Bab I

BIRUL WALIDAIN

Ditulis Pada Hari Sabtu tanggal 20 Juli tahun 2014, bertepatan dengan 10 Romadhon 1434 H

Oleh: Drs.H.Muhamad Solihin

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.        Latar Belakang Masalah

Minimnya pengetahuan tentang status dan kedudukan orang tua (Walidain), dalam Syariat Islam, menyebabkan banyaknya orang salah langkah dalam mencari keberkahan (Barokah). Padahal yang sebenarnya keberkahan itu ada disekitar kita, yaitu ibu bapak kita. Dalam sebuah hadits diceritakan Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.” Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari no. 3004, 5972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu). Ini sebuah pelajaran bagi kita, betapa pentingnya status dan kedudukan orang tua dalam Islam bagi anak-anaknya.

Mengingat betapa pentingnya status dan kedudukan orang tua dalam syari’at Islam, sehingga perintah untuk berbuat baiknya langsung dalam bentuk Firman Allah, maka penulis memandang perlu untuk mengumpulkan berbagai makalah yang yang berisi tentang “Berbuat Baik kepada Orang tua” dan membukunya dalam sebuah buku yang diberi judul “BIRRUL WALIDAIN”

B.        Pengertian Birul Walidain.

Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek.  Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.

Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW. : “Al Birr adalah baiknya akhlaq“. (HR. Muslim)

Birrul Walidain  merupakan  kebaikan-kebaikan yang dipersembahkan oleh seorang anak kepada  kedua orang tuanya, kebaikan tersebut mencakup dzahiran wa batinan dan hal tersebut didorong oleh nilai-nilai fitrah manusia meskipun mereka tidak beriman. Manakala wajibatul walid (kewajipan orang tua) adalah untuk mempersiapkan anak anaknya agar dapat berbakti kepadanya seperti sabda Nabi SAW.,  “Allah merahmati orang tua yang menolong anaknya untuk boleh berbakti kepadanya”.

Kebalikan dari Birul walidaen adalah ‘Uquud Walidain  bermakna durhaka terhadap mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.

Berkata Imam Al Qurtubi – mudah-mudahan Allah merahmatinya -: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu buku perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan buku perkara wajib tapi mubah panda asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).”

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah – mudah-mudahan Allah merahmatinya -: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali“.

Dalam kitab Tafsir  kata “Birru” (برالوالدين) dijelaskan sebagai berikut:

البر اسم جامع لأنواع الخير والطاعات المقربة إلى الله تعالى  (تفسير الالوسي الجزء 2 الصفحة  104). البر اسم جامع لكل الطاعات وأعمال الخير المقربة إلى الله الموجبة للثواب والمؤدية إلى الجنة (تفسير الخازن  الجزء 1 الصفحة  138). البر اسم جامع لكل خير ، ولكل طاعة وقرية يتقرب بها العبد إلى خالقه - عز وجل- (الوسيط لسيد طنطاوى الجزء 1 الصفحة  283)

Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek.  Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orang tua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.

وأَمَا الْبِرُ فهو اسم جامع لأعمال الخير، ومنه برالوالدين وهو طاعتهما، ومنه عمل مبرور، أي قد رضيه الله تعالى وقد يكون بمعنى الصدق كما يقال بر في يمينه أي صدق ولم يحنث، ويقال : صدقت وبررت، وقال تعالى: ( ولكن البر من اتقى ) ( تفسير الرازي الجزء: 2 الصفحة: 77 )

البر اسم جامع للطاعات ، وأعمال الخير المقربة إلى الله تعالى ، ومن هذا بر الوالدين ، قال تعالى : (إِنَّ الأبرار لَفِى نَعِيمٍ) ( تفسير الرازي الجزء: 3 الصفحة: 49 )

Kata Albirru adalah nama untuk semua jenis pekerjaan baik, salah satunya berbuat baik kepada kedua orang tua, yaitu dengan cara berbakti kepada keduanya, ini adalah pekerjaan yang diterima (yang diridhoi Allah). Kata Al-Birru terkadang mengandung arti yang dibenarkan seperti ucapan kebaikan ditangan kanan artinya benar dan tidak diingkari. Terkadang juga diucapkan benar dan diterima. Allah SWT berfirman: “Akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa “

Pendapat lain mengatakan Al-Birru adalah sebutan untuk semua ketaatan dan amal baik yang mendekatkan diri pada Allah, diantaranya berbuat baik kepada kedua orang tua. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan”.

Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.”

Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban: Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat. Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua. Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.

Birul Walidain adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.”  (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)

Birrul Walidain  merupakan  kebaikan-kebaikan yang dipersembahkan oleh seorang anak kepada  kedua orang tuanya, kebaikan tersebut mencakup dzahiran wa batinan dan hal tersebut didorong oleh nilai-nilai fitrah manusia meskipun mereka tidak beriman. Manakala wajibatul walid (kewajipan orang tua) adalah untuk mempersiapkan anak-anaknya agar dapat berbakti kepadanya seperti sabda Nabi SAW.,  “Allah merahmati orang tua yang menolong anaknya untuk boleh berbakti kepadanya”.

