Ancaman Terhadap Demokrasi

Tanggal postingan: Aug 07, 2011 8:3:6 AM

“BERI aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.”

Begitu suatu kali Presiden Sukarno berkata.

Kalimat Bung Karno ini, yang disampaikannya dengan berapi-api, mengingatkan kita bahwa masa depan bangsa dan negara Indonesia ini terletak di tangan generasi muda. Inilah generasi yang akan menjawab berbagai tantangan di masa depan dengan berbagai komplesitasnya.

Bila kita memperhatikan dengan seksama sejarah di banyak negara di dunia, maka kita akan menemukan fakta yang tak terbantahkan bahwa pemuda adalah elemen utama yang melahirkan momen-momen penting dalam sejarah peradaban manusia dari masa yang lampau hingga ke masa yang kini.

Revolusi kemerdekaan Amerika Serikat digerakan oleh pemuda. Pondasi negara adidaya itu dibangun oleh pemuda seperti George Washington, John Adams, Thomas Jefferson, James Madison, dan Alexander Hamilton, untuk menyebut beberapa di antaranya. Gerakan perlawanan dan upaya mereka membangun sebuah bangsa dan negara baru di paruh kedua abad-18 itu telah mempengaruhi kehadiran gerakan serupa di Eropa.

Tradisi kaum muda Amerika Serikat ini terus berlangsung, dan di paruh kedua abad-20 kita menyaksikan John Fitzgerald Kennedy menjadi pemimpin muda di era 1960an, menjadi harapan bukan hanya Amerika Serikat tapi masyarakat dunia yang sedang dicekam ketakutan Perang Dingin.

Di awal abad-21 kaum muda Amerika Serikat kembali membuat gebrakan yang menggetarkan. Barack Obama seorang politisi muda keturunan Afrika menjadi presiden dan memimpin Amerika Serikat dengan pendekatan yang berbeda, lebih humanis dibandingkan beberapa pendahulunya.

Kita juga bisa menyaksikan dalam perjalan sejarah betapa Muhammad II Al Fatih masih terbilang muda ketika berhasil memperbesar pengaruh Turki Utsmaniah di abad ke-15. Dengan piawai ia menata Turki yang ketika itu adalah kekuatan adidaya tak tertandingi. Ia baru berusia 21 tahun ketika bersama pasukannya tiba di Konstantinopel yang kini dikenal dengan nama Istanbul.

Sebagai raja yang memimpin pasukan perang, Fatih tahu benar bahwa perang yang sedang dihadapinya bukanlah perang agama. Ia tak merusak simbol-simbol agama Nasrani di Konstantinopel, sebaliknya ia menjaga bangunan-bangunan itu dan memberikan kebebasan kepada kaum Nasrani dan umat agama lain untuk tetap memeluk dan menjalankan ibadah agama mereka.

Kita pun bisa belajar dari peranan kaum muda yang membangun pondasi negara kita. Seperti yang pernah penulis sampaikan dalam kesempatan sebelumnya, adalah kaum muda dari kelompok pers dan intelektual yang pertama kali menggelorakan sentimen kebangsaan di antara bangsa-bangsa tertindas di kawasan yang dulu dikenal dengan nama Hindia Belanda ini.

Pada Agustus 1930 kita menyaksikan bagaimana Bung Karno di hadapan pengadilan kolonial Belanda dengan gagah berani menyampaikan pandangan mengenai tata dunia yang harus dibebaskan dari praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa mana saja, baik bangsa bekulit putih, kuning, ataupun cokelat.

Di usia yang sedemikian belia, 29 tahun, Bung Karno tampil bukan sebagai seorang kriminal yang mengiba-iba membela diri di muka majelis hakim. Sebaliknya, ia memperlihatkan kepiawaian dan kecerdasan sebagai seorang negarawan. Ia tampil sebagai pemimpin bangsa yang memiliki kecakapan dalam membaca tanda-tanda zaman. Ia memaparkan prediksi tentang pertarungan diantara negara-negara kolonial di teater Asia Pasifik. Prediksi ini terbukti benar di tahun 1945.

Sedemikian besar potensi kaum muda.

Di pundak merekalah nasib bangsa ini disandarkan.

Bagaimana pemuda Indonesia bisa menjawab tantangan zaman yang kini mereka hadapi? Dunia bergerak, berubah. Pertarungan dan saling rebut pengaruh di antara bangsa-bangsa akan terus terjadi. Indonesia akan dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit daripada persoalan yang dihadapi kini.

Pertanyaan mengenai keberlangsungan eksistensi negara dan bangsa pun patut untuk disampaikan agar sedari dini generasi muda Indonesia dapat tetap menjaga api nasionalisme dan semangat kebangsaan yang diletakkan founding fathers kita.

Menyitir pendapat seorang cendekia dari ITB, Yasraf Amar Pilian, pada suatu kali, kini semakin jelaslah bagi kita bahwa dunia sungguh sedang dilipat. Batas dan identitas antara satu bangsa dan negara dengan bangsa dan negara lain menjadi begitu nisbi dan mendekati titik pudar yang memungkinkan semua orang bisa berkomunikasi dan mempertukarkan gagasan tanpa harus khawatir dengan sekat ruang dan waktu.

Lompatan teknologi informasi-komunikasi ini sepintas membuat kehidupan manusia semakin mudah. Namun di sisi lain melahirkan ancaman pada kemampuan sebuah bangsa dalam menentukan agenda dan menjaga kepentingan nasional.

Dunia tanpa batas dan “pengalaman baru” yang dihasilkan lompatan teknologi informasi-komunikasi itu bukan tidak mungkin malah menjelma menjadi semacam hegemoni baru --bila penulis dapat memnijam pendekatan Antonio Gramsci -- yang membuat generasi muda larut dalam buaian comfort zone yang menyesatkan. Pandangan yang terbaratkan (westernized) dapat membuat generasi muda kehilangan kemampuan untuk membaca persoalana yang dihadapi bangsanya sendiri.

Lantas, menganggap bahwa pendekatan neoliberalisme -- sebagai salah satu ancaman nyata yang sedang dihadapi Indonesia, menurut penulis -- yang dikampanyekan oleh para pendukung kaum fundamental pasar di tanah air adalah kebenaran tunggal yang sudah seharusnya terjadi. Dalam praktiknya, hegemoni dan buaian comfot zone ini membuat generasi muda dengan mudah mendukung kebijakan (anti) nasional yang berkarakter neolib yang melebarkan jarak antara kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi dan kelompok masyarakat yang tidak memiliki kemampuan ekonomi.

Pergeseran dari mindset yang berkarakter keindonesiaan menjadi mindset yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia itulah yang merupakan ancaman terbesar generasi muda Indonesia dan demokrasi Indonesia Raya di masa datang. Dan, itu pula yang merupakan ancaman terbesar bagi eksistensi Republik Indonesia.

Dengan demikian, penulis menilai pemuda Indonesia hari ini harus berani berjuang keras agar lebih baik dari pemuda Indonesia di masa-masa sebelumnya. Di saat bersamaan, juga harus berjuang keras demi menandingi pemuda yang ada di negara-negara lain di masa kini, karena arena pertarungan sesungguhnya ada di "dunia yang dilipat".

Kemampuan pemuda Indonesia untuk menandingi bahkan mengungguli pemuda di negara-negara lain itulah yang kelak akan membuat demokrasi Indonesia Raya yang berorientasi kesejahteraan bagi sesama dapat diwujudkan.