Pemenang Penghargaan I

Berkarya di Ladang Tuhan bersama Wanita Katolik

 

Menjadi anggota organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia bila sungguh disadari adalah sangat berguna dan asyik.  Apalagi kalau bisa menghayati bahwa bersama Wanita Katolik RI berarti kita berkarya di ladang Tuhan sesuai dengan talenta kitra masing-masing, yaitu merasul ke tengah-tengah masyarakat luas sebagai ujung tombak gereja Katolik. Tulisan ini bertujuan mengajak rekan-rekan untuk berefleksi diri tentang kearifannya memilih prioritas pelayanannya dalam rangka perannya sebagai isteri, ibu, anggota gereja dan anggota Wanita Katolik RI.

Agar dapat berefleksi diri, pertama-tama kita meninjau dahulu secara singkat tentang Wanita Katolik RI agar dapat mengenal lebih dekat dan meningkatkan kecintaan terhadap organisasi ini, kemudian baru diarahkan untuk menyadari posisi kita sebagai isteri, ibu dan anggota Wanita Katolik RI.

Sekarang marilah kita mengenal lebih dekat Organisasi Wanita Katolik RI ini.  Didirikan sejak 26 Juni 1924 di Yogyakarta, dan 13 tahun lagi usianya mencapai satu abad. Dia berumur panjang karena mampu terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Semakin matang usianya dia semakin bijak dalam pelayanannya. Dia mewakili Gereja Katolik dalam kiprahnya di masyarakat luas.  Dia adalah organisasi kemasyarakatan yang sudah berbadan hukum sejak tahun 1952, dan sudah 18 kali berkongres. Dia mempunyai AD/ART. Dia juga mempunyai lagu Mars dan Hymne serta pakaian seragam berwarna biru lambang keibuan. Dia mempunyai peranan edukatif. Dia sudah kerap kali menjadi mitra pemerintah dalam mensosialisasikan program pendidikan, kesehatan, gender, atau masalah umum lainnya. Di dalam struktur Gereja Katolik, Wanita Katolik RI masuk dalam kelompok kategorial bersama KKMK, ME, Pasukris, Legio Maria, THS/THM, dan lainnya. Wanita Katolik RI juga sudah berkiprah di dunia internasional sejak tahun 1957 dengan menjadi anggota WUCWO (World Union of Catholic Women’s Organization), yaitu anggota dari Dewan Sosial Ekonomi PBB; yang berarti bilamana ada konferensi PBB, berarti Wanita Katolik RI juga ikit serta berkonferensi (keren sekali organisasi kita ini, sudah go internasional!).  Tetapi apakah secara merata semua anggota Wanita Katolik RI dari tingkat akar rumput alias dari tingkat ranting sudah memahami dengan jelas kehebatan dan ketangguhan organisasi dimana dirinya ikut tergabung ini?

Jangankan umat katolik secara umum, bahkan yang sudah menjadi anggota Wanita Katolik RI  beberapa tahun pun ada yang belum mengenal organisasi ini dengan baik.  Ada pemahaman bahwa kegiatan Wanita Katolik RI hanyalah di seputar altar seperti membantu rumah tangga pastoran, menghias altar, dan sekolah minggu, serta ...... arisan setiap bulan.  Kalau yang dipahami hanya pekerjaan sekitar altar, berarti organisasi ini baru dipahami sebatas suatu kelompok kategorial saja, belum sebagai organisasi kemasyarakatan yang kiprahnya seharusnya lebih luas memasyarakat.   Memang dirasa bahwa kegiatan di tingkat ranting belum banyak menyentuh kebutuhan masyarakat sekitar, sehingga kurang memiliki daya tarik bagi perempuan katolik yang belum menjadi anggota organisasi ini, padahal pencarian anggota baru terletak di ranting. Ranting juga harus mempunyai daya tarik ke segala penjuru dengan kegiatan-kegiatannya yang bermanfaat baik bagi anggota maupun masyarakat umum.

