Bukan Sekadar Pembelaan

Bukan Sekadar Pembelaan

Sumit K. Mandal

Catatan Redaksi SiaR:

Tulisan ini adalah makalah yang dibuat secara khusus untuk peluncuran buku Hoakiau di Indonesia yang diadakan secara bersama oleh Garba Budaya, Komunitas Geni Jakarta dan Jaring, di Wisma YTKI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, pada 21 Oktober 1998. Penulis adalah pengajar pada Instutut Kajian Malaysia dan Antarabangsa, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Apa gunanya kita mengenal bahwa banyak tradisi dan benda yang dianggap sangat Indonesia, sebenarnya berasal di negeri Tiongkok? Apa gunanya kita mengingat masyarakat keturunan Tionghoa Surabaya yang bersama-sama dengan para nasionalis berjuang menentang penjajah pada Zaman Revolusi? Apa pula gunanya kita menyadari bahwa budaya dan sumbangan masyarakat Tionghoa memiliki akar sejarah yang panjang di Nusantara? Hal-hal inilah yang jadi cakupan buku Pramoedya Ananta Toer Hoakiau di Indonesia. Apa gunanya buku yang menyajikan pengetahuan sedemikian? Apakah buku itu berjaya mendorong rakyat dan negara Indonesia mengubah tingkah lakunya secara nyata? Jawabannya memang tidak.

Bukan hanya pemojokan masyarakat Tionghoa itu berterusan malah ia menjadi lebih parah. Pengasingan secara institusional dan birokratis bertambah, sejarah yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara Nusantara dan Tionghoa dihilangkan. Kini, "orang asing yang bukan asing," sebagaimana Pramoedya mengungkapkannya, sudah benar-benar diasingkan. Walau pun kekerasan--khususnya kekerasan seksual--yang dilakukan terhadap wanita Tionghoa di Jakarta dan tempat lain masih dipersoalkan, kejadian itu merupakan satu tanda tanya besar kepada rakyat dan negara Indonesia. Kekerasan itu tidak dapat dipisahkan dari proses pembikinan "Pri" dan "Non-Pri" serta "WNI" sejak pertengahan tahun 1960-an.

Selama tiga dasawarsa proses pengasingan sejenis manusia Indonesia sudah berjalan secara diam-diam melalui liku-liku aparat dan politik negara. Satu hal sering kali dilupakan dalam cerita ini. Korbannya bukan saja orang Tionghoa tapi kepribadian Indonesia sendiri. Tindakan yang diambil terhadap sebagian rakyat akhirnya berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Penyingkiran satu golongan menampakkan kemampuan kuasa pemerintah mengontrol dan menekan rakyatnya sendiri. Selain daripada masyarakat Tionghoa kita kenal juga contoh manusia lain yang sudah jadi sasaran pihak berkuasa, seperti mereka yang dulu dituduh "Komunis".

Kalau kita kembali pada soal gunanya buku Hoakiau itu mungkin kita berkesimpulan bahwa ia gagal karena tidak dapat merombak pemikiran dan tindakan chauvinis yang berakar pada awal tahun 1960-an. Tetapi kita boleh melihat persoalan ini dari sudut lain. Kata "guna" itu asalnya bermakna juga "kebaikan" dan "keunggulan" dalam bahasa Sansekerta. Dari sudut pandang makna asal kata "guna," buku Hoakiau boleh dikatakan banyak berguna kepada Indonesia karena ia bukan sekadar pembelaan masyarakat Tionghoa tetapi satu kritikan terhadap nasion dan cara memandang sejarah dan kemajuan peradaban. Kalau kita katakan bukunya gagal ia hanya mencerminkan kegagalan Indonesia dan banyak lagi negara, khususnya negara berkembang di mana keselamatan hidup kebanyakan atau sebagian rakyatnya selalu dalam keadaan tidak menentu.

Hoakiau tidak gagal. Kehadiran bukunya pada tahun 1960 dan pembredelannya hanya merupakan riwayat awal ataupun nyawa pertamanya. Begitu Indonesia menghadapi tantangan dan teror baru-baru ini, bukunya hidup semula. Dalam arti kata ini, bukunya membawa satu visi dengan substansi dan imajinasi yang unggul dan yang sudah menjadi sebagian daripada perjuangan rakyat Indonesia untuk keadilan dan persamaan.

