Perangkap Tujuan Perusahaan
a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future
a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future
Memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham, sampai sekarang selalu diangkat menjadi tujuan utama korporasi. Ilusi ini, yang juga disebarkan secara masif oleh para eksekutif, pada intinya memungkinkan mereka untuk menyembunyikan motif kerja yang sebenarnya: mendapatkan hak-hak istimewa secara berkelanjutan
Pada prakteknya perusahaan yang secara eksplisit menyatakan maksimalisasi kesejahteraan pemegang sahamnya sebagai tujuan, umumnya justru menunjukkan perilaku oportunistik dari para orang dalam (manajemen puncak) yang memiliki kekuatan dalam pengelolaan perusahaan. Fenomena ini sudah terdeteksi sejak masa Adam Smith yang berargumen dalam bukunya yang legendaris “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” (1776) bahwa praktik-praktik kerja yang lalai dan boros selalu ditemukan muncul di dalam manajemen dari sebuah perseroan terbatas (joint stock company). Kritik serupa juga muncul dari John Stuart Mill setelahnya, dalam buku “Principles of Political Economy” (1885) yang berargumen bahwa kualitas manajemen dari seorang pegawai yang dibayar selalu inferior dibandingkan dengan pengelolaan dari seorang pemilik perusahaan, yang secara personal tertarik dan berkomitmen, terhadap kelangsungan hidup perusahaannya.
Agency theory yang mengangkat masalah manajemen yang timbul dari ketidakselarasan tujuan antara prinsipal/pemilik organisasi dengan agen/pengurus/manajemen yang mereka beri mandat (pekerjakan) untuk mengelola jalannya organisasi, memberi implikasi bahwa agen/manajemen akan selalu memiliki insentif untuk mengatur sistem penilaian kinerja dan balas jasa yang terkait guna menguntungkan kepentingan pribadinya. Salah satu mekanisme yang paling umum adalah menghubungkan remunerasi dengan kinerja harga saham perusahaan. Semakin pendek termin pengendalian (masa jabatan) manajemen, serta semakin sulitnya pemegang saham yang ada di luar pengelolaan sehari-hari perusahaan untuk menilai apa yang terjadi, maka akan semakin besar insentif tersebut.
Banyak contoh atas hal ini, misalkan: meminjam uang untuk membeli saham perusahaan itu sendiri (buyback), atau mengalihkan dana dari kebutuhan investasi jangka panjang untuk melakukannya; hingga menciptakan sebuah sistem bonus yang menjamin adanya imbal jasa yang sangat besar jika harga saham meningkat pesat. Sistem insentif seperti ini seringkali mendorong manajemen untuk meningkatkan penggunaan hutang dalam keuangan perusahaan. Sehingga membuat masa depan perusahaan menjadi lebih beresiko. Selain juga mengakibatkan belanja yang lebih sedikit atas investasi maupun aktivitas penelitian dan pengembangan. Dengan kata lain, mendorong wawasan yang bersifat jangka pendek, lebih mencari peningkatan harga saham pada hari ini daripada peningkatan nilai perusahaan dalam jangka panjang.
Secara filosofis, keuntungan sesungguhnya adalah suatu persyaratan bagi perusahaan untuk dapat bertahan hidup, bukan tujuan. Seperti yang pernah diajarkan ahli manajemen legendaris, Peter Drucker, keuntungan bagi perusahaan sama dengan oksigen bagi manusia: penting bagi keberadaannya, namun bukan alasan atas keberadaannya. Tujuan utama sebuah bisnis, menurut Drucker, adalah menciptakan pelanggan, dan keuntungan adalah hasil dari melakukan hal tersebut secara efektif. Konsep ini tercermin dalam beberapa karyanya, antara lain “The Practice of Management” (1954) dan “Management: Tasks, Responsibilities, Practices” (1973). Saat ini penting bagi kita untuk memikirkan kembali apa tujuan perusahaan. Memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham umumnya hanya diinterpretasikan secara terbatas sebagai menaikkan harga saham. Dan ini membawa banyak konsekuensi buruk khususnya bagi perkembangan sebuah perusahaan publik/terbuka.
Salah satu contoh yang akan diangkat secara ringkas dalam tulisan ini adalah kasus penurunan Intel dari sebelumnya dikenal sebagai perusahaan pemimpin teknologi, kini menjadi raksasa sekarat yang sedang berjuang hidup di industri semikonduktor. Kejadian yang merupakan konsekuensi dari praktik memprioritaskan keuntungan finansial jangka pendek dibandingkan inovasi jangka panjang, menggambarkan bagaimana interpretasi terbatas akan tujuan memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham telah membahayakan perusahaan dan bahkan perekonomian Amerika Serikat secara lebih luas.
Intel didirikan pada tahun 1968 oleh Robert Noyce dan Gordon Moore dan dengan cepat menjadi kekuatan pendorong revolusi semikonduktor. Inovasi awal perusahaan, seperti mikroprosesor Intel 4004 tahun 1971, menjadi tonggak penting teknologi komputasi, menjadikan komputer canggih lebih terjangkau dan mudah diakses.
