Calon Kuat Penerima Nobel Tahun ini

Wawancara Pramoedya dalam Mutiara

Pramoedya, Calon Kuat Penerima Nobel Tahun ini?

Mutiara, 19-25 September 1995, p.14

Sejak Panitia Hadiah Magsaysay mengumumkan Pramoedya Ananta Toer sebagai pemenang untuk katagori Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif pada 19 Juli 1995, namanya menghiasi halaman media massa di Indonesia. Namun 26 sastrawan/budayawan memprotes pemberian hadiah itu. Alasan mereka, pada masa Orde Lama dulu, Pram "memberangus kreativitas" para sastrawan yang tidak sepaham dengannya.

Tidak bisa disangkal, Pramoedya Ananta Toer, kelahiran Blora 6 Februari 1925, telah melahirkan sejumlah karya yang diakui dunia. Di antaranya diterjemahkan ke dalam 22 bahasa.

Ia juga memperoleh sejumlah penghargaan dan kehormatan. Karyanya Perburuan meraih hadiah pertama Balai Pustaka, Cerita dari Blora pemenang hadiah BMKN, Cerita dari Blora memperoleh Hadiah Yamin Foundation yang kemudian ditolaknya. Ia juga memperoleh anugerah Stichting Wertheim dari Belanda. Diperoleh kabar, Pram merupakan calon kuat peraih Hadiah Novel untuk Kesusastraan tahun 1995 ini.

Ray Rizal dari Mutiara mewawancarainya Rabu, (13/9) pekan lalu di rumahnya di Jakarta Timur. Berikut petikannya:

M: Sejak tahun 1981 Anda masuk nominasi penerima Hadiah Nobel. Bagaimana kesempatan tahun ini?

P.A.T.: Betul. Sejak tahun 1981, setiap menjelang pengumuman Hadiah Nobel pada bulan Oktober, nama saya selalu disebut-sebut. Saya harapkan tahun ini. Sudah terlampau lama saya masuk nominasi terus. Tahun ini saya dengar saya salah satu dari tiga orang peraih Nobel. Betul atau tidaknya, saya tidak tahu. Saya dapat kabar dari orang yang membaca nominasi penerima Nobel itu di Internet. Kalau saya dapat Hadiah Nobel, nanti ada yang kelojotan lagi.

M: Mereka yang tidak setuju kepada Anda, justru merupakan batubata-batubata yang secara tidak langsung membesarkan Anda?

PAT: Untuk pengarang, semua pengalaman menjadi fondasi, misalnya pengalaman pahit, dianiaya, dicaci dan difitnah, semua itu nggak ada yang hilang percuma.

M: Bagaimana Anda mengontrol royalti buku Anda yang bertebaran di luar negeri?

PAT: Saya itu nggak ngurusin duit. Kalau ada yang mengirim, ya saya terima. Saya paling segan soal duit, nggak tahu kenapa. Mungkin ini sisa-sisa priyayi Jawa saya. Saya nggak bisa ngitung- ngitung.

M: Waktu acara Refleksi Budaya di auditorium IKJ Anda tidak ngomong. Kenapa?

PAT: Itu bukan forum saya. Itu forum pembaca. Itu 'kan sudah disampaikan oleh Toeti Herati. Sebelumnya ada yang mengingatkan saya, agar tidak ngomong di forum itu. Kalau itu forum saya, saya akan menghadapi 26 orang yang mendakwa-dakwa nggak karuan itu. Okelah, tapi saya harus dibantu oleh alat pendengar, karena pendengaran saya nggak beres. Kalau toh itu terjadi. Kalau saya mau diadili, silakan, saya nggak merasa bersalah. Waktu saya hadir para acara itu, sebenarnya saya nggak mendengar semuanya, karena pendengaran saya payah.

M: Karya Anda pernah dibahas oleh Harry Aveling. Ada tanggapan?

PAT: Harry Aveling tidak dianggap di Indonesia. Buku saya Perburuan diterjemahkan oleh dia, nggak "jalan" itu buku yang diterbitkan di Singapura. Tetapi, waktu diterbitkan di Amerika, menyebar ke seluruh dunia.

M: Kenapa buku Perburuan itu tidak laris?

PAT: Mungkin segi bisnisnya. Buku itu masih dua edisi, edisi Inggris Amerika dan edisi Inggris terjemahan Harry Aveling di Hong Kong. Kemarin saya dapat perhitungan honor buku itu sebanyak 7 dolar AS dalam waktu satu tahun untuk edisi Harry Aveling.