Gunanya Hoakiau banyak. Hubungan sejarah intim di antara orang Tionghoa dan Nusantara perlu diingatkan semula karena penghilangan riwayat panjang dan komplek inilah yang menjadi asas pengasingan golongan etnis itu. Dalam hal ini, eksploitasi bermula dengan kata, atau lebih tepat lagi wacana. Kita hanya perlu rasakan dampak kata "Cina," "Non-Pri," dan "WNI" untuk mengerti betapa luas dan berakar esksploitasi ini dalam kehidupan seharian, dan betapa ia telah menyinggung hati. Eksploitasi kata ada hubungan rapat dengan eskploitasi birokrasi dan kekerasan.

Alasan yang biasa diutarakan untuk pengasingan dan pengawasan orang Tionghoa Indonesia berasaskan ukuran ekonomi dan politik. Pada suatu ketika, orang Tionghoa dicap Komunis. Tetapi baru-baru ini di Indonesia dan negara serantau, mereka dicap kapitalis. Pokoknya citra tersebut adalah alasan mengasingkan dan mengawasi sebagian masyarakat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Kata dan wacana yang dimunculkan dalam Hoakiau tidak memperbolehkan golongan itu dipandang semata-mata sebagai binatang ekonomi atau pun politik. Gambaran sejarah dan budaya Tionghoa Indonesia yang menyertai analisis ekonomi dalam buku itu membawa kepada satu imej dan wacana yang komplek dan menantang. Pramoedya mengerti dengan baik betapa penting usaha melahirkan kritikan sejarah, kalau bukan untuk manfaat generasinya, mungkin sebagai petanda jalan generasi kemudian. Baru-baru ini Ariel Heryanto menambah kepentingan usaha membangun teori dan kritikan mengenai etnisitas dan budaya dengan menyatakan:

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sesungguhnya yang dinamakan 'non-pribumi' itu tidak ada. Kaum nonpribumi atau 'WNI Keturunan Tionghoa' hanya ada dalam angan-angan, umpatan, formulir kelurahan, atau gosip. Jadi, kalaupun mau dibahas, adalah sejenis wacana, angan-angan, fiksi atau ideologi. Dan, untuk membahasnya dibutuhkan teori sastra, teater, psikologi, bahasa, atau ideologi. Bukan demografi, sejarah, ekonomi, ilmu politik. Tidak juga statistik untuk mengukur sekian persen penduduk Indonesia menguasai sekian persen ekonomi nasional.1)

Tulisan Ariel tidak sekadar mencerahkan kepentingan teori sastera, teater dan seterusnya dalam usaha menganalisis istilah dan kenyataan "Non-Pri." Tulisannya, seperti juga tulisan Pramoedya, menunjukkan juga kepada pentingnya analisis bukan bersifat ekonomi--khususnya dalam era globalisasi kini yang mengutamakan analisis ekonomi dalam semua aspek kehidupan. Kata itu perlu diteliti bukan hanya sebagai kiasan tetapi sebagai sesuatu yang punya makna dan kuasa tertentu. Dalam bentuk yang lebih puitis, kata menyentuh hati dan membentuk kepribadian.

Contoh penggunaan kata yang dapat membawa kepada pembaruan adalah pilihan kata "hoakiau" itu sendiri. Kata itu diperkenalkan negara Tiongkok sekitar peralihan abad ini untuk merangkumi masyarakat keturunan Tionghoa yang telah menetap di merata-rata tempat di dunia. Alasan politik dan ekonominya sudah nyata. Elit masyarakat Tionghoa perantau sudah mencapai sukses besar dalam bisnis dan mungkin dapat membantu membangun Tiongkok. Lantas negara Tiongkok mengkategorikan kembali Tionghoa perantauan sebagai "anaknya" dengan memperkenalkan istilah "hoakiau", dan seterusnya membuka hubungan yang bersifat praktis dengan mereka.

