Gereja yang Bersekutu (Koinonia)

Membangun Paguyuban Umat Allah 

Gereja bukan sekadar organisasi saja, tetapi merupakan kumpulan anggota Umat Allah yang hidup bersekutu, bersatu dalam nama Tuhan. Dalam bahasa Yunani, kata yang dipakai untuk persekutuan adalah Koinonia. Kata ini yang berasal dari kata dasar koinos yang berarti lazim atau umum serta berkaitan dengan unsur kebersamaan. Kitab Suci mengisahkan bahwa dengan berjabatan tangan sebagai tanda persekutuan, Paulus dan Baernabas diterima secara penuh dalam persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama kepada Kristus (Gal 2:9). Koinonia atau persekutuan mempunyai dasar dan tujuan yang berasal dari Yesus Kristus. Dasar dan tujuan ini tidak dapat diganti dengan dasar dan tujuan yang lain. Jikalau persekutuan ini mengganti dasar yang sudah diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus, persekutuan ini kehilangan hakikatnya dan secara azasi bukan koinonia lagi. Koinonia adalah persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun banyak anggota, membentuk satu tubuh Kristus.

Koinonia merupakan bidang yang langsung tampak dalam Gereja. Melalui bidang ini, Gereja menampakkan kumpulan atau persekutuan yang hadir di tengah-tengah manusia dan dunia. Dasar bidang Koinonia adalah Kis 4:32-37 dan 1 Kor 12. Jemaat Perdana memiliki ciri-ciri yang sangat menonjol, yaitu 1) persaudaraan dan persekutuan, 2) mendengarkan Sabda atau pengajaran, 3) pelayanan dan solidaritas terhadap sesama, 4) perayaan iman, pemecahan roti, dan doa, serta 5) memberi kesaksian iman tentang Tuhan melalui cara hidup mereka. Karena cara hidup mereka itu, mereka disukai semua orang, jumlah mereka makin lama makin bertambah dan mereka sangat dihormati orang banyak. 

Dimensi Koinonia secara umum dipahami sebagai peristiwa berkumpulnya umat dalam rangka ibadat. Ibadat memang menampakkan dimensi koinonia secara nyata, tetapi lambat laun Gereja juga menyadari bahwa bidang koinonia tidak boleh hanya dinyatakan dalam ibadat. 

Persekutuan di dalam dan di luar ibadat dibutuhkan untuk menghidupkan gerak Gereja. Oleh karena itu, selain peribadatan, Gereja semakin mengembangkan persekutuan umat yang hidup. Penghayatan bidang koinonia dalam umat Katolik di Indonesia pun mengalami perkembangan. 

Dimensi Koinonia #1: Ekaristi

Pertama, yang dihayati pertama-tama sebagai dimensi koinonia adalah persekutuan dalam Ekaristi. Penghayatan ini muncul ketika iman umat masih muda. Ketika iman Katolik di Indonesia masih baru, umat hanya mengenal dimensi koinonia dalam Ekaristi. Dapat dikatakan bahwa koinonia hanya tampak pada saat Ekaristi, baik Ekaristi harian maupun Ekaristi Hari Minggu. 

Dimensi Koinonia #2: Lingkungan

Kedua, lambat laun, pemimpin Gereja Katolik di Indonesia mulai sadar bahwa koinonia tidak boleh ditampakkan hanya melalui Ekaristi saja. Koinonia perlu ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, mulai digagas keterlibatan umat melalui persekutuan yang paling kecil yaitu lingkungan dan wilayah. Gagasan pembentukan lingkungan berawal dari gagasan perlunya pembagian wilayah paroki menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil dalam “Konferensi tentang Perkembangan Pastoral Umat Katolik di Bintaran” Yogyakarta pada tanggal 22 September 1934. Pertemuan itu dihadiri oleh  A. Soegijapranata, SJ (pastor pembantu Paroki Kidul Loji yang melayani umat Bintaran), A. Djajasepoetra, SJ (direktur mingguan Swara Tama), A. Prawirapraptama (pastor untuk wilayah Pugeran), A. de Kuijper dan H. Snijders (Missionaris). “Agar supaya perkenalan paroki-paroki ditingkatkan diperlukan sekali bahwa paroki-paroki itu dibagi-bagi menjadi wilayah-wilayah dan bahwa wilayah-wilayah itu dikepalai seorang Jawa yang bersemangat (“een flinke katholieke Javaan”). Dialah yang dapat memahami sendiri keadaan wilayahnya dan dapat memberikan laporan tentangnya kepada pastor Paroki. Dia sebaiknya dibantu oleh orang katolik lainnya khususnya para muda (anggota konggregasi). Demi pengakuan yang sedikit resmi maka sebaiknya dia mendapat suatu lencana. Pada waktu-waktu tertentu kepala-kepala wilayah tersebut berapat dengan Pastor Paroki demi informasi Pastor. Surat-surat tentang keadaan keluarga (parochiebriefjes) hendaknya diisi untuk sebagian besar oleh kepala-kepala ini bersama pembantu-pembantunya”. Gagasan pembentukan wilayah-wilayah yang lebih kecil ini kemudian diterapkan di Stasi Wedi, Gereja Bintaran, dan Gereja Kotabaru. Menjelang tahun 2000-an, ada dua macam lingkungan yang dikenal dalam Gereja Katolik, yaitu LINGKUNGAN TERITORIAL dan LINGKUNGAN KATEGORIAL. 

