Apa Itu Pramoedya?

Apa Itu Pramoedya?

oleh Ben Abel

Date: Fri, 8 Dec 1995 17:45:54 -0500

To: apakabar@clark.net

From: ba16@cornell.edu (Ben Abel)

Subject: Apa itu Pramoedya

Di masa sekarang kebanyakan orang Indonesia mengetahui Pramoedya sebagai penulis yang pernah dipenjarakan karena 'terlibat' komunis, lalu hampir seluruh buku karyanya dilarang pemerintah. Bahkan beberapa orang yang menyimpan dan membicarakan buku-buku Pram itu mendapat sangsi dipengadilan. Masuk penjara. Karena dianggap sebagai kegiatan suversib, yang secara lugas dalam lantunan eufemisme dinyatakan sebagai "menyebarluaskan ideologi bertentangan dengan Pancasila." Dalam hal ini, maksudnya komunisme.

Tak kurang heboh, geger, hingar-bingar, kontroversi serta semacam pemasokan pesangon bagi semangat masanya terjadi beberapa kali setelah Pramoedya bebas dari pengasingan [tahanan sementara, menurut versi pelaksana kopkamtib] di pulau Buru.

Pertama ketika BUMI MANUSIA mulai beredar. Diawal tahun 1980an. Sejumlah tokoh kontemporer dunia persastraan Indonesia seperti pendekar terinfiltrasi wilayah kulingannya. Mereka bereaksi dalam opini serta penuturan yang mengiramakan keresahan dengan mengingat-ingatkan pembaca pada peristiwa 1965. Pendek kata, BUMI MANUSIA suangat berbahaya. Seperti kalimat dalam keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia no. Kep-061/J.A/6/1988; "Kita memandang Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan, pencipta keadilan, tidak akan mensejajarkannya dengan Alimin, Musso, atau Aidit. Kita tidak menganggap Pram adalah seorang pemimpin komunis. Tetapi dimasa dimana Alimin, Musso, Aidit tak ada lagi dan seluruhnya telah menjadi puing agung, bukankah segala sesuatunya perlu dimulai dari awal lagi". Dan seperti kita ketahui semua, buku itu dilarang. Demikian seterusnya nasib buku-buku Pramoedya berikutnya.

Kedua, adalah yang barusan ini terjadi. Pemberian hadiah Magsasay dari Pilifina. Menurut pemberitaan koran, ada 26 tokoh dunia persastraan Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" [pinjam kata-kata para penuding Pramoedya] dimasa demokrasi terpimpin, koq diberikan hadiah. Menurut pemberitaan awal, protes itu berkenaan dengan 'kelakuan' Pramoedya seperti tudingan tadi. Dikatakan bahwa surat petisi 26 itu menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi dipihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958. Jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasaynya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dari sini petisi 26 seperti mengalami perpisahan kamar. Masing-masing tokoh seperti bergelindingan dengan opini dan kecapnya yang bertaburan di koran-koran itu. Pokoknya mereka merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Dimana Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya dimasa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa kepengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru mengambil tampuk kekuasaan pemerintahan di Indonesia, kita semua tahu. Bahwa Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri. Beberapa kali diri kepengarangannya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi Pram sama sekali tidak mempunyai hak membela diri. Karena secara sivil sebenarnya ia telah mati. Dan itu terjadi pada seluruh manusia Indonesia yang dicap sebagai tapol ataupun ET. Bahkan keturunan mereka. Namun para pengeroyok yang umumnya merupakan binatang eh, bintang-bintang seni-buaya (wah, kepeleset lagi) seni-budaya itu selalu mencampur aduk antara Pramoedya dan karya-seninya maupun ulah-tingkah pena serta semangat dimasa lalunya. Ingatan mereka terekat erat pada bayangan dosa tak berampun masa lalu itu. Yang kata mereka memang terjadi. Padahal belum jelas duduk perkaranya. Mereka hanya melihat kepentingan dirinya, tanpa pernah mempedulikan apa yang telah seorang Pramoedya lalui semenjak peristiwa 1965 itu. Sementara mereka berpora akan kebebasannya, Pramoedya menghabiskan masanya merenung dalam ketiadaan yang dibuat oleh anak-anak bangsa yang ikut diperjuangkannya.

Ada beberapa tulisan yang berupaya membentuk 'budaya baru' atau paling tidak menghalalkan 'pluralisme'. Kita ambil tulisan Arief Budiman di Kompas 14 Agustus, dan Gunawan Muhamad di Suara Independen Agustus tahun ini. Kita juga menyimak lantunan melodios permaafan terhadap Pramoedya, yang kata Arief Budiman, pernah memimpin kampanye anti karya-karya seniman non-komunis pada permulaan tahun 1960-an, dengan menuduh semuanya itu anti Manipol-Usdek [MANIfestasi POLitik- Uud 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin, Kepribadian Indonesia) yang berarti kontrev (kontra-revolusi).

