Nama Saya Tidak Pernah Kotor

Nama Saya Tidak Pernah Kotor

Jawa Pos, 18 April 1999

http://www.jawapos.co.id/18apr/koh18ap1.htm

Percakapan Tokoh: Pramoedya Ananta Toer

Setelah 40 tahun dilarang bepergian ke luar negeri, kini Pramoedya Ananta Toer mulai merasakan kebebasannya. Negeri pertama yang dikunjunginya adalah Amerika Serikat (AS). Di Negeri Paman Sam ini, Pram, kini 74 tahun, menerima doktor kehormatan dari Michigan University bersama-sama Sekjen PBB Kofi Annan. Resepsi doktor kehormatan ini bakal dilakukan besar-besaran di Michigan, 1 Mei mendatang.

Di antara yang berkesan bagi Pram, itu adalah menghadiri book signing atas memoarnya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, The Mute's Soliloquy (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu) di Olsson, Washington DC. Dia juga memenuhi permintaan khusus dari lima kampus ternama AS yang menginginkan Pram memberikan ceramah mengenai kehidupan pribadinya sebagai penulis dan sastrawan yang "terjerat" selama 32 tahun kekuasaan Orba. Penulis tetralogi, Bumi Manusia; Rumah Kaca, Gadis Pantai, Jejak Langkah yang terkenal karena kualitas dan juga karena ditulis ketika dia ditahan di Pulau Buru (1969-1979) ini benar-benar tak pernah rapuh. Ia terus maju, melawan arus penentangan terhadapnya. Selama di AS, Pramoedya didampingi istrinya, Maimunah, dan editor dari Hasta Mitra Jusuf Isak. Mereka baru meninggalkan AS 31 Mei nanti, meneruskan perjalanan ke Eropa. Berikut percakapan Pramoedya dengan wartawan Jawa Pos di Washington DC Ramadhan Pohan, ditambah dengan beberapa pertanyaan menarik yang diajukan ketika Pram bertanya jawab di Washington.

Apa arti kunjungan Anda ke AS sekarang ini, setelah 40 tahun terakhir dilarang pemerintah bepergian ke luar negeri?

Pram: Ini merupakan simbol kemenangan saya terhadap Orba.

Kabarnya, Anda banyak tawaran ke luar negeri belakangan ini, kenapa mesti AS?

Pram: Sering. Kali ini mereka datang serombongan. Ada sembilan orang. Ya, baru sekarang ini saya serius.

Selain menerima doktor kehormatan dari Michigan University, peluncuran buku Anda The Mute's Soliloquy, apa lagi yang Anda lakukan di Amerika?

Pram: Saya mau lihat, apa yang mau Amerika sajikan pada saya.

Anda menulis buku atau catatan tentang kunjungan di AS ini?

Pram: Saya membuat catatan kecil, semacam buku perjalanan tentang AS.

Dulu Anda sangat kritis kepada AS. Sekarang bagaimana?

Pram: Saya tetap kritis kepada Amerika. Itu tidak berubah.

AS yang berubah ataukah Pram sendiri?

Pram: Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah.

Soal hasil royalti, besarkah?

Pram: Royalti untuk buku terjemahan tidak lebih dari 10 persen. Kecuali kalau best seller, naik lagi persentasenya. Coba lihat, Singapura itu hampir 30 persen pajaknya. Juga Australia, hampir 30 persen. Itu cukup hanya untuk makan, anak-anak. Nggak terlampau berarti. Memang, terakhir, misalnya, NYT membayar saya USD 2 setiap kata. Cuma itu saja.

Kalau untuk kelas Anda, royalti yang diperoleh mestinya lebih dari cukup ya?

Pram: Mana ada uang pernah cukup untuk seseorang.

Begitukah?

Pram: Ha... ha... ha.

Soalnya, dulu (ketika Pram mulai ditahan Orba, Red) istri Anda kan sampai berjualan kue-kue demi penghidupan keluarga.

Pram: Ya, betul. Tetapi di samping itu juga, kita terima honor dari luar. Walaupun dulu itu kecil-kecilan.

Sekarang, istri Anda nggak kerja lagi kan?

Pram: Tidak. Hanya ibu rumah tangga.

Bagaimana anak-anak Anda?

Pram: Ya, biasa. Anak saya ada delapan, dan hanya yang terakhir lelaki. Jadi, praktis semuanya sudah kawin. Jadi, istri saya cuma ibu rumah tangga.

Di antara anak-anak Anda, ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi penulis atau sastrawan?

