Panggil Aku Kartini Saja

Panggil Aku Kartini Saja

Jakarta, ISTIQLAL, 22/04/97

Oleh: Nursyahbani Katjasungkana

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Pertamatama saya menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada Kalyanamitra dan Hasta Mitra yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk memberikan kata sambutan pada acara yang saya anggap sangat penting ini. Saya katakan penting bukan saja karena acara ini menyangkut peluncuran sebuah buku biografi dari salah satu tokoh emansipasi yang sangat penting peranannya dalam sejarah bangsa kita ini yakni Kartini. Tapi karena acara ini berlangsung di tengah arus proses reduksi sosok dan ide-ide Kartini sedemikian kuatnya melanda bangsa kita.

Reduksi sosok dan ide-ide Kartini ini menyebabkan Kartini dikenal dan disajikan sebagai suri tauladan resmi bukan karena apa yang dikatakannya melainkan karena apa yang dikatakan orang mengenai dirinya. Atau mengutip katakata Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar Panggil Aku Kartini Saja: "Sampai sedemikian jauh, Kartini disebut-sebut di berbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya dalam dunia dewadewa. Tambah kurang pengetahuan orang tentangnya tambah kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal Kartini sebenarnya jauh lebih agung dari pada total jendral mitos-mitos tentangnya."

Dalam konteks inilah maka penerbitan ulang dan acara peluncuran buku Panggil Aku Kartini Saja menjadi sangat penting dan memperoleh relevansinya yang nyata.

Saya tak begitu menyimak apa yang terjadi sepagi ini atau hari-hari kemarin menjelang peringatan Hari Kartini ini. Namun seperti juga tahun-tahun sebelumnya dimana-mana orang sibuk menyiapkan pidato yang berisi puja-puji kepada Sang Tokoh untuk diucapkan dalam upacara resmi kenegaraan. Sementara itu kalangan resmi sibuk menyiapkan kain kebaya apa yang akan dipakai untuk menghadiri upacara itu, menyiapkan berbagai lomba dan acara-acara yang dianggap khas perempuan. Media massa juga sibuk mewawancarai perempuan-perempuan yang dianggap menonjol dalam masyarakat, seharian ini mungkin kita akan menemukan artikel tentang perempuan di hampir seluruh media massa cetak maupun elektronik. Sehari dalam 365 hari tak apalah memberikan ekstra perhatian buat kaum perempuan. Inilah arus kuat yang terjadi setiap kita memperingati Hari Kartini.

Tadi pagi saya sempat memperhatikan pidato Menteri Urusan Peranan Wanita yang menyatakan bahwa diskriminasi perempuan masih terjadi terutama di pedesaan. Hal ini terjadi karena iklim sosial budaya yang belum mendukung terjadinya emansipasi. Namun menurutnya emansipasi haruslah sejalan dengan kebijakan pembangunan. Saya kira dari potongan pidato ini saja kita tahu bahwa proses reduksi itu bukan tanpa sengaja tapi merupakan satu rekayasa yang secara sadar atau tidak telah disengaja dilakukan. Bukan hanya dalam rangka memelihara tradisi dan nilai-nilai budaya tapi jelas untuk kepentingan polftik dan ekonomi kelompok tertentu. Oleh karena itu tak heran jika kita masih melihat diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi, kekerasan terhadap perempuan di mana-mana.

Sementara itu, di pojok Jalan Utan Kayu ini sebuah acara untuk memperingati Hari Kartini juga digelar. Sederhana, namun mencoba menegaskan sebuah sikap jujur terhadap sejarah, kental dengan upaya pencarian akan kebenaran, mencoba menampilkan sosok Kartini seutuhnya dalam konteks sosial politik yang terjadi pada saat itu, mencoba memberi makna dan apresiasi terhadap ide-ide Sang Tokoh, mengerti, memahami pergulatan batin dan merasakan ketidakadilan yang dialaminya dan dialami juga oleh masyarakatnya pada saat itu. Sedapat mungkin menghindar dari mitos-mitos yang diciptakan untuknya.

Mungkin di tempat lain berbagai kelompok memperingatinya dengan cara yang lain dari yang biasa dilakukan orang dalam acara-acara resmi. Seperti misalnya dua tahun yang lalu, kelompok perempuan di Yogyakarta melakukan ziarah ke makam Kartini. Di sana mereka membacakan petisi yang antara lain meminta pemerintah untuk membubarkan Dharma Wanita karena dianggap sebagai simbol subordinasi perempuan dan dengan sendirinya bertentangan dengan cita-cita Kartini. Walhasil mereka dihalau oleh aparat keamanan untuk pulang kembali ke Yogya. Alasannya jelas, acara dan ide yang disampaikan bertentangan dengan kebijakan resmi pemerintah apalagi mengkritik sebuah model organisasi (dan model perempuan) yang menjadi kebikakan resmi pemerintah.

