Perhatikan kecenderungan komentator atau pengamat, khususnya keuangan, di media yang melaporkan gerakan harian indeks saham (untuk kemudian meramal apakah akan ditutup naik atau turun lengkap dengan berbagai “bumbu” mulai dari statistik hingga ego) dalam indikator poin dan bukan persentase.
Itu hanyalah angka tanpa arti, “Ok kita lihat, IHSG hingga tengah hari ini sudah naik 25 poin, maka dipastikan pasar akan ditutup menguat,” apa arti 25 poin ini tanpa mengetahui angka dasarnya. Seandainya level IHSG yang menjadi acuan awal adalah 4465, maka kenaikan 35 poin dalam satu hari perdagangan sama dengan kenaikan sebesar 0.78%. Pemakaian persentase akan memberi konteks pada penyajian data. Pada contoh ilustrasi ini, pembaca akan lebih mudah menilai apakah keuntungan 0.78% dalam sehari cukup besar atau tidak bagi dirinya.
Masalah juga dapat timbul dari penggunaan grafik untuk menjelaskan sebuah perkembangan dari indikator tertentu. Idealnya, sumbu Y (atau vertikal) harus selalu dimulai dari 0 bila memungkinkan. Bayangkan grafik yang dimulai vertikal pada angka 500 dan menunjukkan diagram balok peningkatan angka penjualan dari 550 di satu tahun ke 600 pada tahun berikutnya. Grafik itu akan terlihat “cantik” dan seolah menunjukkan peningkatan kinerja penjualan yang signifikan. Coba kalau grafik tersebut disajikan dari angka 0 (nol), maka peningkatan yang ditunjukkan akan tampak “sepele”. Teknik ini sering digunakan manajemen perusahaan untuk membuat pencapaian kinerja yang biasa saja tampak cantik secara grafik (boleh saya dapat kenaikan bonus tahunan?).
Konteks juga berguna dalam penelitian medis. Obat yang diklaim mampu memberi efek penyembuhan misalnya akan lebih mudah untuk dinilai secara kritis jika diungkapkan pula bagaimana cara observasi/percobaannya dijalankan. Standarnya, studi di bidang ini dilakukan lewat eksperimen yang melibatkan minimal 2 kelompok pasien (dalam jumlah besar) yang dibuat secara random dimana masing-masing kelompok benar-benar mendapatkan “perawatan” (atau obat) yang berbeda untuk dapat memperkirakan efektivitas sebuah obat. Namun mengikuti standar ideal seringkali berarti biaya studi yang mahal dan waktu yang lama, sehingga sering digunakan alternatif lain yang mungkin saja lebih “rendah” kualitas hasil kesimpulannya. Padahal pada kasus dunia medis, hasil suatu penelitian ini bisa menentukan keselamatan nyawa seorang pasien di masa datang.
Fakta bahwa sebuah studi atas obat tidak menemukan efek samping, tidak dapat langsung disimpulkan bahwa tidak ada efek samping. Studi ini sendiri mungkin saja memiliki kelemahan dalam desain ataupun prosedur pelaksanaannya, atau mungkin saja efek samping tersebut terlalu kecil untuk bisa diamati.
Intinya sekali lagi tidak ada yang pasti dan statistik selalu menyadari akan hal ini. Masalahnya adalah orang-orang sering menafsirkan “ketidakhadiran” suatu bukti dari sebuah hasil analisis statistik sebagai bukti kuat akan “ketidakberadaan" bukti.
Ilustrasi lain, program diet yang diklaim efektif pada 8 dari 10 orang (ini adalah bahasa yang banyak digunakan pada iklan) belum tentu berarti bahwa 80% orang (siapapun) yang melakukan diet ini akan berhasil mengurangi berat badan. Bagaimana jika ada informasi bahwa kesimpulan ini didapat dari hasil uji terhadap sampel yang karakteristiknya (isinya) hanya remaja. Berarti untuk pria paruh baya tidaklah pantas untuk percaya bahwa rasio keberhasilan 80% itu juga berlaku untuk dirinya (mungkin diet ini malah tidak akan berhasil sama sekali bagi dia). Terlalu sering orang fokus pada angka, ataupun rasio namun kehilangan konteks atau makna karena tidak tahu bagaimana angka atau rasio tersebut dihasilkan atau komposisi sampel data yang digunakan.
Terlebih lagi, sampel bukanlah populasi, pengamatan terhadap 30 orang “mungkin” menggambarkan kondisi dari 3,000 orang namun hanya “mungkin” bukan “pasti”. Kalau ingin mendapat kepastian tentu harus mengamati 3,000 orang populasi tersebut seluruhnya tanpa kecuali.
Penggunaan rata-rata yang berlebihan juga dapat menyesatkan. Misalkan, “terjadi 1 pembunuhan setiap 10 menit”, atau, “seseorang sedang sekarat karena kelaparan disetiap lima detik”. Bisa jadi pernyataan itu memang menggambarkan rata-rata jumlah kasus pembunuhan ataupun kematian akibat kelaparan di suatu wilayah, namun tidak dapat diartikan bahwa setiap 10 menit waktu berlalu berarti ada 1 orang mati terbunuh.
Konteks juga dapat membantu meredakan optimisme berlebihan atas pemecahan sebuah rekor. Misalkan, film ini berhasil menjadi box-office tertinggi sepanjang sejarah (mencapai hasil penjualan tiket $3 Milyar misalnya). Cobalah untuk menyesuaikan nilai tersebut dengan inflasi, hasilnya bisa jadi tidak sebesar itu (film “Gone with the Wind” yang dirilis tahun 1939 masih dianggap banyak orang sebagai film terlaris sepanjang masa jika memperhitungkan inflasi).
Tetapi bagaimana dengan “keajaiban” atau dengan kata lain kemungkinan munculnya peristiwa yang tampaknya mustahil bisa terjadi. Seseorang menang lotre $1 Milyar dua kali, seorang ibu memiliki tiga anak dengan tanggal lahir yang sama, atau bertemu kenalan lama di belahan lain bumi. Masih dapatkan statistik dipercaya untuk menjelaskan hal ini? Masih, dengan jumlah penduduk dunia yang mencapai 7 Milyar jiwa, “keajaiban” yang sama seperti ini bisa terjadi pada lebih dari satu orang.