Bab III

BAB III

APLIKASI BIRUL WALIDAIN.

KISAH UWAIS BIN AMIR AL-QORNI, TABI’IN TERBAIK YANG SANGAT BERBAKTI PADA IBU

Uwais Al Qarni, memiliki nama kuniyah Abu ‘Amr, nama beliau Uwais bin ‘Amir bin Juz’in bin Malik Al Qarni Al Muradi Al Yamani. Beliau termasuk tabi’in.

Dia adalah Abu Amr bin Amir bin Juz’I bin Malik al-Qarni al-Muradi al-Yamani. Qarn adalah salah satu suku dari kabilah Arab bernama Murad. Beliau juga termasuk satu dari wali Allah yang bertakwa.

Ia dilahirkan saat terjadi peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam ke Madinah. Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam pernah membicarakan tentang dirinya. Ia mempunyai seorang ibu yang sangat ia hormati.

Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam melanjutkan penjelasannya tentang sifat Uwais al-Qarni. Beliau bersabda,”Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya Allah mencintai dari makhluk-mukluk-Nya yang bersih hatinya, tersembunyi, yang baik-baik, rambutnya acak-acakan, wajahnya berdebu, perutnya kosong kecuali dari hasil pekerjaan yang halal, orang-orang yang apabila meminta izin kepada para penguasa maka tidak diizinkan, jika melamar wanita-wanita yang menawan maka wanita tersebut tidak mau dinikahinya. Jika tidak ada, mereka tidak dicari. Ketika hadir, mereka tidak diundang. Jika muncul, kemunculannya tidak disikapi dengan kegembiraan. Apabila sakit, mereka tidak dijenguk. Dan jika mati, tidak dihadiri prosesi pemakamannya.”

Para sahabat bertanya,”Bagaimana kita dapat menjadi bagian dari mereka?”

Rasul menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.”

Para sahabat bertanya,”apa ciri-ciri orang yang bernama Uwais al-Qarni?”

Rasul menjawab,”Seorang yang warna bola matanya bercampur, mempunyai warna kekuning-kuningan, berbahu lebar, berbadan tegap, warna kulitnya terang, dagunya sejajar dengan dadanya, menundukan dagunya ketempat sujudnya, meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, membaca al-Qur’an lalu menangis, mengenakan sarung dari wol, pakaian atasnya dari wol, tidak dikenal penghuni bumi, terkenal dikalangan penghuni langit, apabila bersumpah atas nama Allah maka ia pasti memenuhi sumpahnya. Sungguh dibawah bahu kirinya ada cahaya berwarna putih. Sungguh, ketika hari kiamat diperintahkan kepada para hamba,”Masuklah kalian ke dalam surga.” Dan dikatakan kepada Uwais,”Berhentilah! Berilah syafaat!’ lalu Allah memberikan hak syafaat kepadanya untuk menolong sejumlah orang dari suku Rabi’ah dan Mudhar (dua kabilah bangsa Arab). Wahai Umar, wahai Ali! Apabila kalian berdua bertemu dengannya maka mintalah kepadanya agar kiranya ia memintakan ampunan untuk kalian, maka Allah akan mengampuni kalian berdua.”

Ini adalah awal dari sejarah perjalanan hidup Uwais. Bagaimana gerangan dengan kabar gembira yang diberikan Allah kepadanya.

عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ . قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ.

Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit (Corob) lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”

Uwais menjawab, “Iya.”

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ.

Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.

Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.

Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”

Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”

قَالَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ

Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ لَقِيتَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ

Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”

Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.

فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ

“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali dan Muhammad bin Al Mutsanna serta Muhammad bin Basysyar. Ishaq berkata: Telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan yang lainnya berkata: Telah menceritakan kepada kami. Lafazh ini milik Ibnu Al Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz Ibnu Hisyam: Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Qotadah dari Zurarah bin Aufa dari Usair bin Jabir dia berkata,

Ketika Umar bin Khaththab didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia selalu bertanya kepada mereka,”Apakah Uwais bin Amir dalam rombongan kalian?”

Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan Uwais seraya berkata, “Apakah kamu Uwais bin Amir?” Uwais menjawab, “Ya, benar. Saya adalah Uwais.”

