Berjuang untuk Kehidupan

Memperjuangkan Kehidupan

Gereja Katolik selalu berdiri pada posisi untuk memperjuangkan kehidupan. Gereja Katolik sama sekali tidak setuju dengan berbagai tindakan yang menyebabkan nyawa manusia diperlakukan tidak semestinya. Materi ini diharapkan dapat membantu untuk mengambil sikap terhadap manusia, terutama kehidupannya. Manusia adalah citra Allah dan sudah seharusnya mendapat perlakuan yang layak. 

Istilah Budaya Kehidupan merupakan istilah yang lazim digunakan dalam pembicaraan mengenai perjuangan untuk membela kehidupan dalam Gereja Katolik. Istilah Budaya Kehidupan muncul dalam bidang Teologi Moral Katolik untuk mendiskripsikan gaya hidup yang berdasar pada kebenaran teologis bahwa “hidup manusia dalam setiap tingkatannya mulai dari pembuahan sampai kematian naturalnya adalah kudus”. Istilah ini dipopulerkan  Yohanes Paulus II dalam perjalanan kunjungan dalam rangka Hari Kaum Muda Sedunia di di Bandara Internasional Stapleton dekat Denver, Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1993. 

Berkenaan dengan Budaya Kehidupan, berikut ini adalah tema-tema yang akan dibicarakan:

Ajaran tentang Kehidupan

Gereja Katolik memandang bahwa hidup selayaknya harus dilihat sebagai anugerah Tuhan yang berharga. Setiap manusia dipanggil untuk memelihara dan melindungi kehidupan. Kehidupan itu milik Allah dan pelenyapan kehidupan bertentangan dengan kehendak Allah (Ul 32:39; Keb 16:13). Manusia adalah pengelola kehidupan dan bukan pemilik atau penentu kehidupan. Pembunuhan merupakan perampasan kehidupan dengan sengaja dari seseorang yang tidak bersalah dan tidak bisa memberi perlawanan. Hukum Israel melarang pembunuhan (Kel 20:13, Ul 5:17, dan Bil 35:16-18). Pembunuhan menjadi salah satu dosa yang paling berat (Ayb 24:14; Mzm 62:4; 92:6; Yer 7:9; Hos 4:2; 6:9). Sikap Perjanjian Baru terhadap pembunuhan kurang lebih sama dengan Perjanjian Lama (Mat 5:21; 19:18; Rm 13:9; Yak 2:11). Penghargaan terhadap hidup manusia juga ditunjukkan dalam ajaran Gereja. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa apa saja yang bertentangan dengan kehidupan merupakan perbuatan yang sangat keji (Gaudium et Spes 27). 

Ajaran mengenai Awal Kehidupan

Berkat kemajuan teknologi, hampir semua ahli di bidang biologi sekarang sepen-dapat bahwa hidup manusia sudah dimulai sejak selesainya proses pem-buahan. Didukung dengan pendapat para ahli biologi tersebut, Gereja Katolik menya-takan bahwa hidup manusia sudah dimu-lai sejak selesainya proses pembuahan  (GS 51). Mengapa demikian? Ada 3 alasan:

Tiga alasan ini semakin meneguhkan sikap Gereja dalam dokumen Donum Vitae yang mengutip Declaration on Procured Abortion: “Dengan pembuahan, sel telur sudah memulai hidup yang bukan bagian dari hidup ayah atau ibunya, melainkan hidup seorang manusia baru dengan pertumbuhannya sendiri.” 

Ajaran mengenai Pemeliharaan Kehidupan

Setelah dikandung ibu selama beberapa waktu, seorang manusia siap untuk menyongsong dunianya. Setelah lahir, manusia mempunyai kewajiban memelihara kehidupannya secara wajar. Dalam hidup, hendaknya diusahakan kesehatan badan dan lingkungan seperti imunisasi, menjaga kebersihan badan, dan menghindari kebiasaan yang merugikan kesehatan. Jika sakit, manusia wajib mengusahakan pulihnya kesehatan. Pemeliharaan kesehatan pribadi berkaitan erat dengan kesehatan lingkungan. Lingkungan yang sehat akan memberikan daya dukung yang lebih baik terhadap hidup manusia. Ini sesuai dengan prinsip moral ORDINARY – KEWAJARAN sesuai dengan ajaran Paus Pius XII tertanggal 24 November 1957. 

