Awam dalam Gereja Katolik

Persepsi mengenai “Awam”

Seringkali kita menjumpai kata awam dalam berbagai macam pengertian. Itu tidak salah karena definisi “Awam” dalam praktik dan dalam dokumen-dokumen Gereja ternyata mempunyai dua macam pengertian. Dua macam pengertian itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

  • Definisi Teologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Dengan demikian, menurut pengertian ini, Awam meliputi umat biasa dan biarawan-biarawati seperti suster dan bruder yang tidak menerima tahbisan suci.

  • Definisi Tipologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan atau biarawati. Dengan demikian, menurut pengertian ini, Awam tidak mencakup biarawan-biarawati seperti para suster dan bruder

Judul subbab ini menggunakan Definisi Teologis untuk mewadahi suster dan bruder atau para religius dalam kelompok awam. Mengapa begitu? Bersama dengan kelompok klerus, kelompok religius dan awam diajak membangun persekutuan umat Allah yang terbuka sesuai dengan arahan Konsili Vatikan II.

Kaum Religius

Kehidupan religius berciri pada penghayatan akan Tiga Nasehat Injil (Luk 18:28-30), yaitu Ketaatan, Kemiskinan, dan Kemurnian. Tugas religius adalah mengabdi Allah dan melayani sesama. Hidup para religius merupakan pembaktian diri sepenuhnya kepada Gereja dan penyebaran Kerajaan Allah ke seluruh dunia.

Cara hidup religius bersumber pada Kitab Suci, terutama teladan hidup Yesus, Sang Guru Ilahi. Kaul yang diucapkan oleh para religius bertujuan untuk membebaskan pikiran dan hati kaum religius agar ia dapat mencintai Tuhan segenap hati dan melayani umat-Nya dengan pengabdian yang setulusnya. Ada tiga macam kaul yang diucapkan oleh para religius. Penjelasan mengenai masing-masing kaul tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

  • Kaul Ketaatan, yaitu janji atau sumpah setia untuk taat pada regula (peraturan) ordo atau kongregasi dan taat pada para superior (pembesar biara) yang merupakan wakil Tuhan. Dasar kaul ketaatan adalah Yoh 4:34.

  • Kaul Kemiskinan, yaitu janji atau sumpah untuk merelakan kepemilikan atas harta duniawi dan saling berbagi dalam segala sesuatu, agar dapat menemukan “harta” di surga. Dasar kaul kemiskinan adalah Mat 19:21.

  • Kaul Kemurnian, yaitu janji atau sumpah yang diucapkan secara bebas untuk mengabdikan seluruh hidup mereka kepada Tuhan, bebas dari ikatan pernikahan dan hidup berkeluarga. Dasar kaul kemurnian adalah 1 Kor 7:32.

Para religius dengan status hidup mereka memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur bahwa untuk mengubah dunia dan mempersembahkannya kepada Allah dengan semangat Sabda bahagia.

Kaum Awam

Dalam pembicaraan ini, definisi Awam yang digunakan adalah definisi tipologis. Dokumen Lumen Gentium menyatakan bahwa Awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja. Berkat baptisan, kaum awam mengemban 3 tugas Kristus, yaitu: Menguduskan, Mewartakan, Menggembalakan. Ciri khas tugas kaum awam adalah SIFAT KEDUNIAWIAN. Tidak ada sekolah khusus bagi kaum awam. Ia dipanggil untuk berkiprah dalam dunia seturut teladan Kristus dan ajaran Gereja. Adapun penjabaran tugas-tugas yang dapat dilaksanakan kaum awam adalah sebagai berikut:

  • Tugas Mewartakan dilakukan melalui pewartaan iman, keaktifan, dan kesaksian hidup dalam keluarga, persekutuan umat beriman, maupun masyarakat.

  • Tugas Menguduskan dilaksanakan melalui kehidupan doa, ibadat, dan perayaan liturgi yang dibangun setiap hari dalam keluarga maupun dalam persekutuan umat beriman.

  • Tugas Menggembalakan dipraktekkan melalui tindakan kepemimpinan dalam keluarga, persekutuan umat beriman, maupun masyarakat.

Kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal fana dan mengatur sesuai kehendak Allah. Contoh keaktifan sebagai Awam adalah 1) Ketua Lingkungan atau Ketua Wilayah, 2) Prodiakon, 3) Dewan Paroki, 4) Ketua RT/RW, 5) Lurah, 6) Ketua KPPS, 7) Misdinar, 8) Mudika, 9) Aktivis Gereja, 10) Camat, 11) Walikota, 12) Anggota DPR/DPRD/DPD, dan sebagainya menurut profesi masing-masing.

