Penghargaan UNESCO

Pramoedya Ananta Toer Terima Penghargaan UNESCO

PIPA, 11 Nov 96

Jakarta, (PIPA, 6/11) -- Sastrawan terkenal Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan UNESCO Madanjeet Singh Prize 1996 atas sumbangsih dan dedikasinya untuk mempromosikan sikap anti-kekerasan dan rasa toleransi sesama manusia melalui karya-karyanya, demikian Direktur Jenderal UNESCO, Frederico Mayor di dalam keterangan persnya yang diterima PIPA, Rabu (5/11) kemarin.

UNESCO telah mengirimkan fax pemberitahuan kemenangan Pram, yang pernah ditahan pemerintah Orde Baru di Pulau Buru selama 14 tahun itu. Pram diminta untuk segera menyampaikan alamat lengkap rumahnya agar UNESCO dapat mengirimkan undangan resmi penerimaan penghargaan yang menurut rencana akan diserahkan di markas besar PBB pada 18 November 1996 mendatang.

Selain Pram, penulis Cuba Senel Paz dan Ketua Jurusan Departemen Etnik Universitas Negara Moscow Lomonosov, Abdusalam A. Gusseinov, serta organisasi perempuan Twese Hamwe of Rwanda menerima penghargaan serupa. Kelompok Twese Hamwe of Rwanda adalah gabungan 32 ornop perempuan Rwanda yang bekerja untuk yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, mengupayakan perdamaian, dan melawan ketidak-adilan sosial yang diakibatkan perang di negeri tersebut. Pram dan ke tiga pemenang lainnya akan menerima hadiah sebesar $US 40 ribu.

Dari 26 kandidat pemenang peraorangan dan organisasi dari 17 negara, untuk tahun ini terpilih 3 orang pememang dan 1 organisasi. Penjurian diketuai oleh Uskup Agung Afrika Selatan yang pernah memenangkan Nobel Perdamaian, Desmond Tutu.

Penghargaan itu diberikan Dewan Eksekutif UNESCO yang dibentuk pada Juni 1995 untuk memperingati 125 tahun kelahiran pejuang kemerdekaan India Mahatma Gandhi. Nama penghargaan tersebut diambil dari seorang penulis terkenal India, diplomat karir yang juga pernah bekerja sebagai penasehat Dirjen UNESCO. Rencananya, penghargaan diberikan setiap dua tahun sekali kepada perorangan atau lembaga yang bekerja untuk kemajuan ilmu pengetahuan, budaya, seni, dan komunikasi massa demi toleransi sesama manusia dan perjuangan anti-kekerasan.

Barangkali ini adalah anugerah yang kesekian kalinya bagi Pram. Sebelumnya ia pernah menerima Penghargaan Wertheim dan Magsaysay. Sungguh ironis bahwa sejumlah penghargaan yang didapat Pram ini justru mengundang reaksi sinis pemerintah Indonesia dan sejumlah pengarang yang loyal pada Orde Baru. Sejumlah pengamat sosial memastikan akan reaksi lagi terhadap Pram. "Sepertinya belum cukup aniaya terhadap diri Pram, juga mereka yang pernah dituduh terlibat Peristiwa 65. Semakin Pram dikerdilkan, semakin ia jadi raksasa di tingkat dunia," ujar seorang anggota 154 penandatangan yang menyatakan dukungannya pada Pram untuk mendapat Magsaysay 1995 lalu.

Pram sendiri yang ditemui di rumahnya, tampak tenang-tenang saja. "Lho, Bung sudah tahu toh?" tanyanya balik nyaris tanpa ekspresi. Ia lebih asyik membakar tumpukan sampah di lapangan depan rumahnya ketimbang menjawab soal penghargaan yang baru dikabarkan padanya langsung dari Paris.

Senin (4/11) lalu, Pram sempat menghadiri bedah buku "Arus Balik" di kampus UI Depok. Peserta bedah buku mendiskusikan buku Pram dengan antusias. Pram sendiri lebih tampak diam. Maklum pendengarannya rusak berat akibat popor senjata yang mendera pelipisnya pada saat penangkapan 13 Oktober 1965. Sementara buku-buku lama Pram -- seperti "Di Tepi Kali Bekasi", "Keluarga Gerilya", "Cerita Dari Blora" dan "Mereka yang Dilumpuhkan"-- tampak digelar dan dijual di luar ruangan. Sejumlah petugas dari Koramil, Kodim dan Kejaksaan tampak kebingungan. Mereka merasa ragu-ragu untuk melarang penjualan buku yang dapat ijin dari rektor UI tersebut. Petugas juga berniat menyita buku-buku yang diyakini terlarang itu, tapi mereka tak tahu judul buku apa yang telah dinyatakan terlarang. Akhirnya petugas, berebut membeli buku-buku tersebut. Setiap orang membeli 2 judul untuk setiap buku. Tentu saja sang penjual cuma bisa senyum-senyum.

Bagaimana Pram begitu dihormati di dalam pergaulan bangsa-bangsa dunia karena karya-karyanya, tetapi ketika ia datang untuk mengikuti sidang gugatan perkara rumah tinggalnya yang diambil-alih militer di PN Jakarta Pusat, Selasa (5/11) kehadirannya luput dari perhatian aparat keamanan yang lebih berkonsentrasi untuk mengamankan sidang 124 aktivis PDI. Baru setelah para wartawan luar negeri merubung, mengambil gambar, dan berebutan mewawancarainya, para aparat -- juga intel -- bertanya antar mereka. "Siapa Bapak tua itu ?" celetuk seorang perwira polisi. "Barangkali Bapak dari anaknya yang disidangkan kasus 27 Juli," kata rekan sejawatnya.

Seorang wartawan lokal yang mendengar menanggapi ketidak-tahuan para aparat itu. "Oh itu penulis terkenal kita yang karyanya sudah diterjemahkan dalam 30 bahasa. Pemenang berbagai penghargaan internasional, termasuk nominasi Nobel. Namanya Pramudya Ananta Toer," kata wartawan itu sembari berlalu untuk menghampiri Pram.

Sekarang banyak orang menunggu-nunggu kepastian apakah Pram kali ini bisa menerima langsung perhargaan yang diberikan padanya. Seperti diketahui, Pram selama ini, sebagaimana umumnya para mantan tapol, dicekal. Mereka dilarang bebas bepergian, apalagi ke luar negeri.