Ajaran mengenai Akhir Kehidupan

Bagaimanapun seseorang memelihara hidup dan menjaga kesehatan, pada akhirnya ia harus mati. Akhir hidup manusia adalah situasi berhentinya fungsi biologis yang menopang hidup manusia. Sekarang, disepakati bahwa kematian manusia ditandai berhentinya fungsi otak, jantung, paru-paru dan sumsum tulang belakang. Bila otak mati, orang tak mungkin hidup terus atau hidup lagi meskipun ditopang dengan berbagai alat modern. Seseorang dinyatakan meninggal dunia pada saat kematian total otak. Setelah itu, tenaga medis berkewajiban menghentikan semua cara buatan yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperpanjang hidup. 

Berdasarkan ajaran mengenai kehidupan yang sudah dipaparkan, Gereja Katolik mengajak seluruh umat untuk mengambil sikap yang tepat terhadap persoalan-persoalan moral yang ada dalam kehidupan manusia. Beberapa peroalan yang akan dipaparkan adalah Aborsi, Koma Menjelang Kematian, Euthanasia, Bunuh Diri, Hukuman Mati, Penyakit Berbahaya, dan Obat-obatan Berbahaya.

Aborsi

Aborsi secara umum diartikan sebagai 1) tindakan menghentikan kehamilan dengan sengaja sebelum janin dapat hidup di luar kandungan tanpa indikasi medis yang jelas dan 2)  tindakan peniadaan buah kandungan yang masih hidup dari rahim seorang ibu melalui campur tangan manusia sebelum lahir dengan cara membunuhnya. Alasan aborsi biasanya dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu: 1) ketidaksiapan untuk bertanggungjawab (sosiologis); atau 2) tidak sanggup menghidupi dan membiayai anak yang akan dilahirkan (ekonomis). 

Secara umum, ada dua macam aborsi:

Gereja menolak praktek aborsi. Gereja mengajarkan karena manusia adalah gambar dan citra Allah (Kej 1:27), ia memiliki nilai khas dan mempunyai hubungan khusus dengan Allah. Hanya Allah yang berkuasa atas hidup manusia. Dalam tindakan aborsi, manusia melampaui kekuasaan Allah untuk menghilangkan nyawa manusia. Apalagi, aborsi membunuh janin yang tidak bisa membela diri. Hukum manusiawi mengatakan bahwa hidup manusia harus dilindungi dari setiap ancaman. Gereja Katolik menyerukan bahwa kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat perubahannya di dalam rahim seorang ibu. Kitab Suci menulis, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau” (Yer 1:5). Karenanya setiap orang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mencegah terjadinya aborsi.

Melalui dokumen Humanae Vitae (1968), Paus Paulus VI menentang pengguguran dengan alasan apapun. Melalui dokumen Veritatis Splendor (1993), Paus Yohanes Paulus II juga menyatakan bahwa pengguguran digolongkan perbuatan yang dilarang keras. “Kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal ia membutuhkan ‘kekuasaan Allah Pencipta’ dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya, tujuan satu-satunya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (Donum Vitae 5). 

Aborsi atau pengguguran kandungan merupakan tindakan kejahatan dan termasuk kategori dosa besar karena ada unsur aktif melenyapkan hidup manusia. Negara dan Gereja berpandangan sama bahwa abortus merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Karena itu, pelaku kejahatan aborsi akan dikenai hukuman pidana berat dan dosa besar di hadapan Tuhan. •Sesuai dengan hukum Gereja Katolik, jika terjadi aborsi terhadap janin yang masih hidup, pihak-pihak yang terlibat langsung dikenai hukuman ekskomunikasi latae sententiae (diputus hubungannya dengan Gereja Katolik secara langsung dan otomatis). Artinya, pihak-pihak yang terlibat kehilangan hak dan tidak boleh menerima pelayanan sakramen dalam Gereja Katolik.

