena senang dengan pelayananku, beliau bertanya,”Katakanlah, apakah yang kamu minta?” Jawabku,”Ya Rasulullah, aku hanya ingin bersamamu di surga.” Beliau bertanya lagi, “Apakah permintaanmu selain itu?” Jawabku, “Tidak ada, hanya itulah yang aku inginkan.” Sabda beliau,”Baiklah, kamu harus membantuku dengan sering bersujud kepada Allah,” (Abu Dawud)


Pelajaran dari Kisah diatas

Kisah di atas mengandung peringatan bahwa segala keinginan kita tidak akan tercapai hanya dengan berdoa kepada Allah SWT. Doa harus diiringi dengan perbuatan dan usaha ke arahnya. Dan sebaik-baik amalan yang terpenting adalah sholat. Lebih sering kita sholat, maka akan lebih banyak bersujud kepada Allah SWT. Seseorang yang hanya duduk-duduk sambil berkata, “Aku telah minta doa dari ulama anu, ulama anu.” Ini suatu kesalahan besar. Allah SWT menjalankan dunia ini melalui sebab. Memang terkadang Allah SWT menjalankan sesuatu hannya dengan kodratNya, untuk menunjukkan bahwa Allah tidak bergantung pada sebab. Namun secara umum, dunia dan segala isinya ini berjalan dengan sebab.

Sungguh mengherankan jika untuk urusan keduniaan, kita tidak hanya bersandar pada takdir sambil berdoa kepada Allah SWT dan seribu satu macam usaha tetntu kita lakukan, tetapi untuk agama, kiyta hanya bergantung pada taqdir dan doa. Tidak diragukan lagi bahwa doa para wali Allah memang penting, tetapi Nabi Muahammad SAW,bersabda,”Bantulah doaku dengan memperbanyak sujud.

KISAH RASULULLAH SAW MENERIMA UNDANGAN SEORANG WANITA

Ketika Nabi saw. sedang berjalan pulang dari acara jenazah, ada seorang wanita mengundang beliau saw. makan di rumahnya. Maka Nabi saw. dan para sahabatnya mengunjungi rumah wanita itu. Ketika makanan telah dihidangkan, Nabi saw. kesulitan menelan makanan itu. Sabda Beliau saw., "Nampaknya daging ini telah disembelih tanpa ijin pemiliknya." Jawab wanita itu, "Ya Rasulullah, saya telah menyuruh seorang lelaki untuk membeli kambing di pasar, tetapi tidak ia dapatkan. Sedangkan tetangga saya telah membeli seekor kambing. Maka saya suruh seseorang ke sana untuk membelinya dan menanyakan harganya. Namun, pemiliknya sedang tidak ada di tempat. Jadi istrinyalah yang menjual kambing itu kepada saya." Lalu Nabi saw. bersabda "Bagikanlah daging itu kepada para tawanan." (AbuDawud)


Faedah:

Tidak ada yang dapat menandingi akhlak Rasulullah saw., sampai kepada hamba pun Rasulullah saw. selalu memperlihatkan akhlak yang terpuji.

KISAH SAIDINA UMAR RA MEMUNTAHKAN SUSU YANG DIA MINUM DARI HARTA SEDEKAH

Suatu ketika Umar ra. mencicipi susu. Ternyata rasa susu itu lain dari biasanya. Umar ra. langsung bertanya kepada pembawa susu tersebut, dari mana dan bagaimana mendapatkannya. Orang itu berkata, "Ada beberapa ekor unta hasil sedekah sedang memakan rumput di hutan. Lalu para penggembala unta itu memerah sedikit susu dari unta-unta itu, dan memberi saya sedikit." Mendengar itu, Umar ra. segera memasukkan jarinya ke mulut, lalu memuntahkan semua yang telah ia minum tadi.


Faedah:

Mereka selalu cemas jangan sampai ada sesuatu yang syubhat masuk ke dalam tubuh mereka. Tidak seperti kita, barang haram pun kita tidak mempedulikannya.

KISAH SAIDINA ABU BAKAR RA MEWAKAFKAN KEBUNNYA

Ibnu Sirrin rah.a. bercerita, Ketika menjelang ajalnya, Abu Bakar ra. telah berkata kepada Aisyah r.ha., "Saya tidak suka menerima apapun dari Baitul Mai, tetapi Umar telah mendesak saya untuk menerima gaji, agar saya tidak diganggu oleh perniagaanku dalam mengurus kaum Muslimin. Saya terpaksa menerimanya. Untuk itu, wakafkanlah kebunku itu sebagai ganti gaji saya selama ini."

Setelah Abu Bakar ra. wafat, 'Aisyah r.ha. segera mengutus seseorang kepada Umar ra.. Dan sesuai wasiat ayahnya, kebun itu diserahkan kepada Umar ra.. Kata Umar ra., "Semoga Allah swt. merahmati ayahmu. Dia tidak memberi peluang kepada siapapun untuk mengikutinya." (Kitabul Amwal)


Faedah:

Kisah ini perlu kita renungkan. Pertama; Abu Bakar ra. menerima gaji sekedarnya. Hal itu semata-mata karena terpaksa dan agar lebih bermanfaat bagi kaum Muslimin. Dan kehati-hatian beliau itu, telah kita perhatikan dalam Bab III kisah keempat. Dimana istrinya (karena selalu kekurangan) telah berusaha menabung sebagian gaji Abu Bakar ra.. Tetapi oleh Abu Bakar ra. uang hasil tabungan istrinya itu ia kembalikan ke Baitul Mal. Lalu beliau mengurangi uang gajinya. Sehingga, yang beliau terima benar-benar hanya yang diperlukan saja.

KISAH SAIDINA UMAR RA MELARANG ISTERINYA MENIMBANG MINYAK KASTURI

Suatu ketika, Umar ra. menerima minyak Kasturi dari Bahrain. Beliau berkata, "Adakah orang yang bersedia menimbangnya untuk dibagikan kepada kaum Muslimin." Maka istri beliau, Atikah r.ha. berkata, "Saya akan menimbangnya." Umar ra. diam. Kemudian bertanya lagi, "Siapakah yang akan menakar minyak kasturi ini untuk dibagikan?" Sekali lagi istrinya menjawab dengan jawaban yang sama. Umar ra. diam. Pada kali ketiga barulah Umar ra. berkata, "Aku tidak suka jika kamu menyentuh kasturi itu dengan tanganmu ketika kamu menakarnya, karena minyak itu akan melekat di tanganmu lalu kamu akan menyapukannya ke badanmu. Berarti aku memperoleh bagian lebih dari hakku."


Faedah:

Ini adalah sikap hati-hati yang sempurna. Berusaha agar mendapatkan posisi yang menyelamatkan. Padahal, siapapun yang menakarnya, tentu akan menyentuh tangannya, lalu akan menyapukannya ke badannya. Tidak ada yang dapat menolak hal itu. Walaupun demikian Umar ra. melarang istrinya berbuat demikian.

Hal ini pun terj adi pada Umar bin Abdul Aziz rah. a yang terkenal disebut Umar Kedua. Suatu ketika, beliau menakar minyak wangi misk sambil menutup hidungnya rapat-rapat. Beliau berkata, "Manfaat minyak wangi adalah baunya, dan ini bukan milik saya." Demikianlah ketelitian dan kehati-hatian para sahabat ra., para tabiin rah.a., serta alim ulama kita.

KISAH NABI SAW SOLAT SEPANJANG MALAM

Seseorang bertanya kepada Aisyah r.ha., "Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang luar biasa pada diri Rasulullah saw. yang pernah engkau lihat?" Jawab Aisyah r.ha., "Manakah perbuatan beliau yang tidak luar biasa? Pernah pada suatu malam, beliau berbaring bersamaku, lalu beliau saw. berkata, "Biarkanlah saya beribadah kepada Allah sekarang." Beliau bangun dari tempat tidurnya, lalu mengerjakan shalat. Baru saja memulai shalat, beliau langsung menangis bercucuran air mata, sehingga membasahi dada. Kemudian beliau ruku', pun sambil menangis. Juga ketika sujud, beliau menangis. Dan ketika bangun dari sujud pun beliau masih menangis. Sampailah terdengar adzan Fajar Bilal ra.. Saya berkata, "Ya


Rasulullah, mengapa engkau menangis, bukankah engkau maksum, dan Allah telah berjanji mengampuni segala dosamu, baik yang akan datang maupun yang lalu?" Jawab Nabi saw., "Apakah tidak sepatutnya saya menjadi hamba-Nya yang bersyukur?" Sabda beliau selanjutnya, "Mengapa saya tidak demikian? Padahal Allah swt. telah berfirman;

"Sesungguhnya mengenai penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal. Yaitu, orang-orang yang mengingat


Allah sambil berdiri dan duduk atau pun di waktu berbaring dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi lalu berkata, "Ya Tuhan kami, Tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari adzab neraka. " (Ali Imran: 190-191)


Masih banyak lagi riwayat mengenai panjangnya shalat malam Nabi saw.. Demikian lama beliau berdiri shalat, sampai kaki-kaki beliau menjadi bengkak. Sebagian sahabat berkata,


"Ya Rasulullah, mengapa engkau demikian bersusah payah mendirikan shalat, padahal Allah telah mengampuni seluruh dosamu?" Nabi saw. selalu menjawab, "Apakah tidak sepatutnya saya menjadi hamba yang bersyukur?" (Bukhari)

KISAH NABI SAW MEMBACA ENAM JUZ AL-QURAN DALAM EMPAT RAKA'AT

'Aufra. bercerita, "Suatu ketika, saya berdua bersama Nabi saw.. Setelah bersiwak dan berwudhu, beliau berdiri untuk shalat. Saya menyertai beliau shalat. Pada rakaat pertama, beliau saw. membaca Al-Baqarah. Bila menemui ayat-ayat rahmat, beliau akan berdo'a sejenak memohon rahmat Allah. Jika menemui ayat-ayat tentang siksa Allah, maka beliau akan berhenti sejenak berdo'a memohon perlindungan dari siksa Allah swt.. Selesai membaca Al-Baqarah, beliau ruku' dengan ruku' yang sama panjangnya dengan bacaan Al-Baqarah tadi. Dalam ruku' beliau membaca;

"Maha suci Tuhan yang mempunyai kekerasan, kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan."

Lalu beliau sujud, dan sujudnya pun sangat lama. Setelah itu beliau berdiri raka'at kedua, lalu membaca Ali Imran. Demikian seterusnya, beliau membaca satu surat dalam setiap raka'at. Jadi, dalam empat raka'at, beliau telah membaca empat surat Al-Qur'an. Dapat dibayangkan, betapa lama shalat Nabi saw.. Ditambah dengan setiap ayat rahmat dan ayat adzab beliau berhenti untuk berdo'a kepada Allah swt., ditambah dengan ruku' dan sujud yang lama.

Ada kisah lainnya, yang dialami oleh Hudzaifah ra. ketika menyertai shalat bersama Nabi saw.. Ia berkata, "Rasulullah saw. shalat empat raka'at dengan membaca empat surat, yaitu dari Al-Baqarah sampai akhir Al-Maidah."


Faedah:

Empat surat tersebut berarti enam juz Al-Qur'an. Rasulullah membacanya dalam empat raka'at. Dan Rasulullah saw. biasa membaca Al-Qur'an dengan tajwid dan tartil, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Ditambah lagi, di setiap ayat rahmat dan adzab, beliau saw. akan berhenti sejenak untuk berdo'a kepada Allah swt., ditambah lagi ruku' dan sujud yang panjang. Terbayang oleh kita, betapa lama Nabi saw. mengerjakan shalat empat raka'at ini. Bahkan Nabi saw. pernah membaca dalam satu rakaat surat Al-Baqarah, Al-Imran sampai Al-Maidah yang kurang lebih sebanyak lima juz. Hal ini dapat dikerjakan bila shalat adalah kepuasan dan kebahagiaan batin kita. Nabi saw. bersabda, "Kenikmatan mataku pada shalat."

'Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mengikuti mereka'

KISAH SOLAT BEBERAPA ORANG SAHABAT RA

Mujahid rah.a. menceritakan shalatnya Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair ra., "Jika mereka telah berdiri tegak untuk shalat, maka mereka seolah-olah kayu yang terpaku ke bumi." Mereka tidak bergerak sedikit pun di luar gerakan shalat. Menurut alim ulama, Ibnu Zubair ra. telah belajar shalat dari Abu Bakar ra., dan Abu Bakar ra. telah mempelajarinya langsung dari Nabi saw.. Apa yang dilakukan Nabi saw. dalam shalatnya, diikuti oleh Abu Bakar ra., dan shalat beliau diikuti Ibnu Zubair ra..


Tsabit ra. berkata, "Jika Abdullah bin Zubair ra. berdiri untuk shalat, maka ia laksana sebatang kayu yang ditancapkan ke bumi." Seseorang bercerita, "Demikian lama Ibnu Zubair ra. bersujud, tanpa bergerak sedikit pun, sehingga burung-burung hinggap dengan tenang di atas punggungnya. Pernah, beliau ruku' demikian lama dari awal malam hingga Shubuh tiba. Kadang-kadang beliau menghabiskan malamnya hanya dengan bersujud."


Dalam suatu pertempuran, Ibnu Zubair ra. shalat di masjid. Tiba-tiba, salah satu dinding masjid terkena serangan musuh dan runtuh. Sebagian bongkahan dinding itu telah menimpa leher beliau.


Meskipun demikian, beliau tetap shalat tanpa memendekkan shalatnya, baik ketika sujud ataupun ruku'. Pada saat yang lain, ketika beliau sedang shalat dan anaknya Hasyim sedang tidur di sisi beliau, tiba-tiba ada seekor ular terjatuh dari atap dan membelit anaknya. Anak itu menjerit ketakutan, seisi rumah pun panik sehingga ribut. Akhirnya, mereka berhasil membunuh ular itu. Tetapi, Ibnu Zubair ra. tetap tenang dalam shalatnya. Setelah salam, beliau bertanya, "Sepertinya ada keributan, ada apa?" Isterinya menjawab, "Semoga Allah merahmatimu. Anak ini hampir mati dan kamu tidak mengetahuinya." Jawab Beliau, "Pikirkanlah olehmu, jika saya memalingkan perhatian dari shalat, maka bagaimana jadinya shalatku?" (Kxtzb Al-Bidayah dan lainnya).


Ketika Umar bin Khattab ra. ditikam pisau, yang menyebabkan ia meninggal dunia, darah terus mengalir dari lukanya sehingga beliau sering tidak sadarkan diri. Walaupun demikian keadaannya, jika disampaikan kepadanya waktu shalat tiba, maka beliau segera mengerjakannya. Beliau berkata, "Tiada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat."


Utsman bin Affan ra., sering mendirikan shalat sepanjang malam dan menghatamkan Al-Qur' an hanya dalam satu raka'at. (Muntakhab)

Sedangkan, kebiasaan Ali ra. adalah jika tiba waktu shalat, tubuhnya akan bergetar dan pucat wajahnya. Seseorang bertanya, "Mengapa keadaanmu seperti ini?" Jawab beliau, "Telah tiba saatnya bagi saya untuk menunaikan amanat yang Allah Ta'ala berikan kepada saya, yang enggan diterima oleh langit, bumi, dan gunung."


Seseorang bertanya kepada Khalaf bin Ayub ra., "Apakah lalat-lalat tidak mengganggumu ketika shalat?" Jawabnya, "Seorang pendosa yang tertangkap polisi, ketika dihukum, ia akan berusaha sabar tanpa bergerak sedikit pun. Dan itu ia banggakan. Ia berkata, "Walaupun saya dipukuli saya tetap sabar dan tabah." Lalu, bagaimana dengan diriku, jika aku berdiri di hadapan Rabb-ku, dan terganggu hanya karena lalat?"


Muslim bin Yasar rah.a. ketika akan shalat, ia berkata kepada keluarganya, "Teruskanlah perbincangan kalian, aku tak akan terpengaruh sedikit pun dengan obrolan kalian." Suatu ketika, beliau shalat di Masjid Jami' Basrah. Tiba-tiba, sebagian tembok masjid runtuh. Orang-orang berkumpul dan ribut. Namun beliau tetap shalat, seolah-olah tidak mendengar apapun.


Hatim Asham rah.a. ditanya, bagaimana caranya beliau shalat. Beliau menjawab, "Jika waktu shalat telah tiba, maka setelah berwudhu aku berjalan ke tempat shalat. Lalu, aku duduk sejenak sehingga seluruh tubuhku mulai tenang, kemudian aku berdiri memulai shalat. Saat itu, aku membayangkan bahwa*"Baitullah Ka'bah berada di depanku, dan kakiku seolah-olah berada di atas Shirat, surga berada di sebelah kananku, dan neraka berada di sebelah kiriku, dan membayangkan malaikat pencabut nyawa, berada di belakangku; Aku merasa inilah shalatku yang terakhir. Setelah itu, aku berusaha shalat dengan penuh khusyu' dan khudhu', dan aku berada diantara dua perasaan, yaitu takut dan   harap; apakah shalatku ini diterima ataukah tidak." (Ihya)

KISAH SOLAT DUA ORANG SAHABAT MUHAJIRIN DAN ANSAR

Setibanya Nabi saw. dari suatu peperangan, beliau bangun mendirikan shalat malam. Beliau bersabda, "Siapakah yang siap menjadi penjaga pada malam ini?" Maka, Ammar bin Yasir ra. dari Muhajirin dan Abbad bin Bashar dari Anshar berkata, "Kami siap berjaga malam." Nabi saw. memerintahkan mereka agar berjaga-jaga di sebuah bukit yang terdapat jalan bagi musuh untuk menyerang. Keduanya pergi ke bukit tersebut. Sesampainya di sana, pemuda Anshar itu berkata kepada saudaranya dari Muhajirin, "Mari, kita bagi malam ini menjadi dua bagian, bagian malam pertama, aku yang berjaga dan kamu beristirahat. Dan bagian kedua, kamu yang berjaga dan saya yang beristirahat. Maka, malam ini dapat dijaga bergantian. Jika terasa ada musuh yang datang, maka yang berjaga dapat membangunkan kawannya yang sedang tidur. Jika langsung kita berdua berjaga, bisa-bisa kita berdua mengantuk." Maka, pemuda Anshar mendapatkan jaga bagian pertama, dan pemuda Muhajirin tidur. Sambil bertugas, Abbad ra. mendirikan shalat. Ternyata, seorang musuh mengintainya. Kemudian, dari jarak jauh ia membidikkan anak panahnya ke arah Abbad ra.. Tetapi, Abbad ra. masih berdiri tegak, tidak bergoyang sedikit pun.


Melihat hal ini, musuh pun melepaskan lagi anak panahnya. Tetapi ia tetap berdiri tegak. Musuh kembali melepaskan anak panahnya yang ketiga. Ketiga-tiganya menancap di badan Abbad ra.. Kemudian Abbad ra. mencabut ketiga anak panah itu dengan tangannya. Setelah tercabut, ia meneruskan shalat, ruku' dan sujud dengan tenangnya. Selesai shalat, Abbad ra. membangunkan kawannya. Ketika musuh melihat Abbad ra. membangunkan kawannya, ia segera melarikan diri dan ia tidak tahu berapa banyak lagi tentara Islam di situ. Ketika Ammar ra. bangun, dilihatnya badan Abbad ra. penuh darah, dengan bekas tiga anak panah tertancap di tubuhnya. Ammar ra. berkata kepada Abbad ra, "Subhanallah, kenapa engkau tidak membangunkanku dari tadi?" Jawab Abbad ra., "Ketika aku shalat tadi, aku mulai membaca surat Al-Kahfi, dan hatiku enggan untuk ruku' sebelum menyelesaikan surat ini. Tetapi, aku pun memperkirakan bahwa, jika aku dipanah terus menerus, aku bisa mati, dan tugas dari Rasulullah saw. untuk menjaga beliau tidak dapat ditunaikan. Saya mengkhawatirkan keselamatan Nabi saw.. Jika tidak, aku akan menyelesaikan bacaan surat itu, sebelum ruku', walaupun aku terpaksa harus mati dipanah musuh." (Baihaqi, AbuDaud)


Faedah:

Demikianlah shalat para sahabat ra., dan keasyikan shalat mereka. Walaupun panah demi panah menancap di tubuhnya, dan darah mengalir dari lukanya, ia tetap asyik shalat tanpa sedikit pun berubah. Sedangkan shalat kita, hanya karena nyamuk, pikiran kita menjadi kacau.

Ada perbedaan pendapat Fiqhiyah, mengenai darah yang mengalir dalam shalat. Imam Hanafi berpendapat membatalkan wudhu, sedangkan menurut madzhab Syafi'i tidak membatalkan. Mungkin, pendapat para sahabat ra. demikian, atau hal itu belum menjadi suatu perbedaan karena Nabi saw. masih hidup, atau karena belum adanya hukum atas hal itu.

KISAH SAIDINA ABU TALHAH MEWAKAFKAN KEBUNNYA

Suatu ketika, Abu Thalhah ra. sedang shalat di kebunnya. Tiba-tiba, seekor burung terbang di antara pepohonan. Burung itu terbang kesana-kemari, lalu masuk ke dalam rimbunan daun yang lebat, dan ia tidak bisa keluar dari rimbunan tersebut. Melihat kejadian ini, perhatian Abu Thalhah terarah pada tingkah laku burung itu, sehingga ia terlupa jumlah rakaat yang telah ia lakukan. Ia sangat kesal atas hal ini. Beliau sadar, karena kebunnya ini, musibah telah menimpanya. Ia terlupa dalam shalat. Setelah shalat, beliau langsung menjumpai Nabi saw.. Dan ia sampaikan semua kejadian tersebut, lalu berkata, "Ya Rasulullah, kebunku ini telah menyebabkan saya lalai dalam shalat. Oleh karena itu, saya sedekahkan kebun ini fi sabilillah. Gunakanlah sekehendakmu."

Peristiwa seperti ini pun pernah terjadi pada masa khalifah Utsman ra.. Ketika seorang Anshar sedang shalat di kebunnya. Kebetulan ketika itu sedang musim kurma berbuah. Matanya terus memandang senang ke arah buah-buah tersebut. Hatinya bergembira melihat kurma-kurma itu telah masak. Berarti panennya akan bagus. Perhatiannya kepada kurma-kurma itu, membuat ia lupa berapa rakaat yang telah ia kerjakan. Mengetahui hal ini, hatinya sangat sedih dan kecewa. Ia menyadari bahwa karena kebunnya, ia telah ditimpa musibah dalam shalatnya. Ia segera menemui khalifah Utsman ra., dan berkata, "Ya Amirul Mukminin, saya infakkan kebun ini fi sabilillah. Gunakanlah sekehendakmu." Kebun itu akhirnya dijual seharga 50.000 dirham, dan hasilnya digunakan fi sabilillah.


Faedah:

Demikianlah gairah keimanan sahabat ra.. Karena shalat adalah sesuatu yang sangat berharga bagi mereka, maka mereka mudah menyedekahkan kebunnya serharga 50.000 dirham di jalan Allah. Syekh Waliyullah rah.a. dalam kitab 'Qaulul Jamil' menukilkan tentang tingkat hubungan dalam tasawuf, beliau menulis; 'Tiada hubungan yang harus didahulukan kecuali untuk mentaati Allah, dan bergairah atasnya. Para sahabat ra. bersemangat untuk menjaga ketaatan kepada Allah, mangapa harus memperhatikan ke lainnya?

KISAH IBNU ABBAS RA TIDAK MEMPERDULIKAN MATANYA KERANA SOLAT

Suatu ketika, sebelah mata Ibnu Abbas ra. selalu berair, ada seorang tabib datang mengobatinya. Tabib itu berkata, "Saya akan mengobati tuan, tetapi tuan harus berhati-hati selama lima hari, tuan jangan bersujud di tanah. Tuan boleh bersujud di atas kayu yang lebih tinggi." Ibnu Abbas ra. menjawab, "Tidak mungkin. Demi Allah, saya tidak akan melakukannya walaupun satu raka'at. Saya mendengar Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa meninggalkan satu shalat dengan sengaja, maka ia akan menjumpai Allah swt. dalam keadaan Allah murka kepadanya." (Durrul Mantsur)


Faedah:

Secara syariat, agama membolehkan shalat seperti itu jika terpaksa. Perbuatan itu tidak termasuk meninggalkan shalat. Tetapi karena demikian kuat semangat para sahabat ra. dalam inengikuti shalat Nabi saw., sehingga Ibnu Abbas ra. merasa lebih baik matanya tidak sembuh daripada harus meninggalkan cara shalat Rasulullah saw.. Para sahabat ra. sanggup mengorbankan dunia dan isinya untuk dapat menjalankan shalat sesuai contoh Nabi saw.. Sedangkan kita sekarang, tanpa malu kita selalu beralasan agar dapat memudahkan shalat kita.