Abu Bakar As Siddiq ra. adalah sahabat Rasulullah SAW yang patut ditauladani dalam berbaktinya terhadap orang tua. Disaat orang tuanya telah memasuki usia yang sangat udzur, beliau masih melayani bapanya dengan lemah lembut dan tidak pernah putus asa untuk mengajak ayahnya beriman kepada Allah. Penantian beliau yang cukup lama berakhir, apabila ayahnya menerima tawaran untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman dalam QS. Ibrahin : 40 – 41 ayat yang berisi do’a agar anak, cucu dan seluruh anggota keluarganya menjadi orang-orang yang muqiimas Solat (mendirikan Solat) dan diampuni dosa-dosanya. Ayat ini merupakan suatu kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada kelurga Abu Bakar As Siddiq ra.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40)

40.  Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41)

41.  Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata si Ibu sudah tidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang bekas berisi air tersebut hingga pagi. (Diambil dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)

Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang  firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isra’ : 24). Yaitu: “Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun”.  (Ad Darul Mantsur 5/259)

وأما البر فهو اسم جامع لأعمال الخير ، ومنه بر الوالدين وهو طاعتهما ، ومنه عمل مبرور ، أي قد رضيه الله تعالى وقد يكون بمعنى الصدق كما يقال بر في يمينه أي صدق ولم يحنث ، ويقال : صدقت وبررت ، وقال تعالى : ( ولكن البر من اتقى ) ( تفسير الرازي الجزء: 2 الصفحة: 77 )

حدثنا محمد بن عبد الأعلى، قال: ثنا محمد بن ثور، عن معمر، عن قتادة، مثله. حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: ثني حَرْملة بن عمران، عن أبي الهَدَّاج التُّجِيبي، قال: قلت لسعيد بن المسيب: كل ما ذكر الله عزّ وجلّ في القرآن من برّ الوالدين، فقد عرفته، إلا قوله ( وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا ) ما هذا القول الكريم؟ فقال ابن المسيب: قول العبد المذنب للسيد الفظّ. القول في تأويل قوله تعالى : { وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) } يقول تعالى ذكره: وكن لهما ذليلا رحمة منك بهما تطيعهما فيما أمراك به مما لم يكن لله معصية، ولا تخالفهما فيما أحبَّا. وبنحو الذي قلنا في ذلك، قال أهل التأويل.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) واعلم أنه تعالى قرن إلزام بر الوالدين بعبادته وتوحيده في مواضع : أحدها : في هذه الآية ، وثانيها : قوله : ( وقضى رَبُّكَ أَن لاَّ تَعْبُدُواْ إلاّ إياه وبالوالدين إحسانا ) ( الإسراء : 23 ) وثالثها : قوله : ( أَنِ اشكر لِى ولوالديك إِلَىَّ المصير ) ( لقمان : 14 ) وكفى بهذا دلالة على تعظيم حقهما ووجوب برهما والاحسان اليهما . ومما يدل على وجوب البر اليهما قوله تعالى : ( فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا ) ( الإسراء : 23 ) وقال : ( وَوَصَّيْنَا الإنسان بوالديه حسنًا ) ( العنكبوت : 8 ) وقال في الوالدين الكافرين : ( وَإِن جاهداك على أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وصاحبهما فِى الدنيا مَعْرُوفاً ) ( لقمان : 15 ) وعن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( أكبر الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين واليمين الغموس ) وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه : أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم من اليمن استأذنه في الجهاد ، فقال عليه السلام : « هل لك أحد باليمن فقال أبواي فقال : أبواك أذنا لك فقال لا فقال فارجع وأستاذنهما فان أذنا لك فجاهد وإلا فبرهما » . واعلم أن الاحسان إلى الوالدين هو أن يقوم بخدمتهما ، وألا يرفع صوته عليهما ، ولا يخشن في الكلام معهما ، ويسعى في تحصيل مطالبهما والانفاق عليهما بقدر القدرة من البر ، وأن لا يشهر عليهما سلاحا ، ولا يقتلهما ، قال أبو بكر الرازي : إلا أن يضطر إلى ذلك بأن يخاف أن يقتله أن ترك قتله ، فحينئذ يجوز له قتله؛ لأنه إذا لم يفعل ذلك كان قد قتل نفسه بتمكين غيره منه ، وذلك منهي عنه ، روي أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى حنظلة بن أبي عامر الراهب عن قتل أبيه وكان مشرك .

ذكر من قال ذلك: حدثنا ابن بشار، قال: ثنا عبد الرحمن، قال: ثنا سفيان، عن هشام بن عروة ، عن أبيه، في قوله:( وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ ) قال: لا تمتنع من شيء يُحبانه. حدثنا أبو كريب، قال: ثنا الأشجعي ، قال: سمعت هشام بن عروة، عن أبيه، في قوله( وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ ) قال: هو أن تلين لهما حتى لا تمتنع من شيء أحبَّاه. حدثني محمد بن عبد الله بن عبد الحكم، قال: ثنا أيوب بن سويد، قال: ثنا الثوري، عن هشام بن عروة، عن أبيه، في قوله( وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ ) قال: لا تمتنع من شيء أحباه. حدثني يعقوب، قال: ثنا ابن عُليَة، عن عبد الله بن المختار، عن هشام بن عروة، عن أبيه، في قوله( وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ ) قال: هو أن لا تمتنع من شيء يريدانه.

{ وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلا قَلِيلا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (83) }

يُذكّر تبارك وتعالى بني إسرائيل بما أمرهم به من الأوامر، وأخذ ميثاقهم على ذلك، وأنهم تولوا عن ذلك كله، وأعرضوا قصدًا وعمدًا، وهم يعرفونه ويذكرونه، فأمرهم أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئًا. وبهذا أمر جميع خلقه، ولذلك خلقهم كما قال تعالى: { وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ } [الأنبياء: 25] وقال تعالى: { وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ } [النحل: 36] وهذا هو أعلى الحقوق وأعظمها، وهو حق الله تعالى، أن يعبد وحده لا شريك له، ثم بعده حق المخلوقين، وآكدهم وأولاهم بذلك حق الوالدين، ولهذا يقرن الله تعالى بين حقه وحق الوالدين، كما قال تعالى: { أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ } [لقمان: 14] وقال تعالى: { وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا } الآية إلى أن قال: { وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ } [الإسراء: 23-26] وفي الصحيحين، عن ابن مسعود، قلت: يا رسول الله، أي العمل أفضل؟ قال: "الصلاة على وقتها". قلت: ثم أي؟ قال: "بر الوالدين". قلت: ثم أيّ؟ قال: "الجهاد في سبيل الله" (4) . ولهذا جاء في الحديث الصحيح: أن رجلا قال: يا رسول الله، من أبر؟ قال: "أمك". قال: ثم من (5) ؟ قال: "أمك". قال: ثم من؟ قال: "أباك . ثم أدناك أدناك" (6)

يأمر الله تعالى بالمحافظة على الصلوات في أوقاتها، وحفظ حدودها وأدائها في أوقاتها، كما ثبت في الصحيحين عن ابن مسعود قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي العمل أفضل؟ قال: "الصلاة على وقتها". قلت: ثم أي؟ قال: "الجهاد في سبيل الله". قلت: ثم أي؟ قال: "بر الوالدين". قال: حدثني بهن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولو استزدتُه لزادني (1)

وقال علماؤنا: حديث الخثعمية ليس مقصوده الايجاب وإنما مقصوده الحث على بر الوالدين والنظر في مصالحهما دنيا ؟ ودينا وجلب المنفعة إليهما جبلة وشرعا، فلما رأى من المرأة انفعالا وطواعية ظاهرة ورغبة صادقة في برها بأبيها وحرصا على إيصال الخير والثواب إليه، وتأسفت أن تفوته بركة الحج أجابها إلى ذلك.

وفى صحيح البخاري عن عبد الله قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي العمل أحب إلى الله عز وجل ؟ قال: " الصلاة على وقتها " قال: ثم أي ؟ قال: " ثم بر الوالدين " قال ثم أي ؟ قال: " الجهاد في سبيل الله " فأخبر صلى الله عليه وسلم أن بر الوالدين أفضل الاعمال بعد الصلاة التى هي أعظم دعائم الاسلام.

لا يختص بر الوالدين بأن يكونا مسلمين، بل إن كانا كافرين يبرهما ويحسن إليهما إذا كان لهما عهد، قال الله تعالى: " لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم

{ واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئاً وبالوالدين إحساناً وبذي القربى واليتامى والمساكين } مناسبة هذه الآية لما قبلها : أنه تعالى لما ذكر أنّ الرجال قوامون على النساء بتفضيل الله إياهم عليهن ، وبإنفاق أموالهم ، ودل بمفهوم اللقب أنه لا يكون قواماً على غيرهن ، أوضح أنه مع كونه قواماً على النساء هو أيضاً مأمور بالإحسان إلى الوالدين ، وإلى من عطفه على الوالدين . فجاءت حثاً على الإحسان ، واستطراداً لمكارم الأخلاق . وأن المؤمن لا يكتفي من التكاليف الإحسانية بما يتعلق بزوجته فقط ، بل عليه غيرها من بر الوالدين وغيرهم . وافتتح التوصل إلى ذلك بالأمر بإفراد الله تعالى بالعبادة ، إذ هي مبدأ الخير الذي تترتب الأعمال الصالحة عليه . ونظير : { وإذ أخذنا ميثاق بني إسرائيل لا تعبدون إلا الله وبالوالدين إحساناً } وتقدم شرح قوله : { وبالوالدين إحساناً وبذي القربى واليتامى والمساكين } إلا أن هنا وبذي ، وهناك وذي ، وإعادة الباء تدل على التوكيد والمبالغة ، فبولغ في هذه الآية لأنها في حق هذه الأمة ، ولم يبالغ في حق تلك ، لأنها في حق بني إسرائيل . والاعتناء بهذه الأمة أكثر من الاعتناء بغيرها ، إذ هي خير أمة أخرجت للناس . وقرأ ابن أبي عبلة : وبالوالدين إحسان بالرفع ، وهومبتدأ و خبر فيه ما في المنصوب من معنى الأمر ، وإن كان جملة خبرية نحو قوله :

فصبر جميل فكلانا مبتلي ... { والجار ذي القربى } قال ابن عباس : ومجاهد ، وعكرمة ، والضحاك ، وقتادة ، وابن زيد ، ومقاتل في آخرين : هو الجار القريب النسب ، والجار الجنب هو الجار الأجنبي ، الذي لا قرابة بينك وبينه . وقال بلعاء بن قيس :

ولما نهى تعالى عن عبادة غيره وأمر بالإحسان إلى الوالدين ولا سيما عند الكبر وكان الإنسان ربما تظاهر بعبادة وإحسان إلى والديه دون عقد ضمير على ذلك رياء وسمعة ، أخبر تعالى أنه أعلم بما انطوت عليه الضمائر من دون قصد عبادة الله والبر بالوالدين .