Koma Menjelang Kematian

Sebelum meninggal, orang biasanya akan mengalami keadaan koma yang sangat menyedihkan, namun menunjukkan kemungkinan bertahan hidup. Ada empat tahap ketidaksadaran, yaitu 1) Psychiatric Pseudocoma; 2) Locked in State; 3) Koma Sungguh; dan 4) Persistent Vegetative State. Psychiatric Pseudocoma adalah ketidak sadaran yang disebabkan oleh shock atau trauma atau unsur psikologis. Locked in State adalah terputusnya penggerak jalan kecil dalam sistem syaraf yang membuat pasien yang sebenarnya sadar tidak bisa bergerak sehingga terkesan berada dalam keadaan pingsan. Koma Sungguh adalah keadaan tidak adanya tanggapan atas rangsangan sehingga  pasien terlihat tidur tetapi tidak meninggal. Keadaan ini tidak pernah permanen. Persistent Vegetative State adalah ketidaksadaran yang mendalam, namun sejumlah refleks memberikan tanggapan. Bagian atas otak (korteks) rusak, namun batang otak masih berfungsi. Dalam kasus Persisten Vegetative State, ada tanggung jawab untuk merawat dan menolong mereka secara maksimal.

Sesuai ajaran Paus Pius XII tertanggal 24 November 1957, pertolongan yang wajar (ordinary) wajib diberikan kepada penderita dengan cara merawat dengan bantuan kesehatan yang maksimal seturut kemampuan yang bersangkutan. Ada juga pilihan luar biasa (extraordinary) untuk mengusahakan pertolongan. Namun, pertolongan-pertolongan ini tidak mengurangi hak Pencipta atas hidup manusia. 

Euthanasia 

Aslinya, istilah “eutanasia” (bhs. Yunani) berarti "kematian yang baik.“ Istilah ini merupakan bentukan dari kata "eu" (baik) dan "thanatos" (kematian).  Dalam bahasa Yunani, kata ini lebih menunjuk pada cara seseorang mati dengan hati tenang dan damai. Dalam arti modern, eutanasia adalah cara untuk mempercepat kematian seseorang sehingga orang tersebut tidak mengalami penderitaan berkepanjangan menjelang kematian. Masalah euthanasia kembali mengemuka karena kemajuan teknologi untuk memperpanjang atau memperpendek hidup manusia.

Euthanasia secara umum digolongkan dalam dua kategori besar, yaitu penggolongan menurut caranya dan penggolongan menurut pelakunya. Ditinjau dari caranya, ada dua macam, yaitu: a) Euthanasia Aktif: upaya mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana dengan berbagai alat dan b) Euthanasia Pasif: penghentian atau tidak dimulainya proses pengobatan untuk memperpendek hidup. Ditinjau dari pelakunya, ada dua macam euthanasia, yaitu: a) Compulsary Euthanasia: euthanasia yang dilakukan atas dasar keputusan orang lain dan b) Voluntary Euthanasia: euthanasia yang dilakukan atas dasar keputusan diri sendiri. 

Sejak pertengahan abad ke-20, para pemimpin Gereja berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan. Yang pertama kali menguraikan ajaran moral mengenai euthanasia dalam Gereja adalah Paus Pius XII.  Ia ingin menanggapi program eugenetika dan eutanasia yang dilakukan oleh Nazi serta dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup. Tanggal 5 Mei 1980, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan Declaratio de Euthanasia untuk menanggapi perkembangan kompleksitas sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup: “Tak sesuatupun atau tak seorangpun dapat membiarkan seorang manusia yang tak bersalah dibunuh, entah dia itu janin atau embrio, anak atau dewasa, orang jompo atau pasien yang tidak dapat sembuh ataupun orang yang sedang sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan ini entah untuk dirinya sendiri entah untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya… Juga tidak ada penguasa yang dengan sah dapat memerintahkannya atau mengizinkan tindakan semacam itu.” Melalui Evangelium Vitae (1995), Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru dan semu. 

Bunuh Diri

Bunuh diri adalah tindakan menghilangkan nyawa diri sendiri sebagai pelarian dari ketakutan dan kecemasan hidup. Tindakan bunuh diri umumnya muncul sebagai akibat gangguan dan penyakit mental.  Bunuh diri sebenarnya tidak mencari maut, tetapi dialami sebagai jalan penyelesaian masalah yang mendesak dalam hidup.

Ada tiga tipe bunuh diri menurut Emile Durkheim: 1) Bunuh Diri Egoistik – motivasinya tidak mau lagi hidup bagi dan dengan sesama-nya. Hanya diri sendiri yang dipikirkan; 2) Bunuh Diri Altruistik – motivasinya mau mengikuti pengorbanan orang lain; 3) Bunuh Diri Anomie – motivasinya mati bersama-sama dengan orang lain. Meskipun demikian, ada empat alasan menolak bunuh diri menurut Thomas Aquinas: 1) karena melawan hukum kodrat; 2) hidup manusia selalu bernilai dan bermakna bagi orang lain; 3) manusia bukanlah tuan atas hidupnya dan tidak bisa menentukan tujuan akhirnya; dan 4) panggilan hidup manusia adalah untuk saling menolong dalam menghadapi kesulitan.

