Penghormatan untuk Sang Maestro

Penghormatan untuk Sang Maestro

Resensi buku Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun

Suara INDEPENDEN No. 8/II/Maret 1996

BUKU

Judul:

Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun (Essays to Honor Pramoedya Ananta Toer's 70th Year)

Editor:

Bob Hering

Penerbit:

Yayasan Kabar Seberang, Sulating Maphilindo

Tebal:

314 halaman

PENGHORMATAN UNTUK SANG MAESTRO

Oleh: G. Soedarta

Peresensi, sarjana tinggal di lereng Gunung Salak, Jabar

Tuduhan yang ditimpakan terhadap dirinya bermacam-macam. Mulai dari menindas seniman Manikebu hingga pendukung komunis. Belakangan (oleh Des Alwi) ia dituduh membakar dokumentasi Bung Hatta. Itulah Pram. Pernah dipenjarakan dan teraniaya di masa revolusi, lantas di jaman Soekarno; kembali teraniaya secara bertubi-tubi di jaman Orde Baru. Memang, bicara tentang Pram sepertinya kita bicara tentang sebuah lorong labirin yang panjang, rumit, berkelok-kelok dan tak pernah bisa dimengerti. Pram adalah subyek, sekaligus obyek, dari absurtisme sebuah nation-state yang "menolak ini-menolak itu", "tidak ini-tidak itu" dan mencoba mengidentifikasi diri dengan Pancasila.

Berkali-kali, dalam berbagai kesempatan yang terbatas (media tak banyak yang berani memberitakan - pen.), Pram menyatakan, "kalau memang saya dianggap bersalah, ajukan ke pengadilan. Biar pengadilan membuktikan kesalahan saya. Saya akan menerima hukuman yang diberikan pada saya. Tapi buktikan". Ucapan Pram tersebut seperti tak ada artinya. Ia terus jadi sasaran tembak. Karya-karyanya dinyatakan berbahaya. Ia dicekal pergi ke luar negeri. Bahkan ia harus belasan tahun kerja rodi membuka hutan di Buru bersama ribuan orang tanpa pernah tahu alasannya. Ia dibuang ke Buru tanpa lewat proses peradilan.

Begitu pula saat bebas. Berbagai kesalahan terus ditimpakan orang padanya. Di negerinya sendiri karya-karya Pram dilarang untuk dibaca, sementara di luar negeri terjemahannya terus mengalir lebih dari 24 bahasa. Barangkali di sinilah letak ironi seorang Pram. Dicampakkan di negerinya sendiri oleh penguasa, tapi disanjung-sanjung masyarakat internasional. Ia dianggap seorang maestro sastra.

Memang Pram adalah sastrawan Indonesia yang paling banyak mengangkat dan mencitrakan revolusi Indonesia dalam karyakaryanya. Kritikus sastra Indonesia kenamaan, A Teeuw berpendapat perihal Pram, "segala tahap perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala keangungan dan kemelaratan rakyat dicitrakannya. Namun ia tak pernah menjadi propagandis revolusi; tidak menyembunyikan kelemahan manusia, individual maupun kolektif. Dedikasi pada manusia dan kemanusiaan yang mendalam pada diri Pram, membuat A Teeuw berpendapat bahwa Pram adalah seorang pengarang besar, bertaraf antar bangsa, lambang dan penjelmaan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai tempat yang setara di antara bangsa-bangsa di dunia. Sanjungan A Teeuw memang cukup beralasan. Ia berikan sejumlah argumentasi bagaimana Pram mampu mengundang simpati orang pada rakyat kecil yang tak dapat tempat dalam sejarah manusia.

Buku yang ditulis sejumlah pakar kenamaan sebagai peringatan ulang tahun ke-70 Pramoedya Ananta Toer (1925-1995) ini membuktikan bagaimana Pram dihormati di luar negeri. Mereka yang ikut menulis antara lain Harry Aveling, Helga Blazy, Keith Foulcher, Chris GoGwilt, Bob Hering, Doris Jedamski, Henk Maier, Pat Noonan, Harry Poeze, Hans Teeuw, Gerard Termorshuizen, Fritjof Tichelman, Wim Wertheim dan Saskia Wieringa.

Meski beberapa di antara tulisan yang ada dalam buku ini pernah dipublikasikan, tetap saja orang dirangsang untuk membacanya sekali lagi dalam bentuk bunga rampai. Ada tiga bahasa yang digunakan dalam buku ini: Inggris, Belanda dan Indonesia.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari sepuluh tulisan yang merupakan kajian terhadap karya-karya Pram. Juga beberapa dokumentasi Penghargaan Ramon Magsaysay. Yang penting pada bagian ini adalah makalah Pram (diterjemahkan ke Inggris oleh Harry Aveling) yang pernah menggegerkan yaitu "Sikap dan Peranan Kaum Intelektual Di Dunia Ke Tiga".

Makalah tersebut dibuat Pram untuk sebuah diskusi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Sungguh menarik membaca kembali makalah Pram yang sebetulnya "biasabiasa saja" dan hanya berisi masalah kebudayaan semata tapi justru berbuntut dengan ditangkapnya penyelenggara diskusi dan dikeluarkannya sejumlah mahasiswa yang dianggap bertanggungjawab atas acara tersebut.

Bagian ke dua buku ini berisi sebelas tulisan yang lebih menyangkut Indonesia. Sang editor pada bagian ini mempersembahkan tiga tulisan menyangkut Mohammad Hoesni Thamrin. Tulisan pada bagian ini hampir semuanya penting, karena menyangkut penelitian aspek kesejarahan Indonesia yang pernah dilakukan para penulisnya. Namun, bagian yang paling penting, tak pelak lagi adalah tulisan mantan guru besar Recht Hoge School di Batavia, Profesor Wim Wertheim (hal. 284-306), menyangkut teka-teki seputar kejadian 1965 (Indonesia"s Hidden History of 1965: When will the Archives be Declassified?). Ibarat seorang Sherlock Holmes, Wertheim mencoba memecahkan sejumlah teka-teki besar dengan cara merangkai sejumlah fakta dan persepsi. Dan, Wertheim mengakui, misteri kejadian 1965 bagaimanapun tetap akan diliputi sejumlah teka-teki bila tidak ada keterbukaan. Artinya, mustahil untuk menguak tabir tersebut bila tak ada upaya de-Soehartoisasi secara radikal.