a note from R. Nugroho Purwantoro, FEB UI lecturer's who is always curious about the future
Bagi Boeing, meraih keuntungan dari program 787 Dreamliner yang penuh masalah, hanya bisa dilakukan lewat efisiensi produksi yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam industri manufaktur pesawat. 8 tahun berlalu (2011) sejak dimulainya program 787 dan masalah masih saja ada.
Selama puluhan tahun, Boeing mendesain dan membangun (serta menanggung seluruh biaya investasi dan produksi yang diperlukan) sendiri pesawat mereka. Mulai 2003, Boeing mencoba melakukan outsourcing hampir seluruh proses manufaktur 787 ke berbagai pemasok yang tersebar di banyak negara.
Hanya saja, saat perakitan akhir 787 perdana dimulai pada Mei 2007, masalah besar muncul. Para mekanik di pabrik perakitan akhir Boeing menemukan ribuan box komponen (braket, klip, kabel) ternyata belum dipasang oleh supplier/outsourcing mereka. Beberapa komponen tersebut bahkan tidak dilengkapi manual/penjelasan cara instalasinya. Akhirnya, 25 September 2011 (terlambat 3 tahun dari rencana), Boeing baru dapat memenuhi pesanan 787 perdana dari All Nippon Airways. Setelah melewati milyaran dollar biaya perbaikan rantai pasokan 787.
Hingga 2011, Boeing hanya mampu memproduksi 2 unit 787 per bulan. Untuk dapat meraih untung, paling lambat mulai 2013 Boeing harus mampu menghasilkan 10 pesawat per bulan. Sesuatu yang belum pernah dicapai sebelumnya di industri.
Keuntungan Boeing sudah tergerus akibat masalah 787. Model ini sangat populer sehingga di tahap deasin saja telah berhasil terjual sebanyak 820 unit. 787 menjanjikan biaya operasional (bahan bakar dan perawatan) yang lebih murah dan kenyamanan penumpang yang lebih baik dibanding pesawat lain yang ada saat ini. 787 adalah jet penumpang paling cepat terjual sepanjang sejarah. Namun, masalah pasokan dan produksi membuat pemenuhan order menjadi sangat terlambat dan Boeing harus membayar biaya kompensasi yang mahal kepada para pemesan mereka.
Boeing tetap optimis dengan 787, pesawat ini merupakan inovasi terbaru di seluruh aspek. Bahan pesawat memakai serat karbon (bukan alumunium) yang membuat proses produksi lebih singkat. Penundaan di awal produksi (hingga 2013) lebih dikarenakan perlunya melakukan modifikasi atas 40 unit rakitan perdana. Saat masalah ini teratasi, produksi akan berjalan normal walaupun 2 pabrik perakitan akhir yang digunakan Boeing letaknya berjauhan (pabrik baru di North Charleston, South Carolina sedangkan pabrik existing di Seattle, ujung ke ujung).
Saat ini (2018), Boeing telah berhasil memproduksi rata-rata 12 unit 787 per bulan dan telah memenuhi 708 unit pesanan perdana. Diharapkan pada 2019 kecepatan produksi dapat ditingkatkan menjadi 14 unit pesawat per bulan sehingga pada 2020 Boeing dapat memenuhi unit pesanan yang ke 1000.
Timeline perjalanan awal 787:
Mei 2007: perakitan 787 perdana, order pertama diperkirakan dipenuhi pada pertengahan 2018
Juli 2007: 787 perdana dipamerkan (tentu saja belum bisa terbang)
September 2007: uji terbang perdana ditunda sampai Desember 2007 karena masalah pada sistem komputer dan kurangnya pasokan
Januari 2008: uji terbang masih tertunda sampai Maret 2008 karena masalah pasokan dan perakitan
Desember 2008: uji terbang masih tertunda sampai pertengahan 2009, terjadi pemogokan karyawan
Juni 2009: ditemukan kesalahan struktural pada desain, uji terbang dan pemenuhan order ditunda
Agustus 2009: uji terbang dijadwalkan akhir 2009 dan pemenuhan order perdana di akhir 2010
Desember 2009: uji terbang perdana
November 2010: pesawat uji coba mengalami kebakaran saat terbang dan harus mendarat darurat. uji terbang dihentikan sementara
Januari 2011: pemenuhan order perdana dijadwalkan kuartal ke-3 2011
September 2011: order perdana All Nippon Airways dipenuhi.
Juni 2025: kecelakaan (jatuh) pertama, Air India 171. Total terdapat lebih dari 1,100 unit 787 beroperasi di dunia