Sebagai organisasi perempuan katolik, anggota Wanita Katolik RI sangat heterogen. Berdasarkan latar belakang pendidikan, ada anggota yang masih buta huruf tetapi tidak sedikit juga yang bergelar Doktor. Dari sudut ekonomi, ada yang berlatar belakang dari keluarga sederhana dan ada juga yang dari keluarga kaya raya. Dari yang tinggal di puncak gunung sampai yang di kota metropolitan. Semuanya ada. Memang sungguh menarik dan luar biasa sekali Wanita Katolik RI itu. Karena itu penangannannya juga unik.

Program-program yang diciptakan selalu berpusat pada pengentasan kemiskinan, keprihatinan atas isi-isu perempuan seperti pendidikan, kesehatan, serta hak-hak perempuan. Misalnya pada tahun 2003 DPP Wanita Katolik RI mencetuskan ide ”Rumah Kita”, yaitu tempat perlindungan bagi para perempuan dan anak-anak korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) agar mereka dapat hidup dengan aman. Ada juga DPD yang mendatangi tempat-tempat yang merupakan kantong kemiskinan dengan membawa misi cinta kasih, misalnya dengan melakukan bakti sosial seperti pengobatan massal. Ada juga DPC atau ranting yang mengusahakan posyandu yang melayani balita-balita dari keluarga tukang ojek,kuli cuci, tukang sampah, hansip dll. Atau mendirikan MCK di lingkungan yang sangat kesulitan air bersih. DPD Jakarta juga mempunyai TPA Indriyasana di Tangerang. Jadi karya-karya sosial untuk masyarakat luas seperti inilah (bukan hanya di sekitar altar saja) yang seharusnya menjadi sasaran kegiatan organisasi Wanita Katolik RI dari tingkat ranting, DPC, DPD  sampai DPP. Kegiatan-kegiatan sosial tersebut sangat sesuai dan sejalan dengan visi dan misi organisasi Wanita Katolik RI.

Kalau menyadari apa itu organisasi Wanita Katolik RI seperti uraian di atas, seharusnyalah kita merasa bangga bergabung dengan organisasi ini. Dan seyogyanya pulalah kita tergerak untuk memberikan karya pelayanan sosial dengan lebih sungguh lagi untuk masyarakat luas, karena masih begitu banyak masyarakat miskin di luar sana yang membutuhkan uluran tangan kita. Namun, bersediakah kita melayani ke masyarakat luas dengan sungguh hati bersama Wanita Katolik RI? Dapatkah kita mewujudkannya? Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing.

Untuk mulai berefleksi diri, marilah kita melihat sebagian kecil teori PKO yang dapat mengarahkan kita untuk menentukan prioritas pilihan. Mungkin rekan-rekan masih ingat teori PKO yang menjelaskan bahwa kita sebagai perempuan katolik yang sekaligus menjadi anggota Wanita Katolik RI itu hidup dalam tiga lapis lingkaran (ring). Ring pertama atau lingkaran yang paling dalam adalah keluarga, dimana fungsi kita dalam keluarga adalah sebagai isteri dan ibu bagi suami dan putera/i yang sangat kita cintai. Ring kedua adalah kehidupan gereja atau yang tadi sudah dikenal dengan istilah seputar altar, yang mana diantara kita mungkin banyak terlibat aktif disini, misalnya sebagai pengurus lingkungan ataupun umat biasa, anggota koor, anggota salah satu kelompok kategorial, lektor, prodiakon, dewan paroki dll yang masing-masing mempunyai kesibukannya sendiri-sendiri, misalnya: rapat, pertemuan/latihan rutin, doa rosario/misa di lingkungan, rekoleksi, panitia khusus di paroki dll. Sedangkan ring ketiga atau lingkaran yang paling luar adalah masyarakat, dimana organisasi Wanita Katolik RI berada, karena menurut visinya Wanita Katolik RI adalah organisasi masyarakat yang mandiri. Seorang wanita yang bekerja/berkarir di luar rumah termasuk  berada pada ring ketiga ini. Untuk melanjutkan refleksi diri lebih jauh, marilah merenungkan cara kita mengelola waktu yang 24 jam sehari atau 168 jam seminggu apabila kita mempunyai fungsi atau peran pada ketiga ring tersebut. Bahkan bukan hanya cara membagi waktu, tetapi yang terutama adalah prioritas apa yang kita utamakan dalam mengambil keputusan untuk menggunakan waktu tersebut.

