Membangun Budaya Kasih

Budaya Kasih melawan Budaya Kekerasan

“...Yesus mengajarkan anti kekerasan bukan sebagai sebuah teknik untuk memperdaya musuh, tetapi sebagai cara untuk menghadapi musuh dengan membuka kemungkinan mencari keadilan bersama musuh. Kedua pihak harus menang.  Kita dipanggil untuk mendoakan perubahan sikap musuh kita dan menanggapi perlakuan menyakitkan dengan cinta yang tidak saja bersifat ilahi tetapi juga, saya yakin, hanya dapat ditemukan dalam diri Allah” (Walter Wink, Jesus and Nonviolence: A Third Way). Yesus tidak pernah setuju untuk memperjuangkan kebaikan dengan menggunakan kekerasan. Pendekatan yang diambil Yesus adalah pendekatan dengan menggunakan KASIH dan DIALOG. Kita sebagai pengikut Yesus sudah selayaknya mengikuti teladanNya dengan menggunakan pendekatan KASIH dan DIALOG. Materi ini diharapkan dapat membantu siswa untuk semakin memahami tentang Budaya Kasih dalam ajaran Gereja Katolik dan mempergunakan Budaya Kasih sebagai dasar segala tindakan dalam kehidupan. 

Budaya kasih dalam Gereja Katolik sangat erat dengan budaya anti kekerasan dalam sejarah manusia. Sudah ada banyak gerakan anti kekerasan dalam kehidupan manusia. Secara umum, ada dua makna Gerakan Anti Kekerasan, yaitu 1) dasar pandangan umum untuk menghindari kekerasan dan 2) sikap aktif untuk melakukan tindakan tanpa kekerasan dalam hidup harian. Yang dapat disebutkan sebagai contoh Gerakan Anti Kekerasan antara lain adalah Gerakan Mahatma Gandhi; Gerakan Te Whiti; dan Gerakan Martin Luther King. Gereja Katolik menyebut gerakan ini dengan istilah Active Non Violence atau Aktif Tanpa Kekerasan.

Secara umum, Tindakan Anti Kekerasan memiliki empat bentuk utama, yaitu: Pandangan Filosofis, Tindakan Pragmatis, Cara Hidup, dan Tindakan Penghormatan. Penjelasan mengenai keempat bentuk itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

Pandangan Filosofis: Pemahaman yang mendasari tindakan tanpa kekerasan untuk mencapai kemenangan semua pihak melalui cinta dan pemahaman di antara pihak-pihak yang terkait.

Tindakan Pragmatis: Penerapan paham mencintai dan mengasihi sesama manusia dalam aktivitas tanpa kekerasan yang menyangkut relasi dengan orang lain.

Cara Hidup: Kebiasaan terus-menerus secara berkelanjutan untuk melakukan tindakan mencintai dan mengasihi orang lain melalui tindakan tanpa kekerasan.

Tindakan Penghormatan: penerapan tindakan tanpa kekerasan untuk memberikan penghormatan dan penghargaan kepada pihak tertentu, contohnya adalah sikap hidup vegetarian dan praktek spiritual tidak menyakiti makhluk lain. 

Setiap orang memiliki bentuk masing-masing dalam menghayati gerakan aktif tanpa kekerasan. 

Kekerasan dalam Hidup Manusia

Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan ingin melawan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak. Menurut pihak yang terlibat di dalamnya, ada 3 kategori kekerasan yaitu Kekerasan terhadap Diri Pribadi; Kekerasan Antar Pribadi; dan Kekerasan Kolektif. Berkenaan dengan hal tersebut, penjelasan masing-masing dapat dipaparkan sebagai berikut:

Kekerasan terhadap Diri Pribadi

Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri ini meliputi tindakan pembunuhan diri (pikiran untuk membunuh diri, usaha bunuh diri, dan tindakan bunuh diri) dan tindakan pelecehan diri (tindakan menyakiti diri dan mutilasi diri)