M: Apa sebab pendengaran Anda berkurang?

PAT: Kuping saya dipukul dengan senjata otomatik. Yang dituju mata saya. Ketika saya nengok kena pangkal kuping, itu tanggal 13 Oktober 1965. Tapi, bisa jadi karena saya sudah tua ya. Dari pihak ibu saya, memang pendengarannya makin tua makin berkurang.

M: Untuk menjaga kesehatan, olah raga apa yang Anda lakukan?

PAT: Saya melakukan push-up. Sebelum kena hernia, saya bisa melakukannya sampai 19 kali, tetapi setelah kena hernia dan menjalani operasi, saya hanya bisa 17 kali. Saya juga banyak bergerak, mengurusi tanaman, memangkas pohon mangga, membersihkan pohon kelapa. Kalau mandi saya gerak badan juga, misalnya begini (melompat gaya kodok berkali-kali di sisi meja tulisnya, -Red.). Di bawah shower, saya juga bisa gerak badan. Saya bisa berolah raga (bergaya kodok, -Red.) sebanyak 30 kali.

M: Setelah Arus Balik, karya apalagi yang akan Anda terbitkan?

PAT: Ya, buku-buku semasa revolusi dicetak ulang, antara lain Mereka Yang Dilumpuhkan, Percikan Revolusi, Di Tepi Kali Bekasi.

M: Di usia senja, apa yang masih belum selesai Anda kerjakan?

PAT: Sebenarnya banyak. Tetapi yang selalu menjadi pikiran saya adalah merampungkan Ensiklopedi Kawasan Indonesia. Saya sudah mencapai empat meter. Selama lima tahun ini terhenti karena kehabisan daya dan kehabisan dana. Saya sendirian bekerja. Ada teman-teman mengusulkan supaya didirikan yayasan, untuk membiayai staf dan membantu saya. Tetapi sampai sekarang belum terwujud. Tetapi ada juga, salah seorang yang membisikkan kepada saya, ada yang menyanggupi memberikan dana 100 juta untuk dua tahun. Saya belum menjawab. Kalau saya pribadi, saya nggak suka menerima sesuatu. Kalau yayasan sih silahkan. Kalau saya pribadi nggak mau menerima, nanti macam-macam suara orang.

M: Bagaimana proses pengumpulan bahan-bahan ensiklopedi itu?

PAT: Ensiklopedi ini pernah ada di dalam bahasa Belanda 150 tahun yang lalu. Kemudian ada lagi orang yang mau menyusun dalam bentuk yang sederhana, tetapi keburu pecah Perang Dunia II. Tidak sempat diterbitkan. Naskahnya jatuh ke tangan saya dari Belanda. Ada juga ensiklopedi Hindia Belanda, tetapi tidak khusus tentang kawasan. Mari ke ruang kerja saya.

(Pram mengajak Mutiara melihat-lihat dua kamar kerjanya di tingkat atas, masing-masing berukuran sekitar 4x4 meter, penuh buku, naskah-naskah ensiklopedi dan kliping dari berbagai media massa. Ada rak yang khusus untuk kliping. Ada pula rak yang dipadati berjilid- jilid naskah ensiklopedi yang sudah diberi abjad. Tidak ada komputer, kecuali mesin ketik manual yang sudah tua.)

M: Kenapa memberi nama Ensiklopedi Kawasan Indonesia?

PAT: Sebelumnya saya beri nama Geografi Indonesia. Kenapa saya ubah? Saya khawatir nanti terlampau ilmiah. Ini 'kan bukan bidang saya, nanti saya diserbu orang lain.

M: Pekerjaan besar semacam ini kenapa hanya Anda kerjakan sendiri?

PAT: Tidak mampu saya. Pada masa Orde Lama saya dibantu enam orang. Sekarang semuanya say kerjakan sendirian. Saya nggak mampu membayar orang Rp300 ribu satu bulan. Kalau yang dibiayai orang lain, itu soal lain.

M: Kapan biasanya Anda mengerjakan ensiklopedi itu?

PAT: Ya, biasanya sehabis makan, habis baca koran.

M: Bagaimana cara Anda mengumpulkan bahan-bahan yang masih kurang?

PAT: Ya, di sini saja. Apa yang kurang, ada yang datang mengantarkan.

M: Masih terus menulis ensiklopedi itu?

