Dia Pendamba Humanisme

Dia Pendamba Humanisme

Jawa Pos Online

Minggu, 18 April 1999

Soetjipto Wirosardjono

http://202.149.241.231/jplalu/aprl99/18apr/koh18ap2.htm

Pramoedya Ananta Toer memang layak disebut sastrawan besar Indonesia. Pikiran-pikirannya mampu mengilustrasikan kondisi masyarakat dalam berbagai tahapan. Kepolosannya dalam mengungkap realitas segala sendi kehidupan membuat Pram harus berhadapan dengan otoritas kekuasaan yang pada akhirnya harus rela "dibuang" ke Pulau Buru.

Itulah pengakuan Soetjipto Wirosardjono, seorang kolumnis berbagai media cetak nasional, yang mengaku sampai saat masih jadi pengagum karya sastra Pram. ''Saya kenal sastra Pram sejak masih duduk di bangku SMA. Dan sampai tua begini, saya masih menyukai Pram sebagai sastrawan. Novelnya yang terakhir pun masih saya baca,'' kata Soetjipto.

Soetjipto yang mantan ketua umum Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) itu juga menilai, sebagai seorang sastrawan, Pram memang tak kenal kompromi. Dia tidak takut dengan apa yang telah ditulisnya. Misalnya, ketika gerakan kemerdekaan dulu, Pram bisa mengilustrasikannya dalam bahasa sastra yang baik.

Sayang, tidak semua kalangan bisa menerima karya-karya besar Pram. Ini pula yang membuat dia selalu berseberangan dengan kekuasaan. Puncaknya, kata Soetjipto, Pram dituduh pernah terlibat dalam Gerakan 30 September PKI. Ironisnya, tak ada putusan pengadilan terhadap dirinya. Dia langsung divonis dan dibuang ke Pulau Buru. Di pembuangannya ini, toh Pram masih sempat menulis novel, antara lain, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Meski akhirnya karyanya itu dilarang beredar.

''Beranjak dari novel-novelnya yang pernah saya baca, maka saya berkesimpulan bahwa Pram seorang sastrawan yang mendambakan humanisme,'' kata Soetjipto. Pram adalah sosok yang teguh terhadap pendiriannya, terlepas apakah dia sependapat dengan orang lain atau tidak. Selain itu, Pram tak punya rasa takut meski apa yang ditulisnya bakal mengancam jiwanya.

''Memang, pertemuan saya dengan Pram mungkin hanya satu atau dua kali saja. Tapi karena karyanya yang mempesona itu, saya seolah mengenal Pram sebagai kawan yang sangat dekat dengan saya,'' ujar Soetjipto.

Soetjipto mengakui, di kalangan sastrawan Indonesia, kehadiran sastra Pram memang tak selalu bisa diterima semua orang. Soalnya, sastra Pram dinilai mengandung kandungan "ideologi". Dan memang pada prinsipinya, platform-nya tak akan sama dengan karya sastrawan Indonesia lainnya. Ini disebabkan oleh hubungan timbal balik dalam komunitas sastra dan setiap sastra mengandung sense of community.

Namun, semua pun tahu, Pram mempunyai sastra yang bagus. ''Saya kira sastrawan Indonesia seperti Mochtar Lubis, Taufik Ismail, atau Goenawan Mohamad juga mengakui hal itu,'' katannya.

Di mata Soetjipto, Pram adalah sastrawan yang tak mengejar penghargaan dari siapa pun, termasuk pemerintah atau lembaga lain. Yang terpenting bagi dia, karya sastranya bisa diterima dan memperoleh apresiasi di masyarakat. (mal)