Paper berjudul "Cross-country determinants of market efficiency: A technical analysis perspective", dari 2 peneliti, Jiali Fang (Massey University, Selandia Baru) dan Ben Jacobsen (TIAS Business School, Belanda) dalam Journal of Banking and Finance (Volume 169, 2024), mengeksplorasi mengapa pasar saham di berbagai negara ditemukan bervariasi dalam tingkat inefisiensinya.
Pada konsep efisensi pasar "bentuk lemah"— harga saham seharusnya sepenuhnya mencerminkan semua informasi harga masa lalu, sehingga mustahil untuk secara konsisten mendapatkan keuntungan hanya dengan memanfaatkan pola dalam data historis (seperti analisis teknikal).
Fang & Jacobsen (2024) mengungkapkan adanya fenomena inefisiensi pasar secara luas yang mereka buktikan dengan menggunakan profitabilitas strategi perdagangan teknikal sebagai proksi untuk inefisiensi (dimana, adanya keuntungan/imbal hasil yang lebih tinggi dari penggunaan strategi analisis teknikal menunjukkan efisiensi pasar yang lebih rendah). Mereka menganalisis data dari 50 pasar saham global selama 1994–2018 menggunakan data indeks saham harian dari Global Financial Data. Meliputi baik pasar maju (misalnya, AS, Jepang) dan pasar berkembang (termasuk Indonesia), dan menguji mana diantara tujuh faktor yang kemungkinan menjadi penentu perbedaan efisiensi pasar yang ditemukan.
Strategi Perdagangan bebasis analisis teknikal yang digunakan dalam penelitian ini, memakai 26 aturan dari Brock et.al. (1992), yang secara ringkas dapat dikategorikan sebagai: Variable-Length Moving Averages (VMA), Fixed-Length Moving Averages (FMA) dan Trading Range Breaks (TRB) dalam empat portofolio investasi komposit:
- Equal: Rata-rata dari semua 26 aturan.
- Composite: berdasarkan sinyal mayoritas (dengan holding period fleksibel)
- CompFixed: berdasarkan sinyal mayoritas dengan holding period 10 hari
- CompFixedNet: CompFixed dikurangi biaya transaksi yang diperkirakan melalui metode Fong et al., (2017),
Tingkat keuntungan/imbal hasil dihitung bulanan setelah posisi long (sinyal beli), posisi short (sinyal jual), atau memegang aset bebas risiko (tanpa sinyal). Penyesuaian risiko menggunakan regresi Fama-French 4 faktor (premium pasar, SMB, HML, MOM).
Kemudian, atas fenomena inefisiensi pasar (adanya abnormal profit atau alpha), Fang & Jacobsen (2024) berhipotesis dan menguji tujuh faktor yang mereka perkirakan memengaruhi efisiensi pasar yaitu:
1. Herding: Kecenderungan investor untuk mengikuti arus, yang menyebabkan munculnya tren harga dan fenomena inefisiensi pasar. Proksi dari herding menggunakan Indeks budaya (individualisme/kolektivisme) Hofstede.
2. Sentimen Investor: Optimisme/pesimisme irasional yang mendorong harga menjauh dari fundamental merujuk De Long et.al. (1990) menggunakan proksi Indeks Kepercayaan Konsumen/Bisnis (dan alternatifnya seperti indeks VIX atau volatilitas saham).
3. Kualitas Kelembagaan: Kekuatan sistem hukum, tingkat korupsi, dll, yang memengaruhi arus informasi dan tata kelola. Proksi yang digunakan adalah Indeks ICRG.
4. Tingkat Perkembangan Pasar Ekuitas: Pasar yang lebih matang seharusnya efisien karena likuiditas/informasi yang lebih baik. Proksi yang digunakan adalah rasio nilai Kapitalisasi pasar/PDB, omzet, jumlah perusahaan tercatat, usia pasar, dan tingkat konsentrasi (indeks Herfindahl).
5. Perlindungan Investor: Perlindungan terhadap insider trading, mengurangi asimetri informasi. Merujuk pada La Porta et.al. (1998) menggunakan proksi metrik hak kreditor, hak anti-direktur, standar akuntansi).
6. Kekacauan (Nonlinieritas dalam Imbal Hasil): Pola kompleks dan tak terduga dalam imbal hasil saham yang mungkin dieksploitasi oleh analisis teknikal. Proksi yang digunakan adalah berbagai hasil uji statistik.
7. Fraksionalisasi Masyarakat: Pembagian berdasarkan etnis, bahasa, atau agama merujuk pada Alesina et.al. (2003), yang dapat meningkatkan ketidakpercayaan/risiko politik (mengurangi efisiensi) atau mengurangi herding (meningkatkan efisiensi).
Secara keseluruhan, Fang & Jacobsen (2024) menemukan bahwa efisiensi pasar tidak seragam secara global, dan tingkat inefisiensi pasar dibentuk oleh unsur-unsur perilaku (herding), struktural (kualitas kelembagaan/perkembangan pasar), dan kekacauan (pola pergerakan imbal hasil saham yang tidak linear).
Intinya adanya fenomena “Herding” membuat analisis teknikal dapat memberikan imbal hasil investasi lebih baik, akibat investor di suatu pasar mayoritasnya cenderung mengikuti arus, sehingga mudah “ditebak” dan “dimanfaatkan”. Kualitas kelembagaan dan tingkat Perkembangan pasar yang rendah semakin memperparah tingkat inefisensi.
