Sambitan-nya Ira Iramanto

SAMBITAN-NYA IRA IRAMANTO

PRAMOEDYA ANANTA TOER

Di bawah kolong langit sepatu OrBa-Harto lahir lagi karya sastra perlawanan Sambitan buah tangan Ira Iramanto. Tidak penting apakah Ira nama pria atau wanita. Yang terpenting adalah bahwa sastra Indonesia membuktikan tetap hadir dalam era 30-an tahun pembunuhan, perampasan hak-hak azasi, penggarongan kebebasan individual dan hak milik. Dengan karyanya yang unik ini sekali lagi terbukti bahwa di bawah kolong langit sepatu penindasan pun manusia pengarang Indonesia tetap dapat mendfirikan harkat manusia budaya.

Di luar kolong langit sepatu OrBa-Harto orang melolong- lolong tentang adanya krisis di bidang sastra. Sedang dalam topangan elektronik dan pers sastra kekerasan, sastra lendir, dan sastra irrasional, membanjir, memperparah perkembangan rasional anak-anak yang sekarang duduk di bangku sekolah dasar. Maka juga karya Ira Iramanto meniupkan angin perlawanan terhadap dekadensi OrBa.

Ira telah berusaha keras membuat pembacanya dapat memahami apa yang dimaksudkannya dari setiap baris tulisannya. Hal ini nampak bila orang membandingkan dengan esai-esainya sebelum G30S/OrBa. Namun pandangan-dunianya tetap: prosaistis. Dan dengan cara pandang tetap: rasional. Justru karenanya, tidak berpikir emosional, sulit baginya untuk mencurahkan jiwanya dalam puisi. Bahkan ia tidak memusingkan bentuk tulisan sebagaimana pernah diributkan pada 50-an.

Sambitan? Di jaman dengan tingkat teknologi yang semakin canggih ternyata tenaga primer masih juga dipergunakan. Anakronisme, atavisme, atau sindiran, atau pengetawaan diri, atau juga pengetawaan situasi hidup? Setikda- tidaknya ada Sambitan berarti ada yang menyambit, kena atau luput sambit, dan ada tempat sambit serta alat sambit. Cukup rumit. Sambit-menyambit memang sesuatu yang sangat biasa di jaman baheula, nampaknya akan lenyap dari kamus dalam kecanggihan teknologi masa kini. Wow! Tidak juga. Dalam alam militerisme, dan militerisme selalu primitif, Sambitan batu dibalas dengan kebiadaban: di Korea, di Palestina, di Indonesia. Demonstrasi pertama di Indonesia yang tercatat dalam sejarah terjadi di Boven-Digul, dilancarkan oleh kaum Digulis, juga dengan Sambitan batu, tahun 1933. Seorang Digulis terkena tetap kelewang sampai tewas.

Tapi Sambitan yang sekarang bukan dengan batu, tidak dilakukan di bawah kolong langit setiap insan, tapi di bawah sol sepatu bot militerisme Harto. Sambitan yang beterbangan itu direkam dalam Sambitan, Setumpuk Layang-layang Putus, dengan sang penyambit memahatkan nama dan gelar sekaligus: Ira Iramanto. Nama dan gelar sekaligus? Ya, Iramanto membuat orang mengingatkan pada Iramani, penyair dan essayist unggul Indonesia, yang pada hari-hari pertama bulan Oktober 1965 diciduk oleh (apa yang kelak dinamai atau menamai diri) OrBa, dikurung di RTM (Rumah Tahanan Militer) untuk kemudian di-"bon" dan sejak itu tak pernah ada kabar-beritanya lagi.

Sudah pada halaman pertama Ira Iramanto melakukan dua Sambitan dalam "Kebenaran I" dan "Kebenaran II". Dua- duanya disambitkan dari bawah kolong sol sepatu bot dan telak kena hidung OrBa. Bagaimana pun angkuh dan galak kerusuhan- kerusuhan rekayasa, berpesta pora dengan sukses Marsinah dan Udin, muaranya, seperti disambitkan dalam "Kebenaran III" adalah: kotak deposit.