PAT: Sekarang nggak. Terhenti. Perkerjaan saya tenggelam dengan mengumpulkan kliping mengenai pembicaraan Magsaysay. Klipingnya luar biasa banyak.

M: Abjad apa yang tersulit Anda kerjakan?

PAT: Bukan tersulit, tetapi bahan yang termiskin. ya, misalnya abjad X, R, V, W, U, X, Y dan Z. Kalau abjad J sangat banyak, sebab Jawa itu tetap masih menguasai.

M: Apakah Anda yakin, ensiklopedi itu bisa berhasil diterbitkan pada saat Anda masih hidup?

PAT: Persoalannya bukan bisa terbit atau tidak, tetapi harus ada yang mengerjakannya. Terbit atau tidak, itu soal lain. Persoalan utama saya, belajar melihat Indonesia sebagai realitas. Bukan abstrak lagi. Pada umumnya Indonesia itu 'kan abstrak untuk orang Indonesia sendiri.

M: Apa yang Anda maksudkan dengan abstrak?

PAT: Ya, tidak terbayang. Kalau dibikin konkret dalam tulisan, orang 'kan lebih mudah. Bukan berarti tidak ada orang yang menulis. Tetapi kalau terserak dalam penerbitan sebanyak itu bagaimana satu individu bisa mengikutinya. Kalau sudah terkumpul dalam buku, oh, desa saya itu. Tinggal ambil kode, desa saya di sini. Kalau ada materi sosial budayanya dimasukkan di situ. Barangkali 500 tahun lalu desa itu tertimpa bencana, bisa diketahui kalau ada materinya. Bahkan saya impikan, ensiklopedi ini ada di setiap SD kalau sudah terbit. Persoalannya, selama ini, orang asing saja membikin studi, kita baru mulai melepaskan cara berpikir emosional. Sekarang kita baru mulai berpikir secara ilmiah. Itu sudah suatu kemajuan walau tertinggal dari bangsa-bangsa lainnya. Itu suatu permulaan yang baik. Kita tidak bisa memulai segala-galanya sekaligus.

M: Karya Anda yang dicetak paling banyak di luar negeri?

PAT: Gadis Pantai. Di Belanda sudah cetakan ke-14. Tetralogi, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, juga terbanyak dicetak di luar negeri.

M: Karya Anda yang terbanyak diterjemahkan ke bahasa asing?

PAT: Cerita dari Blora ke-18 bahasa asing. Buku-buku yang lain itu menyusul. Bumi Manusia dalam edisi Inggris dicetak di Australia, Amerika, Kanada dan Inggris. Sekarang karya saya sudah terbit dalam 22 bahasa.

M: Karya mana yang pertama kali diterjemahkan dalam bahasa asing?

PAT: Cerita dari Blora pertama kali, dalam bahasa Rusia tahun 1956.

M: Siapa sastrawan yang Anda kagumi?

PAT: Sekarang tidak ada. Dulu saya kagum dengan sastrawan-sastrawan kaliber dunia. Sekarang tidak lagi, karena penderitaan yang saya jalani lebih berat daripada mereka.

M: Dulu siapa pengarang yang mempengaruhi Anda?

PAT: Pada waktu muda saya mencoba belajar sastra. yang saya kagumi pertama kali itu Idrus. Sampai sekarang, dia itu saya anggap seorang stylist yang belum tertandingi. Saya baca karyanya di penjara Belanda Bukit Duri selama dua setengah tahun. Karena itu, sebagai muridnya, sedikit atau banyak, saya menyadap kekuatannya. Idrus itu kalau menulis, tidak ada satu kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang. Dengan kekuatan yang saya sadap dari Idrus, saya membikin cerpen.

Meskipun saya berada di penjara, karangan saya banyak beredar di luar. Saya sudah dikenal sewaktu saya di penjara. Waktu ke luar dari penjara, saya datang ke Balai Pustaka, saya memperkenalkan diri kemudian ditemui oleh para redaksi, Idrus datang. Dia sudah tidak bekerja di sana waktu itu. "Bung Idrus, in Pram!" seorang teman memperkenalkan. Kata "guru besar" saya untuk pertama kali waktu saya ketemui, "Pram, dengar, kau tidak menulis Pram, kau berak!" Itu kata-kata pertama ketika saya berkenalan dengan "guru besar" saya Idrus. Saya tidak bisa ngomong apa-apa. Saya baru ke luar dari tahanan. Saya baru memasuki dunia sastra. Kata-kata itu terus tersimpan seumur hidup saya.