Pada akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000an, fokus Intel beralih dari inovasi ke memaksimalkan nilai pemegang saham. Pergeseran ini menyebabkan penurunan belanja investasi penelitian dan pengembangan dan peningkatan aktivitas pembelian kembali saham (buyback), yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek pemegang saham dibandingkan pertumbuhan berkelanjutan perusahaan untuk jangka panjang. Fokus Intel pada rekayasa keuangan dibandingkan kemajuan teknologi mengakibatkan terjadinya kegagalan inovasi produk seperti arsitektur "Netburst" (dikenal publik sebagai Intel Pentium 4 dan Celeron) dan hilangnya peluang dalam komputasi seluler dimana Qualcomm muncul sebagai pemain utama.
Kesalahan langkah strategis Intel, yang diperburuk oleh persaingan ketat dan inovasi dari perusahaan sejenis seperti AMD dan TSMC, menyebabkan penurunan posisi pasar secara signifikan. Intel berjibaku menghadapi masalah penundaan produksi dan pergantian kepemimpinan, sehingga dominasinya di dalam industri semakin menghilang. Lingkungan kerja yang buruk dan kurangnya investasi dalam pengembangan karyawan juga turut berkontribusi terhadap hilangnya talenta Intel yang pindah ke perusahaan pesaing.
Pada tahun 2021, Intel menunjuk Pat Gelsinger sebagai CEO untuk membalikkan nasib perusahaan. Pendekatan Gelsinger berfokus pada pemulihan kemampuan manufaktur Intel. Namun, Intel menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk masalah rantai pasokan dan ketegangan geopolitik, khususnya dengan Tiongkok. Pemerintah AS banyak berinvestasi pada Intel sebagai bagian dari upaya merevitalisasi manufaktur semikonduktor dalam negeri. Pemerintahan Biden mengucurkan hibah senilai $8.5 miliar yang diterima Intel pada Maret 2024, serta ditambah dengan rencana investasi yang lebih luas senilai $100 miliar. Meskipun terdapat upaya-upaya ini, perjuangan Intel untuk dapat bertahan hidup tampaknya belum selesai. Penurunan tajam dalam nilai saham terjadi dan para pemegang saham tidak puas.
Kisah Intel menjadi sebuah peringatan tentang bahayanya memprioritaskan finansialisasi dibandingkan inovasi. Kita perlu memikirkan kembali alternatif lain yang dapat menyempurnakan filosofi “memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham” sebagai tujuan perusahaan dengan definisi yang lebih fokus pada pertumbuhan berkelanjutan, kesejahteraan karyawan, dan tanggung jawab sosial.
Karena harus diakui bahwa praktiknya, mayoritas eksekutif masih termotivasi bukan oleh “kesejahteraan” pemegang saham, melainkan oleh pemenuhan target pendapatan dan laba agar mereka dapat memaksimalkan gaji dan tunjangan mereka sendiri. Beberapa orang mungkin saja tertarik untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan kerja dan perusahaan tempat mereka mengabdi. Namun banyak yang memilih untuk bertahan dengan kondisi apapun yang ada selama mereka mendapatkan uang yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Tentu saja ada beberapa eksekutif senior yang benar-benar terdorong untuk mencapai tujuan perusahaan, “memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham”. Namun jika kita dapat menggali lebih dalam motif mereka untuk “berprestasi”, saya berpendapat bahwa mereka tidak melakukannya semata-mata untuk tujuan menciptakan nilai bagi pemegang saham, yang lebih merupakan produk/efek sampingan. Mereka melakukannya karena ingin menumbuhkembangkan bisnisnya, ingin meninggalkan warisan yang dikenang lama, ataupun karena percaya sepenuhnya bahwa mereka melakukan hal yang benar. Jadi, penciptaan nilai bagi pemegang saham tidak pernah menjadi tujuan utama, baik bagi eksekutif yang berpikiran benar, apalagi bagi mereka yang cuma mementingkan diri sendiri. Sudah waktunya kita memikirkan kembali definisi tujuan perusahaan.
Penulis:
R. Nugroho Purwantoro
Lembaga Management FEB UI
Referensi:
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Book V, chapter I, part III, 1776, http://media.bloomsbury.com/rep/files/primary-source-93-adam-smith-the-wealth-of-nations-on-joint-stock-companies.pdf.
John Stuart Mill, Principles of Political Economy, 9th ed. (London: Longmans, Green, 1885), 140.
Peter F. Drucker, The Practice of Management, (New York: Harper & Row, 1954)
Peter F. Drucker, Management: Tasks, Responsibilities, Practices. (New York: Harper & Row, 1974)
Russell L. Ackoff, Herbert J. Addison & Sally Bibb, Management F-Laws: How Organizations Really Work. (UK: Triarchy Press, 2007)
Lynn Parramore, America Needs Intel Economically and Politically—But Is It Too Late?, Institute of New Economic Thinking (INET), 12 Aug 2024, https://www.ineteconomics.org/perspectives/blog/america-needs-intel-economically-and-politically-but-is-it-too-late