Kekerasan Antar Pribadi

Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok kecil orang terhadap orang lain ini terdiri dari kekerasan oleh keluarga dan teman dekat (pelecehan terhadap anak-anak, kekerasan oleh teman dekat, dan pelecehan orang dewasa) serta kekerasan oleh komunitas (kekerasan remaja, kekerasan acak, pemerkosaan atau pelecehan seksual oleh orang lain, dan kekerasan dalam lembaga seperti sekolah, tempat kerja, penjara, dan rumah perawatan)

Kekerasan Kolektif

Kekerasan yang melibatkan kelompok yang lebih besar atau negara karena berbagai alasan ini contohnya adalah kejahatan dan ancaman terencana dari kelompok tertentu, aksi terorisme, dan kekerasan oleh mafia, kekerasan oleh negara, serangan untuk mengganggu aktivitas ekonomi, upaya mengganggu pelayanan umum, atau usaha membangun perpecahan ekonomi

Kekerasan yang terjadi dalam kehidupan manusia tidak dapat hanya didasarkan pada satu penyebab saja. Penyebabnya sangatlah kompleks dan terjadi di tingkat yang berbeda. Penyebab kekerasan biasanya dibagi dalam empat tingkat: 1) karena faktor pribadi; 2) karena faktor relasi; 3) karena faktor lingkungan sosial terdekat; dan 4) karena faktor lingkungan sosial yang lebih luas. Penyebab kekerasan karena faktor pribadi antara lain rasa rendah diri, rasa minder, rasa kecewa pada diri sendiri, stress dan depresi. Penyebab kekerasan karena faktor relasi antara lain kebencian, rasa tidak senang, kemarahan, dan dendam. Penyebab kekerasan karena faktor lingkungan sosial terdekat antara lain dominasi antar pribadi, merasa lebih kuat, merasa lebih berkuasa, dan merasa lebih hebat dari orang lain. Penyebab kekerasan karena faktor lingkungan sosial yang lebih luas antara lain kebencian dan dendam antar kelompok masyarakat.

Setelah mendalami kategori dan penyebab kekerasan dalam kehidupan manusia, kita akan mengenal lebih jauh berkaitan dengan berbagai topik seputar kekerasan. 

Pertama, dilihat dari sifatnya, ada dua jenis kekerasan yang terjadi dalam kehidupan manusia, yaitu 1) Kekerasan Langsung dan 2) Kekerasan Tidak Langsung. Adapun penjelasan mengenai dua jenis kekerasan itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

Kedua, setelah kita melihat jenis kekerasan dari sifatnya, kita perlu juga mengenal berbagai bentuk atau wajah kekerasan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut bentuknya, paling tidak ada 10 jenis kekerasan yang terjadi seperti dipaparkan berikut ini:

Kita dapat terlibat mengatasi berbagai jenis kekerasan secara lebih mudah jika kita terlebih dahulu mengetahui jenis kekerasan apa yang terjadi. Jika jenis kekerasan yang terjadi adalah kekerasan langsung, langkah yang paling tepat untuk mengatasinya adalah menggunakan kekuatan yang lebih kuat di luar kedua belah pihak yang berkonflik. Jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan tidak langsung, langkah yang paling tepat digunakan adalah memutuskan mata rantai yang menyebabkan berlangsungnya kekerasan tersebut dengan cara memberikan pengetahuan, menyediakan mediator yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, serta menjalin dan menjaga komunikasi yang baik dan seimbang. 

Gereja dan Anti Kekerasan

Sejalan dengan ajaran tentang perdamaian, gagasan mengenai tindakan tanpa kekerasan sebagai jalan penyelesaian konflik berkembang, baik dalam Kitab Suci maupun ajaran Tradisi Gereja Katolik.