اعلم أن الهمزة في أتأمرون الناس بالبر للتقرير مع التقريع والتعجب من حالهم ، وأما البر فهو اسم جامع لأعمال الخير ، ومنه بر الوالدين وهو طاعتهما ، ومنه عمل مبرور ، أي قد رضيه الله تعالى وقد يكون بمعنى الصدق كما يقال بر في يمينه أي صدق ولم يحنث ، ويقال : صدقت وبررت ، وقال تعالى : { ولكن البر من اتقى } [ البقرة : 189 ] فأخبر أن البر جامع للتقوى ، واعلم أنه سبحانه وتعالى لما أمر بالإيمان والشرائع بناء على ما خصهم به من النعم ورغبهم في ذلك بناء على مأخذ آخر ، وهو أن التغافل عن أعمال البر مع حث الناس عليها مستقبح في العقول ، إذ المقصود من أمر الناس بذلك إما النصيحة أو الشفقة ، وليس من العقل أن يشفق الإنسان على غيره أو أن ينصح غيره ويهمل نفسه فحذرهم الله تعالى من ذلك بأن قرعهم بهذا الكلام . واختلفوا في المراد بالبر في هذا الموضع على وجوه ، أحدها : وهو قول السدي أنهم كانوا يأمرون الناس بطاعة الله وينهونهم عن معصية الله ، وهم كانوا يتركون الطاعة ويقدمون على المعصية ، وثانيها : قول ابن جريج أنهم كانوا يأمرون الناس بالصلاة والزكاة وهم كانوا يتركونهما . وثالثها : أنه إذا جاءهم أحد في الخفية لاستعلام أمر محمد صلى الله عليه وسلم قالوا : هو صادق فيما يقول وأمره حق فاتبعوه ، وهم كانوا لا يتبعونه لطمعهم في الهدايا والصلات التي كانت تصل إليهم من أتباعهم ، ورابعها : أن جماعة من اليهود كانوا قبل مبعث الرسول صلى الله عليه وسلم يخبرون مشركي العرب أن رسولاً سيظهر منكم ويدعو إلى الحق وكانوا يرغبونهم باتباعه فلما بعث الله محمداً حسدوه وكفروا به ، فبكتهم الله تعالى بسبب أنهم كانوا يأمرون باتباعه قبل ظهوره ، فلما ظهر تركوه وأعرضوا عن دينه ، وهذا اختيار أبي مسلم ، وخامسها : وهو قول الزجاج أنهم كانوا يأمرون الناس ببذل الصدقة ، وكانوا يشحون بها لأن الله تعالى وصفهم بقساوة القلوب وأكل الربا والسحت ، وسادسها : لعل المنافقين من اليهود كانوا يأمرون باتباع محمد صلى الله عليه وسلم في الظاهر ، ثم إنهم كانوا في قلوبهم منكرين له فوبخهم الله تعالى عليه ، وسابعاً : أن اليهود كانوا يأمرون غيرهم باتباع التوراة ثم إنهم خالفوه لأنهم وجدوا فيها ما يدل على صدق محمد صلى الله عليه وسلم ، ثم إنهم ما آمنوا به ، أما قوله : { وتنسون أنفسكم } فالنسيان عبارة عن السهو الحادث بعد حصول العلم والناسي غير مكلف ومن لا يكون مكلفاً لا يجوز أن يذمه الله تعالى على ما صدر منه ، فالمراد بقوله : { وتنسون أنفسكم } أنكم تغفلون عن حق أنفسكم وتعدلون عما لها فيه من النفع ، أما قوله : { وأنتم تتلون الكتاب } فمعناه تقرأون التوراة وتدرسونها وتعلمون بما فيها من الحث على أفعال البر والإعراض عن أفعال الإثم .

واعلم أنه تعالى قرن إلزام بر الوالدين بعبادته وتوحيده في مواضع : أحدها : في هذه الآية ، وثانيها : قوله : { وقضى رَبُّكَ أَن لاَّ تَعْبُدُواْ إلاّ إياه وبالوالدين إحسانا } [ الإسراء : 23 ] وثالثها : قوله : { أَنِ اشكر لِى ولوالديك إِلَىَّ المصير } [ لقمان : 14 ] وكفى بهذا دلالة على تعظيم حقهما ووجوب برهما والاحسان اليهما . ومما يدل على وجوب البر اليهما قوله تعالى : { فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا } [ الإسراء : 23 ] وقال : { وَوَصَّيْنَا الإنسان بوالديه حسنًا } [ العنكبوت : 8 ] وقال في الوالدين الكافرين : { وَإِن جاهداك على أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وصاحبهما فِى الدنيا مَعْرُوفاً } [ لقمان : 15 ] وعن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( أكبر الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين واليمين الغموس ) وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه : أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم من اليمن استأذنه في الجهاد ، فقال عليه السلام : « هل لك أحد باليمن فقال أبواي فقال : أبواك أذنا لك فقال لا فقال فارجع وأستاذنهما فان أذنا لك فجاهد وإلا فبرهما » . واعلم أن الاحسان إلى الوالدين هو أن يقوم بخدمتهما ، وألا يرفع صوته عليهما ، ولا يخشن في الكلام معهما ، ويسعى في تحصيل مطالبهما والانفاق عليهما بقدر القدرة من البر ، وأن لا يشهر عليهما سلاحا ، ولا يقتلهما ، قال أبو بكر الرازي : إلا أن يضطر إلى ذلك بأن يخاف أن يقتله أن ترك قتله ، فحينئذ يجوز له قتله؛ لأنه إذا لم يفعل ذلك كان قد قتل نفسه بتمكين غيره منه ، وذلك منهي عنه ، روي أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى حنظلة بن أبي عامر الراهب عن قتل أبيه وكان مشركا .