Padahal ketika dihadapkan di medan Mahsyar barulah akan diketahui hakekat yang sebenarnya dari ucapannya. Dan apa yang dapat kita perbuat?

KISAH PARA SAHABAT RA MENINGGALKAN KEDAI MEREKA PADA WAKTU SOLAT

Suatu hari, Ibnu Umar ra. pergi ke pasar. Kemudian tibalah waktu shalat berjamaah. Setiap pemilik toko langsung menutup tokonya dan segera pergi ke masjid. Ibnu Umar ra. berkata, "Merekalah orang-orang yang telah Allah firmankan dalam ayat;


"Laki-laki yang perdagangan dan jual beli mereka tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang. " (An-Nur :3 7)


Ibnu Abbas ra. berkata, "Mereka sangat sibuk dengan perniagaan dan jual beli, tetapi jika terdengar suara adzan shalat, maka mereka segera meninggalkan perniagaannya segera pergi ke masjid." Beliau juga berkata, "Demi Allah, mereka adalah para pedagang, namun perdagangan mereka tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah swt.."

Suatu ketika, Abdullah bin Mas'ud ra. pergi ke pasar. Lalu terdengar adzan, ia melihat setiap orang meninggalkan kedainya dan segera pergi ke masjid. Dia berkata, "Mereka inilah orang yang Allah swt. telah berfirman;


"Laki-laki yang perdagangan dan jual beli mereka tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. " (An-Nur: 37)


Nabi saw. bersabda, "Pada hari Hisab, ketika seluruh manusia dikumpulkan dalam satu tempat, maka Allah berfirman, "Siapakah orang yang selalu memuji Allah ketika senang dan susah?" Maka, sekumpulan manusia akan bangkit dan masuk ke surga tanpa hisab. Lalu diumumkan lagi, "Siapakah orang-orang yang meninggalkan tempat tidurnya dan menghabiskan waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah dengan rasa takut dan harap?" Maka, sekumpulan manusia bangkit dan masuk surga tanpa hisab. Lalu diumumkan lagi, "Siapakah orang-orang yang perniagaannya tidak menghalangi mereka dari mengingat Allah?" Maka, sekumpulan manusia bangun dan masuk surga tanpa hisab. Setelah ketiga kumpulan itu masuk surga, barulah dimulai hisab atas manusia lainnya. (Durrul Mantsur)

KISAH SOLAT KHUBAIB RA DAN KESYAHIDANNYA

Terbunuhnya orang-orang kafir pada perang Uhud, telah menyalakan api dendam di hati para pemuka kafir Quraisy. Sulafah, yang kedua putranya telah terbunuh dalam perang tersebut, telah bersumpah, jika ia menjumpai Ashim ra. (sahabat yang telah membunuh kedua anaknya), ia akan membunuhnya dan akan meminum darah dari tempurung kepalanya. Untuk itu, ia mengumumkan akan memberi hadiah 100 ekor unta kepada siapapun yang dapat membawa kepala Ashim ra. kepadanya. Mendengar sayembara itu, Sufyan bin Khalid sangat bergairah dan berkeyakinan bahwa ia akan dapat membawa kepala Ashim ra. kepada Sulafah. Lalu, la mengirim beberapa lelaki dari kaum Adhal Waqarah ke Madinah, berpura-pura memeluk Islam. Lalu mereka meminta Nabi saw. agar mengirim beberapa orang sahabat untuk memberikan ta'lim dan tabligh di kampung mereka. Juga memohon agar Ashim ra. turut serta dalam rombongan tersebut. Alasan mereka, nasehat Ashim ra. disukai orang-orang. Nabi saw. mengirim sepuluh orang sahabat ra., (riwayat lain enam sahabat) untuk menyertai kaum Adhal Waqarah, termasuk Ashim ra..

Dalam perjalanan pulang, ternyata orang-orang Adhal Waqarah ingkar janji. Mereka menyuruh musuh agar menyerang para sahabat, sehingga para sahabat ra. itu telah diserang oleh 200 orang yang diantara mereka ada seratus pemanah handal yang terkenal. Suatu riwayat menyebutkan, bahwa Nabi saw. mengirim beberapa orang Mekkah untuk mencari berita tentang mereka. Di tengah perjalanan, kaum Muslimin yang berjumlah enam atau sepuluh orang itu di serang oleh musuh dari Bani Lihyan sejumlah 200 orang. Melihat musuh demikian banyak, mereka lari ke arah bukit Fadfad. Kaum kafir itu berkata, "Kami tidak ingin menumpahkan darah kalian, kami hanya ingin menukar kalian dengan harta penduduk Mekkah. Kemarilah, kami tidak akan membunuh kalian!" "Kami tidak mempercayai janji orang kafir," sahut para sahabat sambil melepaskan anak-anak panah mereka dan mulailah pertempuran terjadi. Ketika anak panah telah habis, maka mereka menyerang dengan lembing. Ashim ra. berkata menyemangati kawan-kawannya, "Mereka telah menipu kita. Jangan panik. Yakinlah, bahwa syahid adalah ghanimah. Allah kekasih kita bersama-sama kita dan para bidadari surga sedang menunggu kita." Sambil berkata demikian, ia menyerang musuh dengan gagah berani, sampai lembingnya patah. Lalu ia gunakan pedangnya, namun musuh sangat banyak, sehingga ia gugur sebagai syahid. Di akhir hayatnya, beliau berdo'a, "Ya Allah, sampaikanlah berita kami kepada Rasulullah saw.." Dan do'a ini langsung dikabulkan oleh Allah swt.. Ketika itu juga Nabi saw. mengetahui kejadian tersebut. Dan ketika Ashim ra. mengetahui bahwa Sulafah berniat akan meminum darah dari tengkoraknya, maka ia berdo'a," Ya Allah, telah kukorbankan kepalaku di jalan-Mu, maka, selamatkanlah kepalaku." Allah menunaikan doa Ashim ra.. Ketika kaum kafir berniat akan memenggal kepalanya, Allah swt. mengirimkan sekumpulan lebah untuk melindungi mayat Ashim ra. dari berbagai arah, sehingga musuh gagal memenggal kepalanya. Akhirnya, mereka membiarkan mayat Ashim ketika itu, dan mayat itu akan diambil pada malam hari, jika lebah-lebah sudah tiada. Tetapi, pada malam itu turun hujan lebat, sehingga banjir telah menghanyutkan mayat Ashim ra..

Sementara itu, Tujuh atau tiga orang Muslimin telah syahid, yang tinggal adalah Khubaib, Zaid bin Datsanah, dan Abdullah bin Thariq ra.. Mereka bertiga tetap bertahan di atas bukit. Kafirin itu terus membujuk mereka, "Turunlah kemari, kami tidak akan ingkar janji." Akhirnya, mereka mempercayai janji musuh itu. Mereka turun dari bukit, dan seketika itu juga mereka diserang oleh musuh kafir. Abdullah bin Thariq ra. berteriak, "Kalian mengingkari janji. Aku tidak akan pernah mempercayai kalian-lagi. Aku lebih menyukai mati syahid bersama teman-temanku. Musuh memaksanya berjalan, tetapi ia tidak bergerak. Akhirnya, mereka menjadikannya syahid.

Tinggallah dua sahabat yang tersisa. Keduanya dibawa ke Mekkah dan dijual sebagai budak Zaid bin Datsanah ra. telah dibeli oleh Sofwan bin Umayah seharga lima puluh ekor unta, sebagai balas dendam atas kematian ayahnya. Sedangkan, Khubaib ra. telah dibeli oleh Hujair bin Abu Ahab seharga 100 ekor unta, untuk balas dendam atas kematian ayahnya. Dalam Bukhari diriwayatkan, ia telah dibeli oleh anak-anak Harits bin Amir karena ia telah membunuh Harits dalam perang Badar.

Zaid langsung dibawa Sofwan ke luar tanah Haram, dan ia serahkan Zaid ra. kepada budaknya, sambil berkata, "Bunuhlah ia." Dan ia sendiri hanya menyaksikan saja bersama orang-orang yang berkumpul menyaksikan pembunuhan tersebut, termasuk Abu Sofyan. Ketika algojo siap membunuh Zaid ra., Abu Sofyan bertanya, "Hai Zaid, Demi Tuhan, aku bertanya kepadamu, apakah kamu suka jika lehermu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad saw. dan kamu dibebaskan dapat berkumpul dengan keluargamu?" Zaid ra. menjawab, "Demi Allah! Sedikit pun aku tidak akan rela jika ada duri kecil menusuk kaki Nabi saw., walaupun aku dapat bersenang-senang dengan keluargaku." Jawaban ini menakjubkan kaum Quraisy. Abu Sufyan berkata, "Aku belum pernah melihat kasih sayang yang demikian tinggi seperti kasih sayang para sahabat ra. kepada Nabi saw.." Setelah itu Zaid dipenggal hingga syahid.

Sedangkan, Khubaib ra. ditawan oleh Hujair beberapa hari. Seorang budak perempuan Hujair, yang di kemudian hari memeluk Islam berkata, "Ketika Khubaib ditahan oleh kami, kami pernah melihatnya sedang memakan anggur sebesar kepala manusia. Padahal, ketika itu di Mekkah tidak ada anggur, sama sekali." Ia bercerita, ketika hari kematian Khubaib ra. telah dekat, ia telah meminta pisau cukur untuk membersihkan kumisnya. Permintaannya itu dipenuhi. Diberikan sebuah gunting kepadanya. Kebetulan ada seorang anak kecil bermain-main di dekatnya. Semua penghuni rumah itu langsung ketakutan, karena di tangan Khubaib ra. ada sebuah gunting dan anak itu berada di dekatnya. Khubaib ra. berkata, "Kalian tidak paham, apakah kalian pikir aku sanggup membunuh anak kecil yang tidak berdosa? Aku tidak mungkin melakukannya." Kemudian ia dibawa keluar tanah Haram. Sebelum dilaksanakan hukuman mati atasnya, ia ditanya, "Jika kamu menginginkan sesuatu sebutkanlah." Jawabnya, "Ijinkan aku shalat dua rakaat, karena tidak lama lagi aku akan meninggalkan dunia fana ini dan akan menemui Allah swt." Permintaannya itu dikabulkan. Ia laksanakan shalat dua raka'at dengan tenang. Setelah selesai, ia berkata, "Seandainya aku tidak khawatir, kalian menyangka aku takut mati sehingga shalatku ini lama, niscaya aku akan menambah lagi shalat dua raka'at." Dia pun diikat, lalu dia berdo'a, "Ya Allah, adakah seseorang yang akan menyampaikan salamku yang terakhir kepada Rasulullah saw.?" Ternyata, salamnya itu telah sampai kepada Nabi saw. melalui wahyu Allah swt.. Nabi saw. menjawab, "Waalaikum salam ya Khubaib." Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya, "Khubaib telah mati syahid di tangan kaum Quraisy."

Pembunuhan Khubaib ra. dilakukan oleh empat puluh orang Quraisy yang menikam dengan lembing dari empat arah, sehingga badannya hancur. Diantara mereka ada yang berkata, "Katakan, apakah kamu suka jika Muhammad saw. menggantikan tempatmu pada saat ini, dan kamu kami bebaskan?" Jawab Khubaib ra., "Demi Allah yang Maha Agung, aku tidak suka nyawaku ini ditebus dengan penderitaan Nabi saw. walaupun hanya duri kecil yang menancap di badan Rasulullah saw.."