Bunuh diri langsung atau tak langsung tidak dapat diterima karena tindakan peniadaan hidup, baik hidup sendiri maupun hidup orang lain bertolak belakang dengan kehendak Sang Pencipta. Dalam Evangelium Vitae (1995), Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa bunuh diri dipandang secara obyektif adalah suatu perbuatan yang sangat buruk secara moral. Gereja tetap memandang bunuh diri sebagai sesuatu yang keliru, tetapi Gereja mempunyai perubahan sikap terhadap orang yang bunuh diri. Dulu, orang yang bunuh diri tidak boleh dimakamkan dengan upacara liturgi Gereja. Namun, larangan itu sekarang sudah tidak ada. Katekismus Gereja Katolik No 2283 menyatakan, “Kita tidak boleh putus asa mengenai keselamatan kekal orang yang bunuh diri. Dengan cara yang diketahuiNya sendiri, Allah dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat sehingga selamat. Gereja mendoakan mereka yang telah bunuh diri”. Menghadapi kasus bunuh diri, Gereja terus mewartakan pentingnya membuat dunia semakin manusiawi agar setiap orang merasakan bahwa kehidupan ini merupakan sesuatu yang sangat berharga. 

Hukuman Mati

Hukuman mati adalah tindakan pemusnahan nyawa seorang manusia melalui proses pengadilan sebagai hukuman atas sebuah pelanggaran hukum. Hukuman mati mempunyai sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia dan telah banyak dilakukan sebagai putusan atas pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang.

Lembaga Amnesty Internasional mencatat adanya kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Tahun 1977, ada 16 negara yang tidak lagi melakukan hukuman mati. Tahun 2012, ada 97 negara telah menghapuskan praktek tersebut. Di antara negara-negara itu, ada 8 negara yang menggunakan hukuman mati untuk kasus khusus dan 36 negara telah menghentikan praktek itu selama 10 tahun terakhir.

Gereja tidak mendukung, tetapi tidak juga melarang hukuman mati. Gereja mempunyai ajaran bahwa kekuasaan negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam kasus yang sangat berat. Perjanjian Lama mengijinkan hukuman mati untuk dosa-dosa berat (Kej 9:6; Kel 21:12,14), yang meliputi pembunuhan yang direncanakan, penculikan, tindakan mengutuk atau memukul orangtua, sihir, sodomi, tindakan biadab, dan penyembahan berhala. Perjanjian Baru menampakkan Yesus yang dijatuhi hukuman mati karena perbuatan yang dilakukannya. Namun, tidak memberikan catatan apakah hukuman mati diperbolehkan atau tidak. Ajaran mengenai hukuman mati menurut Thomas Aquinas: “kesejahteraan bersama lebih tinggi nilainya daripada kesejahteraan perorangan”. Oleh karena itu, jika kejahatan yang dilakukan oleh seseorang memang benar-benar mengganggu kesejahteraan umum, kesejahteraan pribadi boleh dikurangi sedikit. Artinya, orang yang telah merugikan kesejahteraan umum dalam tingkat berat boleh dihukum mati. Dalam Evangelium Vitae,  Yohanes Paulus II memohon keringanan atas praktek hukuman mati.  Walau demikian, beliau tidak mengutuk hak negara untuk menjalankan otoritasnya dalam mengeksekusi seorang penjahat besar, melainkan mempertanyakan apakah negara pernah secara mutlak harus melaksanakan otoritas yang demikian dalam situasi sekarang ini. “Pembunuhan langsung dan sengaja manusia yang tak bersalah selalu merupakan pelanggaran moril yang berat” (Evangelium Vitae 57). “Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (Katekismus Gereja Katolik 2258). Gereja melihat semakin menurunnya praktek hukuman mati sebagai suatu harapan. Ada harapan bahwa manusia semakin menghormati martabat manusia. Manusia semakin sadar bahwa hidup manusia adalah milik Sang Pencipta. Allah memberikan hidup kepada manusia dan hanya Allah yang boleh membuat hidup itu tiada. Gereja melihat bahwa sesungguhnya masyarakat modern mempunyai cara efektif untuk  meniadakan tindak kejahatan dengan melumpuhkan para penjahat tanpa menutup peluang bagi mereka untuk memperbaiki diri. Masyarakat hanya membutuhkan waktu untuk berefleksi sehingga cara-cara hukuman tidak lagi bertentangan dengan kehendak Allah yang menciptakan kehidupan. 