Bagi saya pribadi, buku ini mempunyai arti yang khusus. Saya ingat ketika saya masih kecil di meja tulis ayah saya terdapat sebuah buku yang ditempatkan dan dipelihara begitu cermatnya. Kadang jika saya melintas meja itu, saya membaca judulnya meski saya tidak mengerti maksudnya: Door Duisternis tot Licht, Gedachten van R.A. Kartini. Saya hanya heran mengapa ayah saya memperlakukan buku tersebut lebih istimewa dari yang lain. Belakangan baru saya mengetahuinya dari tulisan beliau dalam Buku Bunga Rampai Sumpah Pemuda, yang diterbitkan dalam rangka memperingati 50 tahun Sumpah Pemuda. Buku tersebut sedemikian berartinya bagi ayah saya sekeluarga, bukan hanya karena buku tersebut merupakan peninggalan dari perpustakaan orang tuanya, tapi juga karena buku itu telah memberi pengaruh yang besar kepada ayah saya.

Dalam tulisan tersebut ayah saya antara lain menulis: "Sewaktu saya bersekolah di HIS maka kakak-kakak saya bilamana datang bervakansi menyerbu buku R.A. Kartini itu dengan mencuci tangan lebih dulu, lalu mengkajinya benar-benar dan kemudian bercerita berganti-ganti kepada adik bungsunya tentang segala apa yang mereka temui dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu. Selain gagasan-gagasan yang tercantum dalam buku itu mereka juga mengagumi bahasanya, cara R.A. Kartini memberi ekspresi kepada idea serta cita-citanya. Anjuran-anjuran R.A. Kartini kami coba juga menghayatinya: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, yang disebut belakangan ini di dalam arti Innallaha jamillun yuhibbuljamal = Tuhan itu indah dan berkenan akan keindahan); ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air), maka genaplah prinsip-prinsip itu lima buah jumlahnya."

Selanjutnya ayah saya menulis (yang saya kira relevan dengan konstatasi saya di awal sambutan ini): "Kata orang masa lampau membentuk masa kini dan masa kini membentuk masa kemudian. Memang sungguh benar, R.A. Kartini hanya satu mata rantai yang panjang, rantai sejarah kebudayaan, cultural and intellectual history bangsa Indonesia yang sampai sekarang belum ditulis ceritanya dengan teliti, cermat dan tepat. Banyak kali kenyataan bahwa Gedachten van R.A. Kartini seperti angin yang mendesir di atas pohon cemara, tinggi di atas kaum intellect/pragmatist. Kaum pendekar pena pun mengenal cita-cita Ibu Kartini hanya van Horensagen, tidak pernah mereka menjajagi 'the mental and intellectual tensions of such a genius,' sehingga Sang Pujangga Putri dipandangnya melulu sebagai orang wanita (Jawa), pelopor 'vrouwen emancipatie'/pelopor 'Onderwijs voor meisjes' saja. Sayang bukan?"

Dalam tulisannya itu ayah saya banyak menceritakan pengaruh ide Kartini itu kepada kaum pergerakan di samping buku Max Havelaar karangan Multatuli. (Dalam buku Seabad Kartini terdapat sebuah karangan yang menyatakan bahwa Lady Roosevelt juga menyitir salah satu surat Kartini dalam salah satu pidatonya di hadapan Komisi Hak Asasi Manusia yang dipimpinnya dalam rangka menelurkan Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia).

Perkenalan saya dengan Kartini sampai dengan SMP hanyalah lewat nyanyian wajib Ibu Kartini dan sedikit riwayat hidupnya yang setiap tahun diulang pada upacara peringatannya di sekolah. Keingintahuan saya lebih mendalam tentang Kartini agak terpenuhi ketika di SMP dalam pelajaran sastra saya memperoleh buku sinopsis hasil karya para sastrawan kita yang antara lain memuat ringkasan buku Panggil Aku Kartini Saja. Jiwa yang demokratis dan anti-feodalisme itulah ide yang pertama-tama saya tangkap dengan otak kecil saya waktu itu. Selebihnya hanyalah bayangan orang- orang berkebaya dan menyelenggarakan lomba-lomba itulah yang ada dalam benak saya dan saya kira juga dalam benak anak-anak Indonesia lain sampai saat ini.

Dari sekelumit sinopsis Panggil Aku Kartini Saja itulah saya memperoleh gambaran sedikit tentang ide Kartini dan kira-kira sepuluh tahun yang lalu saya mendapat kopi bukunya dari seorang teman saya, itupun dengan sembunyi-sembunyi bahkan sampai saat ini saya tak dapat menemukannya lagi, saking rapatnya saya menyimpan buku itu mengingat kedudukan politik Pramoedya sang pengarang saat ini di hadapan pemerintah.