Tetapi bagi saya, yang sangat menarik adalah catatan pinggir Gunawan Muhamad, berjudul P R A M itu. Dalam tulisan ini Gunawan mengaku kaget ketika membaca LENTERA harian pagi Bintang Timur. Dikatakannya hampir semua terasa tajam dan menghantam. Dia juga menggambarkan suasana masa itu sebagai cerminan kegeraman eksistensial, atau suatu protes sosial. Katanya:

"Marah kepada hidup yang hanya kadang-kadang memberi momen yang ringkas untuk bahagia? Atau marah kepada satu kalangan yang enak, yang pintar omong Belanda dan Inggris dan tinggal di daerah kelas satu, serta fasih bicara soal rakyat yang tak dikenalnya sendiri?"

Lalu,

"Ia mengecam keras penulis yang sikap politiknya tak jelas. Yang semacam ini, tulis Pram, harus dibabat dan tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnyapun. Ia nampaknya sepenuhnya cocok dengan suara parau masa itu: Nada konfrontasi, kewaspadaan, dan akhirnya, represi. Orang-orang yang kena serang pun marah, gentar dan takut."

Gunawan pun menunjuk nasib Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, Wiratmo Sukito serta dirinya sendiri sebagai yang ikut menanda tangani Manifes Kebudayaan. Pun dia bertanya : "Bersalahkah Pramoedya atas prosekusi yang terjadi itu?"

Berkomentar pada pernyataan ke 26 seniman yang memprotes pemberian hadiah Magsasay kepada Pramoedya, Gunawan menulis: "Dalam ingatan mereka, Pram adalah seorang pembantai hak. Dalam ingatan Pram, seperti dinyatakannya dalam pelbagai wawancara, ia bukanlah pihak yang melakukan pelarangan. Ia hanya berniat memulai sebuah polemik". Gunawan pun mengimpikan hal yang sama. Dia menginginkan sebuah polemik, sebuah benturan ide-ide yang mencerminkan posisi yang berbeda, sebuah debat yang layak diikuti guna menjelajahi dan mencari rumusan sikap dalam menghadapi soal-soal nyata waktu itu.

Tapi apa lacur, yang terjadi jutru bukan begitu. Menjelang pertengahan 1960-an itu, Indonesia seperti menghadapi hari yang mendekati kiamat. Bung Karno sebagai pusat seluruh tampuk makin sakit-sakitan dimakan usia. Sementara persaingan antara PKI dan ABRI semakin meruncing saja. Dan pergulatan ditengah ketidak menentuan dalam pergantian kekuasaan (atau suksesi) masa itu terjadi demikian dahsyatnya. Katanya, hampir setiap ekspresi yang tercetus ke publik luas; Ide-ide, karya seni, pun mau tak mau terkait, atau mengaitkan diri, atau dikait-kaitkan dengan pergulatan besar itu. Perbedaan pendapat dalam polemik yang tidak fasih, dan layak direkam sebagai sumber pemikiran [kata Gunawan] itu melahirkan suasana permusuhan begitu pahit dan mencemaskan. Lalu seakan menjadi puncak segalanya, bahwa semenjak 1965 PKI dilarang. Indonesia menjadi negara anti-komunisme. Dimana segala hasil karya orang-orang bekas PKI atau simpatisan komunis bukan saja ditumpas, bahkan keluarga keturunannya pun mengalami perlakuan tidak adil sebagai yang tiada layak.

Pram mau tak mau, dialah yang layak menjadi simbol perbenturan dan juga pertautan antara ide dan kekuasaan, sebuah icon tersendiri didalam sejarah Indonesia modern. Komentar Gunawan.

Sebenarnya polemik kebudayaan sudah pernah terjadi di Agustus sampai September 1935. Bisa dilihat dalam Pudjangga Baru dan Suara Umum. Waktu itu bintangnya adalah St Takdir Alisyahbana, dan yang dipolemik lebih banyak antara pro-barat dan pro-timur. Dan dibukukan oleh Achdijat K. Mihardja. Katanya polemik ini berjalan fasih, sopan, berarti dan layak menjadi sumber pemikiran. Tetapi bukan berarti polemik LENTERA sama sekali tidak fasih, tidak sopan, tidak berarti dan tidak layak menjadi sumber pemikiran. Kita tidak bisa melupakan dimensi jamannya. Kedua polemik ini mempunyai nuansa masa yang berbeda. Pra-Indonesia dan Indonesia. Terlebih lagi polemik pujangga baru itu terasa sangat kental dengan formalitas. Terbatas bagi kalangan elit intelektual saja. Sementara di LENTERA, ada banyak surat dan tulisan dari orang biasa. Memang terasa liar dan keras sekali. Barangkali itulah kebebasan mimbar yang betul-betul bebas.