Sambitan selanjutnya tertuju pada dunia film Indonesia, yang dari sederetan panjang judul yang dipergunakan menjelaskan betapa dedikatif film Indonesia pada masalah perlendiran, aniaya-menganiaya dan tahyul. Yang disambitkan sekali adalah bunga firasat, bahwa alam film Indonesia akan segera sampai di ambang "qo'it".

Di halaman 9 Sambitan tertuju pada Amien Rais, Gus Dur dan Hasta Mitra. Tiga-tiganya mendapat Sambitan rangkaian kecil bunga karena terpesona pada kata-kata mereka yang memukau. Waktu dan kenyataan belum lagi menguji. Ya, kata-kata mempesona yang banyak memperosokkan itu. Ini mengingatkan pada lagu tayub Sragen, sebuah duet indah berjudul "Ojo kesusu".

Dalam "Perubahan I" Sambitan tertuju sekali lagi pada OrBa, yang dalam eranya yang berpuluh tahun tidak mengalami perubahan, alias laksana di kehidupan akhirat, terus menerus akal-akalan. Sedang dalam "Perubahan II" dilontarkan tantangan pada siapa saja yang merasa mampu memimpin Indonesia. Jelas, karena Indonesia memang haus pemimpin dengan pimpinannya yang tak juga kunjung datang. Sambitan sekali ini layak kalau mengenai siapa saja yang besar-mimpi, besar-hati, dan terutama besar-kepala, karena pada akhirnya tak lain dari proses sosial dan sejarah yang menentukan dengan keniscayaan tanpa bisa ditawar.

Yang selanjutnya disambitkan adalah penemuan-penemuan sang penyambit dalam menjelajahi benua-benua kepribadian -- kepribadian siapa saja. Dalam "Kuasa I" penyambit menemukan si Kerdil menjadi Raksasa karena menemukan Raksasa yang bahunya dapat dijadikannya pijakan. Dengan ikut setinggi sang Raksasa dalam "Kuasa II" kekuasaan yang dikelolanya hanya mengurusi ketololannya, melepas tanpa batas raksasa keserakahannya.. Pada akhirnya ia "seperti bangkai yang segera membusuk karena korupsinya sendiri".

"Kuasa III" dan "Kuasa IV" masih juga disambitkan pada Harto dan OrBanya, hanya sekarang tentang nasib yang menunggu mereka. Masih juga disambitkan pada sasaran ini adalah "Dusta I" yang membangun "kebenaran" dengan mengulang-ulang dusta sampai yang tersambit percaya pada kebenaran semacam ini. Tak jelas bagaimana dalam "Dusta II" dan selanjutnya karena memang tidak ada dalam kumpulan.

Simin Populi memang punya wajah komunal tapi hanya bermulut satu. Dan mulut ini yang berkisah dalam "Nafsu I" tentang pertandingan seru, sekalipun tidak tingkat internasional, regional atau pun lokal. Hanya tingkat salon. Memperebutkan juara I dalam hal "kemampuan mendampingi, bersesuai-pikiran dan gaya, bisa kerjasama 100% serasi dalam keserasian, bahkan ekstremnya nyaris keseranjangan dengan paduka raja-presiden". Tentu, juara pertama akan jadi wakil presiden. Untuk itu "tak segan ia melepaskan apa yang tadinya adalah dirinya sendiri". Sekali lagi Sambitan pada jajaran puncak OrBa. Biarpun tragis tak memiliki dirinya sendiri toh setelah mangkat "bisa meninggalkan warisan beratus-ratus hektar tanah pada anak- cucunya". Dan siapa mahapati wakil presiden yang malang ini? Bisa siapa saja.

