a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future
Bayangkan tiga situasi berikut: Tiga tim berbeda, masing-masing terdiri dari sepuluh karyawan sedang bekerja di kantor ketika mereka tiba-tiba menerima pemberitahuan bahwa gedung perlu dievakuasi karena alarm kebakaran menyala. Di tim pertama, sang manajer berdiri dan memerintahkan: “Semuanya, bangun dan ikuti saya!” Ketika dia mulai bergerak dan hanya beberapa orang yang mengikuti, dia berteriak kepada mereka yang masih duduk di meja mereka: “Saya bilang, bangun, jalan sekarang!”
Di tim kedua, sang manajer menyampaikan rencana terperinci kepada kelompoknya: “Kita harus segera mengungsi. Ini yang harus dilakukan: satu, semua orang berdiri dan keluar melalui pintu utama. Dua, jaga jarak setidaknya 1 meter dan jangan lari. Tiga, pastikan membawa barang-barang pribadi dan menuju ke titik berkumpul di tempat parkir. Kemudian, setelah kita sampai di sana…”
Di tim ketiga, manajer dengan tenang mengumumkan: “Ada alarm kebakaran, jadi ayo kita semua pergi ke tempat parkir. Kita bisa berkumpul kembali di sana dan memastikan semua orang aman. Ingatlah untuk membawa barang-barang penting dan keluar dengan tenang.”
Harus diakui banyak inisiator perubahan, termasuk saya pribadi, mencoba mentransformasi organisasi menggunakan metode yang mirip dengan dua skenario pertama: secara otoriter dan secara manajemen mikro. Kedua pendekatan tersebut telah diterapkan secara luas di berbagai organisasi selama satu abad terakhir, namun sebagian besar ditujukan untuk mempertahankan sistem yang sudah ada, bukan untuk mengubah sistem lama menjadi sistem baru yang lebih baik.
Jika tujuannya adalah perubahan, khususnya perubahan perilaku, kecuali sang inisiator sangat berkuasa, keputusan otoriter sering kali tidak berjalan baik bahkan dalam situasi sederhana sekalipun, seperti contoh kasus alarm kebakaran diatas. Dalam organisasi yang kompleks, pendekatan otoriter tidak akan berhasil sama sekali. Tanpa kekuasaan setara raja dan ratu, otoritarianisme tidak mampu menembus semua kekuatan penghambat. Akan selalu ada orang-orang yang mengabaikan atau berpura-pura bekerja sama sambil melakukan segala kemungkinan untuk melemahkan upaya perubahan.
Sementara, manajemen mikro mencoba mengatasi masalah dengan menentukan secara rinci setiap langkah yang harus dilakukan anggota organisasi dan kemudian memantau kepatuhan mereka. Taktik ini dapat saja menerobos beberapa hambatan perubahan, namun membutuhkan waktu yang lama. Karena membuat dan mengkomunikasikan rencana yang rinci perlu waktu, perubahan yang dihasilkan dengan cara ini cenderung bersifat bertahap. Sehingga, jika situasi yang dihadapi organisasi tergolong kritis, menyangkut eksistensi atau keberlanjutan, seperti perusahaan yang di ambang kebangkrutan. Maka, pendekatan ini akan tidak efektif.
Hanya pendekatan yang digunakan dalam skenario ketiga di atas yang berpotensi dapat menerobos semua kekuatan yang mendukung status quo dan mendorong perubahan. Pendekatan ini didasarkan pada keberadaan visi yang jelas dan mudah dipahami semua pihak. Visi dalam konteks ini mengacu pada gambaran masa depan dilengkapi dengan beberapa dampak implisit atau eksplisit tentang mengapa orang harus berusaha untuk menciptakan masa depan tersebut.
Dalam proses perubahan, pakar manajemen dari Harvard, John Kotter, menjelaskan bahwa visi yang baik harus memiliki tiga tujuan penting. Pertama, memperjelas arah perubahan secara umum. Dengan mengatakan bahwa “kita harus berada di posisi teratas dalam 3 tahun ke depan”, misalnya, dapat menyederhanakan ratusan proses keputusan lebih rinci yang harus diambil . Kedua, visi membantu memotivasi orang untuk mengambil tindakan ke arah yang benar, meskipun langkah awalnya mungkin menyakitkan secara pribadi. Ketiga, visi harus dapat membantu mengkoordinasikan tindakan banyak orang yang berbeda, dengan cara yang cepat dan efisien.