Sekarang dari pengalaman sendiri, membaca LENTERA, yang berdasarkan catatan terbit antara 16 Maret 1962 sampai dengan 26 September 1965, dimana Pramoedya selalu dituding sebagai jubir sekaligus algojo lekra, dalam melaksanakan dan mengumumkan tulisan-tulisannya.

Sebenarnya gambaran yang diberikan oleh Gunawan : Tajam menghantam. Bisa dibilang benar. Karena Pramoedya sendiri pernah mengatakan, bahwa nilai sentak pada kesadaran dan tanggung jawab itulah merupakan nilai suatu karya. Tetapi karya-karya di LENTERA mungkin karya-karya paling membosankan. Kecuali tulisan Pramoedya sendiri, yang lain-lain kurang lebih seperti tulisan Taufiq Ismail membalas Arief Budiman di Kompas 21 Agustus 1995. Banyak informasi salah! Dalam tulisan Taufiq Ismail dikatakan "Sesudah gestapu, bukankah kita tidak membalas dendam dengan membabat penerbit Hasta Mitra, yang menerbitkan buku-buku Pram". Ini salah besar, penerbit Hasta Mitra didirikan setelah mereka (Joesoef Isak dkk.) dibebaskan dari penjara. Setelah 1979.

Membaca LENTERA terasa sekali betapa semangat meletup-letup kala itu. Meletup-letup yang bisa saja sesuai seperti istilah Pram sendiri, sesuai semangat masanya. Semangat konfrontasi, dimana Soekarno sedang membawa Indonesia melawan proyek Malaysia bikinan Inggris. Tapi pada saat yang sama semangat revolusi itu hendak dibawa kemana? Sebab secara militer Indonesia jelas tidak mampu menandingi kekuatan Inggris dan Amerika Serikat. Terasa ada kemacetan. Disinilah saya pikir timbul ide pembebasan diri. Seperti tulisan pertama Pramoedya berjudul "Dengan tangan satu memenangkan perjuangan rakyat, dengan tangan lain mengabdikannya dalam sastera". Lalu disusul oleh tulisan panjang berserinya mengenai sejarah kesusasteraan Indonesia yang berjudul, "Dari Abdullah B. Abdulkadir Munsji sampai Abdul Muis setengah abad setelah Abdullah Munsyi".

Nah, nampaknya dimasa merampungkan tulisan sejarah kesusasteraan Indonesia inilah dia menemukan banyak bahan. Hingga tulisan-tulisan kecil bermunculan di LENTERA. Dari hal Haji Agus Salim, Kartini, Tirto Adhisuryo, Marco Kartodikromo, Jah Endar, Suwardi Suryaningrat, WR Supratman dsb. Tulisan-tulisan itu bisa berupa olahan baru atau langsung diambil saja dari koran lama kalangan penentang keras masa pemerintahan kolonial Belanda. Aneh juga, karena penjajahan sudah lama pergi. Koq, semangat berjuangnya masih yang sama. Tentu kita mengetahui konfrontasi dengan Belanda masih berlanjut sampai 1963, mengenai Irian Barat. Namun setelah Irian Barat berhasil direbut menjadi wilayah Republik Indonesia, Bung Karno mengonfrontasi Malaysia. Dikatakan bahwa Malaysia merupakan proyek neokolim. Dan artikel pengganyangan di LENTERA pun bertaburan. Disini kelihatan sikap Pramoedya [barangkali] sebagai manusia Indonesia tulen. Seperti pengakuannya di Forum Keadilan, 28 Agustus 1995, "Sampai sekarang saya tak punya beban mental. Yang saya lakukan adalah membantu Soekarno, saat negara dalam bahaya". Bahayanya apa? Ancaman lantaran Soekarno sudah tua dan tidak mau mundur? Bahasa yang dipergunakan dalam LENTERA memang bukan bahasa kalangan priyai. Atau bahasa santun resmi seperti dalam polemik kebudayaan di 1935. Juga bukan bahasa resmi para birokrat. Ia merupakan kombinasi keseluruhannya. Bahkan bisa dikata hampir menyerupai semangat masa perjuangan "Sang Pemula" Tirto Adhi Soerjo dkk di awal abad ke 20. Dan memang menurut Pramoedya tujuan LENTERA adalah melawan feodalisme kebudayaan Jawa. Sebab itu hampir siapa saja yang bisa menulis dan mengirimkan tulisannya ke LENTERA akan dimuat. LENTERA seakan memberi kebebasan bagi siapapun untuk mengungkapkan perasaan maupun suara hatinya.