Kata itu pun sudah masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia pada awal tahun 1960-an. Pramoedya menggunakan kata itu untuk merujuk kepada diaspora tetapi lebih-lebih lagi kepada keturunan Tionghoa di Indonesia karena kata itu ada kelainannya dan dapat diisi makna dan citra baru. Perlu juga dicatat di sini bahwa Pramoedya jauh lebih peka terhadap subyeknya itu karena beliau tidak terpikat dengan fantasi yang bukan-bukan mengenai diaspora Tionghoa. Buku Hoakiau menempatkan orang Tionghoa itu secara nyata dalam sejarah dan budaya Indonesia. Kecenderungan banyak sarjana semasa untuk menggolongkan semua orang Tionghoa serantau ke dalam satu unit ekonomi bisa saja melahirkan bentuk rasialisme baru. Ada tanda juga citra ini diperalatkan pemimpin Indonesia tertentu waktu kerusuhan bulan Mei dan Juni 1998. Pramoedya mengisi kata "hoakiau" dan kata lain dengan kenyataan sejarah dan kehidupan yang komplek di Indonesia dan dengan demikian mencegah permunculan rasialisme.

Buku Hoakiau tidak sekadar membela masyarakat Tionghoa Indonesia dan tidak pula secara sederhana mempertahankan hak asasinya. Pramoedya tidak memandang satu masyarakat atau jenis manusia yang dipanggil Cina itu bisa kesemuanya bersalah atas tuduhan apapun. Kalau tidak bersalah mengapa pula perlu dibela. Jika kita teliti bukunya, ia merupakan satu penjelajahan jiwa Indonesia yang lahir 53 tahun yang lalu. Penyampaiannya merupakan satu bentuk dokumentasi kepribadian nasion lewat rubrik khusus orang Tionghoa dan mungkin merupakan bentuk penulisan dan kritikan yang berguna di negara lain. Walau pun pola-pola kehidupan setiap nasion cukup berbeda bukunya masih berguna dalam menyampaikan satu citra yang menggoda, merangsang dan menantang mengenai nasion dan kandungan manusianya untuk setiap negeri di rantau ini.

Kita di rantau ini, khususnya di Indonesia dan Malaysia, adalah nasion majmuk dan beraneka ragam etnis, budaya dan agama yang bukan sama dengan bentuk masyarakat majmuk yang muncul baru-baru ini di negara bekas penjajah selepas banyak orang Afrika, Asia dan imigran lain masuk. Di sini kita sudah sejak zaman dahulu hidup dalam kebhinekaan yang dirombak dan diberi corak baru oleh pemerintah kolonial, dan yang kita belum lepaskan sepenuhnya. Dampaknya adalah satu sistem yang menghalang perwujudan nasion dan mengekalkan pemisahan politik berasaskan kaum yang banyak memanfaatkan sang penguasa. Kalau memang negara kita tidak dapat melepaskan belenggu ini, kita tidak dapat membangunkan masyarakat sipil yang diidam-idamkan. Pembentukan nasion itu masih merupakan satu tantangan utama rakyat serantau walau pun banyak yang meramal bahwa kita akan segera berada dalam dunia tanpa batas.

Akhir kata, Pramoedya sungguh peka kepada kata dan bahasa dalam buku Hoakiau dan karya lainnya. Kata, bahasa dan wacana adalah medan perjuangan pengarang dan di sini saya ingin mengutip dua bait sajak penyair agung Chile Pablo Neruda yang dengan bagus sekali mengungkapkan makna medan tersebut. Seperti buku Hoakiau, sajak ini ditulis pada awal tahun 1960-an dan kandungannya sungguh bermakna juga untuk acara bersejarah perluncuran buku itu. Ia bermakna karena ia menunjukkan mengapa kata itu masih penting walau pun banyak penderitaan sudah berlalu. Saya menutup tulisan ini dengan sajak Neruda berikut:

The Word

The word

was born in the blood,

grew in the dark body, beating,

and took flight through the lips and the mouth.

Farther away and nearer

still, still it came

from dead fathers and from wondering races,

from lands which had turned to stone,

lands weary of their poor tribes,

for when grief took to the roads

the people set out and arrived

and married new land and water

to grow their words again.

And so this is the inheritance;

this is the wavelength which connects us

with dead men and the dawning

of new beings not yet come to light.2)

Jakarta, 20-21 Oktober 1998

Catatan Akhir:

1) Ariel Heryanto, "Apa Ada Nonpribumi?" Forum Keadilan (no. 13, 5 Okt. 1998), hlm. 37.

2) Pablo Neruda, Fully Empowered, diterjemahkan Alastair Reid (New York: New Directions, 1995). Pertama kali terbit pada tahun 1962 dalam bahasa Spanyol.