Mengklarifikasi arah perubahan adalah hal yang penting, karena seringkali orang tidak sepakat mengenai arah perubahan, bingung, ataupun bertanya-tanya apakah perubahan signifikan benar-benar diperlukan. Visi yang efektif dan strategi dapat membantu menyelesaikan permasalahan ini. Dengan kejelasan arah, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan bisa dihilangkan. Satu pertanyaan sederhana—apakah hal ini sejalan dengan visi?—dapat membantu menghilangkan diskusi berkepanjangan yang menyiksa. Dengan kejelasan arah, proyek yang tidak sesuai dapat diidentifikasi dan dihentikan, meskipun proyek tersebut mendapat dukungan politik misalnya. Sehingga sumber daya dapat difokuskan untuk digunakan dalam proses perubahan.
Sebelumnya, pakar manajemen, Henry Mintzberg, juga telah menunjukkan bahwa organisasi yang dipaksa untuk mengartikulasikan strategi yang sebenarnya tidak ada – karena manajemennya tidak memiliki visi, atau karena mereka masih terlibat dalam proses pembelajaran yang rumit untuk menciptakannya – akan mudah terjebak dalam berbagai jenis perilaku pemborosan. Salah satunya adalah pernyataan basa-basi – strategi yang sekilas tampak nyata, namun tidak ada seorang pun yang ingin menerapkannya, bahkan jika hal itu memungkinkan.
Fungsi penting kedua dari visi adalah memfasilitasi perubahan besar dengan memotivasi tindakan yang tidak selalu demi kepentingan pribadi jangka pendek. Setiap perubahan hampir selalu menyakitkan di banyak organisasi. Banyak orang dipaksa keluar dari zona nyaman, dipaksa bekerja dengan sumber daya yang lebih sedikit, diminta mempelajari keterampilan dan perilaku baru, dan diancam kehilangan pekerjaan. Dalam keadaan seperti ini, wajar jika orang selalu memandang perubahan tanpa rasa antusiasme yang besar. Visi yang baik membantu mengatasi keengganan ini, mendorong orang untuk melakukan apa yang diperlukan dengan memberikan harapan dan motivasi. Visi yang baik harus dapat membantu menjelaskan bahwa pengorbanan memang diperlukan, namun akan menghasilkan manfaat dan keuntungan pribadi yang jauh lebih tinggi daripada apa yang ada saat ini.
Fungsi penting ketiga, visi membantu menyelaraskan individu, sehingga mengkoordinasikan tindakan orang-orang yang termotivasi dengan efisien. Tanpa visi, diperlukan banyak arahan terperinci atau pertemuan tanpa akhir, yang membuat proses perubahan menjadi jauh lebih lambat dan lebih mahal. Dengan kejelasan visi, setiap orang dalam organisasi dapat menentukan sendiri apa yang harus dilakukan tanpa terus-menerus menanyakan kepada atasan atau rekan kerja mereka. Ini seringkali sangat penting karena biaya koordinasi dalam melakukan perubahan, terutama jika melibatkan banyak orang, bisa sangat mahal. Tanpa adanya kesamaan arah, orang-orang dapat berakhir dalam konflik terus-menerus dan pertemuan tanpa henti. Dengan adanya visi bersama, mereka dapat bekerja dengan otonomi tertentu namun tidak saling menjatuhkan.
Sebuah visi bisa saja bersifat biasa dan sederhana, karena dalam keberhasilan upaya perubahan, visi hanya merupakan satu elemen dalam sistem yang lebih besar yang juga mencakup strategi, rencana, dan anggaran. Namun meskipun hanya salah satu faktor dalam sistem yang besar, visi merupakan faktor yang sangat penting. Tanpa visi, pembuatan strategi dapat menjadi aktivitas yang lebih kontroversial dan penganggaran dapat berubah menjadi sebuah pekerjaan yang tidak ada gunanya, sekedar mengambil angka-angka tahun lalu dan mengubahnya sebesar 5 persen dengan satu atau lain cara. Terlebih lagi, tanpa visi yang baik, strategi yang cerdas atau rencana yang logis jarang dapat menginspirasi tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan besar.
John Kotter menambahkan, visi yang efektif memiliki lima karakteristik utama. Pertama, menggambarkan suatu aktivitas atau organisasi di masa depan. Kedua, mengartikulasikan serangkaian kemungkinan yang merupakan hal terbaik bagi sebagian besar orang yang mempunyai kepentingan dalam organisasi (pelanggan, pemegang saham, karyawan, masyarakat). Sebuah visi yang bagus seringkali memerlukan pengorbanan dari sebagian atau seluruh kelompok demi menghasilkan masa depan yang lebih baik, namun visi tersebut tidak pernah mengabaikan kepentingan jangka panjang siapa pun. Karakteristik ketiga, visi yang efektif adalah visi yang realistis. Bukan fantasi menyenangkan yang tidak memiliki peluang untuk diwujudkan. Keempat, visi yang baik juga cukup jelas untuk memotivasi tindakan namun cukup fleksibel untuk memungkinkan inisiatif. Terakhir, visi yang efektif mudah dikomunikasikan.