Kata-kata seperti ganyang, babat, hancurkan, bantai, gasak, hantam, lindas, gembleng, retol dst. memang sangat-amat sering sekali dipakai. Tapi ada juga kata 'bangun', namun bukan pembangunan. Kalimat-kalimatnya terasa keras, tajam menghujam. Terkadang ada juga rasa berolok-olok. Tentu yang membaca merasakan gelora yang macam-macam, tergantung dimana dia hendak berdiri. Bagi yang menghendaki kehalusan sikap, keakraban dsb. LENTERA tidak memberikan suasana demikian. Tetapi sama sekali tidak benar bahwa Pramoedya menyerukan pembakaran buku, atau ganyang si A dan si B secara daging. Memang dia menulis satu artikel tgl. 27 Oktober 1963 yang berjudul, "Hans Bague Yassin biang humanisme universal". Yah, kalau kita meneliti semuanya, pasti hanya sekedar menuduh, yang sebenarnya merupakan benturan ide-ide yang berbeda dalam satu polemik. Tetapi rupanya penyelesaiannya yang mengalami perjalanan buntu. Pram pun ketika itu barangkali tiada sadar betul, betapa pengaruh kata-kata yang dirangkainya. Akhirnya seperti menjadi jaksa dan hakim yang merongrong dirinya terus.

Saya pikir dalam memahami Pramoedya sebagai seorang pengarang, kita harus mengetahui sikap dasar dari proses kreatifnya. Pramoedya dikenal sebagai pengarang ketika bukunya Perburuan (1950) dan Keluarga Gerilya (1950) mulai beredar. Keduanya ditulis dipenjara Bukit Duri ketika ia tertangkap sebagai anggota gerilya, di tahun 1948. Di penjara ini dia mencoba bunuh diri. Tapi tidak berhasil. Malah semenjak peristiwa ini dia mendapat inspirasi mulai mengarang cerita. Dia merasa kalis dari segala kekuatan politik, militer, sosial, dan ekonomi dengan segala sistemnya. Dan ini memberinya kemungkinan untuk kerja kreatif. Bahkan pengakuannya, disini dia menetapkan diri akan terus menjadi pengarang.

Di dalam penjara itu pula dia bertemu seseorang tua bernama Jamhur, bekas pengeliling dunia. Yang berkata padanya : "Aku juga pengarang, Pram, tadinya; dengan sadar kuhentikan. Tulisan itu, Pram, tulisanmu bakal mengutuki kau sendiri, dia akan jadi hakim dan jaksamu sekaligus, yang bakal memburu-buru kau seumur hidup; jangan, Pram; hiduplah dalam keamanan, dalam kedamaian, tanpa hakim, tanpa jaksa; jangan tambahi beban diri; hidup mudamu sudah terlalu banyak ditelan penjara; kau diperlukan oleh dirimu sendiri".

Nasihat itu bisa dipahami, si pengarang berkembang terus, tulisannya tidak ikut berkembang, ia berada diluar waktu. Pram menerima saja tanpa membantah maupun mengiakan. Dan dari sini nampak keyakinan seorang Pramoedya akan karya tulisnya. Dia melihat hasil karyanya sebagai kenyataan baru yang lahir dan kemudian hidup diluar waktu. Tulisan itu tetap dalam keadaannya sewaktu dilahirkan, tak peduli dua tiga atau empat generasi telah datang dan pergi. Ia kalis dari tanggapan suka atau tidak suka, generasi demi generasi. Ia tak tergoyahkan oleh kritik, analisa, makalah, apalagi pemberangusan.

Pram juga mengatakan, mekanisme kreativitaslah yang menggugah tanggapan senang atau tidak, benci atau tidak, sampai-sampai orang melarang, membakar, atau memujanya. Sedangkan tanggapan pada gilirannya semata-mata ditentukan pesangon seseorang, atau jelasnya total-jenderal informasi dalam dirinya, yang ditentukan oleh rasio atau dagingnya, atau kedua-duanya sekaligus. Sedang kreasi itu sendiri, tetap dalam keadaannya selama peradaban mendukungnya.

Dan begitulah barangkali yang sedang terjadi sekarang.

ben abel

tahun Magsasay untuk Pramoedya