Dalam "Nafsu II" kembali didapatkan penemuan di benua individu, bahwa setelah pergulatan mencapai puncaknya yang menyusul cuma kehampaan, "rasa kehilangan", kekecewaan setiap insan di bidang sex.

Masih di benua individu Ira Iramanto dalam "Integritas I" menemukan, bahwa manusia dengan integritas adalah "manusia yang lebih manusia", manusia yang nyata sudah lolos dari saringan sosial dan psykologi, telah mengebaskan diri dari kemunafikan, kesewenang-wenangan, basa-basi dan pengkromoan makna-makna kumal, terror untuk mengecilkan makna, harga diri dan harkat manusia umumnya, hanya untuk berpongah.

Dan dalam "Integritas II" dua sosok diperhadapkan: H.R. Bandaharo penyair "Tak Seorang Berniat Pulang" dan Sam Kamaruszaman "the great conspirator" dalam peristiwa G30S 1965. Dua watak sudah semula saling berseberangan dalam sebuah sidang CC PKI. Muara alur hidup keduanya pun tak pernah bertemu. Bandaharo jadi tapol di P. Buru. Beberapa tahun setelah meninggalkan kamp konsentrasi meninggal dunia sebagai ET. Sedang Sam, menurut tetangganya, bermukim di Inggris sebagai manusia tanpa kehormatan dan harga diri.

Penemuan lain terpapar dalam "Integritas III" kembali orang dibawa ke benua individu, yang bagi Ira Iramanto telah menolak "berhala baru, mengkultuskan pribadi, mendewakan institusi, memutlakkan ideologi". Sambitan sekali ini tertuju pada para intelektual blanco, yang "mengetahui yang benar tapi sedikitpun tidak berbuat": kepengecutan.

"Langgam I" dan "Langgam II" adalah catatan pribadi. Dalam suatu pertemuan Iramani mengusulkan molimo (lima kemaksiatan: madat, madon, maling, mabok-mabokan, main judi) ditambah dengan satu m lagi, yaitu mancing. Soalnya hidup Ira Iramanto punya langgam khusus: gila mancing di laut, dan itu sering mengganggu acara pertemuan. Sedang dalam "Langgam II" langgam orang lain yang dicatatnya. Orang lain itu adalah Kolonel Samsi, komandan kamp konsentrasi kerjapaksa P. Buru, yang berambisi menggebungkan diri sendiri dengan jalan membuat kerdil 14.000 tapol bawahannya. Dalam menggebungkan diri tentu juga membual tentang kehebatan leluhurnya.

Setelah dapat diyakinkan bahwa musisi-komponis Sudharnoto dengan usia kepala tujuh toh masih memainkan piano dan mengarang lagu, malah tetap punya rasa humor dalam "Usia Senja I", dari kesaksian itu didapatkannya kearifan adanya perbedaan dalam usia senja. Yang pertama tetap kreatif, produktif dengan jiwa tetap liat, yang kedua tua-renta yang nista, yang "terbungkuk-bungkuk dibebani timbunan waktu" dan "tiada bukti lain bagi panjangnya usia yang direguknya, kecuali ketua-rentaannya itu".

Berdasarkan pengalamannya sendiri bergaul dengan orang- orang tua yang telah meninggalkan padanya pencerahan dan pikiran- pikiran yang hidup dan akan terus hidup ke generasi-generasi seterusnya terbersit kearifan, bahwa "orang yang tak menengok ke belakang pada leluhurnya, tak akan pernah memandang ke depan pada anak-cucunya...", demikian dalam "Usia Senja II".

Dalam Scribble-Scrabble", terdiri hanya dari 3 baris adalah Sambitan telak pada keluarga Cendana:

Hasil Usaha Mama-Papa Untuk Saya Saja.

Tokoh Itu Memang Orang Rakus.

SUdah PERsis SEperti MARcos.