لما كان هذا أمراً معجباً لما فيه من جزالة الألفاظ وجلالة المعاني ، تسبب عنه قوله : { فتبسم } ولما دل ذلك على الضحك ، وكان ذلك قد يكون للغضب ، أكده وحقق معناه بقوله : { ضاحكاً من قولها } أي لما أوتيته من الفصاحة والبيان ، وسروراً بما وصفته به من العدل في أنه وجنوده لا يؤذون أحداً وهم يعلمون { وقال } متذكراً ما أولاه ربه سبحانه بحسن تربيته من فهم كلامها إلى ما أنعم عليه من غير ذلك : { رب } أي أيها المحسن إليّ { أوزعني أن } أي اجعلني مطيقاً لأن { أشكر نعمتك } أي وازعاً له كافاً مرتبطاً حتى لا يغلبني . ولا يتفلت مني ، ولا يشذ عني وقتاً ما .

ولما أفهم ذلك تعلق النعمة به . حققه بقوله : { التي أنعمت عليّ } وربما أفهم قوله : { وعلى والديّ } أن أمه كانت أيضاً تعرف منطق الطير . وتحقيق معنى هذه العبارة أن مادة « وزع » - بأيّ ترتيب كان - يدور على المعوز - لخرقة بالية يلف بها الصبي ، ويلزمها التمييز ، فإن الملفوف بها يتميز عن غيره ، ومنه الأوزاع وهم الجماعات المتفرقة ، ويلزمها أيضاً الإطاقة فإن أكثر الناس يجدها ، ومنه العزون - لعصب من الناس ، فإنهم يطيقون ما يريدون ويطيقهم من يريدهم ، ومنه الوزع وهو كف ما يراد كفه ، والولوع بما يزاد ، ومنه الإيعاز - للتقدم بالأمر والنهي ، والزوع للجذب ، ويلزمها أيضاً الحاجة فإنه لا يرضى بها دون الجديد إلا محتاج ، فمعنى الآية : اجعلني وازعاً - أي مطيقاً - أن أشكرها كما يطيق الوازع كف ما يريد كفه ، ويمكن أن يكون مدار المادة الحاجة لأن الأوزاع - وهم الجماعات - يحتاجون إلى الاجتماع جملة ، والكاف محتاج إلى امتثال ما يكفه لأمره ، والجاذب محتاج إلى الزوع أي الجذب ، والمولع بالشيء فقير إليه ، والموعز محتاج إلى قبول وصيته ، فالمعنى : اجعلني وازعاً أي فقيراً إلى الشكر ، أي ملازماً له مولعاً به ، لأن كل فقير إلى شيء مجتهد في تحصيله ، ويلزم على هذا التخريج احتقار العمل ، فيكون سبباً للأمن من الإعجاب ، وفي الآية تنبيه على بر الوالدين في سؤال القيام عنهم بما لم يبلغاه من الشكر - والله الموفق .

 وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)

 « لو أن العبد لقي الله بكمال ما افترض عليه ما خلا بر الوالدين ما دخل الجنة ، وإن بر الوالدين لنظام التوحيد والصلاة والذكر » ولذلك لفت الكلام إلى مظهر العظمة ترهيباً من العقوق ورفعاً لما لعله يتوهم من أن الانفصال عن الشرك لا يكون إلا بالإعراض عن جميع الخلق .

ولما قد يخيله الشيطان من أن التقيد بطاعة الوالد شرك ، مضمناً تلك الوصية إجادة لقمان عليه السلام في تحسين الشرك وتقبيح الشرك لموافقته لأمر رب العالمين ، وإيجاب امتثال ابنه لأمره ، فقال مبيناً حقه وحق كل والد غيره ، ومعرفاً قباحة من أمر ابنه بالشرك لكونه منافياً للحكمة التي أبانها لقمان عليه السلام ، وتحريم امتثال الابن لذلك ووجوب مخالفته لأبيه فيه تقديماً لأعظم الحقين ، وارتكاباً لأخف الضررين : { ووصينا } أي قال لقمان ذلك لولده نصحاً له والحال أنا بعظمتنا وصينا ولده به بنحو ما أوصاه به في حقنا - هكذا كان الأصل ، ولكنه عبر بما يشمل غيره فقال : { الإنسان } أي هذا النوع على لسان أول نبي أرسلنا وهلم جراً وبما ركزناه في كل فطرة من أنه ما جزاء الإحسان إلا الإحسان { بوالديه } فكأنه قال : إن لقمان عرف نعمتنا عليه وعلى أبناء نوعه لوصيتنا لأولادهم بهم فشكرنا ولقن عنا نهيهم بذلك عن الشرك لأنه كفران لنعمة المنعم ، فانتهى في نفسه ونهى ولده ، فكان بذلك حكيماً .