Faedah:

Setiap lafadz dalam kisah-kisah di atas mengandung pelajaran bagi kita. Namun, ada dua pelajaran istimewa dalam kisah di atas. Pertama, para sahabat sangat mencintai Nabi saw. melebihi kecintaan pada diri mereka sendiri. Mereka bersumpah lebih rela kehilangan nyawa mereka daripada harus melihat Rasulullah saw. menderita, walaupun sepele. Walau pun hanya ucapan Khubaib ra. namun ia sangat tidak rela jika penderitaannya itu digantikan oleh Rasulullah saw.. Memang orang-orang kafir senantiasa menyakiti Nabi saw.. Kedua, Bagaimana keagungan dan kecintaan mereka pada shalat.

Biasanya, jika seseorang akan meninggal dunia, maka yang diingat adalah istri, anak, dan keluarganya. Sedangkan para sahabat, selain ingin mendirikan shalat pada saat-saat terakhir, mereka juga ingin memberi salam kepada Rasulullah saw.

KISAH SEORANG SAHABAT MEMADAMKAN LAMPU UNTUK MENJAMU TETAMUNYA

Seorang sahabat ra. menjumpai Nabi saw. dan mengadukan kelaparan dan penderitaannya kepada beliau saw.. Lalu Nabi saw. menyuruh seseorang untuk bertanya kepada istri-istri beliau, apakah di rumah ada sisa makanan atau tidak. Ternyata, tidak ada. Lalu Nabi saw. bertanya kepada para sahabatnya, "Adakah diantara kalian yang bersedia satu malam ini melayani tamu ini?" Seorang Anshar menyahut, "Ya Rasulullah, saya bersedia menerimanya sebagai tamu saya." Sahabat Anshar itu membawa pulang tamu tadi ke rumahnya, dan berkata kepada istrinya, "Ia adalah tamu Rasulullah saw.. Jangan sampai kita mengecewakannya dan jangan sampai kita menyembunyikan makanan kita." Jawab istrinya, "Demi Allah! Saya tidak menyimpan makanan kecuali sedikit, itupun hanya cukup untuk anak-anak kita." Jawab suaminya, "Hibur dulu anak-anak kita sampai mereka tidur. Jika sudah tidur, hidangkanlah makanan itu untuk tamu kita. Saya akan mengobrol dengannya. Jika kami akan mulai makan, padamkanlah lampu itu, sambil berpura-pura hendak membetulkannya kembali." Istrinya melaksanakan hal tersebut dengan baik. Malam itu, suami istri, juga anak-anaknya, terpaksa menahan lapar. Dan atas peristiwa ini, Allah swt. berfirman,


"Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. "(Al Hasyr: 9)


Dan masih banyak lagi kisah para sahabat ra. seperti kisah di atas.

KISAH SAHABAT MEMBAYAR ZAKAT UNTA

Ubay bin Kaab ra. bercerita, "Suatu ketika, Rasulullah saw. menyuruhku untuk mengumpulkan zakat mal. Saya menjumpai seseorang, yang setelah ia jelaskan hartanya, ternyata ia wajib membayar zakat seekor anak unta berusia setahun. Saya pun menagih pembayaran tersebut. Dia berkata, "Apa gunanya seekor anak unta berusia setahun? Ia tidak dapat menyusui atau ditunggangi." Lalu, ia membawa seekor unta betina dewasa, dan berkata, "Ambillah unta ini." Sahut saya, "Saya tidak dapat menerima unta yang melebihi kadarnya. Namun, jika kamu bersikeras ingin memberikannya, kebetulan Nabi saw. akan mengunjungi suatu daerah di dekat sini hari ini. Sampaikanlah tawaranmu ini kepada beliau. Jika beliau tidak keberatan, saya tidak menolaknya. Sebaliknya, jika beliau keberatan, saya pun menolak."


Kemudian orang itu membawa unta betinanya kepada Nabi saw. bersama saya. Sesampainya di hadapan Nabi saw., ia berkata, "Ya Rasulullah! Utusanmu telah datang menemuiku untuk memungut zakat dariku. Demi Allah! Sebelumnya aku belum pernah memperoleh kesempatan yang sangat berbahagia ini, yaitu menunaikan zakat kepada Rasulullah ataupun wakilnya. Oleh karena itu, aku telah memberitahukan kepada wakilmu segala apa yang kumiliki. Setelah dihitung olehnya, ia telah memutuskan bahwa aku wajib memberikan seekor anak unta berusia setahun. Ya Rasulullah! Anak unta seumur itu belum dapat mengeluarkan susu atau memikul barang. Aku ingin menggantinya dengan seekor unta betina dewasa, tetapi ia tidak mau menerimanya. Untuk itulah, aku menemui tuan dengan membawa unta betina ini." Nabi saw. bersabda, "Memang benar, hanya itu saja yang wajib kamu keluarkan. Jika kamu sanggup memberi lebih dari kewajibanmu, itu pun akan diterima. Semoga Allah membalas kebaikanmu." Orang itu pun menyerahkan unta betinanya kepada Nabi saw. dan beliau menerimanya serta mendoakan keberkahan untuk orang itu."


Faedah:

Demikianlah contoh sahabat ra. menunaikan zakat harta mereka. Hari ini banyak yang mengaku sebagai pengikut dan pecinta Nabi saw.. Namun, jangankan menambah nilai zakat wajib kita, menunaikannya dengan kadar yang betul pun masih sangat sulit. Sebagian besar orang yang mampu hartanya, tidak memahami hal ini. Sedangkan kalangan menengah, memahami bahwa mereka adalah orang yang beragama. Zakat mereka, hanya ditunaikan untuk sanak saudara serta kaum kerabat saja. Kecuali jika terdesak, maka akan diberikan ke tempat lain. Dengan niat sebatas berzakat.

KISAH PERLUMBAAN BERSEDEKAH ANTARA SAIDINA ABU BAKAR & SAIDINA UMAR RA

Umar ra. berkata, "Suatu ketika Rasulullah saw. menyuruh kami agar berinfak di jalan Allah. Kebetulan, ketika itu ada sedikit harta pada saya, maka saya berkata dalam hati, 'Saat ini saya ada harta, saya akan korbankan harta saya melebihi pengorbanan Abu Bakar ra..' Saya pun pulang ke rumah dengan gembira. Lalu, saya membagi dua seluruh harta di rumah saya. Setengahnya saya tinggalkan untuk keluarga, dan setengahnya lagi saya serahkan kepada Nabi saw.. Beliau bertanya, "Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?" Jawab saya, "Ada, ya Rasulullah." Beliau saw. bertanya lagi, "Apa yang kamu tinggalkan?" Jawab saya, "Saya tinggalkan untuk mereka setengah hartaku." Lalu, datanglah Abu Bakar ra. dengan membawa seluruh hartanya.


Nabi saw. bertanya kepadanya, "Wahai Abu Bakar, apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?" Sahut beliau, "Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya." (maksudnya; Saya tinggalkan mereka dengan keberkahan dari Allah swt. dan Rasul-Nya, juga dengan ridha serta kerelaan keduanya). Melihat hal ini, Umar ra. berkata, "Aku tidak akan pernah dapat mengalahkan Abu Bakar ra.."


Faedah:

Berlomba-lomba dalam amal shaleh dan kebaikan satu sama lain, adalah sangat baik dan disukai. Al-Qu'an pun telah menganjurkannya. Kisah di atas terjadi menjelang perang Tabuk. Saat itu Rasulullah saw. memberi anjuran khusus untuk bersedekah. Dan para sahabat ra. dengan kemampuan masing-masing telah mengorbankan harta mereka fi sabilillah dengan penuh gairah dan semangat, sebagaimana dalam kisah kesembilan bab II. Semoga Allah swt. membalas kebaikan mereka, kita, dan seluruh kaum Muslimin.

KISAH PARA SAHABAT RA YANG SYAHID KEHAUSAN

Abu Jahm bin Hudzaifah ra. berkata, "Ketika berlangsung perang Yarmuk, saya mencari keponakan saya yang menyertai pertempuran itu. Saya membawa sebuah kendi berisi air. Mungkin ia kehausan. Ketika saya menjumpainya dan akan memberinya minuman yang saya bawa, tiba-tiba terdengar suara rintihan seseorang. Keponakan saya menyuruh saya dengan isyarat, agar memberikan minuman itu kepada orang yang merintih itu.

Ternyata, orang itu adalah Hisyam bin Abil Ash ra.. Ketika saya mendatanginya, ternyata di dekatnya pun ada seseorang yang kehausan meminta air. Hisyam memberi saya isyarat agar saya mendekati orang itu. Ketika saya mendekatinya, ternyata ia telah meninggal dunia. Akhirnya, saya membawa kembali air itu kepada Hisyam ra., ternyata Hisyam ra. pun telah meninggal dunia. Saya langsung ke tempat keponakan saya tadi, rupanya ia pun telah meninggal dunia. 'Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun'. (Diroyah)


Faedah:

Sangat banyak kisah-kisah mengenai sifat itsar para sahabat yang tertulis dalam kitab-kitab hadits. Walaupun, saudaranya sendiri sedang kehausan, ia tetap mendahulukan kepentingan orang lain, yang juga dalam kesulitan. Ia tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan saudaranya yang kedua, dan yang kedua pun memikirkan saudaranya yang ketiga, sehingga ketiga-tiganya meninggal dunia.

Allah swt. tentu akan melimpahkan kasih sayang dan kemuliaan bagi mereka, karena mereka mampu mencurahkan kasih sayang mereka, dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri.

KISAH KAIN KAFAN SAIDINA HAMZAH RA

Bapa Saudara Nabi saw., iaitu Saidina Hamzah ra. telah syahid pada perang Uhud. Orang-orang kafir  telah memotong telinga, hidung, dan anggota-anggota tubuh Hamzah ra.. Dadanya dirobek dan hatinya dikeluarkan dengan sangat zhalim. Setelah pertempuran selesai, Nabi saw. bersama para sahabat ra. mencari para syuhada dalam pertempuran itu dan menyiapkan kain-kain kafan untuk mereka. Nabi saw. sangat bersedih ketika melihat keadaan mayat Hamzah ra.. Lalu, dengan sehelai kafan ditutupilah mayat Hamzah ra..


Kemudian, datanglah saudari Hamzah ra.; Shafiyah r.ha.. Melihat mayat saudaranya yang telah rusak, sebagai seorang wanita, hatinya kurang tabah melihat kezhaliman tersebut. Sebab itu, Rasulullah saw. segera menyuruh Zubair ra., putra Shafiyah ra. agar melarang ibunya mendekati mayat Hamzah ra.. Zubair ra. pun melarang ibunya agar tidak mendekati jenazah. Ibunya berkata, "Saya sudah mengetahui keadaan saudara saya, yang syahid dengan hidung, telinga dan anggota-anggota tubuhnya yang terpotong-potong. Karena ia sedang berjuang di jalan Allah, maka hal itu bukanlah masalah. Saya rela. Saya hanya mengharap pahala dari Allah swt., dan hry" Allah saya dapat bersabar." Lalu Zubair ra. menyampaikan hal itu kepada Nabi saw.. Mendengar itu, Shafiyah r.ha. diijinkan menengok kakaknya. Lalu Shafiyah r.ha. mendatangi mayat saudaranya itu, ia membaca, "Inna lillahi wa inna ilaihi ra ji'un." dan memohonkan istighfar baginya kepada Allah swt..


Dalam riwayat lain diceritakan; Ketika berlangsung perang Uhud, banyak bertebaran mayat para syuhada. Lalu ada seorang wanita yang melihat ke sana. Rasulullah saw. segera bersabda, "Lihat, cegahlah wanita itu." Zubair ra. bercerita, "Saya mengenalinya. Ternyata ia ibuku. Saya segera melarangnya, tetapi ia menolak keras, sehingga saya jatuh terpukul ibuku." Ibuku berkata, "Minggirlah." Kata saya, "Rasulullah saw. telah melarangmu." Ibuku langsung berhenti. Ia tidak jadi melihat mayat saudaranya. Lalu ia mengeluarkan dua helai kain kafan, seraya berkata, "Saya datang dengan membawa kain kafan untuk saudara saya. Saya telah mendengar kabar kematiannya, maka kafanilah ia dengan kain ini." Kami mengambil kain kafan tersebut dan bersiap mengkafani mayat Hamzah ra.. Ternyata di sisi mayat Hamzah ra., ada mayat seorang Anshar, yaitu Suhail yang keadaannya sama dengan Hamzah ra.. Kami merasa tidak enak hati, jika Hamzah ra. mendapatkan dua kain kafan sedangkan Suhail tidak mendapatkan kafan sehelai pun.


