Filsafat Politik

Tanggal postingan: Sep 01, 2011 2:25:8 PM

Ditulis dalam Kajian pada 2:33 pm05 oleh iwan

Apakah tujuan bisa menjadi pembenar bagi wasilah ? 

Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam kajian filsafat politik.  Pertanyaan lebih gamlangnnya; Apakah untuk sampai kepada tujuan dan maksud, kita dibenarkan melakukan apa saja dan dengan alat apa saja ? Dengan kata lain, jika seandainya tujuan kita adalah tujuan yang benar, berhak-kah kita menggunakan wasilah atau pelantaraan sesuatu yang tidak benar ? Sebagai contoh; jika seandainya kita memiliki tujuan pribadi seperti menggembirakan manusia, apakah karenanya kita dibenarkan untuk melakukan hal-hal seperti berbohong ? Ketika kita punya tujuan untuk mendapat kedudukan dan kekuasaan, apakah dibenarkan bagi kita untuk melakukan penipuan serta mengumbar janji palsu ? Jika kita menengok dan bertanya kepada para politikus jaman dulu dan (apalagi) sekarang, jawaban mereka adalah; YA ! tujuan bisa membenarkan wasilah. Melakukan wasilah apapun walaupun bertentangan dengan nilai-nilai akhlak, kemanusiaan dan agama, dianggap benar demi meraih tujuan. Kaidah seperti “Tujuan bisa membenarkan prinsif” atau “Ambillah tujuan dan tinggalkanlah prinsif”. Teori ini walaupun kelihatnnya aneh dan sangat disayangkan, akan tetapi ternyata diyakini oleh banyak politikus dari dulu hingga saat ini. Dan tidak hanya itu mereka juga mengamalkan kaidah-kaidah tersebut. Niccolo Machiavelli dalam bukunya “the prince” menuliskan :

“Semua sepakat bahwa sifat-sifat seperti jujur, menjaga pembicaraan, perbuatan baik, tidak melakuakn penipuan merupakan dasar-dasar bagi kebaikan sebuah kota. Akan tetapi disisi lain, dihadapan fenomena-fenomena yang terjadi pada jaman sekarang, kita menyaksikan bahwa para pendudukkota kurang memperhatikan hal itu. Mereka untuk bisa unggul dari orang lain, melakukan makar dan penipuan mengaanggap itu sebagai salah satu cara yang benar.  Dan ternyata mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan besar dan mendapat hasil yang lebih bagus ketimbang orang-orang yang melakukannya dengan jujur. Oleh karenanya biarkan mereka tetap dalam keyakinannya, yaitu untuk sampai kepada tujuan terdapat dua jalan; pertama lewat jalur hokum dan kedua lewat paksa. Jalur pertama adalah jalur kemanusiaan sementara jalur yang kedua kehewanan, akan tetapi karena jalur pertama biasanya tidak banyak menghasilkan sesuatu, maka jalur kedua menjadi suatu kemestian. Bagi setiap masyarakat diharuskan melakukan siasat dengan berkedok srigala untuk memperlihatkan kekuatan dan mengalahkan yang lain… Seorang yang berfikiran luas, sama sekali tidak akan mampu-tidak boleh-menganggap dirinya jujur. Kesimpulannya, warga yang mampu mempertahankan kekuasaannya sangatlah sedikit, akan tetapi ia mesti yakin bahwa semua orang, besar dan kecil tanpa harus berfikir tentang baik dan jeleknya wasilah untuk sampai kepada tujuan. Karena mereka sudah menentukan tujuan maka wasilah pun – apapun nilainya – akan bisa ditentukan.”

Penulis lain bernama Winston Churchill dalam bukunya tentang perang dunia kedua, mengenai serangan multi nasional Ke iran menuliskan :

“Walaupun kita telah mengadakan kesepakatan dengan orang iran untuk tidak melakukan hal ini, akan tetapi standar ini – perjanjian dan konsekwen terhadapnya – bisa dianggap benar dalam perbandingan-perbandingan sederhana yaitu ketika dua orang melakukan perjanjian. Akan tetapi dalam masalah politik ketika keuntungan memihak kepada suatu Negara, maka hal itu tidak berlaku lagi. Saya tidak bisa menutup mata dari keuntungan yang akan didapat oleh Inggris hanya karena sebuah perjanjian. Dan hal itu tidak bisa dianggap sebagai penentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut secara mendasar tidak bisa mencakup perkara-perkara besar ini. 

Contoh ketiga dari model seperti ini adalah apa yang menjadi kebijakan politik Mu’awiyah terhadap shulh ( gencatan senjata ) dengan Imam Hasan as. Ia melanggar semua poin-poin yang ada pada 

surat perjanjian gencatan senjata dan dengan trang-trangan berkata : “ wahai masyarakat! Ketahuilah bahwa perjanjian dan syarat-syarat itu saya letakkan di bawah telapak kakiku “ Dan ternyata lembaran-lembaran sejarah banyak mencatat model-model seperti ini. Puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan tokoh serta politikus yang dengan gencar mengumandangkan dan mengklaim pembela dasar-dasar kemanusiaan, hak-hak asasi, agama serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Akan tetapi sikap, prilaku serta kebijakan mereka bertentangan dengan semua itu dan mengikuti aturan syetan makyawel. Perbuatan paling buruk pun mereka lakukan demi tujuan materi dan hewani. Mereka berbuat seolah tidak ada sedikitpun nilai kemanusiaan di dalamnya dan hanya nilai-nilai hewani lebih menonjol, seperti apa yang di sikapi oleh Alquran “ Mereka itu seperti hewan bahkan lebih sesat” 

Model-model tokoh serta politikus seperti ini akan sangat mudah kita dapati di jaman sekarang. Demi meraih suatu tujuan mereka rela melakukan apa saja walaupun harus menyengsarakan negara yang lain serta merenggut masa depan anak-anak suatu masyarakat seperti apa yang terjadi 

di Irak, Afghanistan dll.  