ولما كانت الأم في مقام الاحتقار لما للأب من العظمة بالقوة والعقل والكد عليها وعلى ولدها ، نوه بها ونبه على ما يختص به من أسباب وجود الولد وبقائه عن الأب مما حصل لها من المشقة بسببه وما لها إليه من التربية . فقال معللاً أو مستأنفاً : { حملته أمه وهناً } أي حال كونها ذات وهن تحمله في أحشائها ، وبالغ بجعلها نفس الفعل دلالة على شدة ذلك الضعف بتضاعفه كلما أثقلت { على وهن } أي هو قائم بها من نفس خلقها وتركيبها إلى ما يزيدها التمادي بالحمل ، ثم أشار إلى ما لها عليه من المنة بالشفقة وحسن الكفالة وهو لا يملك لنفسه شيئاً بقوله : { وفصاله } أي فطامه من الرضاعة بعد وضعه .

ولما كان الوالدان يعدان وجدان الولد من أعظم أسباب الخير والسرور ، عبر في أمره بالعام الذي تدور مادته على السعة لذلك وترجية لهما بالعول عليه وتعظيماً لحقهما بالتعبير بما يشير إلى صعوبة ما قاسيا فيه باتساع زمنه فقال : { في عامين } تقاسي فيهما في منامه وقيامه ما لا يعلمه حق علمه إلا لله تعالى ، وفي التعبير بالعام أيضاً إشارة إلى تعظيم منتهاه بكونها تعد أيام رضاعه - مع كونها أضعف ما يكون في تربيته - أيام سعة وسرور ، والتعبير ب « في » مشيراً إلى أن الوالدين لهما أن يفطماه قبل تمامهما على حسب ما يحتمله حاله ، وتدعو إليه المصلحة من أمره .

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجاوَزُ عَنْ سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ (16)

ولما تفضل سبحانه وتعالى على الإنسان بعد الأعمال التي هيأه لها وأقدره عليها ووفقه لها أسباباً قرن بالوصية بطاعته - لكونه المبدع - الوصية بالوالدين لكونه تعالى جعله سبب الإيجاد ، فقال في هذا السياق الذي عد فيه الأعمال لكونه سياق الإحسان التي أفضلها الصلاة على ميقاتها ، وثانيها في الرتبة بر الوالدين كما في الصحيح ، وفي الترمذي : « رضى الله في رضى الوالدين وسخطه في سخطهما » وعلى هذا المنوال جرت عادة القرآن يوصي بطاعة الوالدين بعد الأمر بعبادته { وإذ أخذ الله ميثاق بني إسرائيل لا تعبدون إلا الله وبالوالدين إحساناً } [ البقرة : 83 ] { واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئاً وبالوالدين إحساناً } [ النساء : 36 ] وكذا ما بعدهما عاطفاً على ما قدرته أو السورة من نحو أن يقال : وأمرنا الناس أجميعن أن يكونوا بطاعتنا في مهلة الأجل عاملين ولمعصيتنا مجتنبين : { ووصينا الإنسان } أي هذا النوع الذي أنس بنفسه { بوالديه } ولما استوفى { وصى } مفعوليه كان التقدير : ليأتي إليهما حسناً ، وقرأ الكوفيون : { إحساناً } وهو أوفق للسياق .

ولما كان حق الأب ظاهراً لا له من الكسب والإنفاق والذب والتأديب لم يذكره ، وذكر ما للأم لأن أمده يسير ، فربما استهين به فقال مستأنفاً أو معللاً : { حملته أمه } أي بعد أن وضعه أبوه بمشاركتها في أحشائها ، حملاً { كرهاً } بثقل الحبل وأمراضه وأوصابه وأعراضه { ووضعته } أي بعد تمام مدة حمله { كرهاً } فدل هذا - مع دلالته على وجوب حق الأم - على أن الأمر في تكوينه لله وحده ، وذكر أوسط ما للأم من مدة التعب بذكر أقل مدة الحمل وأنهى مدة الرضاع لانضباطها فقال تعالى : { وحمله وفصاله } أي ومدة حمله وغاية فطامه من الرضاع ، وعبر بالفصال لإرادة النهاية لأن الفطام قد يكون قبل النهاية لغرض ثم تظهر الحاجة فتعاد الرضاعة { ثلاثون شهراً } فانصرف الفصال إلى الكامل الذي تقدم في البقرة فعرف أن أقل مدة الحمل ستة أشهر ، وبه قال الأطباء ، وربما أشعر بأن أقل مدة الرضاع سنة وتسعة أشهر لأن أغلب الحمل تسعة أشهر .