Akhirnya kami membagi dua kain kafan itu. Sehelai berukuran besar dan lainnya kecil. Kami pun mengundinya. Dan hasilnya, Suhail mendapatkan kain kafan panjang, sedangkan Hamzah mendapatkan kain pendek. Yang jika ditutupkan ke kakinya kepalanya akan terbuka. Dan jika ditutupkan ke kepalanya kakinya terbuka. Akhirnya Nabi saw. menyuruh agar kepalanya ditutup kain, dan kakinya ditutupi dedaunan. (Khamis)

Ibnu Sa'ad ra. menceritakan dalam riwayat lain; bahwa ketika Shafiyah r.ha. datang membawa dua helai kafan untuk mengkafani Hamzah ra. Ternyata di dekatnya ada mayat seorang Anshar dalam keadaan sama. Maka kain yang besar tadi diberikan kepada Hamzah ra.. Ini adalah riwayat yang singkat, sedangkan riwayat Khamis lebih terperinci.


Faedah:

Demikianlah kisah pengkafanan paman Rasulullah saw., raj a dua alam. Ketika pamannya syahid, dan ada seorang wanita yang membawakan kain kafan untuknya, tetapi karena ada mayat seorang Anshar tergeletak di sisinya tanpa kafan, maka beliau merasa tidak enak, sehingga kain itu dibagi menjadi dua. Bahkan pamannya mendapatkan bagian yang lebih pendek daripada orang Anshar itu. Padahal pamannya lebih berhak atas kain itu, namun rasa persamaan lebih diutamakan.

Orang-orang yang mendakwahkan persamaan, jika dakwaan mereka benar, maka seharusnya mereka mengikuti contoh di atas. Dan seharusnya kita merasa malu atas tingkah laku dan ucapan kita. Yang mengaku pengikut Nabi, tapi tidak mengikuti teladan mereka.

KISAH KEPALA KAMBING

Ibnu Umar ra. bercerita; Ada seorang sahabat ra. memberi kepala kambing kepada sahabatnya. Sahabat yang menerima itu berfikir, "Nampaknya, kawanku si fulan lebih memerlukan ini daripada saya." maka, dia berikan kepala kambing itu kepada jirannya. Dan jirannya itu pun berfikir sama yang jirannya yang sebelah lebih memerlukan lagi, maka kepala kambing itu diberikan ke rumah sebelahnya. Demikianlah fikiran setiap sahabat yang mendapat kepala kambing itu, sehingga kepala kambing itu telah berkeliling ke tujuh rumah sampai akhirnya kembali ke rumah sahabat yang pertama. (Durr Mantsur).


Faedah:

Dari kisah ini, dapat kita ketahui bahwa semua sahabat itu memerlukannya. Dan dapat diketahui pula, bahwa mereka lebih mementingkan keperluan orang lain daripada keperluannya sendiri.

KISAH ISTERI SAIDINA UMAR RA YANG MENOLONG WANITA MELAHIRKAN ANAK

Ketika Amirul Mukminin, Umar ra. menjadi khalifah, pada malam hari ia sering berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjaga kotanya. Suatu saat, ketika sedang meronda, ia melihat di sebuah tanah lapang ada sebuah kemah dari kulit yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ketika didekati, ia jumpai seorang lelaki sedang duduk di depan kemah, dan terdengar suara rintihan seseorang dari dalam kemah. Setelah memberi salam, Umar ra. duduk di dekat lelaki tadi sambil bertanya, "Siapakah kalian?" Jawab lelaki itu, "Kami adalah rombongan musafir yang tinggal di hutan." Lalu Umar ra. berkata, "Jika ada suatu keperluan, saya bersedia membantu Anda." Lanjut beliau, "Mengapa ada suara rintihan dari dalam?" Lelaki itu menjawab, "Silakan pergi, dan urus saja pekerjaanmu sendiri!" Setengah memaksa, Umar ra. tetap bertanya, "Mengapa seperti ada suara orang kesakitan?" Lelaki itu ter-paksa menjawab bahwa istrinya hampir melahirkan, sedang kesakitan. Tanya Umar ra., "Apakah ada wanita lain yang membantunya?" Jawab lelaki itu, "Tidak ada." Maka, Umar ra. segera kembali ke rumahnya, dan berkata kepada istrinya, Ummi Kultsum r.ha., "Ada pekerjaan berpahala besar datang untukmu." Istrinya bertanya, "Pekerjaan apa?" Kata Umar ra., "Ada istri seorang penduduk kampung sedang kesakitan karena hampir melahirkan, tanpa ada yang membantunya." Istrinya langsung menjawab, "Ya, untuk suatu kebaikan saya selalu siap." Bagaimana tidak bersedia, sedangkan ia adalah anak Fatimah r.ha. (cucu Rasulullah saw.).


Lalu Umar ra. menyuruhnya agar segera mempersiapkan keperluan melahirkan, seperti minyak, ketel, dan lain-lainnya. Juga dibawa serta mentega, gandum dan sebuah panci, lalu mereka pergi. Umar ra. berjalan di belakang. Setibanya di sana, Ummi Kultsum r.ha. segera masuk ke dalam kemah. Sedangkan Umar ra. langsung menyalakan tungku, memasukkan biji-biji gandum ke dalam panci. Setelah persalinan selesai, dari dalam Ummi Kultsum r.ha. berteriak, "Wahai Amirul Mukminin!, saudaramu telah dikarunia kegembiraan dengan kelahiran anak lelaki." Ketika kata 'Amirul Mukminin' terdengar oleh lelaki pemilik kemah itu, ia langsung gemetar. Umar ra. berkata, "Tidak perlu khawatir." Lalu panci masakan tadi dimasukkan ke dalam kemah. Ummi Kultsum r.ha. memberi makan kepada ibu yang baru melahirkan tadi. Setelah itu, panci dikeluarkan. Umar ra. berkata kepada lelaki itu," Ambillah, kamu pun mesti makan, karena malam ini kamu akan berjaga semalaman." Setelah semuanya selesai, Umar ra. dan istrinya pulang ke rumah. Sebelum pulang, Umar berkata kepada lelaki tadi, "Datanglah kepadaku esok, ada sesuatu yang akan saya berikanuntukmu." (Asyhar)


Faedah:

Adakah seorang raja, pemimpin atau orang kaya di jaman ini, yang peduli tentang keperluan orang miskin yang sepele, apalagi bersedia mengajak istrinya pada malam hari memasuki hutan atau perkampungan membantu orang-orang miskin, apalagi dengan tangannya sendiri mau memasakkan makanan untuk mereka. Jangankan orang kaya, ahli agama pun sangat sulit ditemui.

Inilah yang harus kita renungkan. Kita mengaku pengikut mereka. Kita berharap, semoga dengan berkah kisah tersebut, dapat mendorong kita untuk mengamalkannya. Mudah-mudahan, jika kita menemukan seperti keadaan di atas, kita siap melaksanakannya.

KISAH SAIDINA ABU DZAR 

Abu Dzar Al-Ghifari ra. adalah seorang sahabat yang masyhur, dan termasuk ahli zuhud. Kisah ke-Islamannya telah diceritakan dalam Bab I kisah ke-5. Ia tidak pemah mengumpulkan harta, juga tidak menyukai orang yang menumpuk harta. Ia sering mengecam para hartawan. Sehingga, khalifah Utsman ra. menyuruhnya agar menyendiri di Rabzah, yaitu suatu hutan yang sangat sedikit penduduknya.


Abu Dzar ra. memiliki beberapa ekor unta yang digembalakan oleh seorang lelaki tua dan lemah. Suatu ketika, ada seorang lelaki Banu Salim yang datang kepadanya dan menyampaikan keinginannya, "Saya ingin berkhidmat kepadamu, sehingga dapat mengambil manfaat dan pelajaran darimu. Saya siap menggembalakan unta-untamu, agar saya dapat mengambil berkah darimu." Abu Dzar ra. menjawab, "Kawanku adalah yang mau mentaatiku. Jika kamu bersedia mentaatiku, maka tinggallah bersamaku. Jika kamu tidak mendengar ucapanku, maka aku tidak memerlukanmu." Lelaki Banu Salim tadi bertanya, "Ketaatan manakah yang engkau maksud?" Beliau berkata, "Jika aku menyuruhmu untuk menyedekahkan hartaku, maka hendaknya kamu langsung memilih hartaku yang paling baik." Jawab pemuda itu, "Saya siap menerimanya." Maka, tinggallah pemuda itu bersama beliau.


Suatu hari, ada seseorang memberitahu bahwa ada beberapa orang yang sangat kelaparan dan kehausan. Beliau pun menyuruhku, "Ambilkan seekor unta." Selanjutnya, saya pergi melihat unta yang terbaik. Ternyata, ada seekor unta yang sangat bagus, harganya mahal, dan sangat menurut jika ditunggangi. Sesuai dengan janji saya untuk memilihkan pemberian yang terbaik, maka saya membawa unta tadi kepadanya. Namun, hati saya berpikir; unta ini terlalu bagus untuk diberikan kepada orang-orang miskin itu. Segera saya mengembalikan unta itu, dan saya ambil seekor unta betina yang derajatnya di bawah unta tadi. Lalu saya menghadapnya. Setelah melihat unta yang saya bawa, beliau berkata kepadaku, "Kamu telah mengkhianatiku!" Saya memahami maksudnya, maka saya segera kembali dan mengambil unta yang terbaik tadi. Kemudian beliau bertanya kepada orang-orang di sampingnya, "Apakah ada dua orang diantara kalian yang siap bekerja karena Allah?" Dua orang berdiri siap. Abu Dzar ra. berkata kepada mereka, "Sembelihlah unta ini, dan potong-potonglah, lalu bagikan ke setiap rumah! Rumah Abu Dzar ra. termasuk dalam hitungan yang memerlukan, dengan bagian yang sama dengan yang lain." Setelah memberi petunjuk pembagian daging tersebut, beliau memanggil saya, "Saya telah menyuruhmu agar memilih benda yang terbaik untuk disedekahkan, lalu kamu sengaja atau karena lalai telah mengingkarinya. Jika kamu lupa, tidak mengapa." Jawab saya, "Sebenarnya, saya tidak lupa. Mula-mula, saya telah memilih unta yang terbaik tadi, namun hati saya berkata bahwa unta itu paling bagus dalam kerja, dan sangat diperlukan, sedangkan unta-unta yang lain masih banyak. Engkau pun masih memerlukannya. Karena itulah saya tinggalkan unta itu." Beliau berkata, "Engkau justr tidak memenuhi keperluanku." Saya menjawab, "Saya telah memenuhi keperluanmu." Beliau menyahut, "Apakah kamu ingin tahu apa itu keperluanku? Keperluanku adalah pada hari di mana aku akan diletakkan di dalam kubur sendirian. Hari itulah hari keperluan dan kepentinganku yang sebenarnya. Harta itu ada tiga bagian; Yang pertama, adalah yang sudah ditakdirkan pasti akan dibawa, yang baik atau buruk. Kedua, adalah harta warisan yang akan dibagi-bagikan. Jika kamu mati, maka orang lain akan memilikinya. Dan ketiga adalah harta untuk dirimu sendiri, yaitu amal shaleh. Jika dapat, usahakanlah kita dapatkan ketiganya. Tetapi, setidaknya kita berusaha sekuat tenaga untuk mendapatlzan harta yang ketiga, karena itulah harta yang ucimanfaat bagi kita di hadapan Allah swt.. Allah swt. berfirman;


"Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang paling kamu cintai. "(Ali Imran: 92)


Oleh sebab itu, saya menginfakkan harta yang paling saya sukai, sehingga akan menjadi tabungan saya di akherat. Dan itulah yang sedang saya kumpulkan.