"Humor I" dan "Humor II" adalah catatan pribadi tentang temuan di benua individu. Humor adalah satu dari sejumlah bentukan dialektik dari pertarungan antara illusi/impian yang indah nikmat dengan kenyataan yang buas, keras, pahit, bergerigi dan meringis. Ira Iramanto mengartikan humor dengan "berdamai dengan kenyataan". Itu sepenuhnya menjadi haknya yang didapatkan dari pengalaman sendiri. Setidak-tidaknya humor membiaskan tawa: gelak, bahak, cekikikan, sampai kecut-masam. Tawa kecut-masam bagi mereka yang pernah mengalami sendiri. Dan oleh penulisnya sendiri disederhanakan dengan ungkapan yang sangat umum: nafsu besar tenaga kurang.

Umumnya orang yang memiliki rasa humor dianggap memiliki jiwa liat, kenyal, tidak mudah retak apalagi patah. Sedang tambahan dari Ira: "Setiap humor memiliki kebahagiaannya sendiri, memberikan kenikmatan melebihi yang lainnya". Demikian dalam "Humor II".

"Bedug" mencapai puncaknya dalam Sambitan. Semua yang hidup punya sejarahnya sendiri, sekali-pun tidak pernah ditulis: tumbuh, kembang, berbuah dan mati. Juga yang tidak hidup, buatan manusia: pencarian dan penggarapannya, tujuan pembikinan dan faal yang diharapkan daripadanya. Bedug ditampilkannya lebih daripada semua itu. Ia punya faal sosial sebagai pemberitahuan tentang waktu, dan pada saat tertentu juga memberikan isarat untuk bergembira dan saling memaafkan. Dan, ini yang mengagetkan, dengan "Bedug" tergelar sejarah jauh kebelakang: sorak kemenangan, juga darah dan airmata, pengelompokan global, regional dan lokal dengan implikasinya.

Dalam "Gebuk" Sambitan sepenuhnya tertuju tepat pada OrBa dengan mentalitas KNIL-nya, memandang dan memperlakukan orang/rakyat Indonesia sebagai taklukannya, dan merasa menjadi besar kalau sudah mengecilkannya dengan gebug. Dan inilah yang berlangsung selama 32 tahun OrBa. Dan masih akan terus berlangsung selama OrBa ada.

Dalam "Seni" I, II, III Ira Iramanto memasuki rimba belantara dunia seni. Satu demi satu semak, belukar dan pepohonan ia tandai dengan pemberian nama. Merasakan segala kehidupan dalam rimba belantara dunia seni yang abstrak tanpa bisa diraba wujudnya ini layaknya orang memasuki dunia metafisika. Dan kalau orang berhasil dapat menaklukkan rimba belantara ini dan keluar masih bernafas dan cita-cita pun tidak tumpas: jadilah ia seniman harapan nasion.

"Hari" adalah kearifan purba yang diambil dari sumber Sansakerta, mengandung nilai universal dan patut menjadi kearifan setiap orang.

Ira Iramanto dalam menjelajahi hidup telah menemukan benua baru, benua penuh bunyi penggusuran manusia yang tersampahkan sekaligus juga benua tanpa suara dari umat manusia yang hidup antara menjadi kurban dan menjadi mayat hanya untuk bisa survive. Dalam diam mereka memprotes, menggugat ke" langit dan seluruh penjuru dunia dengan gelegar suara yang paling dahsyat: keheningan diam".

Dalam keterhimpitan oleh segala yang serba minim mereka tetap bergulat untuk tinggal hidup, tanpa menghiraukan bunyi- bunyian dari langit yang mendendangkan teori dan konsep paling canggih pun. Karena untuk bisa menghampiri mereka kuncinya adalah pemahaman budaya primeval dan bahasanya.

"Temuan" ini menjadilah puncak kedua dalam Sambitan ini. Kearifan di dalamnya menyemburatkan pencerahan kepada siapa pun yang tidak butahuruf.