Dalam Kitab Suci, kekerasan sangat ditentang apalagi pembunuhan dengan sengaja, yaitu mengambil nyawa tanpa izin atau perintah hukum (Kel 20: 13) dan ada hukuman mati atas pelanggaran hukum ini (Kej 9:6). Daud tidak boleh membangun Bait Allah karena perang-perang yang dialaminya. Penumpahan darah menjadi penghalang menghadap Allah, termasuk membangun Bait Allah karena hanya Allah yang  berhak atas darah sebagai sumber hidup (1 Taw 22:8). Tuhan akan menegakkan pemerintahan yang adil di atas bumi serta membuat semua bangsa melaksanakan kebenaran dan keadilan sehingga tidak akan ada pertikaian antar bangsa dan hanya ada hidup bersama secara damai. Sebagai akibatnya, senjata-senjata perang akan diubah menjadi alat-alat perdamaian dan untuk memajukan produktivitas perekonomian (Yes 2:4). Kedatangan Mesias akan ditandai oleh tidak adanya permusuhan, kekejaman, dan permusuhan. Ia akan membawa damai di bumi serta mengubah orang percaya dan alam sebagai hasil akhir penebusan (Yes 11:6-9). Kotbah Yesus di bukit menampilkan ajaran-ajaran yang menuntut kualitas sikap yang bobotnya sangat mendalam. Beberapa ajaran menyatakan kasih kepada sesama, bahkan kepada musuh (Mat 5:9.38-39.43-44)

Di abad-abad awal, terhadap kekerasan Origenes berpendapat, “Orang-orang Kristiani seharusnya tidak bekerja sebagai tentara tetapi lebih memilih pekerjaan yang memajukan kesejahteraan umum” Pada abad XIV, Meister Eckhart menyatakan bahwa tidak akan ada damai sejati tanpa keadilan. Ajaran tentang Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan semakin dipertegas dalam berbagai dokumen Gereja, terutama Pacem in Terris (Paus Yohanes XXIII – 1963) dan Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II – 1965). Dokumen Konferensi Para Uskup Katolik Amerika Serikat berjudul “The Challenge of Peace: God’s Promise and Our Response” (1983) menyatakan, “Umat Kristiani Purba mendedikasikan dirinya untuk melakukan gaya hidup tanpa kekerasan seturut teladan dan ajaran Yesus.” Dinyatakan pula penghargaan pada perjuangan Mahatma Gandhi, Dorothy Day dan Martin Luther King. Dalam pesannya tertanggal 18 Februari 2007, Paus Benediktus XVI memberikan komentar terhadap ayat “Kasihilah musuhmu” (Luk 6:27) sebagai “Magna Carta” dari ajaran tanpa kekerasan Kristiani.

Gereja Katolik juga menghargai para pejuang Gerakan Anti Kekerasan. Tahun 1978, dalam pesan pada masyarakat India, Paus Paulus VI menyatakan penghormatannya kepada Mahatma Gandhi. Tahun 1986, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pesan yang ditujukan kepada Mahatma Gandhi di Monumen Pemakaman Raj Ghat: “Figur, karya dan hidup Mahatma Gandhi telah merasuk dalam kesadaran kemanusiaan. Gandhi berpesan pada dunia, ‘Kuasailah benci dengan cinta, kekeliruan dengan kebenaran, kekerasan dengan penderitaan.’” Dalam rangka Minggu Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani tahun 2008, Komisi Kepausan untuk Kesatuan Umat Kristiani memberikan pernyataan bahwa melalui Gereja, terutama Gereja Afro-Amerika dan rekan sejemaat mereka terutama perlawanan tanpa kekerasan Pendeta Doktor Martin Luther King, Jr, diakuilah hak-hak warga negara dalam hukum Amerika. Pada Pesta Diwali 2008, Komisi Kepausan untuk Dialog Antar Agama menyebut Mahatma Gandhi sebagai orang yang dihormati oleh berbagai generasi di seluruh dunia karena dedikasi totalnya terhadap kemanusiaan. Gandhi menyadari bahwa pandangan “mata ganti mata akan segera membuat dunia buta” serta mengembangkan konsep ahimsa (tanpa kekerasan) melalui cara hidupnya. 

