Physical Risk
a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future of our planet and the proactive role business can play in driving its transition.
a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future of our planet and the proactive role business can play in driving its transition.
Terdapat dua kategori risiko keuangan yang terkait dengan perubahan iklim: risiko fisik dan risiko transisi. Risiko transisi merupakan risiko yang muncul dari proses transisi ke energi “bersih” atau “hijau” bagi suatu perusahaan/industri. Tulisan ini, berfokus untuk membahas risiko fisik, risiko yang muncul akibat dari dampak fisik yang berasal dari perubahan iklim.
Pada Agustus 2021, The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan asesmen keenamnya, “menegaskan” bahwa tindakan manusia yang menjadi penyebab dari kondisi pemanasan atmosfer, lautan, dan daratan yang terjadi saat ini. Pemanasan ini disebabkan oleh pelepasan gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2), terkait dengan pembakaran bahan bakar fosil, proses industri, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, serta gas lain — seperti metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) — dari aktivitas manusia.
IPCC mencatat sudah banyak rekor yang telah terlampaui, seperti: Konsentrasi karbon dioksida berada pada tingkat tertinggi dalam setidaknya 2 juta tahun, Permukaan laut naik pada tingkat tercepat dalam setidaknya 3000 tahun, hingga penyusutan Gletser dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam setidaknya 2000 tahun terakhir.
Pemanasan global menimbulkan banyak dampak fisik, dan diperkirakan akan semakin parah. Contohnya adalah cuaca panas ekstrem yang akan lebih sering dan intens, kekeringan di beberapa wilayah, serta pengurangan es laut (khususnya di wilayah Arktik), tutupan salju, dan permafrost. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menggambarkan kondisi ini sebagai 'kode merah' untuk kemanusiaan. Sebuah situasi yang sangat serius dan wajib jadi pertimbangan semua pihak.
Dampak fisik dari perubahan iklim akan mempengaruhi ekonomi dalam berbagai cara, seperti peristiwa kerusakan aset fisik akibat cuaca ekstrem, penurunan produktivitas pertanian, munculnya penyakit dan kematian terkait panas, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Terdapat dua jenis risiko fisik, yaitu risiko fisik akut atau kronis.
Risiko fisik akut terjadi akibat kejadian cuaca atau “bahaya” tertentu, seperti gelombang panas, banjir, kebakaran hutan, dan badai. Efeknya seringkali berskala besar namun frekuensi kejadiannya “kadang-kadang” (tidak berkelanjutan). Sementara risiko fisik kronis terjadi akibat perubahan pola iklim jangka panjang, seperti naiknya permukaan laut dan meningkatnya suhu rata-rata. Efeknya dalam satu waktu terhitung kecil, namun berlangsung terus secara berkelanjutan sehingga efeknya saat diukur secara akumulatif, misalnya dalam 10 tahun, akan menjadi besar.
Seperti risiko transisi, bahaya (peristiwa fisik seperti badai dan gelombang panas) tidak akan berubah menjadi risiko kecuali jika ada keterpaparan dan kerentanan. Paparan di sini digunakan dalam pengertian bahwa aset atau perusahaan berlokasi di tempat yang rentan terkena dampak bahaya ini, misalnya pabrik manufaktur atau pembangkit energi yang dibangun di zona pantai dataran rendah.
Sementara kerentanan mengacu pada kecenderungan untuk terpengaruh secara negatif oleh pemicu risiko tertentu, yang dapat muncul dari kurangnya kapasitas perusahaan untuk beradaptasi. Untuk aset fisik, kerentanan akan bergantung pada cara pembuatannya, misalnya, material yang digunakan, elevasinya, dan adaptasi apa pun yang dilakukan (seperti isolasi, pompa air, atau pendingin udara). Dua properti yang terletak di jalan yang sama mungkin memiliki kerentanan yang sangat berbeda hanya karena cara mereka dibangun atau diadaptasi.
Perusahaan dapat terkena risiko fisik baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, sebuah pabrik mungkin terkena dampak langsung karena berada di daerah yang semakin rawan banjir. Tetapi meskipun pabrik itu sendiri terlindung dengan baik dari banjir dan bahaya lainnya, perusahaan tetap dapat terkena dampak tidak langsung jika rantai pasokannya terpengaruh.
Contoh nyata dari disrupsi yang disebabkan risiko fisik adalah peristiwa banjir di Thailand pada tahun 2011. Produsen hard disk drive komputer dan produsen mobil terkena dampak secara langsung. Bahkan gangguan pasokan pada produsen hard disk drive menyebar dampaknya pada produsen barang elektronik di berbagai perusahaan, mulai dari produsen ponsel hingga produsen peralatan elektronik di Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.
Salah satu kompleksitas dalam pengelolaan risiko fisik berasal dari sifat dampaknya yang dapat tidak linier. Dimana saat bahaya mencapai ambang batas pada berbagai sistem – baik itu manusia, ekologi ataupun buatan manusia – sistem dapat berhenti berfungsi secara efisien.
Komplikasi lain berasal dari sifat risiko perubahan iklim itu sendiri yang “berjenjang” (cascading). Bahaya iklim yang berbeda dapat memberi dampak yang bervariasi dan berinteraksi, menimbulkan banyak bentuk konsekuensi sosial, ekonomi dan keuangan. Misalnya, gelombang panas besar selain dapat menyebabkan gagal panen, juga menciptakan krisis pangan, kerusuhan sosial, yang akhirnya berpotensi menimbulkan konflik bersenjata dan destabilisasi pasar.
Risiko berjenjang ini dapat memperkuat dampak peristiwa fisik dengan cara yang kompleks dan tidak dapat diprediksi.
Faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan risiko fisik adalah perkembangan emisi di masa depan. Tapi bagaimana emisi ini mempengaruhi perubahan suhu? Karena sistem iklim bergerak “lambat”, emisi historis dari beberapa tahun yang lalu akan menyebabkan sebagian besar pemanasan global dalam beberapa dekade mendatang. Seluruh perkiraan iklim (rata-rata pemanasan suhu) memiliki ramalan yang sama dalam waktu dekat (2021 – 2040) tetapi bervariasi hingga 4 derajat celcius dalam jangka panjang (2061 hingga 2100). Dengan kata lain, butuh waktu puluhan tahun untuk melihat perbedaan tren pemanasan global di berbagai skenario. Jalur risiko fisik di masa depan (40 - 80 tahun mendatang) sangat bergantung pada tindakan yang kita ambil selama 10 - 20 tahun kedepan.
Sayangnya, pengelolaan risiko fisik prioritasnya saat ini belum setinggi seperti pengelolaan risiko transisi bagi banyak perusahaan khususnya di sektor keuangan. Dari sedikit yang mulai mengelola risiko fisik, fokus masih diarahkan pada pengelolaan risiko yang mempengaruhi operasi perusahaan sendiri, masih sangat jarang yang memantau/mengelola bagaimana risiko fisik mempengaruhi rekanan atau penempatan investasi/dana mereka. Hal ini dapat dimengerti mengingat kerangka waktu dampak risiko fisik yang relatif panjang, tetapi tidak bijaksana untuk mengabaikan risiko ini sepenuhnya. Untuk strategi dan proyek jangka panjang pada khususnya, risiko fisik harus masuk ke dalam penilaian risiko dari setiap perencanaan dan investasi.