Dalam "Himne" I dan II jelas Ira Iramanto berpihak pada kaum yang tersingkirkan, tersampahkan, "kaum yang ditlaklukkan di medan kehidupan", "kaum yang tak berdaya, terluka, kalah", tetapi yang "dengan gagah berani memainkan peranan bisu dan tanpa harapan".

Betapa sinis menusuk dan menikam slogan yang setiap saat muncul di TV "Membina kesatuan dan persatuan bangsa" bila dihadapkan pada "Himne I" ini.

Dan dalam "Himne II" diabadikannya tokoh sejarah kamp kerja-paksa P. Buru: Kayun, pemuda, mahasiswa, tapolnya OrBa. Ia ambil tugas terberat biar teman-temannya dapat beristirahat barang satu dua jenak, dalam kondisi kurang makan kali kurang gizi, akhirnya sendiri ia diterkam sirosis dan menggeletak di rumahsakit. Karena tak mau jadi beban teman-temannya dalam keadaan sakit parah ia menyelinap ke ladang, ke gubug, dan direguknya endrin sampai tewas.

Dalam "Bahasa" diungkitnya kerancuan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa kita sendiri, yang sebenarnya pencerminan kegagalan pengajaran bahasa sejak sekolah dasar, sudah sejak dari buku-buku pelajaran bahasa yang dipergunakan. Ini mengingatkan orang pada kata hubung dengan yang dipergunakan untuk terlalu banyak keperluan: cinta dengan, bercerai dengan. Dan eufimisme (pengkromoan) yang menjadi bagian jargon OrBa dan sudah memasuki taraf pembebalan bangsa.

Pada mulanya adalah kata. Katalah yang menghubungkan individu dengan individu dan masyarakat serta sebaliknya. Bahasa sebagai buah persetujuan sosial adalah juga alat perekam dinamika dan kebekuan sosial. Tak mengherankan bila luasnya cakupan bahasa membuat bagian ini menjadi yang terpanjang.

"Sebuah bejana diketahui dari bunyinya, retak atau tidak. Demikianlah orang dibuktikan oleh ucapannya," demikian ia mengutip Demosthenes. Jelas kutipan tersebut disambitkan pada tokoh dan begundal OrBa yang setiap hari melalui mass media, tercetak dan elektronik mengumbar janji, kebohongan, ancaman; semua terangkum dalam satu kata mujarab: ketololan.

Memang sudah jadi pengetahuan umum bahwa elit OrBa berada di atas hukum alias kebal hukum. Iramanto, di bidang bahasa masih menambahi dengan kutipan dari ucapan Sigismund (1414): Ergo sum rex Romanum, et supra grammaticam (Aku raja Roma, berada di atas gramatika). Orang tak perlu lagi menebak-nebak kepada siapa kutipan itu disambitkan.

Masalah bahasa melingkupi seluruh kehidupan manusia, dan Iramanto cukup berhasil mencatatnya. Malahan bagian yang satu ini memiliki kemampuan klasikal.

Terakhir adalah "Hari Esok I dan II". Sepanjang OrBa berkuasa, bagi tapol dan eks-tapol G30S/OrBa yang ada hanya hari ini, kelanjutan hari kemarin dan kemarin dulu, sama: hari penindasan. Tak ada itu hari esok dengan janji akan lebih baik dari hari ini.

Namun, sebagaimana tercatat dalam "Hari Esok II", kehidupan berjalan terus, sedang keniscayaan datangnya hari esok ditentukan oleh hari ini jika niat dan tindak, kata dan laku bersatu. Sekali lagi Sambitan terhadap OrBa: berlawan.

Beruntunglah Indonesia menghasilkan sastra perlawanan ini, terdiri hanya dari beberapa puluh halaman, namun bobotnya membisukan sorak-sorai gempita sastra OrBa sepanjang 32 tahun belakangan ini.