Dampak Negatif AI
a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future of our planet and the proactive role business can play in driving its transition
a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future of our planet and the proactive role business can play in driving its transition
Saat fitur baru kecerdasan buatan (AI) diluncurkan, seperti AI Overviews milik Google misalnya, yang berfungsi memberikan ulasan/penjelasan ringkas pada pertanyaan yang kita ajukan ke mesin pencari Google. Ternyata mengkonsumsi daya listrik sepuluh kali lipat konsumsi daya pencarian Google biasa, dan kira-kira setara dengan jumlah daya yang digunakan untuk berbicara selama satu jam di jaringan telepon rumah (fixed line), teknologi klasik yang sudah terlupakan. Perusahaan riset Digiconomist memperkirakan diperlukan sekitar tiga watt-jam listrik, untuk menggunakan fitur AI Overviews. Secara hitungan kasar akan diperlukan daya listrik sebesar konsumsi satu negara setara Irlandia untuk menambahkan jawaban yang dihasilkan AI ke semua penelusuran Google. Perlu dicatat bahwa para perusahaan teknologi yang aktif mengembangkan AI kurang bersedia berbagi informasi sehingga sulit untuk memberikan angka pasti berapa banyak daya listrik dan air yang digunakan oleh AI. Secara logika permintaan akan sumber energi maupun air untuk fungsi pendingin pasti akan melonjak seiring dengan diterapkannya teknologi tersebut pada segala hal.
Meskipun adopsi AI secara massal akan mengubah kehidupan digital dalam sekejap, harus diakui bahwa regulasi yang diperlukan untuk mengatur dampak fisiknya masih belum bisa mengimbangi. Badan-badan pemerintahan federal AS misalnya, tidak melacak berapa besar tingkat permintaan energi dari fasilitas pusat data yang digunakan untuk teknologi AI.
Hal ini cepat atau lambat akan menjadi masalah karena pusat data, dengan server dan berbagai infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang teknologi baru seperti AI, akan dengan cepat melonjak permintaan energinya melampaui kapasitas jaringan listrik yang ada. Di sisi lain, lonjakan permintaan energi ini dalam jangka pendek dan menengah akan memperlambat upaya transisi energi bersih. Seiring kuatnya permintaan yang harus dipenuhi saat ini, dan belum tersedianya alternatif sumber energi bersih, membuat pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah ada misalnya, akan tetap beroperasi.
Selain listrik, fasilitas pusat data juga memerlukan daya air dalam jumlah besar untuk fungsi pendinginan server mereka, dan seringkali pusat data didirikan di lokasi-lokasi yang harga tanahnya murah. Sebuah makalah yang dipublikasikan dalam arXiv database, Cornell University, memperkirakan bahwa secara global, kebutuhan air untuk pusat data bisa saja meningkat hingga sebesar setengah dari kebutuhan air Inggris hanya dalam beberapa tahun mendatang.
Ironisnya, potensi dampak negatif ini seringkali tidak dipertimbangkan oleh regulator yang berlomba-lomba untuk mempromosikan wilayah/daerah mereka sebagai tempat investasi ideal untuk membangun fasilitas pusat data penunjang AI. Berbagai insentif dan kemudahan justru ditawarkan dengan alasan mendorong masuknya teknologi baru yang dianggap bernilai tinggi. Hal ini akan mengirimkan sinyal harga yang salah kepada industri. Jika perusahaan teknologi diharuskan membayar biaya penuh untuk energi bagi infrastruktur penunjangnya, mereka tentu akan berupaya untuk mencari cara dalam menggunakan lebih sedikit listrik. Sebaliknyalah yang terjadi, Microsoft misalnya, meskipun memiliki target untuk menjadi perusahaan bebas karbon pada tahun 2030, emisinya melonjak sebesar 30 persen pada tahun 2023, berkat investasi terbarunya pada AI.
Meskipun demikian, raksasa teknologi seperti Amazon, Microsoft, dan Google tetap berpegang pada sasaran emisi net-zero mereka, bahkan ketika realitas kebutuhan energi AI yang begitu besar menjadi semakin jelas: International Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa pada tahun 2026, kebutuhan listrik pusat data akan setara dengan konsumsi listrik Jepang.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications baru-baru ini, rata-rata aktivitas digital pengguna Internet menghasilkan 229 kilogram karbon dioksida per tahun. Artinya, penggunaan Internet di dunia saat ini sudah menyumbang sekitar 40 persen anggaran karbon per kapita yang diperlukan untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius. Namun karena tidak adanya pengawasan dan regulasi dari pemerintah, dampak polusi dari industri ini terus meningkat tanpa terkendali dengan euforia adaptasi AI sebagai teknologi terbaru pusat perhatian dunia.
Banyak langkah dapat dilakukan untuk mengendalikan dampak negatif dari aplikasi teknologi baru seperti AI misalnya. Mulai dari penetapan standar tingkat efisiensi penggunaan energi, pengungkapan dan pembatasan dampak emisi/polusi, insentif perpajakan untuk pencapaian efisiensi energi, bantuan pendanaan bagi penelitian teknologi ramah lingkungan, harmonisasi standar yang berlaku global, mempromosikan tingkat pemahaman dampak lingkungan hingga penerapan mekanisme pengawasan untuk menegakkan akuntabilitas.
