Harus kita akui bahwa pada kenyataannya model jarang digunakan sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan; tujuan model digunakan seringkali lebih untuk membantu membenarkan suatu tindakan/keputusan yang telah ditentukan sebelumnya. Ini terjadi tidak hanya di dalam konteks bisnis/perusahaan namun hingga konteks pemerintahan atau regulasi.
Dalam banyak kejadian (studi), evaluasi empiris dilakukan hanya oleh sejumlah kecil ahli/konsultan yang bisnis utamanya adalah pemodelan, dan tentu saja telah lebih dahulu memahami jawaban apa yang ingin didengar oleh mereka yang mensponsori kegiatan penelitian tersebut. Kesuksesan komersial jasa konsultasi/riset mereka bergantung pada penyampaian apa yang diinginkan oleh klien/pelanggan. Akademisi yang selalu berupaya menarik perhatian publik dan memperoleh pendanaan penelitian tentu akan mudah terkooptasi dalam proses ini.
Setidaknya terdapat 5 (lima) hal yang menjadi keterbatasan dari sebuah model. Dan bagaimana pemodelan diterapkan pada kenyataannya justru akan membuatnya menjadi tidak bermanfaat sama sekali: Pertama, pemodelan seringkali dilakukan dengan menerapkan pola umum bahkan untuk situasi yang berbeda sekalipun. Padahal dalam realitanya, ada variasi yang besar dalam setiap sifat, skala, aktivitas, dan kondisi dari suatu masalah/fenomena yang harus dipelajari.
Kedua, pemodelan seringkali digunakan (bahkan dalam kasus/studi akademis yang berupaya untuk mengisi kesenjangan pengetahuan sekalipun) dengan menciptakan angka-angka (misalkan lewat proses simulasi). Sehingga wawasan/temuan yang dihasilkan mengenai hubungan antara asumsi dan hasil menjadi tidak dapat dipahami oleh siapa pun.
Ketiga, praktik-praktik pemodelan (khususnya regresi untuk mencari hubungan sebab-akibat), selalu mengasumsikan, walau mungkin tanpa pembenaran, stasioneritas dari proses-proses yang mendasarinya. Sehingga muncul masalah Keempat, jika ternyata tidak ada stasioneritas, maka pemodelan ini tidak punya cara untuk memperhitungkan ketidakpastian dan tidak memiliki dasar untuk membangun distribusi probabilitas, interval kepercayaan, ataupun untuk menggunakan alat inferensi statistik. Kelima, karena biaya dan kompleksitas suatu model, penerapannya sering kali menghambat konsultasi dan perdebatan publik yang berarti.
Pada akhirnya, suatu model hanya berguna jika orang yang menggunakannya memahami bahwa model tersebut tidak dapat mewakili ‘dunia sebagaimana adanya’, namun lebih merupakan alat untuk mengeksplorasi cara-cara di mana suatu keputusan mungkin salah atau tidak. Model tidak boleh dinilai berdasarkan kecanggihan matematikanya, tetapi berdasarkan wawasan yang dapat diberikan model tersebut ke dalam masalah tertentu yang kita coba pecahkan.