ولما كان ما بعد ذلك تارة يشترك في مؤنته الأبوان وتارة ينفرد أحدهما ، طوي ذكرهما ، وذكر حرف الغاية مقسماً للموصي إلى قسمين : مطيع وعاصي ، ذاكراً ما لكل من الجزاء بشارة ونذارة ، إرشاداً إلى أن المعنى : واستمر كلاًّ على أبويه أو أحدهما { حتى إذا بلغ أشده } قال في القاموس : قوته ، وهو ما بين ثماني عشرة سنة إلى ثلاثين ، واحد جاء على بناء الجمع كأنك ولا نظير لهما ، أو جمع لا واحد له من لفظه ، أو واحده شدة بالكسر مع أن فعلة لا تجمع على أفعل ، أو شد ككلب وأكلب أو شد كذئب وأذؤب ، وما هما بمسموعين بل قياس - انتهى ، وقد مضى في سورة يوسف ما ينفع هنا جداً ، وروى الطبراني في ترجمة ابن أحمد بن لبيد البيروتي عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال : الأشد ثلاث وثلاثون سنة ، وهو الذي رفع عليه عيسى ابن مريم - قال الهيثمي : وفيه صدقة بن يزيد وثقه أبو زرعة وأبو حاتم وضعفه أحمد وجماعة وبقية رجاله ثقات ، قال الزمخشري : وهو أول الأشد وغايته الأربعون .

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (215)

قوله تعالى : { يَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ } ؛ وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم لما حثّهم على الصدقة ، قال عمرو بن الجموح : يا رسول الله ، كم ننفق وعلى من ننفق؟ فنزلت هذه الآية : { يَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ } ، أي ماذا يتصدقون من أموالهم؟ { قُلْ مَا أَنفَقْتُم مّنْ خَيْرٍ } ، أي من مال { فللوالدين والاقربين واليتامى والمساكين وابن السبيل } ، يعني أنفقوا على الوالدين والقرابة وعلى جميع المساكين . فهذا جواب لقولهم : على من ننفق؟ ونزل في جواب قولهم : ماذا ننفق؟ قوله تعالى : { يَسْألُونَكَ عَنِ الخمر والميسر قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ ومنافع لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْألُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ العفو كذلك يُبيِّنُ الله لَكُمُ الآيات لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ } [ البقرة : 219 ] ، أي الفضل من المال ثم نسخ ذلك بآية الزكاة . وقال بعضهم : آية الزكاة نسخت كل صدقة كانت قبلها . وقال بعضهم : هذه الآية ليست بمنسوخة؛ وإنما فيها بر الوالدين وصلة الأرحام . ثم قال تعالى : { وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ الله بِهِ عَلِيمٌ } ، أي يجازيكم به .

وقال ابن عباس ، رضي الله عنهما : يحاسب العبد في أولها بالإيمان ، فإن سلم إيمانه من النفاق والرياء ، نجا وإلا تردَّى في النار ، وفي الثاني : يحاسب على الصلاة ، فإن أتم ركوعها وسجودها في مواقيتها نجا ، وإلا تردّى في النار ، والثالث : يحاسب على الزكاة ، في النار . وفي الخامس في الحج والعمرة ، وفي السادس بالوضوء والغسل من الجنابة ، وفي السابع بر الوالدين ، وصلة الأرحام ، ومظالم العباد فإن أداها نجا وإلا تردى في النار .

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (83)

وقال مكّي : « هذه الميثاق هو الذي أخذه عليهم حين أخرجوا من ظهر آدم كالذَّر » و « بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً » فيه خمسة أوجه :

أحدها : أن تتعلق الباء ب « إحساناً » على أنه مصدر واقع [ موقع } فعل الأمر ، والتقدير وأحسنوا وبالوالدين ، والباء ترادف « إلى » في هذا المعنى ، تقول : أحسنت به وإليه ، بمعنى أن يكون على هذا الوجه ثَمَّ مضافٌ محذوف ، وأحسنوا بر الوالدين بمعنى : أحسنوا إليهما برّهما .

قال ابن عطية : يعترض على هذا القول ، أن يتقدّم على المصدر معمولُهُ ، وهذا الاعتراض لا يتم على مَذْهَب الجمهور ، فإن مذهبهم جواز تقديم معمول المَصْدر النَّائب عن فعل الأمر عليه ، تقول : « ضرباً زيداً » وإن شئتك « زيداً ضرباً » وسواء عندهم إن جعلنا العمل للفعل المقدر ، أم للمصدر النائب عن فعله ، فإن التقديم عندهم جائز ، وإنما بمتنع تقدم معمول المَصْدر المنحل لحرف مصدري والفعل كما تقدم وإنما يتم على مذهب أبي الحسن ، فإنه منع تقديم معمول المصدر النائب عن الفعل ، ويخالف الجمهور في ذلك .

الثاني : أنها متعلّقة بمحذوف وذلك المحذوف يجوز أن يقدر فعل أمر مُرَاعاة لقوله : « لاَ تَعْبُدُونَ » فإنه في معنى النهي كما تقدم ، كأنه قال : لا تبعدوا إلا الله وأحسنوا بالوالدين ، ويجوز أن يقدر خبراً مراعاة لِلَفْظِ « لاَ تَعْبُدُونَ » والتقدير : وتحسنون [ وإن كان معناه الأمر ، وبهذين ] الاحتمالين قدره الزمخشري ، وينتصب « إحساناً » حينئذ على المصدر المؤكّد لذلك الفعل المحذوف .

وفيه نظر من حيث إن حذف عامل المؤكّد منصوصٌ على عدم جوازه ، وفيه بحث ليس هذا موضعه .