Menyelami Hubungan Hirarki dan Awam

Kita telah memahami bahwa model kehidupan yang dikembangkan oleh Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan II adalah Gereja Paguyuban. Gereja Paguyuban memungkinkan seluruh umat berpartisipasi dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian, seluruh kelompok umat – baik kaum awam, religius, dan klerus – diajak untuk berperan dalam kehidupan Gereja. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa karya yang dijalankan oleh umat harus berlangsung secara sinergi. Apostolicam Actuositatem menyatakan, “Kerasulan awam, yang dijalankan oleh Umat beriman baik secara perorangan maupun secara kolektif, harus disaturagakan dengan tepat dalam kerasulan seluruh Gereja. Bahkan hubungan dengan mereka, yang oleh Roh Kudus ditetapkan untuk membimbing Gereja Allah (lih. Kis 20:28), merupakan unsur hakiki kerasulan kristiani. Tidak kurang perlulah kerja sama antara pelbagai usaha kerasulan, yang harus diatur oleh Hirarki secara selaras.”

Semangat kesatuan di antara seluruh warga Gereja, terutama dalam karya, perlu ditingkatkan agar di seluruh kerasulan Gereja bersinarlah cinta kasih persaudaraan. Kebersamaan itu akan mendukung tercapainya tujuan-tujuan mulia dan menghindarkan persaingan-persaingan yang berbahaya. Untuk itu, perlulah dikembangkan sikap saling menghargai, dan – tanpa mengurangi sifat khas masing-masing – perpaduan yang serasi. Hal ini diperlukan, terlebih bila suatu kegiatan istimewa dalam Gereja membutuhkan keselarasan dan kerja sama kerasulan antara klerus, religius, dan kaum awam.Untuk menjalin kerjasama tersebut, Konsili Vatikan II menggariskan beberapa hal menurut dokumen Apostolicam Actuositatem dan Presbyterorum Ordinis. Yang patut diperhatikan berkenaan dengan hal tersebut adalah:

  1. Para pemimpin Gereja wajib mendukung kerasulan awam, menggariskan prinsip-prinsip, menyediakan bantuan-bantuan rohani, mengatur pelaksanaan kerasulan demi kesejahteraan Gereja, dan menjaga supaya ajaran serta tata-tertib Gereja tetap dipatuhi.

  2. Kerasulan awam selalu berhubungan dengan hirarki, sesuai dengan berbagai bentuk serta sasaran kerasulan itu. Suatu usaha kerasulan awam hanya boleh menggunakan nama “katolik”, bila mendapat persetujuan pimpinan Gereja yang sah.

  3. Berbagai bentuk kerasulan awam dapat diakui oleh hirarki. Pimpinan Gereja dapat memilih bebrapa diantara persekutuan-persekutuan dan usaha-usaha kerasulan yang secara langsung bertujuan rohani, secara istimewa mengembangkannya, dan mengambil tanggung jawab khusus terhadapnya.

  4. Pemimpin Gereja dapat mempercayakan berbagai tugas kegembalaan kepada kaum awam, misalnya di bidang pengajaran kristiani, dalam berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Dalam menjalankan tugas itu, para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan Gereja.

  5. Berkenaan dengan usaha-usaha dan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan urusan duniawi, tugas pemimpin Gereja adalah mengajarkan dan menafsirkan kaidah-kaidah moral mengenai pelaksanaan hal-hal keduniawian itu.

  6. Pemimpin Gereja juga berwenang, dengan bantuan para pakar, menilai kesesuaian usaha dan lembaga semacam itu dengan kaidah-kaidah moral serta menetapkan segala hal yang diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan kerohanian.

  7. Pemimpin Gereja hendaknya menyadari bahwa hak serta tugas merasul sama-sama ada pada semua orang beriman baik klerus maupun awam dan para awam mempunyai peran dalam pembangunan Gereja.

  8. Pemimpin Gereja hendaknya bekerja sama dalam persaudaraan dengan kaum awam dan secara istimewa menaruh perhatian terhadap para awam dalam karya-karya kerasulan mereka.

  9. Para pemimpin Gereja hendaknya memilih dengan cermat imam-imam yang cakap dan telah disiapkan secukupnya untuk memberi bantuan dalam bentuk-bentuk khusus kerasulan awam serta mewakili mereka dalam kerasulan awam.