Khalifah Umar bertanya lagi, “Kamu berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran?” Uwais menjawab, “Ya, benar.”

Selanjutnya Khalifah Umar bertanya lagi, “Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu?” Uwais menjawab, “Ya, benar.”

Khalifah Umar bertanya lagi, “Apakah ibumu masih ada?” Uwais menjawab, “Ya, ibu saya masih ada.”

Khalifah Umar bin Khaththab berkata, “Hai Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah maka akan dikabulkan sumpahnya itu, maka jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!” Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku!” Lalu Uwais pun memohonkan ampun untuk Umar bin Khaththab.

Setelah itu, Khalifah Umar bertanya kepada Uwais, “Hendak pergi kemana kamu hai Uwais?” Uwais bin Amir menjawab, “Saya hendak pergi ke Kufah ya Amirul Mukminin.”

Khalifah Umar berkata lagi, “Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada pejabat Kufah?” Uwais bin Amir menjawab, “Saya lebih senang berada bersama rakyat jelata ya Amirul Mukminin.”

Usair bin Jabir berkata, “Pada tahun berikutnya, seorang pejabat tinggi Kufah pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Selesai melaksanakan haji, ia pun pergi mengunjungi Khalifah Umar bin Khaththab. Lalu Khalifah pun menanyakan tentang berita Uwais kepadanya. Pejabat itu menjawab, “Saya membiarkan Uwais tinggal di rumah tua dan hidup dalam kondisi yang sangat sederhana.”

Umar bin Khaththab berkata, “Sesusungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kelak Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman. Ia berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham. Kalau ia bersumpah dengan nama Allah, niscaya akan dikabulkan sumpahnya. Jika kamu dapat meminta agar ia berkenan memohonkan ampunan untukmu, maka laksanakanlah!”

 

Setelah itu, pejabat Kufah tersebut langsung menemui Uwais dan berkata kepadanya, “Wahai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku!” Uwais bin Amir dengan perasaan heran menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari perjalanan suci, ibadah haji di Makkah? Maka seharusnya engkau yang lebih pantas mendoakan saya.”

Kemudian Uwais balik beretanya kepada pejabat tersebut, “Apakah engkau telah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah?” Pejabat Kufah itu menjawab, “Ya. Aku telah bertemu dengannya.”

Akhirnya Uwais pun memohonkan ampun untuk pejabat Kufah tersebut. Setelah itu, Uwais dikenal oleh masyarakat luas, tetapi ia sendiri tidak berubah hidupnya dan tetap seperti semula.

 

Usair berkata, “Maka aku memberikan Uwais sehelai selendang yang indah, hingga setiap kali orang yang melihatnya pasti akan bertanya, “Dari mana Uwais memperoleh selendang itu?”

(HR. Shahih Muslim: 4613)

KISAH SAHABAT NABI DAN TABI’IN DALAM BIRRUL WALIDAYNI

Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair, karya adz-Dzahabi)

Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau menjawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul Akhyar, karya Ibnu Qutaibah)

Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka beliau berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “Dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.” (Diambil dari kitab Adab al-Mufrad, karya Imam Bukhari)

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.” (Diambil dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan shalatnya, agar makin besar pahala yang di dapatkan anaknya. (Diambil dari Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)

Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kalajengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kalajengking tersebut. Beliaupun tersengat kalajengking. Melihat tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu.” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kalajengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala’)

Muhammad bin Sirin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya. (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa ku berikan pasti ku berikan.” (Diambil dari Shifatush Shafwah)

Hafshah binti Sirin mengatakan, “Ibu dari Muhammad bin Sirin sangat suka celupan warna untuk kain. Jika Muhammad bin Sirin memberikan kain untuk ibunya, maka beliau belikan kain yang paling halus. Jika hari raya tiba, Muhammad bin Sirin mencelupkan pewarna kain untuk ibunya. Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila beliau berkata-kata dengan ibunya, maka beliau seperti seorang yang berbisik-bisik. (Diambil dari Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi).

Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirin pada saat beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah beliau bertanya kepada para sahabat Muhammad bin Sirin, “Ada apa dengan Muhammad, apakah dia mengadukan suatu hal? Para sahabat Muhammad bin Sirin mengatakan, “Tidak. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’, karya adz-Dzahabi)

Humaid mengatakan, tatkala Ibu dari Iyas bin Muawiyah meninggal dunia, Iyas menangis, ada yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab, “Aku memiliki dua buah pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satu pintu tersebut sudah tertutup.” (Dari kitab Bir wasilah, karya Ibnul Jauzi)

 

Berbuat baik kepada kedua orang tua banyak cara dan ragam perbuatannya. Inti Pokok dari berbuat baik kepda orang tua adalah menciptakan rasa aman dan nyaman, sehingga orang tua merasa bangga mempunyai anak soleh nyang berbakti kepda orang tuanya. Dalam keragaman cara dan corak serta model berbuat baik kepda orang tua, dibawah ini akan diurai salah satu model berbuat baik kepda kedua orang tua.

 

Pertama

Berbakti kepada kedua orang tua

Secara umum kita diperintahkan taat kepada orang tua. Wajib taat kepada kedua orang tua baik yang diperintahkan itu sesuatu yang wajib, sunnah atau mubah. Demikian pula bila orang tua melarang dari perbuatan yang haram, makruh atau sesuatu yang mubah kita wajib mentaatinya. Lebih dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada orang tua dari pada perbuatan wajib kifayah dan sunnah.

 

Di dalam  hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu'min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.

 

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu 'ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : "Berbaktilah kepada kedua orang tuamu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].

 

Dalam riwayat lain yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasa'i, dikatakan : "Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Ya Rasulullah saya akan berba'iat kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis". Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kembali kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2528, Nasa'I dalam Kubra, Baihaqi dalam Hakim 4/152]

 

Ibnu Hazm berkata, "Tidak boleh jihad kecuali dengan izin kedua orang tua kecuali kalau musuh itu sudah ada di tengah-tengah kaum muslimin maka tidak perlu lagi izin" [Al-Muhalla 7/292 No. 922]

Kata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, beliau mengatakan bahwa izin itu harus didahulukan dari pada jihad kecuali kalau sudah jelas wajibnya jihad dan musuh sudah berada ditengah-tengah kita maka didahulukan jihad.

 

Para ulama membawakan beberapa hadits bahwa selama jihad tersebut fardhu kifayah maka harus didahulukan berbakti kepada kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dari Abdullah bin Amr bin 'Ash. "Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk jihad.

 

Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah bapak ibumu masih hidup ?" orang itu menjawab, "Ya" maka kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya" [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa'i, Ahmad 2/165, 188, 193, 197 dan 221]

 

Juga yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2549) dari Abdullah bin Amr bin 'Ash. "Artinya : Ada yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ya Rasullullah aku berbaiat kepadamu untuk hijrah dan berjihad ingin mencari ganjaran dari Allah". Kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup ?", kata orang tersebut "Bahkan keduanya masih hidup". "Apakah engkau mencari ganjaran dari Allah ?. "Orang itu menjawab, "Ya aku mencari ganjaran dari Allah". "Kembali kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah kepada keduanya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya pulang" [Hadits Riwayat Muslim No. 2549]

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i dengan sanad yang hasan dari Muawiyah bin Jaa-Himah. "Artinya : Jaa-Himah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ya Rasulullah aku ingin perang dan aku datang kepadamu untuk musyawarah". Kemudian kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?". Kata orang ini, "Ibu saya masih hidup". Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Hendaklah kamu tetap berbakti kepada ibumu karena sesungguhnya surga berada di kedua telapak kaki ibu" [Hadits Riwayat Nasa'i, Hakim 2/104, 4/151, Ahmad 3/329]

 

Dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni beliau mengatakan kenapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang beberapa hadits ini ketika disebutkan jihad, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh anak ini untuk meminta izin kepada kedua orang tua. Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah fardlu 'ain didahulukan daripada fardhu kifayah.