Memutus Spiral Kekerasan untuk Membangun Perdamaian

Upaya memperjuangkan perdamaian dilakukan melalui tindakan memutus spiral kekerasan. Spiral Kekerasan adalah situasi di mana kekerasan demi kekerasan saling menyebabkan dan terjadi secara berurutan. Kekerasan menimbulkan dendam. Dendam dibalas kekerasan. Kekerasan dibalas lagi dengan kekerasan berikutnya. Teori Spiral Kekerasan diungkapkan oleh Dom Helder Camara, Uskup wilayah Olinda dan Recife, sebelah timur laut Brazil.

Kekerasan dimulai dari ketidakadilan. Ketidakadilan menyebabkan pemberontakan. Pemberontakan yang ditanggapi dengan usaha represi akan menimbulkan kekerasan yang lain. Kekerasan yang ditanggapi dengan kekerasan berikutnya akan menimbulkan spiral kekerasan yang tiada henti. Untuk memutus spiral kekerasan, diperlukan aksi tanpa kekerasan yang berawal dari sikap pengampunan. 

Pembangunan budaya kasih setelah terjadi kekerasan dilakukan melalui pengelolaan serta manajemen konflik dan kekerasan. Langkah ini sering disebut dengan Upaya Rekonsiliasi. Dalam Upaya Rekonsiliasi, ada 4 langkah yang perlu dilakukan: 1) Tahap Pengisahan Kekerasan yang Dialami oleh Korban Kekerasan; 2) Tahap Pengakuan atas Tindakan Kekerasan oleh Pelaku Kekerasan; 3) Tahap Pengampunan dari Korban Kekerasan; dan 4) Tahap Hidup Bersama antara Korban dan Pelaku Kekerasan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

Keempat langkah dalam Upaya Rekonsiliasi perlu didampingi oleh pihak-pihak yang netral agar tidak terjadi kesalahpahaman bahkan balas dendam antara korban kekerasan dan pelaku kekerasan. Upaya rekonsiliasi telah berhasil ditempuh oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan. Berkenaan dengan proses rekonsiliasi yang diupayakannya itu, ia pernah menulis, “Rekonsiliasi berarti bekerja bersama untuk meluruskan warisan ketidakadilan masa lalu”  (16 Desember 1995)

Untuk Direnungkan

“Jika kamu ingin berdamai dengan musuhmu, kamu harus bekerjasama dengannya sehingga ia menjadi sahabatmu.”  

(Nelson Mandela) 

“Membalas kekerasan dengan kekerasan akan melipatgandakan kekerasan. Kekerasan akan menambah pekat kegelapan malam yang tiada bintang. Kegelapan tidak akan mampu menghalau kebencian. Hanya cinta yang dapat menghalau kebencian.” 

(Martin Luther King) 

“Bahkan sekarang, kita mengangkat tangan untuk melawan saudara kita sendiri... Kita terus-menerus menyempurnakan persenjataan kita, hati nurani kita telah terlelap, dan kita telah menajamkan gagasan pembenaran diri seakan-akan sangatlah wajar bagi kita untuk menaburkan kehancuran, penderitaan, dan kematian. Kekerasan dan perang hanya akan menuntun kita kepada kematian.” 

(Paus Fransiskus)

Daftar Pustaka:

http://en.wikipedia.org/wiki/Christian_pacifism. Diakses 1 Mei 2012.

http://en.wikipedia.org/wiki/Nonviolence. Diakses 23 Februari 2012.

http://en.wikipedia.org/wiki/Violence. Diakses 26 April 2012.

Dom Helder Camara. Spiral Kekerasan (Terj.). Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar. 2000.

Henri Nouwen. Peacework – Mengakarkan Budaya Damai. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Jakarta dan Yogyakarta: Penerbit OBOR dan Kanisius. 1996.

Yoseph Kristianto, dkk. Menjadi Murid Yesus, Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/K Kelas XI. Yogyakarta: Kanisius. 2010.