Soal Rumah Eks Tapol

Soal Rumah Eks Tapol

Forum Keadilan, 7 Oktober 96

Janda mantan tahanan politik menggugat Gubernur Sumbar dan DPD Golkar. Sebab, rumahnya direbut dan dijadikan kantor Golkar.

Perjuangan Maemunah, istri Pramoedya Ananta Toer, untuk mendapatkan kembali rumahnya yang diambil alih pemerintah belumlah usai. Namun, langkah Maemunah itu diikuti oleh Syofinar, janda almarhum Syarpin Rachman, eks-tahanan politik (tapol) asal Padang. Syofinar menggugat Gubernur Sumatra Barat (Sumbar), Korem Wirabraja, DPD Golkar, dan BPN Kodya Padang, lantaran rumahnya kini dijadikan kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Sumbar. Sekarang perkaranya tengah digelar di Pengadilan Negeri Padang.

Menurut Syofinar, tanah seluas 2.250 meter persegi di Jalan Rasuna Said, Padang itu dibeli suaminya pada 1956 dari Lim Hok Goan. Akta jual-beli ditandatangani di hadapan Notaris Hasan Qalbi. Syarpin lantas membuat bangunan permanen di atasnya. Tapi, rumah itu tidak lama didiami. Tahun 1958, ketika meletus peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), tanpa alasan jelas rumah itu diambil alih militer.

Terakhir, menjelang meletusnya peristiwa pemberontakan PKI, rumahnya dijadikan kantor Central Biro Daerah PKI Sumatra Barat. Syarpin, yang pernah jadi Sekretaris Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, akhirnya ditahan di Pulau Buru karena keterlibatannya dalam gerakan terlarang itu. Tahun 1993, Syarpin meninggal di Jakarta.

Syofinar berpendapat, tanah dan rumah itu miliknya yang sah. Karena itu, ia mengajukan gugatan pada 12 Juli lalu, untuk memperoleh kembali haknya. Selain menuntut pengembalian rumah dan tanah, Syofinar juga menuntut pihak Golkar membayar ganti rugi dan hak sewa sebesar Rp 5 juta per tahun. Karena sudah menempati selama 31 tahun, berarti Golkar mesti membayar Rp 155 juta.

Sidang perkara ini mulai digelar di Pengadilan Negeri Padang sejak akhir Juli 1996. Tak seperti kasus perdata biasanya, perkara gugatan ini menarik perhatian banyak orang. Maklum, nama Syarpin sebagai tapol PKI sudah dikenal luas. Belum lagi yang digugat adalah Gubernur Sumbar, pihak militer, dan juga Golkar.

Dalam persidangan, keempat tergugat menolak perkara. Alasannya, gugatan itu salah alamat. Karena perkara ini berkaitan dengan urusan tata usaha negara, semestinya kasus ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan ke peradilan umum.

Menurut kuasa hukum Korem Wirabraja, Letkol L.H. Muldi, rumah itu bukan milik Syarpin. Dengan kata lain, menurut Oditur Militer Sumbar-Riau itu, Syarpin tidak pernah membeli tanah tersebut. Yang benar, Syarpin pernah diberi hak oleh pemerintah RI untuk memanfaatkan tanah itu untuk hal yang tidak melawan hukum. Ternyata, tanah dan rumah itu dijadikan tempat kegiatan PKI.

Sesuai dengan ketentuan pemerintah, semua tempat atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan PKI diambil alih penguasaannya. Karena itu, bekas kantor Central Biro Daerah PKI itu diambil alih TNI Angkatan Darat. Status obyek perkara juga sudah kedaluwarsa.

Tanah itu berstatus HGB yang diberikan pada 24 September 1950. Sedangkan HGB punya masa berlaku selama 30 tahun. Berarti, mestinya sudah berakhir pada 1980.

Namun, dalam putusan selanya pada 16 September lalu, majelis hakim yang dipimpin Yusuf Thaha menyatakan bahwa PN Padang tetap berhak menyidangkan perkara ini. Yusuf juga menyarankan agar kedua belah pihak mengambil jalan damai.

Tawaran damai ini langsung diterima pihak Syofinar, yang diwakilkan Alwis Ilyas dari Kantor Pengacara Djanas Raden. Namun, Ilhamdi Taufik, selaku kuasa hukum DPD Golkar, menyatakan belum memikirkan tawaran itu. "Kalau damainya berarti memberi ganti rugi, ya, jelas tidak bisa, karena tidak ada lagi hak penggugat di sana," kata Ilhamdi. Tampaknya, sidang perkara ini bakal berjalan alot.

--Sri Raharti (Jakarta) dan Indra Sakti Nauli (Padang)