Apakah diperlukan visi yang mampu “memuaskan” harapan dari semua pemangku kepentingan? Sayangnya, sebuah visi yang menyeimbangkan kepentingan secara sempurna biasanya hanya dapat menjanjikan manfaat/keuntungan “rata-rata” kepada setiap pemangku kepentingan, bukan yang “terbaik”. Dalam pasar atau lingkungan yang kompetitif, dibutuhkan lebih dari sekedar “rata-rata”. Pertanyaan yang relevan bukan lagi “memangkas biaya atau meningkatkan kualitas?” namun “bagaimana mengurangi pengeluaran sekaligus meningkatkan kualitas?” Bukannya “fokus menjadi organisasi dengan SDM berketerampilan tinggi (dan bergaji tinggi) atau fokus menjadi produsen/penyedia termurah?” namun “bagaimana menciptakan SDM terbaik dan sekaligus menjadi produsen/penyedia dengan biaya terendah?" Komentar banyak orang akan tuntutan ini, itu sangat sulit! Jawaban saya, itu yang membedakan pemenang dari pecundang.
Kesuksesan upaya perubahan memerlukan visi yang baik. Namun keberadaan visi tidak memastikan kesuksesan sebuah perubahan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, visi hanyalah salah satu komponen dari sekian banyak hal yang diperlukan untuk mensukseskan perubahan. Kita harus menyadari bahwa manusia memiliki keterbatasan. Seringkali ketika kita mendedikasikan diri pada sebuah visi perubahan dan ternyata rencana ini tidak berjalan sesuai harapan, naluri pertama kita biasanya bukannya memikirkan ulang rencana tersebut. Sebaliknya, kita cenderung melipatgandakan upaya dan menghabiskan lebih banyak sumber daya dalam menjalankannya. Kita melakukan eskalasi komitmen, tetap bertahan dengan strategi awal ketika seharusnya mengambil jalan lain. Saya sendiri juga mengalaminya.
Sunk cost selalu dijadikan alasan, namun seperti yang diingatkan pakar psikologi organisasi, Adam Grant, penyebab terpenting eskalasi komitmen lebih bersifat psikologis dibandingkan faktor ekonomi. Eskalasi komitmen terjadi karena kita merasionalisasi, terus-menerus mencari pembenaran untuk keyakinan kita sebelumnya sebagai cara untuk menenangkan ego, melindungi citra diri, dan memvalidasi keputusan masa lalu yang kita buat. Hati-hati, ini dapat menjadi faktor utama kegagalan, yang sebenarnya dapat dicegah.
Secara psikologis, inisiator perubahan umumnya memiliki mesin kesuksesan yang paling terkenal: ketabahan. Ketabahan adalah kombinasi dari semangat dan ketekunan, dan ketabahan dapat memainkan peran penting dalam memotivasi untuk mencapai tujuan jangka panjang. Namun, ketika seorang inisiator perubahan dihadapkan pada kondisi harus memikirkan kembali upaya yang dirintisnya, ketabahan dapat memiliki sisi gelap. Pendaki gunung yang tangguh lebih mungkin meninggal dalam ekspedisi, karena mereka lebih bertekad melakukan apa pun untuk mencapai puncak. Ada garis tipis antara kegigihan yang heroik dan sikap keras kepala yang bodoh. Kita harus mampu menyadari bahwa terkadang jenis ketabahan terbaik adalah mengakui kegagalan dan menempuh alternatif lain.
Mengembangkan visi yang baik penting bagi kesuksesan upaya perubahan. Tetapi ketahuilah, membuat visi merupakan latihan kepala dan hati, membutuhkan waktu, keterlibatan sekelompok orang, dan sulit untuk dilakukan dengan baik.
Penulis:
R. Nugroho Purwantoro
Lembaga Management FEB UI
Referensi:
John P. Kotter, Leading Change (Boston, Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2012)
Adam M. Grant, Think again: the power of knowing what you don’t know (New York: Viking, 2021)
Henry Mintzberg, The Rise and Fall of Strategic Planning (New York: Free Press, 1994)