Rilis jadwal wawancara telah terbit. Hatipun bertambah galau. Bukan hanya isi materinya yang masih misterius. Tayang on linenya ternyata pada hari Jumat. Hari berkah ini menjadi dilema. Wawancara direncanakan berlangsung dari pukul 10.30 hingga 12.30 WIB. Aku berada di kawasan tengah sehingga selisih satu jam dari jadwal tersebut. Bagaimana dengan kewajiban salat Jumat? Hal ini membuatku bertanya kesana kemari melalui handphone.
Susah mengambil keputusan, akhirnya memberanikan diri bertanya pada fasilitaornya. Hal ini juga yang banyak disarankan oleh kawan-kawan. Seharian membuka isi WhatsApp hanya memastikan jawaban yang diberikan. Seolah-olah pesan lainnya kurang bermanfaat. Keesokan hari akhirnya jawabannya terlihat. Rupanya isinya belum memenuhi harapan.
“Waalaikum salam. Nanti sehari sebelum tampil, mohon menghubungi kembali. Hal ini karena banyaknya masalah jadwal yang ditangani. Agar tidak tumpang tindih.”
Walaupun tidak terjawab dengan maksimal namun aku sangat memahami problem yang ada. Mengurus guru dengan jumlah banyak memang perlu kearifan yang tepat. Hari selanjutnya dihadapi dengan pasrah. Segala ketentuan harus diterima. Membaca esai yang telah ditulis menjadi modal menghadapi tim penilai. Persiapan terus dilakukan walaupun perubahan jadwal belum pasti.
Tinggal beberapa hari giliran wawancara akan berlangsung. Seperti biasa, pagi itu mengisi kelas pembelajaran IPA. Hampir usai jam mengajar di kelas IX.1. Tiba-tiba telepon genggam bergetar di saku celana. Nomor tidak jelas itu hampir saja terabaikan. Tidak ada nama berarti tidak tersave. Dorongan hati untuk menerimanya begitu kuat. Biasanya hal ini diabaikan. Apalagi saat ini masih jam pelajaran berlangsung. Setelah berbincang sesaat, rupanya inilah jawaban yang dinanti-nanti.
“Apakah bapak bisa melakukan tes wawancara hari ini?”
“Sekarang bu?”
“Iya. Kebetulan salah satu peserta tidak hadir dalam form.”
“Boleh saya diberi waktu satu jam bu.”
“Memangnya bapak, saat ini dimana?”
“Di sekolah bu.”
“Nah, bapak bisa tes dari sekolah saja.”
“Jaringannya tidak stabil bu. Penggunanya sangat banyak, kemungkinan gangguan bisa terjadi. Ini pengalaman dari beberapa teman yang pakai saat kegiatan lain bu.”
“Oh begitu. Apakah rumah bapak jauh dari sekolah?”
“Sekitar tiga kilo meter bu.”
“Oke pak, nanti saya sampaikan pada penilai untuk mengundur satu jam dari sekarang.”
“Baik bu. Terima kasih.”
Memberikan tugas pada siswa lalu meminta izin untuk pulang ke rumah. Langkah kaki menuju kedaraan lebih cepat dari biasanya. Namun laju terhenti seketika. Kini arah jalan berbail kanan menuju ruang kantor. Bukan menemui kepala sekolah namun menyapa istri untuk meminta kunci rumah. Kebetulan kami bertugas pada sekolah yang sama. Penjelasan bekas pacar itu terlalu rumit untuk dimengerti. Letak kunci kamar tidak diketahui dengan pasti. Keadaan terburu-buru membuat tangan tak sadar menarik lengannya. Untung saja dia cepat paham. Diraih tas kecilnya lalu bersama menuju motor di tempat parkir.
“Maaf lajunya agak cepat ya.”
“Iya, tapi-hati-hati.” Jawabnya
“Baik.”
Tangannya lebih erat memegang pinggang. Sesekali helm kami berdua saling beradu. Laju motor pun tidak mulus seperti biasa. Kadang tepukan lembut terasa di punggung. Tanda aku harus lebih berkonsterasi. Kurang dari dua puluh menit, kami berdua akhirnya tiba di rumah.
Sambil melirik jam di handphone, segela persiapan dilakukan. Mengecek wifi dan menyambungnya ke lantop dengan cepat. Istri menyiapkan tissue, air mineral dan alat tulis yang diletakkan di sisi laptop. Kini tinggal beberap saat tes wawancara dimulai. Menghilangkan ketegangan dengan menegguk beberapa kali air minum serta menghela napas panjang lalu dihembuskan. Sesaat kemudian rasa lega mulai Nampak. Keringat tidak terlalu berkucuran dan jantung tidak berdebar kencang lagi.
Rupanya hal itu hanya sesaat, setelah ruang meeting on line dibuka masalah muncul kembali. Suara tidak terdengar ketika aku menyapa penilai. Sudah semua kemampuan yang dimiliki dikeluarkan. Mikrofonnya masih saja terkunci. Bahasa isyarat pun digunakan. Secarik kertas ditulis tentang situasi yang terjadi. Untung saja mereka bisa memahami. Masih bingung menanganinya, fasilitator akhirnya menelpon. Beberapa hal diutarakan dengan pelan. Akhirnya masalah selesai juga.
Awalnya tes ini berjalan baik. Pertanyaan yang diajukan dijawab sesuai esai yang ditulis. Setelah hampir sejam, pertanyaan lain muncul diluar dugaan. Masih seputar curikulum vitae sebenarnya. Jawabannya pun diketahui dan mampu diuraikan. Ini masalah hati lagi. Peristiwa yang lama terkubur akan diangkat kembali. Masa lalu yang kelam membuat bulir bening tidak terasa keluar dari kelopak mata. Jalan karier yang berliku dan penuh tantangan diuraikan. Sebuah buku yang ditulis menjadi petunjuk alurnya. Karya ini sebenarnya ditulis setelah tidak mampu lagi menangis jika mengingat kisahnya. Uraian yang terbata-bata hingga harus berhenti sesaat untuk berkata-kata. Setelah menjawab beberapa pertanyaan, mereka pun mempu memahaminya. Benturan, halangan, tantangan, tekanan yang dialami selama berkarier diuraikan dengan pilihan kalimat yang santun.
Aku berada di depan leptop sudah hampir dua jam. Pertanyaan pamungkas pun diajukan. Rupanya penguji ini ingin meminta kepastian akan semangat dan keseriusan mengikuti program guru penggerak. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka pun mempersilahkan aku untuk keluar dari zoom meeting. Mengucap salam dan syukur menjadi penanda berkahirnya proses tes wawancara yang penuh tantangan dan menegangkan.