Partai Politik Di Tengah Arus Pilihan Ideologisasi

Tanggal postingan: Aug 07, 2011 7:49:21 AM

Dalam konsep negara modern, peranan partai politik memiliki posisi sangat vital dan strategis, sebab negara yang tidak memiliki partai politik maka negara tersebut berbentuk kerajaan atau monarchi, negara totaliteir atau facisme, Pendekkata partai politik merupakan keniscayaan keberadaannya dalam suatu negara. Partai politik sebagai organisasi pada hakekatnya sama dengan jenis organisasi-organisasi lainnya; namun yang membedakan adalah bahwa partai politik memiliki kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan, dan kewenangan ini tidak dimiliki oleh organisasi jenis manapun. Esensi penyelenggaraan pemerintahan melalui hasil pemilu inilah mau tidak mau, suka atau tidak suka, negara harus berdiri kokoh dan ditopang oleh partai politik yang kuat, solid dan besar dukungan rakyatnya. Negara yang pemerintahannya tidak didukung oleh partai besar dan kuat, maka akan sering terjadi ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Partai politik besar dan kuat lazimnya karena memiliki sistem nilai yang dipegang teguh oleh para pengikutnya. Sistem nilai yang menjadi pedoman sering disebut sebagai IDEOLOGIE. Oleh karena itu partai politik berbasis ideologi yang mengakar, biasanya partai tersebut pandai dan mampu memelihara keseimbangan antara dimensi realita, dimensi idealisme dan dimensi fleksibilitas (Alfian, 1980). 

Namun dalam perkembangan globalisasi dewasa ini sesungguhnya juga tidak terlepas pula terjadi pertarungan ideologi besar dunia. Sejak perang dingin (détente) berakhir maka sejarah telah selesai dan sejak ideologi sosialisme dan komunisme dikalahkan oleh liberal kapitalisme maka dunia dikuasai liberalisme-kapitalisme (Francis Fukuyama, 1992). Hegemoni tunggal itu pula menumbuhkan persaingan yang saat ini justru terjadi antara kapitalisme dengan kapitalisme (Lesther Thurow, 1996).[1] Ketika ideologi kapitalisme liberal berekspansi ke hampir seluruh penjuru dunia melalui konsep globalisasi dan pasar bebas dijadikan instrument untuk menguasai dunia, maka kini persaingan dunia tidak lagi antara negara dengan negara tapi persaingan antara pelaku bisnis yang satu dengan pelaku bisnis yang lain (Gary Hamel, 1997). 

Sejak saat itu pengaruh globalisasi dan sistem pasar bebas tanpa disadari membawa sistem nilai masyarakat kearah perilaku masyarakat yang materalisme, individualisme, sekularisme dan pragmatisme. Bahkan perilaku pragmatisme sudah sangat nyata dipertontonkan oleh para politisi kita yang banyak tersangkut perkara korupsi. Kecenderungan yang muncul saat ini, partai politik sedang bermetamorfosa dengan perilaku pragmatisme yang banyak dilakukan para kader partai. 

Oleh karena itu peranan partai politik yang sedemikian strategisnya, jika tidak diurus dengan benar, sesungguhnya negara dan pemerintahan lambat laun sedang mengalami situasi yang kritis. Memang ada kecenderungan timbulnya banyak partai mungkin jumlah partai paling besar di dunia yaitu saat ini 38 partai, namun manajemen partai sebagian besar tidak diurus dengan benar, fungsi-fungsi partai politik tidak berjalan efektif. 

Undang-undang kepartaian yang baru, nomor 2 Tahun 2008 ternyata belum efektif mengendalikan terhadap berdirinya sejumlah partai politik. Apakah berkurangnya partai lambat laun akan berjalan secara alami atau sebaliknya. Sebab dengan banyaknya partai, potensi silang sengketa antar partai politik kelak akan semakin tajam dan tidak mustahil justru akan menghancurkan bangsanya. Salah satu indikasinya bahwa peran parpol dalam melakukan konsolidasi kekuasaan belum tuntas, sehingga tidak optimal dalam melakukan kaderisasi atau regenerasi. Pada akhirnya ketika rekruitmen pemimpin untuk jabatan publik seperti kepala daerah tidak dipersiapkan dengan baik. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pemimpin terutama pada level Gubernur dan Bupati/Walikota terpilih melalui demokrasi langsung. Pada kenyataannya, pertama; banyak yang tidak kompeten dan menunjukkan kepemimpinan yang buruk, kedua; banyak pula yang tersangkut tindak pidana korupsi, ketiga; dengan tidak memiliki kompetensi yang cukup sebagai pemimpin, maka tidak serius mengurus penyelenggaraan pemerintahan. 

Partai-partai politik yang kelahirannya pada tahun 1998 baru berusia 10 (sepuluh) tahun dan masih eksis menjalankan perannya bahkan termasuk yang sedang menggeliat perkembangannya, menghadapi dilema yang sama dengan kebanyakan partai-partai lain. Yaitu berada di tengah tarikan arus idealisme dan pragmatisme. Kesibukan kegiatan partai yang cenderung tidak substansial, padahal seharusnya melakukan agregasi kepentingan rakyat, seperti terhadap pengangguran, PHK, nasib buruh industri, penggusuran PKL, kelangkaan pupuk, korupsi BLBI, semakin membumbung harga-harga kebutuhan pokok, pengelolaan yang buruk mengenai BBM dan energi lain oleh Pertamina, kehidupan petani dan nelayan yang tidak kunjung mengalami perbaikan dan lain-lain. Di lain pihak para politisi masih tergoda oleh kesibukan materi, dengan ikut mengurusi permainan tender proyek-proyek besar di lembaga instansi pemerintah. Sehingga pergeseran nilai-nilai ideologis tersebut mudah terjadi jika manajemen partai tidak efektif memelihara dimensi idealisme, realita dan dimensi fleksibilitas. Ketidakpatuhan para pengikutnya terhadap nilai-nilai ideologis akan mudah terjebak oleh sikap dan perilaku pragmatisme. Padahal setiap partai politik harus mempersiapkan diri untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan pada setiap periode hasil pemilihan umum. Oleh karena partai politik merupakan produsen pemimpin-pemimpin negara, maka pola rekruitment dan pola kaderisasi harus tertata dengan baik dan harus berjalan secara sistematis, teratur dan terprogram. 