Faedah:

Maksud 'harta yang paling bermanfaat diantara tiga bagian' adalah; Usahakan semampu kita untuk menyimpan harta kita di akherat. Jangan sampai keterlaluan mengumpulkan harta sehingga akan sia-sia, atau ketika meninggal dunia, harta itu akan berpindah ke tangan orang lain, dimana kitalah yang kelak akan ditanya. Dalam beberapa hari, anak, keluarga, istri akan melupakan kepergian pemilik harta. Sangat sedikit ahli waris orang yang meninggal dunia, menyedekahkan hartanya lalu menghadiahkan pahalanya bagi si mayit dan mengingatnya. Rasulullah saw. bersabda, "Orang selalu mengatakan, "Hartaku, hartaku." Padahal hartanya hanyalah yang telah ia makan, yang telah ia pakai, yang telah ia usangkan, yang telah dihabiskan olehnya, yang telah dirusak ataupun yang telah dibelanjakan di jalan Allah swt.. Dan harta yang telah ia kumpulkan selain digunakan untuk tadi, sebenarnya telah ia kumpulkan untuk orang lain."

Nabi saw. bersabda, "Siapakah diantara kalian yang menjadikan harta waris itu lebih baik daripada hartanya?" Sahut para sahabat ra., "Ya Rasulullah saw., siapakah yang lebih menyukai harta orang lain daripada hartanya sendiri?" Jawab Beliau saw., "Harta miliknya ialah harta yang telah ia infakkan, dan yang kamu tinggalkan adalah milik ahli warismu." (Misykat)

KISAH SAIDINA JA'FAR RA

Ja'far Thayyar ra. adalah sepupu Rasulullah saw., abang kandung Ali ra.. Pada mulanya, keluarganya terkenal sebagai keluarga yang sangat dermawan, pemberani, dan pahlawan di kalangan Quraisy. Namun Ja'far ra., mempunyai pergaulan khusus dengan orang-orang miskin. Ia banyak bergaul dengan orang-orang miskin.

Disebabkan kezhaliman kafir Quraisy, kaum Muslimin berhijrah pertama kaliny a ke Habsy ah. Dan Ja'far ra. ikut rombongan itu. Namun kaum kafir Quraisy tidak membiarkan kaum Muslimin begitu saja.


Mereka mengirim beberapa orang Quraisy, menghadap ke raja Najasyi, yang kisahnya telah diceritakan dalam Bab I, kisah ke-10 yang lalu. Setelah hijrah ke Habsyah, Ja'far pulang dan berhijrah ke Madinah, dan syahid dalam perang Mu'tah, yang kisahnya akan dikisahkan pada lembaran mendatang.


Ketika ia wafat, Rasulullah saw. menziarahi keluarganya dan memanggil anak-anaknya, yaitu; Abdulllah, Aun, dan Muhammad ra.. mereka masih kecil-kecil. Rambut mereka dibelai dan dido'akan keberkahan oleh Nabi saw.. Anak-anaknya memiliki warna sifat yang sama seperti ayahnya. Namun sifat kedermawanan Abdullah ra. lebih menonjol.. Sehingga, ia digelari 'Qutubus Sakho' ketua para dermawan. Pada usia tujuh tahunia telah dibaiat oleh Rasulullah saw..


Suatu ketika, Abdullah bin Ja'far ra. meminta perlindungan bagi seseorang kepada Ali ra., dan Ali ra. mengabulkannya. Setelah orang itu bebas, maka sebagai tanda terima kasihnya, ia memberi 40.000 dirham kepada Abdullah bin Ja'far ra.. Namun Abdullah menolaknya, sambil berkata, "Kami tidak menjual kebaikan kami." Dan juga pernah, ada seseorang datang di majelisnya dan memberinya hadiah 2000 dirham. Langsung ia bagikan uang tersebut kepada ahli majelis itu sampai habis. Pada kesempatan lain, ada seorang pedagang menjual gula dalam jumlah banyak di pasar. Tetapi tiada seorang pun yang membelinya. Ia sangat bersedih. Lalu lewatlah Abdullah bin Ja'far ra.. Melihat keadaannya, Abdullah menyuruh pelayannya agar membeli semua gula tadi dan membagi-bagikannya ke semua orang dengan cuma-cuma. Ia pun akan menjamu makan minum setiap kabilah atau tamu yang mengunjunginya, juga keperluannya, walaupun pada malam hari. (Al-Ishabah)


Suatu ketika, Zubair ra. menyertai suatu peperangan. Sebelum berangkat, ia berwasiat kepada anaknya, Abdullah bin Zubair ra., "Saya merasa, bahwa pada hari ini saya akan mati sy?' .id, maka kamu hendaknya melunasi utang-utang saya, dan selesaikan pekerjaan saya pada fulan dan fulan." Ia berwasiat demikian, dan syahid pada hari itu. Ketika Ibnu Zubair ra. menghitung seluruh utang ayahnya, ternyata berjumlah 2.200.000 dirham. Padahal sebenarnya beliau ini terkenal sifat amanahnya. Banyak orang menitipkan amanah kepada Zubair ra.. Tetapi Zubair ra. senantiasa berkata kepada orang yang menitipkan itu, "Saya ini bukan tempat penyimpanan amanah. Jadi titipan kalian akan saya anggap sebagai utang saya kepada kalian. Jika kalian memerlukannya, maka ambillah dari saya." Kemudian uang itu ia gunakan untuk bersedekah kepada fakir miskin.


Beliau berwasiat kepada Ibnu Zubair ra., "Jika kamu ada kesulitan, mintalah kepada tuan saya." Ibnu Zubair ra. merasa tidak paham, maka ia bertanya, "Siapakah tuanmu, ayah?" Dijawab, "Allah." Akhirnya, Ibnu Zubair ra. dapat melunasi utang-utangnya.


Abdullah bin Zubair ra. bercerita, "Jika ada kesulitan, maka saya akan berkata, "Wahai Tuannya Zubair! pekerjaan si fulan belum diselesaikan." Dan pekerjaan-pekerjaan tersebut menjadi mudah diselesaikan. Selanjutnya ia bercerita, "Suatu ketika, saya berkata kepada Abdullah bin Ja'far ra., "Dalam daftar utang ayahku, kamu berutang sejuta dirham kepada ayahku." Abdullah bin Ja'far ra. menjawab, "Jika demikian, ambillah bayarannya." Namun, setelah saya teliti kembali catatannya, ternyata saya telah melakukan kesalahan. Saya segera kembali ke Abdullah bin Ja'far ra.. Saya berkata, "Ternyata ada kesalahan dalam catatan saya." Abdullah bin Ja'far ra. menjawab, "Saya telah memaafkannya." Saya berkata, "Tidak, tidak cukup dengan memaafkan, saya mesti membayarnya." Abdullah bin Ja'far menjawab, "Jika demikian, bayarlah sesuai kemampuanmu." Saya katakan, "Ambillah sebidang tanah saya sebagai pembayarannya." Saat itu banyak tanah yang saya dapatkan dari rampasan perang. Abdullah bin Ja'far ra. berkata, "Bagus, saya menerimanya." Padahal saya telah memberinya tanah gersang. Bahkan, air pun tidak ada. Tetapi beliau langsung menerimanya dan berkata kepada budaknya, "Hamparkanlah sajadah di atas tanah ini." Setelah dihamparkan sajadahnya, ia shalat dua rakaat dengan sujud yang sangat lama. Selesai shalat, beliau menyuruh hambanya agar menggali sebuah tempat di atas tanah tersebut. Beberapa lama setelah hambanya menggali, terpancarlah sebuah mata air yang sangat deras dari tempat itu. (Asadul Ghobah)


Faedah:

Demikian perilaku para sahabat ra.. Dan masih banyak lagi kejadian seperti itu. Hal itu bukan suatu hal luar biasa bagi mereka. Sifat tersebut, secara umum dimiliki oleh seluruh sahabat ra..

KISAH KEADAAN KELAPARAN RASULULLAH SAW

Muslim dan Tarmidzi telah meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir ra. dia berkata: Bukankah kamu sekarang mewah dari makan dan minum, apa saja yang kamu mau kamu mendapatkannya? Aku pernah melihat Nabi kamu Muhammad SAW hanya mendapat korma yang buruk saja untuk mengisi perutnya!

Dalam riwayat Muslim pula dari An-Nu’man bin Basyir ra. katanya, bahwa pada suatu ketika Umar ra. menyebut apa yang dinikmati manusia sekarang dari dunia! Maka dia berkata, aku pernah melihat Rasulullah SAW seharian menanggung lapar, karena tidak ada makanan, kemudian tidak ada yang didapatinya pula selain dari korma yang buruk saja untuk mengisi perutnya.


Suatu riwayat yang diberitakan oleh Abu Nu’aim, Khatib, Ibnu Asakir dan Ibnun-Najjar dari Abu Hurairah ra. dia berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAW ketika dia sedang bersembahyang duduk, maka aku pun bertanya kepadanya: Ya Rasulullah! Mengapa aku melihatmu bersembahyang duduk, apakah engkau sakit? jawab beliau: Aku lapar, wahai Abu Hurairah! Mendengar jawaban beliau itu, aku terus menangis sedih melihatkan keadaan beliau itu. Beliau merasa kasihan melihat aku menangis, lalu berkata: Wahai Abu Hurairah! jangan menangis, karena beratnya penghisaban nanti di hari kiamat tidak akan menimpa orang yang hidupnya lapar di dunia jika dia menjaga dirinya di kehidupan dunia. (Kanzul Ummal 4:41)


Ahmad meriwayatkan dari Aisyah ra. dia berkata: Sekali peristiwa keluarga Abu Bakar ra. (yakni ayahnya) mengirim (sop) kaki kambing kepada kami malam hari, lalu aku tidak makan, tetapi Nabi SAW memakannya – ataupun katanya, beliau yang tidak makan, tetapi Aisyah makan, lalu Aisyah ra. berkata kepada orang yang berbicara dengannya: Ini karena tidak punya lampu. Dalam riwayat Thabarani dengan tambahan ini: Lalu orang bertanya: Hai Ummul Mukminin! Apakah ketika itu ada lampu? Jawab Aisyah: Jika kami ada minyak ketika itu, tentu kami utamakan untuk dimakan. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:155; Kanzul Ummal 5:155)


Abu Ya’la memberitakan pula dari Abu Hurairah ra. katanya: Ada kalanya sampai berbulan-bulan berlalu, namun di rumah-rumah Rasulullah SAW tidak ada satu hari pun yang berlampu, dan dapurnya pun tidak berasap. Jika ada minyak dipakainya untuk dijadikan makanan. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:154; Majma’uz Zawatid 10:325)


Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Urwah dari Aisyah ra. dia berkata: Demi Allah, hai anak saudaraku (Urwah anak Asma, saudara perempuan Aisyah), kami senantiasa memandang kepada anak bulan, bulan demi bulan, padahal di rumah-rumah Rasulullah SAW tidak pernah berasap. Berkata Urwah: Wahai bibiku, jadi apalah makanan kamu? Jawab Aisyah: Korma dan air sajalah, melainkan jika ada tetangga-tetangga Rasulullah SAW dari kaum Anshar yang membawakan buat kami makanan. Dan memanglah kadang-kadang mereka membawakan kami susu, maka kami minum susu itu sebagai makanan. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:155)


Ibnu Jarir meriwayatkan dari Aisyah ra. katanya: sering kali kita duduk sampai empat puluh hari, sedang di rumah kami tidak pernah punya lampu atau dapur kami berasap. Maka orang yang mendengar bertanya: Jadi apa makanan kamu untuk hidup? Jawab Aisyah: Korma dan air saja, itu pun jika dapat. (Kanzul Ummal 4:3


Tarmidzi memberitakan dari Masruq, katanya: Aku pernah datang menziarahi Aisyah ra. lalu dia minta dibawakan untukku makanan, kemudian dia mengeluh: Aku mengenangkan masa lamaku dahulu. Aku tidak pernah kenyang dan bila aku ingin menangis, aku menangis sepuas-puasnya! Tanya Masruq: Mengapa begitu, wahai Ummul Mukminin?! Aisyah menjawab: Aku teringat keadaan di mana Rasulullah SAW telah meninggalkan dunia ini! Demi Allah, tidak pernah beliau kenyang dari roti, atau daging dua kali sehari. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:14)


Dalam riwayat Ibnu Jarir lagi tersebut: Tidak pernah Rasulullah SAW kenyang dari roti gandum tiga hari berturut-turut sejak beliau datang di Madinah sehingga beliau meninggal dunia. Di lain lain versi: Tidak pernah kenyang keluarga Rasulullah SAW dari roti dua hari berturut-turut sehingga beliau wafat. Dalam versi lain lagi: Rasulullah SAW telah meninggal dunia, dan beliau tidak pernah kenyang dari korma dan air. (Kanzul Ummal 4:3)


Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Baihaqi telah berkata Aisyah ra.: Rasulullah SAW tidak pernah kenyang tiga hari berturut-turut, dan sebenarnya jika kita mau kita bisa kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain yang lapar dari dirinya sendiri. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:149)


Ibnu Abid-Dunia memberitakan dari Al-Hasan ra. secara mursal, katanya: Rasulullah SAW selalu membantu orang dengan tangannya sendiri, beliau menampal bajunya pun dengan tangannya sendiri, dan tidak pernah makan siang dan malam secara teratur selama tiga hari berturut-turut, sehingga beliau kembali ke rahmatullah. Bukhari meriwayatkan dari Anas ra. katanya: Tidak pernah Rasulullah SAW makan di atas piring, tidak pernah memakan roti yang halus hingga beliau meninggal dunia. Dalam riwayat lain: Tidak pernah melihat daging yang sedang dipanggang (maksudnya tidak pernah puas makan daging panggang). (At-Targhib Wat-Tarhib 5:153)


Tarmidzi memberitakan dari Ibnu Abbas ra. katanya: Rasulullah SAW sering tidur malam demi malam sedang keluarganya berbalik-balik di atas tempat tidur karena kelaparan, karena tidak makan malam. Dan makanan mereka biasanya dari roti syair yang kasar. Bukhari pula meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya: Pernah Rasulullah SAW mendatangi suatu kaum yang sedang makan daging bakar, mereka mengajak beliau makan sama, tetapi beliau menolak dan tidak makan. Dan Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW meninggal dunia, dan beliau belum pernah kenyang dari roti syair yang kasar keras itu. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:148 dan 151)


Pernah Fathimah binti Rasulullah SAW datang kepada Nabi SAW membawa sepotong roti syair yang kasar untuk dimakannya. Maka ujar beliau kepada Fathimah ra: Inilah makanan pertama yang dimakan ayahmu sejak tiga hari yang lalu! Dalam periwayatan Thabarani ada tambahan ini, yaitu: Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepada Fathimah: Apa itu yang engkau bawa, wahai Fathimah?! Fathimah menjawab: Aku membakar roti tadi, dan rasanya tidak termakan roti itu, sehingga aku bawakan untukmu satu potong darinya agar engkau memakannya dulu! (Majma’uz Zawa’id 10:312)


Ibnu Majah dan Baihaqi meriwayatkan pula dari Abu Hurairah ra. katanya: Sekali peristiwa ada orang yang membawa makanan panas kepada Rasulullah SAW maka beliau pun memakannya. Selesai makan, beliau mengucapkan: Alhamdulillah! Inilah makanan panas yang pertama memasuki perutku sejak beberapa hari yang lalu. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:149)


Bukhari meriwayatkan dari Sahel bin Sa’ad ra. dia berkata: Tidak pernah Rasulullah SAW melihat roti yang halus dari sejak beliau dibangkitkan menjadi Utusan Allah hingga beliau meninggal dunia. Ada orang bertanya: Apakah tidak ada pada zaman Nabi SAW ayak yang dapat mengayak tepung? Jawabnya: Rasulullah SAW tidak pernah melihat ayak tepung dari sejak beliau diutus menjadi Rasul sehingga beliau wafat. Tanya orang itu lagi: Jadi, bagaimana kamu memakan roti syair yang tidak diayak terlebih dahulu? Jawabnya: Mula-mula kami menumbuk gandum itu, kemudian kami meniupnya sehingga keluar kulit-kulitnya, dan yang mana tinggal itulah yang kami campurkan dengan air, lalu kami mengulinya. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:153)


Tarmidzi memberitakan daripada Abu Talhah ra. katanya: Sekali peristiwa kami datang mengadukan kelaparan kepada Rasulullah SAW lalu kami mengangkat kain kami, di mana padanya terikat batu demi batu pada perut kami. Maka Rasulullah SAW pun mengangkat kainnya, lalu kami lihat pada perutnya terikat dua batu demi dua batu. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:156)


Ibnu Abid Dunia memberitakan dari Ibnu Bujair ra. dan dia ini dari para sahabat Nabi SAW Ibnu Bujair berkata: Pernah Nabi SAW merasa terlalu lapar pada suatu hari, lalu beliau mengambil batu dan diikatkannya pada perutnya. Kemudian beliau bersabda: Betapa banyak orang yang memilih makanan yang halus-halus di dunia ini kelak dia akan menjadi lapar dan telanjang di hari kiamat! Dan betapa banyak lagi orang yang memuliakan dirinya di sini, kelak dia akan dihinakan di akhirat. Dan betapa banyak orang yang menghinakan dirinya di sini, kelak dia akan dimuliakan di akhirat.’


Bukhari dan Ibnu Abid Dunia meriwayatkan dari Aisyah ra. dia berkata: Bala yang pertama-tama sekali berlaku kepada ummat ini sesudah kepergian Nabi SAW ialah kekenyangan perut! Sebab apabila sesuatu kaum kenyang perutnya, gemuk badannya, lalu akan lemahlah hatinya dan akan merajalelalah syahwatnya!

(At-Targhib Wat-Tarhib 3:420).

KISAH KEADAAN RUMAH ISTER-ISTERI NABI MUHAMMAD SAW

Ketika rombongan keluarga Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. sampai di Madinah, ketika itu Rasulullah SAW sedang membangun masjid dan ruangan-ruangan di sekeliling masjid itu. Lalu Nabi SAW menempatkan mereka di sebuah rumah milik Haritsah bin Nu'man ra. Rasulullah SAW menyempurnakan pernikahannya dengan 'Aisyah di ruangan itu. Dan Rasulullah SAW pun dikuburkan di tempat yang sama. Haritsah bin Nu'man memiliki beberapa rumah di sekitar masjid Nabawi. Apabila Rasulullah SAW menikahi seseorang, maka Haritsah akan pindah dari rumahnya demi beliau, sehingga akhirnya semua rumahnya digunakan untuk Rasulullah SAW dan istri-istri beliau. Nabi SAW membuat pintu masuk ke masjid meialui pintu kamar 'Aisyah. Sehingga diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang beri'tikaf, beliau nienjengukkan kepalanya dari masjid lewat pintu 'Aisyah. lalu 'Aisyah mencuci kepala beliau sementara dia sedang haid.


Setelah perombakan demi perombakan, akhirnya rumah para istri Nabi SAW harus digusur pada masa Walid bin Abdul Malik. Abdullah bin Yazid berkata tentang kejadian penggusuran itu, "Aku melihat rumah-rumah istri Rasulullah SAW ketika dihancurkan oleh Umar bin Abdul Aziz pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik. Rumah-rumah itu disatukan dengan masjid. Rumah-rumah itu terbuat dari bata kering, dan ruangan-ruangannya dibuat dari batang pohon kurma yang disatukan dengan lumpur. Ada sembilan rumah dengan kamar-kamarnya. Rumah itu dimulai dari rumah 'Aisyah dengan pintu yang berhadapan dengan pintu kamar Rasulullah SAW, sampai rumah Asma' binti Hasan. Aku melihat rumah Ummu Salamah dan ruangan-ruangannya terbuat dari bata. Cucu laki-lakinya berkata, "Ketika Rasulullah SAW menyerang Dumatut jandal, Ummu Salamah membangun ruangan dengan bata. Ketika Rasulullah SAW datang dan melihat bata itu, beliau masuk menemui Ummu Salamah rha. dan bertanya, bangunan apa ini?' Dia menjawab, 'Ya Rasulullah SAW, aku ingin menghalangi pandangan orang'. Beliau SAW berkata, 'Wahai Ummu Salamah, hal terburuk bagi seorang Muslim dalam membelanjakan uangnya adalah untuk bangunan.'


Di antara makam dan mimbar, terdapat kamar-kamar istri Rasulullah SAW yang terbuat dari batang pohon kurma dengan pintu-pintunya yang ditutupi dengan kain wol hitam. Dan pada hari surat Walid bin Abdul Malik dibacakan, yang memerintahkan agar kamar, kamar istri-istri Rasulullah SAW tersebut disatukan dengan masjid Nabi, banyak orang yang menangis kehilangan. Sa'id bin Musayab rah.a. juga bercerita tentang hari itu, 'Demi Allah, aku berharap bahwa kamar-kamar itu dibiarkan sebagaimana adanya, sehingga orang-orang Madinah dan para pengunjung dari jauh bisa melihat seolah-olah Rasulullah SAW masih hidup. Hal itu termasuk bagian dari hal-hal yang akan memberi semangat kepada umat untuk menahan diri dari mencari dan menyibukkan diri atas sesuatu yang tidak berguna di dunia ini'.


lmran bin Abi Anas berkata, 'Di antara rumah-rumah itu ada empat buah rumah yang terbuat dari bata dengan kamar-kamar dari pohon kurma. Ada lima rumah dari batang pohon kurma dilapisi lumpur tanpa bata. Aku mengukur gordennya dan mendapati ukurannya tiga kali satu cubit, dan areanya itu sedemikian, lebih atau kurang. Sedangkan mengenai tangisan, aku bisa mengingat kembali diriku pada sebuah perkumpulan yang dihadiri sebagian sahabat Rasulullah SAW, termasuk Abu Salamah bin Abdurrahman, Abu Umamah bin Sahal, dan Kharijah bin Zaid. Mereka menangis sampai janggut mereka basah oleh air mata. Tentang hari itu Abu Umamah berkata, 'Seandainya mereka membiarkan dan tidak menghancurkannya sehingga orang-orang bisa menahan diri dari membangun bangunan dan mencukupkan dengan apa yang Allah ridhai pada Rasul-Nya walaupun kunci harta dunia di tangan beliau.'

KISAH PENDERITAAN NABI MUHAMMAD SAW

Baihaqi memberitakan dari Abdullah bin Ja'far ra. katanya: Saat Abu Thalib telah meninggal dunia, mulailah Nabi SAW diganggu dan ditentang secara terang-terangan. Satu peristiwa, beliau telah dihadang di jalanan oleh salah seorang pemuda jahat Quraisy, diraupnya tanah dan dilemparkan ke muka beliau, namun beliau tidak membalas apa pun.


Apabila beliau tiba di rumah, datang salah seorang puterinya, lalu membersihkan muka beliau dari tanah itu sambil menangis sedih melihat ayahnya diperlakukan orang seperti itu. Maka berkatalah Rasulullah SAW kepada puterinya itu: 'Wahai puteriku! Jangan engkau menangis begitu, Allah akan melindungi ayahmu!' beliau membujuk puterinya itu.


Beliau pernah berkata: Sebelum ini memang kaum Quraisy tidak berani membuat sesuatu seperti ini kepadaku, sehinggalah selepas Abu Thalib meninggal dunia, mulailah mereka menggangguku dan mengacau ketenteramanku. Dalam riwayat yang lain, beliau berkata kepadanya karena menyesali perbuatan jahat kaum Quraisy itu: Wahai paman! Alangkah segeranya mereka menggangguku sesudah engkau hilang dari mataku! (Hilyatul Auliya 8:308; Al-Bidayah Wan-Nihayah 3:134)


Thabarani telah memberitakan dari Al-Harits bin Al-Harits yang menceritakan peristiwa ini, katanya: Apabila aku melihat orang ramai berkumpul di situ, aku pun tergesa-gesa datang ke situ, menarik tangan ayahku yang menuntunku ketika itu, lalu aku bertanya kepada ayahku: 'Apa sebab orang ramai berkumpul di sini, ayah?' 'Mereka itu berkumpul untuk mengganggu si pemuda Quraisy yang menukar agama nenek-moyangnya!' jawab ayahku. Kami pun berhenti di situ melihat apa yang terjadi. Aku lihat Rasulullah SAW mengajak orang ramai untuk mengesakan Allah azzawajaila dan mempercayai dirinya sebagai Utusan Allah, tetapi aku lihat orang ramai mengejek-ngejek seruannya itu dan mengganggunya dengan berbagai cara sehinggalah sampai waktu tengah hari, maka mulailah orang bubar dari situ.