Penelitian Fang & Jacobsen (2024) memberikan wawasan tentang mengapa beberapa pasar tetap kurang efisien dibandingkan pasar lainnya dan menunjukkan bahwa faktor budaya/perilaku investor dan kelembagaan memainkan peran penting dalam menentukan tingkat efisiensi pasar.
Pelajaran spesifik apa tentang pasar Indonesia yang dapat kita peroleh dari hasil penelitian ini? Fang & Jacobsen (2024) menggambarkan di Indonesia dimungkinkan bagi strategi berbasis analisis teknikal untuk memberikan tingkat imbal hasil investasi yang tinggi secara gross/mentah (monthly return 1.02% per bulan, termasuk kelompok tertinggi diantara sampel 50 negara yang diamati), namun jika diukur secara net (disesuaikan dengan risiko dan biaya), analisis teknikal memberi kinerja investasi yang buruk (negatif atau ditemukan tidak signifikan secara statistik). Apa maknanya?
Tingginya tingkat imbal hasil gross (mentah) menunjukkan bahwa pasar Indonesia memiliki tingkat “inefisiensi yang signifikan” yang dapat dieksploitasi oleh analisis teknikal. Namun, sebagian besar “profitabilitas” ini kemungkinan hanyalah kompensasi atas risiko pasar yang jauh lebih tinggi daripada inefisiensi yang sebenarnya.
Karena, berdasarkan kerangka penelitian Fang & Jacobsen (2024), investor Indonesia kemungkinan besar menunjukkan perilaku berkelompok (herding) yang tinggi. Dimana Indonesia memiliki skor herding maksimum (2.84) dalam sampel penelitian ini. Faktor kualitas kelembagaan pasar juga ditemukan lebih rendah, demikian pula nilai perkembangan “infrastruktur pasar” yang kurang berkembang. Biaya transaksi ditemukan lebih tinggi berdasarkan pengukuran penelitian ini (0.0388 vs. rata-rata 0.0244).
Artinya, strategi investasi berbasis analisis teknikal “mungkin” akan menguntungkan di pasar Indonesia. Namun, investor perlu berhati-hati terhadap biaya transaksi dan memperhitungkan risiko dengan tepat. Karena Indonesia tampaknya berada dalam kategori pasar di mana faktor-faktor prediksi efisiensi pasar teoritis konvensional tidak sepenuhnya berlaku. Faktor budaya/perilaku (kolektivisme/herding yang tinggi) ditemukan berdampak signifikan terhadap perilaku pasar dan pengembangan kelembagaan pasar sendiri masih terus berjalan meskipun lambat.
Dengan kata lain, Indonesia dapat diklasifikasi sebagai pasar berkembang di mana teori keuangan tradisional mungkin tidak sepenuhnya berlaku, dan faktor perilaku maupun kelembagaan memengaruhi dinamika pasar secara signifikan.
Penelitian Fang & Jacobsen (2024) menunjukkan pasar modal Indonesia memiliki tingkat “Efisiensi Pasar yang Rendah”. Hal ini terutama didorong oleh faktor budaya (herding), kelemahan institusional, dan kesenjangan perkembangan pasar. Meskipun hal ini menciptakan peluang bagi investor ahli yang menggunakan analisis teknikal, hal ini juga menunjukkan bahwa pasar tidak mengalokasikan modal atau memasukkan informasi ke dalam harga secara optimal, menunjukkan adanya ruang untuk perbaikan dalam struktur dan regulasi pasar.
Indonesia termasuk dalam pasar dengan efisiensi paling “rendah” di antara 50 negara sampel, mendapatkan skor herding 2.84 (maksimum dalam sampel) yang menggambarkan tingkat budaya/perilaku kolektivis yang tinggi, yang menyebabkan investor cenderung mengikuti arus massa daripada analisis independen. Hal ini menciptakan momentum yang dapat dimanfaatkan oleh analisis teknikal. Skor kualitas institusi yang lebih rendah menunjukkan, aturan hukum yang lebih lemah, korupsi yang lebih tinggi dan pengawasan regulasi yang kurang efektif sehingga mengurangi kualitas informasi dan efisiensi pemrosesan di pasar. Asimetri informasi diantara investor menjadi lebih tinggi.
Penelitian Fang & Jacobsen (2024) menunjukkan Indonesia berpotensi meningkatkan efisiensi pasar dengan cara:
- Memperkuat kelembagaan: penegakan hukum, pengurangan korupsi
- Meningkatkan infrastruktur pasar: sistem perdagangan, penyebaran informasi
· Meningkatkan edukasi investor: mengurangi perilaku berkelompok/herding
· Mengembangkan institusi/perantara keuangan: pemrosesan informasi yang lebih baik
Sebagai konteks perbandingan, Indonesia ditemukan “kurang efisien” dibandingkan Singapura dan Malaysia (rekan regional), “setara” dengan pasar negara berkembang (emerging) lainnya yang sama-sama mengalami tantangan kelembagaan, namun sudah “lebih efisien” daripada pasar “frontier” seperti Bangladesh dan Ekuador.
Pelajari lebih lanjut:
Jiali Fang & Ben Jacobsen, Cross-country determinants of market efficiency: A technical analysis perspective, Journal of Banking and Finance, 169 (2024), https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2024.107297