Pram: Melihat pengalaman ayahnya, mereka sudah gentar. Dan lagi, sejak kecil kan semua ditakut-takuti. Dihina. Dilecehkan. Anak saya yang keempat, misalnya. Dia belajar di sekolah asisten apoteker, angkanya delapan, sembilan, dan paling kecil tujuh. Waktu mau ikut ujian terakhir sekolahnya, nggak dibolehkan ikut. Lantas anak saya yang lelaki, yang terakhir itu, belajar di SMA. Suatu hari dihina dan malah dikeroyok teman-temannya. Karena anak bekas tapol, dihina. Polisi datang. Yang ditangkap malah anak saya. Dipukuli di tempat polisi, dan kena wajib lapor.

Sampai seperti itu?

Pram: Dia menceritakan itu bertahun-tahun kemudian.

Olahraga Anda apa saja?

Pram: Sebelum kena infeksi darah, saya setiap hari olahraga. Sebelum turun dari tempat tidur saya push-up, sit-up, semua gerakan kaki. Dan, kadang-kadang lari pagi. Lantas minum air putih setengah botol supaya ginjal tidak gagal kerjanya. Tetapi, setelah kena infeksi darah, kira-kira 3 bulan lalu, sedikit sekali gerak saya. Paling-paling ngurusin sampah tetangga. Sekarang kalau saya coba lari, cuma kuat lima menit.

Soal Nobel bagaimana?

Pram: Wah, itu bukan urusan saya.

Ada pendapat Anda bakal menjadi orang Indonesia pertama yang meraih Nobel?

Pram: Itu bisa saja. Tadinya kan tidak bisa. Ada komentar wartawan Jepang, tidak mungkin Tuan Pram dapat selama Harto (Soeharto, Red) berkuasa. Sebab, kalau saya dapat, nanti ditindas lebih keras. Jadi, soal itu mungkin saja. Sudah dua-tiga kali, kandidat satu (untuk meraih Nobel, Red), katanya. Itu menurut orang Jepang tadi.

Terhadap hak-hak, kemerdekaan, atau apa-apa saja yang dirampas Orba dari Anda selama ini, apakah Anda akan menuntut Orba ke pengadilan?

Pram: Saya tidak perlu mendapatkan nama baik. Nama saya tidak pernah kotor. Dikotori, itu betul. Jadi, pergi ke pengadilan untuk mendapatkan rehabilitasi, sebetulnya, itu sebagai pikiran saja, tidak tepat. Yang perlu direhabilitasi itu justru Orba.

Kalau dituntut berarti kan tidak?

Pram: Nggak perlu saya nuntut. Mereka sudah dapat nama jelek.

Kepada kelompok Manifes Kebudayaan, Anda katakan agar mereka bisa memakai pengadilan untuk "mengadili" Anda. Dalam konteks itu Anda mengakui pengadilan sebagai faktor. Namun, di sini Anda justru tidak melihatnya sebagai faktor?

Pram: Ya, karena kami nuntut rumah yang dirampas Orba kalah di pengadilan, walaupun surat-suratnya lengkap. Malah, naik banding kalah lagi. Seperti pernah terjadi, saya dituduh membakari dokumentasi Hatta, bawa pengadilan, kalah juga. Memang, saya tidak punya kepercayaan pada pengadilan Orba. Itu berdasarkan pengalaman.

Romo Mangun telah mendapat penghargaan dari Presiden Habibie. Jika mendapat penghargaan dari pemerintah kita, sikap Anda bagaimana?

Pram: Oh, saya tolak.

Alasannya?

Pram: Dia (Presiden Habibie, Red) kan sambungan dari Orba. Orba kan jelas melakukan pembantaian masal. Habibie kan tidak pernah mengangkat itu di pengadilan. Satu kasus pun tidak pernah menyebutnya. Itu kan ikut serta artinya. Membenarkan pembantaian, perampasan hak-hak. Termasuk pelarangan buku-buku saya dan teman-teman lain juga tidak pernah dibatalkan sampai sekarang. Jadi, kehilangan kepercayaan total saya. Itu sebabnya, sudah sejak 1960-an, sejak G-30-S meletus, melihat omongan-omongan Orba segala macam, apa yang saya alami sendiri, saya membuat rumus: kalau Orba mengatakan X, berarti minus X. Itu saya pakai untuk rumus, memudahkan. Belum pernah saya cabut rumus itu sampai sekarang, termasuk terhadap "Orbaba" (Orde Baru Baru).