Hanya saja, sejauh ini, sebagian besar narasi yang dikedepankan mengenai risiko kecerdasan buatan (AI) berpusat pada skenario hiperbolik fiksi ilmiah, seperti chatbot yang memiliki perasaan atau kecerdasan umum buatan yang mengambil alih pengelolaan bisnis/pemerintahan. Ini cenderung merupakan pengalihan perhatian dari potensi kerusakan lingkungan akibat dari praktik bisnis aktual perusahaan teknologi pada saat ini.
Tentu saja, seperti teknologi lainnya, AI dapat berdampak positif. Microsoft, misalnya, menyatakan bahwa kecerdasan buatan dapat membantu menemukan dan mengembangkan solusi masalah iklim, seperti produksi energi terbarukan yang lebih efisien dan pengembangan material baru untuk menangkap karbon. Sementara Google berkomitmen untuk mencapai emisi net-zero pada seluruh operasinya pada tahun 2030. Namun fakta saat ini, besarnya jumlah energi yang dibutuhkan industri teknologi telah menunda komitmen banyak negara untuk melakukan transisi ke energi ramah lingkungan.
Pada akhirnya kita perlu mempertanyakan siapa pihak yang potensial paling menderita dari kemunculan sebuah teknologi. Untuk kasus AI, pengawasan mungkin perlu mencakup analisis terhadap seluruh rantai pasokan yang terlibat, tidak hanya masalah penggunaan energi dan air, namun termasuk mineral langka (rare earth) yang dibutuhkan infrastrukturnya, hingga limbah elektronik yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi chip yang berkembang pesat, yang membuat perangkat yang ada saat ini cepat menjadi “usang”.
Kita harus membuat pilihan tentang bagaimana kita menggunakan sumber daya. Dan terjadi beberapa perkembangan menarik akhir-akhir ini. Pada bulan Maret 2024, Amazon menginvestasikan $650 juta untuk pembangunan fasilitas pusat data di wilayah Pennsylvania yang terletak di sebelah salah satu pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di AS. Sementara di bulan Juni 2024 Google menjalin kesepakatan dengan perusahaan utilitas milik grup konglomerasi Berkshire Hathaway di Nevada untuk memasok energi listrik pada pusat datanya dengan menggunakan tenaga panas bumi
Penulis:
R. Nugroho Purwantoro
Lembaga Management FEB UI
Referensi:
International Energy Agency, Electricity 2024: Analysis and forecast to 2026, IEA, Paris https://www.iea.org/reports/electricity-2024
Jack Haddon, Amazon buys nuclear data centre campus for $650 million, capacity, March 16, 2024 https://www.capacitymedia.com/article/2cxqq1fdgr4r4gais7cow/news/amazon-buys-nuclear-data-centre-campus-for-650-million?campaign_id=4&emc=edit_dk_20240710&instance_id=128369&nl=dealbook®i_id=100912859&segment_id=171750&te=1&user_id=5ac1376b47190190bb160a4dc5d2c935
Amanda Peterson Corio & Briana Kobor, How we're working with utilities to create a new model for clean energy, June 11, 2024, https://blog.google/outreach-initiatives/sustainability/google-clean-energy-partnership/?campaign_id=4&emc=edit_dk_20240710&instance_id=128369&nl=dealbook®i_id=100912859&segment_id=171750&te=1&user_id=5ac1376b47190190bb160a4dc5d2c935
Justine Calma, Microsoft’s AI obsession is jeopardizing its climate ambitions, The Verge, May 16, 2024 https://www.theverge.com/2024/5/15/24157496/microsoft-ai-carbon-footprint-greenhouse-gas-emissions-grow-climate-pledge
Istrate, R., Tulus, V., Grass, R.N. et al. The environmental sustainability of digital content consumption. Nat Commun 15, 3724 (2024). https://doi.org/10.1038/s41467-024-47621-w
Lois Parshley, The Unknown Toll Of The AI Takeover, The Lever, June 19, 2024, https://www.levernews.com/the-unknown-toll-of-the-ai-takeover/
Alex de Vries, The growing energy footprint of artificial intelligence, Joule, Vol 7, Issue 10, P. 2191-2194, October 18, 2023, DOI:https://doi.org/10.1016/j.joule.2023.09.004
Muldoon, J., Wu, B.A. Artificial Intelligence in the Colonial Matrix of Power. Philos. Technol. 36, 80 (2023). https://doi.org/10.1007/s13347-023-00687-8
Carole-Jean Wu, et.al., Sustainable AI: Environmental Implications, Challenges and Opportunities, arXiv:2111.00364v2, 2022, https://doi.org/10.48550/arXiv.2111.00364
Amanda Peterson Corio, A new clean energy purchasing model to drive decarbonization, September 17, 2022, https://cloud.google.com/blog/topics/sustainability/a-new-clean-energy-purchasing-model-to-drive-decarbonization
List of the Power Consumption of Typical Household Appliances, https://www.daftlogic.com/information-appliance-power-consumption.htm
Powering a Google search, January 11, 2009, https://googleblog.blogspot.com/2009/01/powering-google-search.html