Kemudian aku lihat seorang wanita datang kepada beliau membawa air dan sehelai kain, lalu beliau menyambut tempat air itu dan minum darinya. Kemudian beliau mengambil wudhuk dari air itu, sedang wanita itu menuang air untuknya, dan ketika itu agak terbuka sedikit pangkal dada wanita itu. Sesudah selesai berwudhuk, beliau lalu mengangkat kepalanya seraya berkata kepada wanita itu: Puteriku! lain kali tutup rapat semua dadamu, dan jangan bimbang tentang ayahmu! Ada orang bertanya: Siapa dia wanita itu? jawab mereka: Itu Zainab, puterinya - radhiallahu anha. (Majma'uz-Zawa'id 6:21)


Dalam riwayat yang sama dari Manbat Al-Azdi, katanya: Pernah aku melihat Rasulullah SAW di zaman jahiliah, sedang beliau menyeru orang kepada Islam, katanya: 'Wahai manusia sekaliani Ucapkanlah 'Laa llaaha lliallaah!' nanti kamu akan terselamat!' beliau menyeru berkali-kali kepada siapa saja yang beliau temui. Malangnya aku lihat, ada orang yang meludahi mukanya, ada yang melempar tanah dan kerikil ke mukanya, ada yang mencaci-makinya, sehingga ke waktu tengah hari.


Kemudian aku lihat ada seorang wanita datang kepadanya membawa sebuah kendi air, maka beliau lalu membasuh wajahnya dan tangannya seraya menenangkan perasaan wanita itu dengan berkata: Hai puteriku! Janganlah engkau bimbangkan ayahmu untuk diculik dan dibunuh ... ! Berkata Manbat: Aku bertanya: Siapa wanita itu? Jawab orang orang di situ: Dia itu Zainab, puteri Rasuluilah SAW dan wajahnya sungguh cantik. (Majma'uz Zawa'id 6:21)


Bukhari meriwayatkan dari Urwah r.a. katanya: Aku bertanya Amru bin Al-Ash ra. mengenai apa yang dideritai Nabi SAW ketika beliau berdakwah mengajak orang masuk Islam, kataku: 'Beritahu aku tentang perbuatan yang paling kejam yang pernah dibuat oleh kaum musyrikin terhadap Rasulullah SAW? Maka Amru berkata: Ketika Nabi berada di Hijir Ka'bah, tiba-tiba datang Uqbah bin Abu Mu'aith, lalu dibelitkan seutas kain pada tengkuk beliau dan dicekiknya dengan kuat sekali. Maka seketika itu pula datang Abu Bakar ra. lalu dipautnya bahu Uqbah dan ditariknyanya dengan kuat hingga terlepas tangannya dari tengkuk Nabi SAW itu. Abu Bakar berkata kepada Uqbah: 'Apakah engkau hendak membunuh orang yang mengatakan 'Tuhanku ialah Allah!' padahal dia telah membawa keterangan dari Tuhan kamu?!' (Al-Bidayah Wan-Nihayah 3:46)


Suatu riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Amru bin Al-Ash ra. katanya: Aku tidak pemah lihat kaum Quraisy yang hendak membunuh Nabi SAW seperti yang aku lihat pada suatu hari di bawah lindungan Ka'bah. Mereka bersepakat merencanakan pembunuhan beliau sedang mereka duduk di sisi Ka'bah. Apabila Rasulullah SAW datang dan bersembahyang di Maqam, lalu bangunlah Uqbah bin Abu Mu'aith menuju kepada Rasulullah SAW dan membelitkan kain ridaknya ke tengkuk beliau, lalu disentaknya dengan kuat sekali, sehingga beliau jatuh tersungkur di atas kedua lututnya. Orang ramai yang berada di situ menjerit, menyangka beliau telah mati karena cekikan keras dari Uqbah itu. Maka ketika itu segeralah Abu Bakar ra. datang dan melepaskan cekikan Uqbah dari Rasulullah SAW itu dari belakangnya, seraya berkata: Apa ini? Adakah engkau hendak membunuh orang yang mengatakan 'Tuhanku ialah Allah!' Uqbah pun segera berundur dari tempat Rasuluilah SAW itu kembali ke perkumpulan teman-temannya para pemuka Quraisy itu. Rasulullah SAW hanya bersabar saja, tidak mengatakan apa pun. Beliau lalu berdiri bersembahyang, dan sesudah selesai sembahyangnya dan ketika hendak kembali ke rumahnya, beliau berhenti sebentar di hadapan para pemuka Quraisy itu sambil berkata: 'Hai kaum Quraisy! Demi jiwa Muhammad yang berada di dalam genggaman Tuhan! Aku diutus kepada kamu ini untuk menyembelih kamu!' beliau lalu mengisyaratkan tangannya pada tenggorokannya, yakni beliau rnenjanjikan mereka bahwa mereka akan mati terbunuh. 'Ah, ini semua omong kosong!' kata Abu jahal menafikan ancaman Nabi SAW itu. 'Ingatlah kataku ini, bahwa engkau salah seorang dari yang akan terbunuh!' sambil menunjukkan jarinya ke muka Abu jahal. (Kanzul Ummal 2:327)

KISAH PERJUANGAN MENINGGIKAN AGAMA ALLAH SWT

Abu Nu'aim telah memberitakan dari Jubair bin Nufair dari ayahnya, katanya: Ketika sedang kami duduk-duduk dengan Al-Miqdad bin Al-Aswad r.a. pada suatu hari, tiba-tiba datang kepadanya seorang lelaki, lalu berkata: Beruntunglah kedua belah mata yang telah melihat Rasulullah SAW. Demi Allah, kami sungguh bercita-cita jika dapat melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan, engkau telah mendengar, lalu engkau merasa kagum dari kebaikan yang dikatakan kepadamu!


Mendengar itu, Al-Miqdad bin Al-Aswad pun menghadapinya seraya berkata: Mengapa sampai ada seseorang di antara kamu yang bercita-cita untuk berada dalam sesuatu zaman yang telah dilewatkan oleh Allah azzawajalla, padahal dia sendiri masih tidak yakin apa yang terjadi ke atas dirinya sekiranya dia hadir pada zaman itu! Demi Allah, telah hadir di zaman Rasulullah SAW itu beberapa kaum, yang akan ditelungkupkan muka mereka menghujam neraka jahannam, karena mereka tidak menyambut seruannya dan tidak mempercayainya sama sekali. Bukan sebaiknya kamu bersyukur kepada Allah, karena Dia tiada melahirkan kamu, melainkan kamu telah mengenal Tuhan kamu serta mempercayai apa yang dibawa oleh Nabi kamu 'alaihis-salam, sedang kamu terhindar dari azab yang ditimpakan ke atas selain kamu itu? Demi Allah, sungguh Nabi SAW telah dibangkitkan pada suatu zaman yang sangat berat yang pernah dibangkitkan dari para Nabi yang sebelumnya. Beliau dibangkitkan pada masa yang penuh kerusakan dan jahiliah, yang mana manusia memandang agama itu tiada yang lebih baik dari menyembah berhala sebagai tuhan. Lalu beliau didatangkan membawa Al-Quran yang membedakan antara yang hak dengan yang batil, memisahkan antara ayah dan anaknya, sehingga ada orang yang mendapati ayahnya, atau anaknya, atau saudaranya sendiri kafir, sedang Allah telah membuka kunci hatinya untuk menampung iman, dan dia mengetahui akan binasalah siapa yang memasuki api neraka itu, sehingga tidak betah lagi pemikirannya karena dia mengetahui bahwa ada orang yang paling dekat kekerabatnya berada di dalam api neraka! Dan hal itu tepat sekali dengan apa yang disebutkan Allah azzawajalla 'Tuhan kami! jadikanlah anak isteri kami penyelamat bagi kami!' (Hilyatul Auliya' 1:175)


Ibnu Ishak memberitakan dari Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi, katanya:pernah suatu kali telah datang seorang dari penduduk Kufah, lalu berkata kepada Huzaifah bin Al-Yaman ra.: 'Hai Abu Abdullah!' kata orang ahli Kufah itu. 'Apakah engkau telah melihat Rasulullah dan bersahabat dengannya?' 'Ya, wahai saudaraku! ' jawab Huzaifah. 'Apakah yang sudah kamu lakukan terhadap beliau, coba ceritakan!' pinta orang dari Kufah itu. 'Kami lakukan apa yang semampu kami saja,'jawab Huzaifah.


'Demi Allah,'kata orang itu,'jika kita yang menemuinya pada zaman itu, niscaya kami tidak membiarkannya berjalan di atas bumi sama sekali, niscaya kami memikulnya di atas punggung kami!'


'Apa katamu, wahai saudaraku?!'tanya Huzaifah.'Demi Allah, aku masih ingat ketika hari menggali parit (Khandak) itu, aku dapati betapa susah-payahnya Rasulullah menanggung lapar dan dahaga, menanggung udara yang dingin dan merasa takut sekali!'


Dalam riwayat Muslim, maka berkata Huzaifah: "Engkau mengatakan yang engkau akan berbuat begitu kepada Rasulullah SAW? Aku pernah menyaksikan mereka bersama Rasulullah SAW pada malam perang Ahzab, pada suatu malam yang berangin sangat kencang dengan udaranya yang sangat dingin, betapa mereka menanggung semua itu. Kemudian Huzaifah melarang mereka mengatakan seperti itu terhadap para sahabat.

KISAH KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA RASULULLAH SAW

Dari 'Aisyah r.a katanya, "Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW seraya berkata, "Wahai Rasulullah engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri dan engkau lebih aku cintai daripada orang tuaku. Jika aku berada di rumah, aku senantiasa merindukan dan tak sabar untuk secepatnya dapat bertemu dan melihatmu. dan apabila aku teringat kematianku dan kematianmu, tetapi aku tahu engkau kelak dimasukan ke dalam surga, tentunya engkau akan ditempatkan di surga yang paling tinggi beserta para Nabi. Sedangkan jika aku dimasukkan ke dalam surga, aku takut jika kelak tidak dapat melihatmu lagi". Nabi SAW tidak menjawab ucapan orang tersebut sampai Jibril menurunkan firman Allah,


Artinya: Dan barang siapa mencintai Allah dan Rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu Nabi-nabi, para Shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang sebaik-baiknva. (An Nisaa': 69)


(Thabrani, Abu Nuaim. Al-Hilyah. 4/240)


Dari Ibnu Abbas ra. dikatakan ada seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata. "Wahai Rasulullah aku sangat mencintaimu dan selalu mengingatimu. tapi vang aku takutkan jika kelak engkau dimasukkan ke dalam surga di tingkat yang paling tinggi sedangkan aku dimasukkan di tempat yang tidak sama denganmu, maka aku takut tidak dapat lagi melihatinu kelak di akhirat". Rasulullah SAW tidak menjawab ucapan lelaki itu sampai Allah menurunkan fimian-Nya. Wa man yutiillah war Raszila fa ulaika ma'al ladzina...(An Nisaa': 69). Setelah itu Rasulullah SAW membacakan ayat tersebut di hadapan lelaki itu dan mendoakanya."

(Thabrani, Al-Haitsami. 4/7)


Kecintaan Sa'ad bin Mu'adz ra.

Dari Abdullah bin Abu Bakar ra., '.Sesungguhnya Sa'ad bin Muadz ra, berkata kepada Nabi SAW . "Ya Rasulullah. maukah engkau kami buatkan sebuah benteng dan kami siapkan di sisimu sebuah kendaraan. Kemudian kami maju berhadapan dengan musuh, jika kami diberi kemenangan oleh Allah maka itulah yang kami harapkan. tapi jika terjadi sebaliknya, maka engkau dapat segera pergi dengan kendaraan ini. menemui pasukan kita yang masih ada di belakang kita. sebab di belakang kami tertinggal sejuklah kaum yang sangat mencintaimu. Sungguh andaikata mereka tahu bahwa engkau akan berperang pasti mereka akan ikut semuanya. Akan tetapi di karenakan mereka tidak tahu bahwa engkau akan menemui pasukan musuh seperti ini. maka tidaklah heran jika sebagian orang tidak ikut bersama engkau."Maka Rasullah SAW menyatakan terimakasihnya dan mendoakan kebaikan baginva, kemudian mereka membangunkan sebuah benteng bagi Nabi