Lingkungan Teritorial 

Lingkungan yang dibatasi oleh wilayah teritorial dalam sebuah paroki 

Lingkungan Kategorial 

Lingkungan yang dibatasi oleh kategori-kategori tertentu, seperti usia, profesi, minat, status, dan kesamaan kategori lainnya serta biasanya terjadi secara lintas paroki 

Dimensi Koinonia #3: Komunitas Basis

Ketiga, keterlibatan umat dalam komunitas-komunitas yang lebih kecil semakin tampak. Kesadaran ini semakin dikembangkan terutama sejak adanya hasil keputusan Sidang Uskup se-Asia pada tahun 1990 di Bandung, Jawa Barat. Sidang tahun 1990 itu menyatakan bahwa Gereja  Asia ingin mewujudkan diri melalui persekutuan paguyuban-paguyuban yang terbuka, bersahabat, saling mengasihi secara tulus, serta mengutamakan yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Pembangunan persekutuan paguyuban-paguyuban ini perlu dibarengi dengan pengembangan gerakan iman ke dalam dan sekaligus gerakan iman ke luar. Gerakan iman ke dalam terjadi dengan membangun KOMUNITAS BASIS KRISTIANI yang terwujud bila orang-orang bersatu atas dasar iman akan Yesus Kristus. Gerakan ke luar terjadi dengan membangun KOMUNITAS BASIS MANUSIAWI yang terwujud bila orang-orang bersatu atas   dasar kemanusiaan. Komunitas basis merupakan pusat aktivitas umat. 

Komunitas Basis Kristiani 

yang terwujud bila orang-orang bersatu atas dasar iman akan Yesus Kristus 

Komunitas Basis Manusiawi

yang terwujud bila orang-orang bersatu atas dasar kemanusiaan 

Komunitas basis merupakan pusat aktivitas umat. Ciri komunitas basis adalah saling mendengarkan, mengetahui, mempedulikan, berbagi dan kasih, menjunjung tinggi martabat manusia, dialog yang saling mengem-bangkan, masing-masing anggota mempunyai kedudukan yang sejajar dan dapat saling memperkaya satu sama lain. Komunitas Basis Kristiani dimulai dari persekutuan jemaat beriman Kristiani, tetapi komunitas ini tidak bersifat eksklusif. Oleh karena itu, komunitas basis kristiani harus terbuka untuk membangun komunitas basis manusiawi yang terbuka untuk semua orang tanpa batas agama demi memperjuangkan kesejahteraan umum. Melalui dua komunitas ini, Gereja menyatakan dimensi koinonia. 

Penghayatan Dimensi Koinonia menurut Gereja Keuskupan Agung Semarang

Bentuk penghayatan koinonia melalui Ekaristi dan Lingkungan menunjukkan sifat eksklusif (terbatas untuk yang seiman) dalam Gereja Katolik. Bentuk penghayatan koinonia melalui Komunitas Basis menunjukkan sifat inklusif (terbuka dan bekerjasama dengan semua orang) dalam Gereja Katolik. Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang  2016-2020 menyatakan: “Umat Allah Keuskupan Agung Semarang, sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus dalam bimbingan Roh Kudus bertekad dan bergotong royong memperjuangkan hidup bersama yang sejahtera, bermartabat, beriman, demi terwujudnya peradaban kasih, tanda kehadiran Kerajaan Allah. Bersama masyarakat Indonesia yang sedang menghidupi kembali nilai-nilai Pancasila di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Allah Keuskupan Agung Semarang mewujudkan diri sebagai Gereja yang, merengkuh dan bekerjasama dengan semua orang (inklusif), terus menerus membarui diri (inovatif) dan berdaya ubah (transformatif).” Dimensi koinonia diwujudkan lewat pembangunan komunitas basis kristiani dan komunitas basis manusiawi. Peran komunitas basis kristiani dilakukan melalui langkah aktif untuk MENJADI TANDA KERAJAAN ALLAH SEBAGAI PERSEKUTUAN PAGUYUBAN-PAGUYUBAN MURID-MURID YESUS KRISTUS, sedangkan peran aktif komunitas basis manusiawi dilakukan melalui gerak bersama dengan masyarakat untuk MEWUJUDKAN DIRI SEBAGAI GEREJA YANG INKLUSIF, INOVATIF, DAN TRANSFORMATIF. 

Daftar Pustaka:

Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2001-2005. Muntilan: Sekretariat Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang. 2001.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Buku Guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Jakarta-Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Penerbit OBOR. 1996.

Thomas P. Rausch. Katolisisme, Teologi bagi Kaum Awam. Yogyakarta: Kanisius. 2001.

Yoseph Kristianto, dkk. Menjadi Murid Yesus, Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/K Kelas XI. Yogyakarta: Kanisius. 2010.