Seperti misalnya partai-partai politik yang juga tidak terlepas dari situasi dilematis, karena obsesinya memenangkan pemilu mendorong mengambil kebijakan yang pragmatis. Fenomena yang cukup menghebohkan adalah direkrutnya para artis untuk dijadikan sebagai votegetter atau calon jadi. Popularitas keartisan menjadi trend untuk ramai-ramai dijadikan sebagai obsesi untuk menarik simpati masyarakat. Fenomena ini sejatinya menunjukkan betapa bangsa ini sedang menghadapi krisis pemimpin. Ketokohan para pemimpin partai politik pada saat ini berada pada titik nadir. Akibat pola rekruitment yang salah dan kaderisasi yang tidak berjalan baik, menyebabkan para pemimpin partai berada di menara gading. Dalam bahasa yang lugas dapat dikatakan para politisi bukan sebagai politisi yang berbasis massa, tapi para politisi yang berstatus seperti layaknya karyawan kantor. Menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah situasi ini sebagai akibat sejak Orde Baru memberlakukan sistem massa mengambang yang belum pulih hingga saat ini atau karena para tokoh dan para aktivis enggan masuk dalam partai politik, tapi lebih senang kegiatan yang lain seperti LSM, ORMAS, dan lain-lain. 

 Di samping itu tidak mengakarnya para kader partai, disebabkan pola rekruitment yang belum mantap, sehingga ketika partai politik memutuskan kebijakan calon legislatif terpilih dengan berdasarkan suara terbanyak menimbulkan kompetisi tajam. Para kader yang dipasang nomor 1 (satu), tetap merasa khawatir jika tidak mampu mendapatkan suara terbanyak, karena di daerah pemilihan reputasi dan pamornya kalah dengan kader di tingkat daerah, sehingga kompetisi tidak sehat terjadi di internal partai dan justru menjadi tidak produktif bagi perjalanan partai politik tersebut. 

Demikian pula fenomena artis yang menjadi Caleg seperti diuraikan diatas, mendapat respon masyarakat yang beragam ada pro dan kontra. Sesungguhnya pada prinsipnya sumber kepemimpinan baik di legislatif maupun eksekutif, bisa bersumber dari berbagai potensi bangsa. Namun kalau dicermati karakteristik sosial budaya keartisan yang khas yaitu; santai, cuek, lebih berpikir personal, glamour, suka hura-hura, gaya hidup yang tidak teratur, kalau ada artis yang capable dan kompeten di bidang politik sifatnya sangat kasuistis. Karena lembaga keartisan bukanlah sumber rekruitment pemimpin secara kolektif, berbeda dengan Ormas atau LSM lebih bersifat kolektif dalam menyiapkan kaderisasi sesuai profesi dan kompetensinya. 

Apabila penjelasan diatas dijadikan sebagai rujukan untuk evaluasi eksistensi peran parpol selama ini, memang ada kecenderungan kuat sedang mengalami pergeseran dan perubahan nilai-nilai ideologis yang cukup signifikan. Pendekatan pragmatisme yang dilakukan di era sekarang memang cukup mengalami perubahan persepsi masyarakat terhadap peran partai politik yaitu; pertama; kesan di masyarakat bahwa parpol lebih banyak mengurus dirinya sendiri ketimbang mengurus rakyatnya, kedua; rakyat sudah tidak mempercayai lagi peran parpol sebagai artikulasi dan agregator aspirasi masyarakat, ketiga; kondisi rakyat saat ini appriori dan apatis terhadap kegiatan politik terutama dalam pemilihan kepala daerah, keempat; jika parpol gagal melakukan konsolidasi internal, maka ada kecenderungan dalam pemilu tahun 2009 menjadi golput atau tidak menggunakan hak suara melampaui 40% atau lebih, seiring dengan hasil pemilihan kepala daerah. Partai politik sesungguhnya telah berjuang keras dalam upaya penggalangan massa, bahkan mendeklair sebagai partai terbuka dan juga partai kader. Namun ketika kecenderungan pendekatan pragmatis baik secara institusi maupun perorangan karena menghadapi situasi yang dilematis sebagai kebijakan pragmatis lebih menonjol, sangat dimungkinkan bangunan partai akan rapuh. Sebab dengan pragmatisme tersebut anggota tidak memiliki militansi, sebagai kader partai, terutama dalam ikatan nilai ideologis relatif lebih kendor, lebih berorientasi kepada kepada kepentingan sesaat. 

Oleh karena itu menjadi tanggung jawab para pemimpin partai untuk memperbaiki citra partai di mata masyarakat yang sudah pada tahap cukup mengkhawatirkan. Mengingat peran parpol sebagai sumber lahirnya para pemimpin negara, maka manajemen dan fungsi partai politik sudah saatnya dibenahi secara professional. Mengembalikan eksistensi peran parpol meskipun tidak mudah dalam kondisi arus pragmatisme yang kuat. Namun jika tidak dilakukan dengan tekad kerja keras maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi negara, sebab negara berdiri kokoh jika didukung oleh seluruh rakyatnya sedang parpol merupakan representasi dari seluruh rakyat.