  10. Para imam hendaknya memupuk keserasian hubungan-hubungan para awam dengan Hirarki sambil selalu dengan setia mematuhi semangat serta ajaran Gereja.

  11. Para imam hendaknya membaktikan diri dengan memupuk hidup rohani serta semangat merasul pada persekutuan-persekutuan katolik yang dipercayakan kepada mereka.

  12. Para imam hendaknya mendampingi kegiatan kerasulan awam dengan nasehat mereka yang bijaksana, serta mendukung usaha-usahanya.

  13. Para imam hendaknya terus-menerus bertemu wicara dengan kaum awam dan dengan penuh perhatian menemukan cara-cara yang dapat makin menyuburkan kegiatan merasul.

  14. Para imam hendaknya meningkatkan semangat persatuan di antara kerasulan-kerasulan yang dilakukan kaum awam.

  15. Para imam harus memimpin umat sehingga mereka tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus, serta bekerjasama dengan umat beriman awam.

  16. Para imam harus membawakan diri menurut teladan Sang Guru, yang “tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya demi penebusan banyak orang” (Mat 20:28).

  17. Para imam hendaknya dengan tulus mengakui, mendukung martabat kaum awam dan bagian perutusan Gereja yang diperuntukkan bagi mereka, serta menghormati kebebasan sewajarnya, yang menjadi hak semua orang di dunia ini.

  18. Para imam hendaknya dengan senang hati mendengarkan kaum awam, mempertimbangkan keinginan-keinginan mereka, dan mengakui nilai pengalaman maupun kecakapan mereka di pelbagai bidang kegiatan manusia.

  19. Para imam hendaknya menemukan karisma-karisma kaum awam, yang bersifat lebih sederhana maupun yang lebih tinggi, mengakuinya dengan gembira, serta dengan seksama mendukung pengembangannya.

  20. Para imam hendaknya dengan penuh kepercayaan menyerahkan tugas-tugas pengabdian Gereja kepada kaum awam, sambil memberi mereka kebebasan serta ruang gerak, bahkan mengundang mereka atas kerelaan sendiri untuk memanfaatkan peluang yang baik dengan memulai kegiatan-kegiatan.

  21. Para imam bertugas mengantarkan umat kepada kesatuan cinta kasih, “sambil saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10). Mereka bertugas memadukan berbagai mentalitas sehingga dalam jemaat beriman tidak seorangpun yang merasa terasing.

  22. Para imam hendaknya menjadi pembela kesejahteraan umum, yang atasnama Uskup harus mereka usahakan, serta mendukung kebenaran yang gigih, supaya umat beriman tidak diombang-ambingkan oleh ajaran yang tidak benar.

  23. Para religius, para bruder maupun suster, hendaknya menghargai karya-karya kerasulan kaum awam, dengan senang hati membaktikan diri untuk ikut mengembangkan kegiatan-kegiatan kaum awam menurut semangat dan kaidah-kaidah tarekat mereka, serta berusaha mendukung, membantu dan melengkapi tugas-tugas para imam.

  24. Di paroki, keuskupan, nasional, dan internasional; hendaknya ada panitia-panitia, untuk membantu karya kerasulan Gereja, baik di bidang pewartaan Injil dan pengudusan, maupun bidang amal kasih, sosial dan lain-lain; yang menjadi wahana kerja sama para imam, religius, dan kaum awam dengan cara yang tepat.

  25. Umat beriman hendaknya menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap para imam mereka, dan dengan penuh kasih memperlakukan mereka sebagai gembala-gembala serta bapa-bapanya.

  26. Umat perlu merasakan keprihatinan para imam, sedapat mungkin membantu mereka dengan doa maupun kegiatan, agar mampu mengatasi kesukaran-kesukaran dan berhasil dalam menjalankan tugas-tugas mereka.

Demikianlah, kerjasama antara awam, religius dan hirarki diperlukan untuk pengembangan Gereja di masa depan. Sebuah kerjasama yang sinergis diharapkan mampu membangun Gereja menjadi lebih bermakna bagi dunia.

Daftar Pustaka:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Penerbit OBOR. 1993.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Buku Guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017.

Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-murid Yesus, Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius. 1995.

Yoseph Kristianto, dkk. Menjadi Murid Yesus, Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/K Kelas XI. Yogyakarta: Kanisius. 2010.