الثالث : أن يكون التقدير : واستوصوا بالوالدين ، ف « البَاء » متعلّقة [ بهذا الفعل المقدر ] أيضاً ، وينتصب « إحساناً » حينئذ على أنه مفعول به .

الرابع : تقديره : وَوَصَّيْنَاهُمْ بالوالدين ، فالباء متعلّقة بالمحذوف أيضاً ، وينتصب « إحساناً » [ حينئذ ] على أنه مفعول لأجله ، أي : لأجل إحساننا إلى الموصى بهم من حيث إنّ الإحسان متسبّب عن وصيتنا بهم ، أو الموصى لما يترتب الثواب منّا لهم إذا أحسنوا إليهم .

الخامس : أن تكون الباء وما عملت فيه عطفاً على قوله : « لاَ تَعْبُدُونَ » إذا قيل بأن « أن » المصدرية مقدرة فينسبك منها ومما بعدها مصدر يعطف عليه هذا المجرور ، والتقدير : أخذنا ميثاقهم بإفراد الله بالعبادة وبالوالدين ، أ ي : وببرّ الوالدين ، أو : بإحسان إلى الوالدين ، فتتعلّق « الباء » حينئذ ب « الميثاق » لما فيه من مَعْنَى الفعل ، فإن الظرف وشبهه تعمل فيه رَوَائح الأفعال ، وينتصب « إحساناً » حينئذ على المصدر من ذلك المضاف المحذوف ، وهو « البر » لأنه بمعناه ، أو الإحسان الذي قدرناه .

Lawan kata Birrul Walidain adalah “Uquud Walidain”

Kebalikan dari Birul walidaen adalah ‘Uquud Walidain  ِ bermakna durhaka terhadap mereka dan tidak berbuat baik kepadanya. Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”. (Ghadzaul Al Baab 1/382).

Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar. Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mahu, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (HR Bukhari dan Muslim).

ثم قال: وفصل القاضي الروياني فقال: الكبائر سبع: قتل النفس بغير الحق، والزنا، واللواط، وشرب الخمر، والسرقة، وأخذ المال غصبا، والقذف. وزاد في "الشامل" على السبع المذكورة: شهادة الزور. وأضاف إليها صاحب العدة: أكل الربا، والإفطار في رمضان بلا عذر، واليمين الفاجرة، وقطع الرحم، وعقوق الوالدين، والفرار من الزحف، وأكل مال اليتيم، والخيانة في الكيل والوزن، وتقديم الصلاة على وقتها، وتأخيرها عن وقتها، بلا عذر، وضرب المسلم بلا حق، والكذب على النبي صلى الله عليه وسلم عمدًا، وسب أصحابه، وكتمان الشهادة بلا عذر، وأخذ الرشوة، والقيادة بين الرجال والنساء، والسعاية عند السلطان، ومنع الزكاة، وترك الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر مع القدرة، ونسيان القرآن بعد تعلمه، وإحراق الحيوان بالنار، وامتناع المرأة من زوجها بلا سبب، واليأس من رحمة الله، والأمن من مكر الله، ويقال: الوقيعة في أهل العلم وحملة القرآن. ومما يعد من الكبائر: الظهار، وأكل لحم الخنزير والميتة إلا عن ضرورة.(تفسر ابن كثير جـ 2 : 185)

 

C.    Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk menghindari melebarnya tulisan ini, maka penulis membatasi pembahasan buku ini panda:

1. Status dan Kedudukan orang tua dalam Al-Qur’an dan As-Sunah;

2. Hukum berbuat baik kepada orang tua;

3. Aplikasi berbuat baik kepada orang tua

 

D. Metode Penulisan

Dalam penulisan bukuni, penulis menggunakan metode Deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya. Penggambaran kondisi bisa individual atau menggunakan angka-angka.  Penelitian deskriptif, bisa mendeskripsikan suatu keadaan  saja, tetapi bisa juga mendeskripsikan keadaan dalam tahapan-tahapan perkembangannya, penelitian demikian disebut penelitan perkembangan (Developmental Studies). Dalam penelitian perkembangan ini ada yang bersifat longitudinal atau sepanjang waktu dan ada yang bersifat cross sectional atau dalam potongan waktu.

Dalam penulisan buku ini, penulis berupaya mendiskipsikan hal-hal yang berkaitan dengan”Berbuat Baik kepada orangtua” baik dalam bentuk Firman Allah, Sabda Rasulallah, maupun dalam bentuk penafsiran.

E.  Tatacara Penyajian

Uraian tentang “Birrul walidain” disusun dalam bentuk Bab yang tersusun sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

BAB II STATUS DAN KEDUDUKAN ORANG TUA DALAM SYARIAT ISLAM

BAB III DASAR HKUM KEWAJIBAN BIRRUL WALIDAIN

BAB IV HAKIKAT BIRRUL WALIDAIN

BAB V HUKUM BIRRUL WALIDAIN

BAB VI KEUTAMAAN BIRRUL WALIDAIN

BAB VII KEWAJIBAN ANAK KEPADA ORANG TUA

BAB VIII KEDUDUKAN ANAK DALAM SYARIAT ISLAM

BAB IX PENUTUP

. - Oct 12, 2018 5:23:19 AM

. - Oct 12, 2018 5:21:58 AM