Mari kita ambil contoh seorang perempuan katolik bernama Dina yang mempunyai gelar akademik S2, telah menikah dan mempunyai dua orang putera/i di SMP dan SD. Di lingkungan dia ikut koor untuk menyalurkan bakat menyanyinya. Sebagai bentuk aktualisasi dirinya, dia mempunyadi pekerjaan tetap di suatu perusahaan, dan menjadi anggota Wanita Katolik RI yang kebetulan menjabat salah satu Ketua Bidang di DPC. Beruntunglah ibu Dina karena di rumahnya dia mempunyai seorang pembantu yang setia, yang bisa dipasrahkan semua pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan menggosok pakaian, memasak dan mencuci piring, serta membersihkan rumah. Secara rutin kegiatan ibu Dina setiap hari kira-kira adalah bekerja di kantor termasuk perjalanan pulang pergi minimal 10 jam, makan bersama keluarga  2 x 1/2 jam = 1 jam, mandi + berdandan 1 jam, nonton TV dan baca surat kabar 2 jam, menemani putera/i belajar/membuat PR 1 jam, bercengkrama dengan suami dan anak-anak 1 jam, ber sms an atau buka facebook 45 menit, bersaat teduh (doa dan membaca renungan harian) 15 menit, tidur 7 jam, total 24 jam. Kiranya itulah kegiatan rutin ibu Dina pada setiap hari kerja/biasa. Kegiatannya tersebut tidak termasuk untuk hari Sabtu/ Minggu/libur yang tentunya bisa diatur lebih fleksibel bersama keluarga. Jadi kegiatannya di ring 1 boleh dikatakan cukup memadai, karena perannya sebagai isteri dan ibu terlaksana dengan baik.

Tetapi ibu Dina juga punya peran di ring 2, diantaranya adalah latihan koor rutin 2 jam setiap minggu, kalau sedang bulan Mei dan Oktober ada doa novena Rosario di lingkungan dua kali seminggu @ 2 jam. Jadi ada tiga hari dalam seminggu dimana ibu Dina meninggalkan rumah untuk memenuhi perannya di ring 2. Kira-kira waktu yang manakah yang akan diambilnya? Apakah waktu nonton TV atau ber-facebook-nya, atau waktu emasnya bersama suami dan anak-anaknya, atau waktu menemani anak-anaknya belajar? Dengan terampasnya waktu bersama  keluarganya demi perannya di ring 2 ini, mungkin suami dan anak-anaknya masih mau memaklumi, karena kegiatannya kali ini adalah untuk memuliakan Tuhan, dan tidak setiap bulan kegiatan di ring 2 ini sama padatnya.

Nah, sekarang lebih seru nih ..... Ibu Dina ternyata punya peran dobel di ring 3. Selain berkarir di pekerjaannya di luar rumah setiap hari, dia juga punya peran yang cukup penting di organisasi Wanita Katolik RI, sebagai salah satu Ketua Bidang di DPC. Untuk perannya di organisasi kemasyarakatan ini, ibu Dina seyogyanya meluangkan waktu sebulan sekali masing-masing 2 jam untuk pertemuan rutin di ranting dan di cabangnya pada hari biasa di atas jam kerja.  Juga anggota DPC secara bergantian beranjangsana ke ranting-ranting yang dibinanya. Beberapa bulan sekali ada RKCW yang materi rapatnya juga perlu dipersiapkan lebih dahulu. Sesungguhnya dia sangat menikmati perannya di DPC, karena  dia mempunyai kesempatan dan pengalaman untuk berkarya dan bersosialisasi yang lebih luas dari pada hanya kegiatan di sekitar altar seperti pada saat dia masih di ranting. Dia juga merasa lebih bersemangat, karena tantangan beraktualasasi dirinya bisa dilaksanakan di posisinya ini. Memang kegiatan DPC maupun DPD kebanyakan dilaksanakan pada hari Sabtu, walaupun ada juga yang pada hari kerja biasa.  Namun dengan perannya yang cukup penting di DPC ini, dia harus mengambil lagi waktu dari kegiatan rutinnya yang tadi sudah diuraikan di ring 1. Kira-kira kali ini waktu yang mana lagi yang akan dipakai olehnya untuk menunjang perannya di ring 3?  Apakah suami dan putera/i nya masih setia memahami dan mendukungnya?