Bahwa Kartini adalah seorang perempuan yang hebat, itu tak usah kita ragukan lagi. Bahwa surat-suratnya penuh dengan informasi penting pada zaman itu, tak mungkin kita pungkiri. Bahwa buah pikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya menjadi inspirasi banyak tokoh pergerakan kemerdekaan kita, adalah hal yang banyak diakui orang. Saya tak akan mengulang ulang puja-puji yang telah banyak disampaikan orang terhadap kehebatan Kartini, karena di samping akan mengurangi makna ketokohannya sendiri saya kira Kartini lewat surat-suratnya telah berbicara banyak untuk dirinya sendiri.

Meski saya sendiri sering merasa malu karena terus terang saja meski saya sering menyebut Kartini sebagai tokoh yang saya kagumi, yang surat suratnya sering menjadi inspirasi tulisan maupun gerak langkah saya saat ini, tapi sebetulnya saya tak pernah dapat membaca kumpulan surat-surat itu sampai selesai. Bukan saya tak berminat, sama sekali bukan, dan itu tak mungkin terjadi; tapi terlebih-lebih karena seringkali saya tak mampu menahan emosi dan air mata saya ketika membaca surat-surat itu.

Namun ada bagian yang sangat saya sukai di dalamnya, yaitu surat kepada Nn. Zeehandelaar tertanggal 6 Nopember 1899: "Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya. Teringat aku betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu dan kepada dinding batu bengis itu. Arah kemana juga aku pergi, setiap kali putus juga jalanku oleh tembok batu dan pintu terkunci." (Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan Armijn Pane, Balai Pustaka, 1982).

Saat membaca ini, selain terbayang akan penderitaan Kartini di dalam "penjara"-nya, saya selalu juga terbayang perempuan- perempuan lain yang juga tak kurang menderitanya dibandingkan Kartini, lebih dari seabad kemudian. Sebagian bahkan harus mati dalam tembok penjara itu, meski dalam bentuknya yang lain. Marsinah, Sulastri, para TKW kita yang kurang beruntung dan bahkan harus pulang setelah menjadi mayat adalah contoh-contoh perempuan yang berjuang melawan tembok-tembok itu. Terbayang pula oleh saya organisasi-organisasi perempuan kita yang tak boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan baginya oleh kebijakan resmi negara. Terbayang pula oleh saya teman-teman saya yang terpaksa meringkuk dalam penjara karena memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kemandirian bagi rakyat, pilar-pilar utama penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, yang iuga menjadi perjuangan pokok Kartini.

Teringat pula saya akan seorang perempuan lain yang telah bekerja sebagai buruh garment hampir selama 20 tahun lamanya, yakni sejak ia berumur 14 tahun. Kini ia telah empat tahun lamanya menganggur. Majikannya telah memecatnya karena dia sangat rajin menanyakan hak haknya yang telah dilanggar. Selama empat tahun itu tak henti-hentinya ia melamar pekerjaan, namun tak satupun perusahaan yang mau menerimanya. Alasannya karena dia telah berumur lebih dari 30 tahun. Pengalaman kerjanya selama 20 tahun itu selain tidak memberikan nilai lebih kepadanya sebagai seorang buruh juga tidak berhasil membawa perubahan dalam hidupnya. Keinginannya untuk membuka warung di desanya juga tak kesampaian karena selama bekerja itu ia hanya mampu untuk membeli makanan dan pakaian agar ia dapat bekerja kembali dengan segar esok harinya. Dalam keadaan seperti itulah ia kembali pulang ke pangkuan ibundanya.

Inikah fungsi keibuan yang diagungkan itu? Yang atas nama kodrat perempuan selalu bersedia memproduksi anak-anak laki-laki dan perempuan untuk menjadi tenaga kerja murah di pabrik pabrik dimanfaatkan, limbak pabrik berupa buruh-buruh perempuan (dan juga laki-laki) yang jumlahnya jutaan ini kemana gerangan hendak pergi?

Gejala tembok yang dihadapi Kartini kini dikukuhkan dalam bentuk dan wujudnya yang lain. Pengukuhan itu dilakukan baik melalui perangkat undang-undang, kebijakan, organisasi maupun ideologi. Sebaliknya sikap jujur kita terhadap sejarah, apresiasi kita terhadap ide-ide kebebasan, keadilan dan kemandirian rakyat, tradisi keilmuan kita untuk selalu mencari kebenaran, letaknya hanyalah di pojokan. Tersudut di tengah alam "kemerdekaan" yang pengap, sesak, dan mematikan. Inilah barangkali makna yang saya tangkap dari acara peluncuran ini.

Akhirnya saya ucapkan selamat kepada Pramoedya Ananta Toer dan penyelenggara acara ini, yang dalam kepengapan dan arus kuat pereduksian sosok dan ide Kartini itu mencoba memberi makna yang lain pada peringatan hari kelahirannya.

Wassalam alaikum wa rahmatullahi wa barakattuh.

Cimanggis, 21 April 1997