Di sisi lain kita juga bisa dapatkan kelompok yang besebrangan dengan mereka. Yaitu orang-orang yang tidak meyakini prinsif syaitani di atas. Kita akan sebutkan model dari orang-orang yang tidak membenarkan untuk melakukan apa saja demi mencapai suatu tujuan. Tokoh yang paling menonjol untuk model ini adalah Imam Ali as. Tidak disebutkan dalam sejarah bahwa ia melakukan kebijakan yang bertentangan dengan kemanusiaan, akhlak dan agama demi mencapai suatu tujuan. Hal ini diakui oleh kawan serta lawan, bahkan diakui oleh orang-orang di luar islam seperti george jordak seorang kristian yang mengakui bahwa Imam Ali as. merupakan uswah kemanusiaan dan menggelarinya sebagai “ suara keadilan manusia”. Ketika ia memiliki banyak musuh yang berusaha untuk menjatuhkan nama baiknya, akan tetapi begitu bersih kebijakan, kata-kata Beliau yang menjunjung tinggi akhlak mulia dan ikhlas kepada Tuhan, sampai saat ini – setelah 14 abad – tidak seorang pun yang bisa menemukan kelemahan beliau. Imam Ali as. tidak membenarkan dirinya untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan akhlak serta syariat hanya karena demi mencapai satu tujuan. Akan tetapi sebaliknya kita saksikan dalam sejarah, bahwa demi menjaga nilai-nilai akhlak, kemanusiaan dan syariat ia harus terisolir dan mendapat kesulitan … akan tetapi tetap ia tidak mau mengotori dirinya dengan keburukan syaitani. 

Sementara Imam Ali as. lebih tahu dan lebih mampu dari semuanya untuk melakukan hal itu, akan tetapi ia tidak pernah melakukannya. Dalam sebuah ceramahnya : “Demi Allah! Mu’awiyah tidak lebih pintar dari aku, akan tatapi ia melakukan penipuan, penghianatan dan maksiat. Jika dia tidak melakukan itu maka dia tidak akan ada apa-apanya. Aku adalah orang yang paling cerdas di antara mereka, akan tetapi  setiap khianat adalah dosa dan setiap dosa adalah kufur (nikmat).  Penghianatan adalah bagai sebuah bendera yang akan sangat jelas di akherat nanti. Demi Allah! Aku tidak akan pernah tertipu dengan makar dan tidak akan melakukan itu.”

Setelah masyarakat Madinah membaiat Imam Ali as. pada tahun ke 35 Hijriah, dalam cermah pertamanya beliau dengan jelas dan jujur berkata:

“Aku menjadi jaminan atas apa yang akan aku katakan. Barang siapa yang menyaksikan ibrat-ibrat dari hari-hari, masalah-masalah serta masa depannya, maka hanya taqwalah yang bisa menjaga dia dari segala penyimpangan. Ketahuilah! Bahwa ujian itu akan kembali kepada kalian seperti cobaan yang terjadi ketika awal pengangkatan Nabi saaw. Aku bersaksi demi Tuhan yang telah mengutus NabiNya! Kalian akan menjadi satu (sama) dan akan tersaring serta akan terpisah mana diantara kalian yang rendah dan mana yang tinggi ( derajat keiamanan ), sebagian kalian akan mengungguli yang lain, yang ketinggalan akan tetap ketinggalan. Demi Allah! Aku tidak pernah menyembunyikan hakekat dan aku tidak pernah bohong” 

Imam Ali as. di awal-awal kekuasaannya dengan jelas dan tegas mengumumkan program serta visi misinya, dan tidak melakukan kampanye serta makar demi untuk mendapat suara rakyat, akan Tetapi ia sampaikan yang hak dan membiarkan masyarakat untuk memilihnya.  Imam Ali as. mengetahui mana yang benar dan sebagai hamba Allah swt. ia lakukan apa yang disukai Tuhannya dan menganggap bahwa semuanya sebagai taklif syari’, ia tidak memperhitungkan hasil serta selera pribadinya. Dan inilah yang menjadi prinsif dan dasar bagi kebijakan politik yang dianutnya.  Ini semua berkat ketakwaan yang ia miliki sehingga ia berkata : “Apakah kalian menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan paksa? Aku bersumpah hal itu tidak akan pernah terjadi, selama masih ada siang dan malam serta bintang masih bersinar di langit, aku tidak akan melakuan itu.”… 

Berbeda dengan teori serta filsafat politik yang di percayai oleh tokoh-tokoh barat ( dan timur juga ), kita saksikan kehidupan Imam Ali as. ia selalu meperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, syariat dan agama dan tidak sudi untuk melakukan penipuan, bohong dan pengkhianatan walaupun dalam kondisi yang serba sulit. Dalam salah satu ucapannya :  

“Demi Allah! Jika aku di tawari tujuh langit dengan apa yang ada di isinya dan aku disuruh untuk bermaksiat kepada Allah, maka aku tidak akan menerimanya”