Pram memulai tur keliling Eropa

Pram memulai tur keliling Eropa

Radio Nederland, 01 Juni 1999

http://www.rnw.nl/

Intro: Selasa siang, Pramoedya Ananta Toer dan rombongan tiba di Belanda, memulai lawatan selama sebulan di Eropa. Setelah sukses di Amerika dan Kanada, Pram, disertai istrinya, Ibu Maemunah Thamrin, dan sahabat, merangkap manajer, penyunting naskah dan penerbit buku-bukunya, Joesoef Isak, Juni ini mengadakan tur di Eropa yang tampaknya agak berbeda dengan di Amerika. Laporan rekan Aboeprijadi Santoso yang menemui Pramoedya di Bandar Udara Amsterdam:

Dengan pesawat Singapore Airlines, Pramoedya dan istrinya dan penyunting Joesoef Isak Selasa siang tiba di bandara Schiphol Amsterdam. Pram tampak sehat, begitu juga anggota rombongan lainnya meskipun mereka berperjalanan lama di Amerika Utara.

Menurut Panitia yang menyambut Pram di Belanda, Pramoedya akan berada di Belanda selama sepuluh hari, kemudian menuju Paris, Perancis, lalu ke Jerman, antara lain ke Frankfurt, Koln dan Berlin. Negeri Belanda yang pada tahun 53 dikunjungi Pram, kini, 40 tahun kemudian, menjadi salah satu negeri yang antusias terhadap Pram. Tahun 70an para aktivis di negeri Kincir Angin mengawali kritik-kritik tajam terhadap pembantaian dan represi di awal Orde Baru. Dari sinilah nama Pramoedya mencuat di Belanda.

Menurut rencana, Pram juga akan bertamu di rumah penulis Belanda Jan Wolkers yang pernah aktif memperjuangkan nasibnya. Hal serupa juga direncanakan di Jerman dengan sastrawan Jerman Gunter Grass, dan di Perancis akan bertemu dengan aktivis hak-hak asasi manusia, mantan Ibu Negara Danielle Mitterand, yang ikut menghadiahkan mesin tik ketika Pram ditahan di Pulau Buru tahun 70an.

Adapun acara-acara pokok Pram di Belanda adalah diskusi dengan pengamat politik di Amsterdam, ceramah di Universitas Leiden dan pertemuan besar dengan masyarakat Indonesia di Belanda Ahad nanti di Gedung Rode Hoed, di pusat kota Amsterdam. Puluhan anggota masyarakat Indonesia dan Belanda, dari kalangan penerbitan maupun aktivis, dari Amnesty International, Kommittee Indonesie sampai PRD, ramai-ramai menyambut rombongan Pramoedya di bandara Schiphol dengan pelukan hangat. Bagi komuniti pelarian politik Indonesia di Eropa, Pramoedya adalah sosok terhormat yang unik. Sekitar ratusan orang Indonesia dari berbagai kelompok terdampar di rantau karena dicekal dan ditangkal fasisme Orde Baru. Pram dihormati oleh segala macam aliran dan kelompok oposisi. Jarang mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sehaluan dan yang mereka hormati tanpa pandang bulu perbedaan aliran. Terakhir kali, adalah almarhum Siauw Giok Tjhan, pemimpin Baperki yang lari ke Belanda dan meninggal dunia sebelum memberi ceramah di Universitas Leiden pada tahun 1980.

Kalau Pram datang sepuluh tahun lalu, mungkin Pram bisa mempersatukan oposisi anti Soeharto di Eropa, kata orang. Tetapi, berbeda dengan Siauw, Pram bukan organisator politik, dan Pram datang sebagai sastrawan di kala dunia komunis sudah terbenam di Eropa, dan Indonesia telah berubah. Pram sendiri tentu akan mengingatkan, meski Soeharto telah jatuh, namun Orde Baru tetap jalan terus, menjadi Orba-ba, atau Orde Baru Baru - istilah Pram untuk zaman sekarang.

Barangkali, dunia akademi Belanda sedikit mengidap penyakit Orba-ba. Kalau di Amerika dan Kanada, Pram dihormati sebagai penulis bersemangat humanis tanpa memperdulikan latar politiknya, bahkan sampai dua kali mendapat anugerah gelar doktor honoris causa di universitas yang bergengsi, di Belanda, sebaliknya, ternyata masih ada bau-bau iklim Perang Dingin.

Di Belanda Pram pernah mendapat cap buruk sebagai penulis komunis. Seorang dosen ilmu politik di Belanda mengatakan, dunia akademi di Belanda masih alot. Universiteit van Amsterdam, apalagi Universitas Leiden, tidak bisa ditembus agar melimpahkan penghormatan Doctor Honoris Causa bagi Pram, katanya. Sedangkan Profesor Wim F. Wertheim yang dulu getol membela Pram, sekarang sudah tiada. Namun Pram boleh terhibur dengan hadiah berupa sebagian arsip Wertheim yang diwariskan oleh almarhum kepada Pram.

Andaikata Belanda mau unjuk good will atau niat baik, maka pemerintah di Den Haag sebaiknya meminta maaf dan mengembalikan manuskrip-manuskrip Pram yang disita ketika Pram ditahan selama dua tahun oleh Belanda di Indonesia pada 1949. Tetapi tampaknya tidak ada inisiatif semacam itu. Jadi sambutan bagi Pramoedya di Belanda berbeda latarnya dan tampaknya tidak akan sehangat seperti di Amerika Utara.

Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum

http://www.rnw.nl/

Keterangan lebih lanjut mengenai siaran radio kami dapat Anda peroleh melalui

ranesi@rnw.nl

Copyright Radio Nederland Wereldomroep.