M: Pengarang asing yang berpengaruh kepada Anda?

PAT: Saya kagum Steinbeck, pengarang Amerika, karena dari karyanya saya belajar bagaimana menulis plastis. Kalau tulisan itu dibaca, akan muncul gambaran seperti film di benak pembaca. Saya belajar dari Steinbeck. Saya kagum juga dengan pengarang Amerika lain, William Saroyan, bagaimana membuat tulisan itu menimbulkan perasaan haru, dengan menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam per[?temu]an antara manusia. Saya juga belajar dari Maxim Gorki yang betul-betul saya kagumi. Gorki kalau menulis bagai memegang t[?] rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semuanya berubah dan bergerak. [?Itu] Gorki. Sedangkan karya pengarang lain [?ada] Balzac dan Zola, umur belasan tahun sudah saya baca, tapi itu tidak berkesan bagi saya.

Pengarang lain yang saya kagumi itu adalah Multituli. Dia mendirikan kemanusiaan dengan mengorbankan segala- galanya demi kemanusiaan. Sampai-sampai sering saya kutip ucapannya: "Kewajiban manusia adalah menjadi manusia." Dialah yang mempengaruhi para pelajar kita eselon pertama untuk menyadari diri mereka dijajah, sebelum itu nggak merasa kalau dijajah. Dengan membaca Multatuli para pelajar angkatan pertama menjadi sadar bahwa diri mereka dijajah. Ini banyak mempengaruhi saya.

M: Bagaimana cara Anda memelihara kreativitas meskipun meringkuk dari penjara ke penjara?

PAT: Masalah kepengarangan itu 'kan soal internal, bukan eksternal. Itu masalah individual dan pribadi. Tergantung dorongan batin. Kalau pengarang punya dorongan batin yang kuat, dia pasti bisa melahirkan karya-karya yang bagus, karya avant-garde. Jadi, kalau ada orang menuduh saya merampas kebebasan kreatif, itu artinya nol besar. Kebebasan kreatif itu tidak bisa dirampas. Apa sih kekuasaan Pramoedya sehingga bisa merampas kreativitas pengarang? Walaupun pengarang itu dikasih kebebasan 5.000 persen, kalau dia tidak punya dorongan batin untuk mengarang, jelas tidak akan lahir karya-karyanya. Saya sendiri, meskipun meringkuk di penjara atau dibuang ke Pulau Buru, toh karya- karya saya terus lahir. Walaupun saya tidak punya kemerdekaan, karena berkali-kali dirampas, saya toh terus berkarya. Kalau memang ada dorongan batin untuk mengarang, di dalam kakus pun orang bisa kreatif.

Saya menyadari, semua progresi itu mempunyai konsekuensi. Bagi seorang pengarang, semua pengalaman: kecewa, sukses, gembira, sakit, dan dianiaya, merupakan fondasi bagi karyanya. Kalau orang itu pengalamannya dari sekolah ke kantor, dari kantor ke tv, bagaimana fondasinya? Makin kaya pengalaman, makin kuat fondasi kepengarangan.

M: Arti karya sastra bagi Anda?

PAT: Karangan saya itu anak-anak jiwa saya. Saya tetap mengakuinya setelah saya lepaskan di padang sosial budaya kehidupan. Itulah kebanggaan saya.

M: Sebagai sastrawan apakah ada yang Anda sesalkan?

PAT: Saya menyesal telah membuat kritik sastra pada masa lalu. Kalau bisa, jadi pengarang ya pengarang saja, kalau jadi kritikus ya kritikus saja. Kalau pengarang jadi kritikus, ukurannya adalah dirinya, pengalamannya, pikirannya dan prestasinya sendiri. Ini tidak etis. Saya menyesal menulis kritik sastra.

M: Apa yang Anda pikirkan ketika dihukum tanpa melewati proses peradilan?

PAT: Saya sendiri 'kan sudah biasa dianiaya. Waktu saya diperlakukan seperti itu, bukan diri saya yang saya lihat, tetapi saya menyesali kenapa budaya bangsa saya kok serendah itu. Bukan diri saya yang saya pikirkan, tapi bangsa saya, nation saya. Meskipun diperlakukan begitu, saya tidak dendam. Yang saya ratapi justru bangsa saya, kenapa serendah itu budayanya.