Bagaimana ibu Dina mengetahui bahwa perannya di ring 1,2 dan 3 dalam kehidupannya sehari-hari dapat memuaskan semua pihak? Sinyal utamanya adalah dari komentar-komentar orang-orang terdekat pada setiap ring tersebut. Rekan-rekannya di DPC senang dengan peran sertanya dan memberinya tugas yang lebih banyak lagi, mengingat kapasitas dan kemampuannya. Umat di lingkungan maupun di komunitas koornya juga puas, karena dia tidak pernah absen latihan dan selalu hadir pada pertemuan lingkungan. Tetapi suaminya mulai mengeluh, karena makin jarang bisa bertemu isterinya di rumah, padahal kadang-kadang ada hal-hal di kantor yang dirasa perlu didiskusikan dengan orang yang sangat dipercayainya untuk mendukungnya. Demikian juga dengan putera/i-nya, mereka mulai kehilangan tempat bertanya saat membuat PR, bahkan prestasinya di sekolah mulai menurun. Mereka hanya ditemani oleh pembantunya, atau sekali-sekali bisa bertanya pada ayahnya bila kebetulan ayahnya pulang belum malam. Padahal ibu Dina mulai menyalahkan putera/i-nya atas prestasinya yang menurun, disangkanya mereka malas belajar bila ibunya sedang di luar rumah. Apakah peran ibu Dina di ring 2 dan 3 menyebabkan hilangnya damai sejahtera di ring 1?

Bahkan ada saat dimana jadwal kegiatan di ring 1,2 dan 3 terjadi saling tumpang tindih, yang kesemuanya sangatlah penting. Misalnya, pada suatu hari Sabtu yang sibuk, dimana pagi harinya putera ibu Dina bermain biola dalam konser di sekolahnya bentrok dengan jadwal RKCW yang harus dihadirinya bersama Ketua Cabang. Malam harinya, ada lomba koor antar paroki dimana ibu Dina seharusnya tampil sebagai solist, bentrok dengan jadwal pesta pernikahan dari putera boss suaminya di kantor. Apalagi dua hari sebelumnya pembantu setianya minta cuti pulang kampung karena orang tuanya sakit keras, sehingga rumahnya mulai agak kotor tidak terurus. Bila demikian halnya, kegiatan manakah yang akan diprioritaskan oleh ibu Dina? Sungguh suatu pilihan yang sangat berat ..... !!!

Sesungguhnya prioritas yang dipilih terpulang sepenuhnya kepada ibu Dina sendiri. Memang tidak semua anggota organisasi ini mempunyai kasus yang sama dengan ibu Dina. Bahkan masih sangat banyak ibu-ibu lain yang dapat menyediakan waktunya untuk melayani dan mengembangkan organisasi ini, demi kiprahnya di masyarakat luas. Suatu ketika kelak kita semua bukannya tidak mungkin akan menghadapi juga pilihan sulit dalam memilih prioritas hidup kita. Dalam mengambil keputusan untuk memilih, dengan tidak mengurangi tanggung jawab kita, sebaiknya kita meninjau dari ring yang terjauh atau terluar dari diri kita (kalau menurut hukum físika, bila ada energi dari luar maka elektron yang terletak pada orbit yang terjauh dari inti atom adalah elektron yang paling mudah terlepas; sedangkan yang terletak pada orbit yang terdekat adalah yang paling sukar terlepas, karena daya tarik-menariknya dengan inti atom paling kuat). Jadi, dalam hal yang memaksa atau tak terhindarkannya jadwal bentrok, sebaiknya kita mencari pengganti untuk tugas-tugas kita di ring 3 dan ring 2. Seharusnya kita semua sadar, bahwa tidak boleh ada pengganti peran kita di ring 1, yaitu tidak pernah boleh ada isteri baru bagi suami kita atau ibu baru bagi putera/i kita

 

Oleh : Ibu Kuniwati Gandi