 

Kisah Juraij  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. "Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Seorang yang bernama Juraij sedang mengerjakan ibadah di sebuah sauma (tempat ibadah). Lalu ibunya datang memanggilnya, "Humaid berkata, "Abu Rafi' pernah menerangkan kepadaku mengenai bagaimana Abu Hurairah meniru gaya ibu Juraij ketika memanggil anaknya, sebagaimana beliau mendapatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan meletakkan tangannya di bagian kepala antara dahi dan telinga serta mengangkat kepalanya, "Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Ketika itu perempuan tersebut mendapati anaknya sedang shalat. Dengan keraguan Juraij berkata kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi Juraij telah memilih untuk meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama selepas itu, perempuan itu pergi untuk yang kedua kalinya. Beliau memanggil, 'Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Juraij bertanya lagi kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi beliau masih lagi memilih untuk meneruskan shalatnya.

 

Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur'. Pada suatu hari seorang pengembala kambing sedang berteduh di dekat tempat ibadah Juraij yang letaknya jauh terpencil dari orang ramai. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga sedang berteduh di tempat tersebut. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sehingga melahirkan seorang anak. Ketika ditanya oleh orang ramai, 'Anak dari siapakah ini ?'. Perempuan itu menjawab. 'Anak dari penghuni tempat ibadah ini'. Lalu orang ramai berduyun-duyun datang kepada Juraij. Mereka membawa besi perajang. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang pada waktu itu sedang shalat. Maka sudah tentu Juraij tidak melayani panggilan mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij. 'Tanyalah anak ini'. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya. 'Siapakah bapakmu?'. Anak itu tiba-tiba menjawab, 'Bapakku adalah seorang pengembala kambing'. Setelah mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu berkata. 'Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak'. Juraij berkata, 'Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya'. Kemudian Juraij meninggalkannya". [Hadits Riwayat Bukhari Fathul Baari 6/476, dan Muslim 2550 (8)].

 

Pada hadits ini Juraij melihat wajah pelacur karena do'a ibunya setelah Juraij tidak memenuhi panggilannya dengan sebab tetap mengerjakan shalat sunnah. Para ulama beristimbat dengan hadits ini bahwa shalat sunnah harus dibatalkan untuk memenuhi panggilan ibu. Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa taat kepada kedua orang tua harus didahulukan dari ibadah sunnah, lebih ditekankan lagi apabila orang tua kita menyuruh kita untuk melakukan ibadah yang bersifat sunnah atau wajib kifayah [Bahjatun Nazhirin I/347].

 

Kedua

Yaitu  berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara  dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan 'ah' apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai  terjadi, wal iya 'udzubillah.

 

Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.

 

Ketiga

Yaitu Tawadhu dihadapan kedua orang tua.

Banyak orang yang telah berhasil secara materi melebihi orang tuanya, namun perlu diingat semua keberhasilan yang dia raih berkat orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya. Sehingga demikian keberhasilan material jangan dijadikan kesombongan. Seorang anak walau menduduki jabatan tinggi menjadi presiden, menteri dan lain sebagainya tetap harus tawadlu (merendahkan diri) dihadapan orang tuanya. Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.

 

Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan buku sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.

Keempat

Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala surat Al-Baqarah ayat 215.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (215)

قال أبو جعفر: يعني بذلك جل ثناؤه: يسألك أصحابك يا محمد، أي شيء ينفقون من أموالهم فيتصدقون به ؟، وعلى مَن ينفقونه فيما ينفقونه ويتصدقون به ؟ فقل لهم: ما أنفقتم من أموالكم وتصدقتم به، فأنفقوه وتصدقوا به واجعلوه لآبائكم وأمهاتكم وأقربيكم، ولليتامى منكم، والمساكين، وابن السبيل، فإنكم ما تأتوا من خير وتصنعوه إليهم فإن الله به عليم، وهو مُحْصيه لكم حتى يوفِّيَكم أجوركم عليه يوم القيامة، ويثيبكم = على ما أطعتموه بإحسانكم = عليه. (تفسير الطبري الجزء 1 الصفة 572 ). قال مُقَاتل بن حَيّان: هذه الآية في نفقة التطوّع. وقال السدي: نَسَختها الزكاة. وفيه نظر. ومعنى الآية: يسألونك كيف ينفقون؟ قاله ابن عباس ومجاهد، فبين لهم تعالى ذلك، فقال: { قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ } أي: اصرفُوها في هذه الوجوه. كما جاء في الحديث: "أمك وأباك، وأختك وأخاك، ثم أدناك أدناك". وتلا ميمون بن مِهْرَان هذه الآية، ثم قال: هذه مواضع النفقة ما ذكر فيها طبلا ولا مزمارًا، ولا تصاوير الخشب، ولا كُسوة الحيطان. (تفسير ابن كثير الجزء 1 الصفة 572 )

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui".

Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan.

 

Dari rangkaian ayat diatas dapat tergambar, bahwa berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut. "Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"

 

Tiga kali Rasulallah SAW memerintahkan untuk berbuat baik kepada ibu, pertanyaannya kenapa ?  Di balik pria yang agung, ada wanita agung di belakangnya. Demikian orang bijak mengatakan. Jika ada lelaki yang menjadi cendekia, tokoh ternama, pemimpin yang disegani, atau mujahid kesatria maka lihat dulu siapa ibunya. Karena, ibu memiliki peran besar dalam membentuk watak, karakter, dan pengetahuan seseorang. Ibu adalah ustazah pertama sebelum si anak berguru kepada orang lainnya, kapan pun dan di manapun.

Ibu adalah orang pertama yang memberikan nutrisi kehidupan berupa air susu dan kasih sayang sebelum mereka bergelut dengan dinamika kehidupan. Maka, kecerdasan, keuletan, dan budi pekerti sang ibu adalah faktor dominan bagi masa depan anak-anaknya. Seorang ibu memiliki peran penting dalam mendidik anaknya. Jika ia memainkan peran tersebut dengan baik, kelak ia –bahkan masyarakat-- akan memetik buah manisnya dari sang anak berupa ketaatan dan kesuksesan. Namun, bila ia menyia-nyiakan perannya, kelak ia akan menuai kedurhakaan, sikap kurang ajar, rasa malu, dan penyesalan.

Peran paling mendasar yang dimainkan oleh seorang ibu, di antaranya, adalah, menanamkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti mulia dalam dirinya sendiri terlebih dahulu karena orang yang tidak punya sesuatu tidak mungkin memberi kepada orang lain.

Allah SWT telah menentukan karakter seorang ibu yang baik dan salehah dalam surat an-Nisa. “Maka, wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak  ada. Maka dari itu, Allah telah memelihara mereka.” (QS an-Nisa [4]: 34). Karenanya, seorang istri salehah lebih cocok untuk diajak membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah dan melahirkan keturunan yang saleh lagi salehah.

Utsman bin Affan pernah berpesan kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya orang yang hendak menikah itu ibarat orang yang hendak menyemai benih. Maka, hendaknya ia memperhatikan di mana ia akan menyemainya. Dan, ingatlah bahwa wanita yang berasal dari keturunan yang jelek jarang sekali melahirkan keturunan yang baik maka pilih-pilahlah terlebih dahulu meskipun sejenak.”

Dengan ini sangat gamblang bahwa peran ibu sangat urgen dalam dunia pendidikan. Ia adalah pemeran utama dan salah satu faktor terpenting yang melatarbelakangi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri. Dengan kesalehannya, masyarakat akan menjadi saleh. Dan, sebab kebrobokan akhlaknya, masyarakat akan menjadi amburadul. Ibu adalah pionir perubahan dan pencetak generasi brilian. Tanpa ibu yang salehah, kita hanya akan menuai duri dan buah yang pahit di tengah masyarakat.

 

Sebagian orang yang telah menikah, banyak diantara kita tidak  lagi menafkahkan hartanya kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.

 

Kelima

Membuat Keduanya Ridha Dengan Berbuat Baik Kepada Orang-orang yang Dicintai Mereka. Hendaknya seseorang membuat kedua orang tua ridha dengan berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman, dan selain mereka. Yakni, dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka. Akan disebutkan nanti beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

 

 

 

Keenam

Mendo'akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat "Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro" (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat  syirik serta bid'ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo'a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum'at dan di tempat-tempat dikabulkannya do'a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

 

Ketujuh

Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua.

Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.

 

Kedelapan

Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain. Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).