Bebas dari Penyakit Berbahaya

Dalam kehidupan, manusia banyak mengalami bahaya yang menantang. Tantangan tersebut seringkali menimbulkan resiko kematian bagi manusia. Salah satu tantangan tersebut adalah penyakit yang menyerang manusia dan kadangkala menjadi wabah penyakit sehingga membahayakan kehidupan manusia secara luas. Pembahasan tentang penyakit ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti tetapi sebagai sarana belajar bagi manusia untuk semakin menghargai kehidupannya. Yang akan dibahas dalam kesempatan ini adalah HIV AIDS dan Covid-19

HIV AIDS

Pertama, HIV AIDS secara ilmiah dikenal dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome atau Sindrom Penurunan Kekebalan Tubuh. Infeksi HIV terjadi melalui transfusi darah, sperma, cairan vagina, cairan mani, atau air susu ibu. Penyakit ini diawali oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan penurunan kekebalan tubuh sehingga membuat manusia terancam berbagai macam penyakit, infeksi, bahkan kanker. Ada 4 cara penyebaran virus yang tergolong besar, yaitu hubungan seks yang tidak aman, jarum suntik yang terkontaminasi, air susu ibu, dan transmisi nutrisi dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya saat kehamilan dan melahirkan (transmisi perinatal).  

Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1981, AIDS telah menyebabkan kematian 30 juta orang (2012). Sementara itu, ada 35,5 juta orang di dunia yang hidup dengan AIDS (2012). 

Gejala awal penyakit ini tidak begitu nampak karena gejalanya seperti flu namun berlangsung dalam tahap yang cukup lama, bisa mencapai antara 2 atau 4 minggu. Gejala penyakit ini baru nampak setelah virus mulai berkembang biak dalam tubuh dan menyebabkan penurunan daya tahan tubuh karena sistem imunitas tubuh menjadi lemah. Untuk itu, jika mengalami sakit demam dalam jangka waktu lama, lebih baik langsung cek dokter.

COVID-19

Kedua, Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian. Virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Walaupun lebih banyak menyerang lansia, virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai dari bayi, anak-anak, hingga orang dewasa, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui. Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti infeksi paru-paru (pneumonia). 

Menurut data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia, jumlah kasus terkonfirmasi positif hingga 8 Juni 2020 adalah 31.186 orang dengan jumlah kematian 1.851 orang. Dari kedua angka ini dapat disimpulkan bahwa case fatality rate atau tingkat kematian yang disebabkan oleh COVID-19 di Indonesia adalah sekitar 5,9%. Case fatality rate adalah presentase jumlah kematian dari seluruh jumlah kasus positif COVID-19 yang sudah terkonfirmasi dan dilaporkan. 

Gejala awal infeksi virus Corona atau COVID-19 bisa menyerupai gejala flu, yaitu demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Setelah itu, gejala dapat hilang dan sembuh atau malah memberat. Penderita dengan gejala yang berat bisa mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut muncul ketika tubuh bereaksi melawan virus Corona. Secara umum, ada 3 gejala umum yang bisa menandakan seseorang terinfeksi virus Corona, yaitu: 1) Demam (suhu tubuh di atas 38 derajat Celsius), 2) Batuk kering, dan 3) Sesak napas. Ada beberapa gejala lain yang juga bisa muncul pada infeksi virus Corona meskipun lebih jarang, yaitu: 1) Diare, 2) Sakit kepala, 3) Konjungtivitis, 4) Hilangnya kemampuan mengecap rasa atau mencium bau, dan 5) Ruam di kulit. Gejala-gejala COVID-19 ini umumnya muncul dalam waktu 2 hari sampai 2 minggu setelah penderita terpapar virus Corona. Bila mengalami gejala infeksi virus Corona (COVID-19) seperti yang telah disebutkan di atas, segera lakukan isolasi mandiri terutama jika dalam 2 minggu terakhir berada di daerah yang memiliki kasus COVID-19 atau kontak dengan penderita COVID-19. Bila ada kemungkinan terpapar virus Corona tapi tidak mengalami gejala apa pun, tidak perlu memeriksakan diri ke rumah sakit, cukup tinggal di rumah selama 14 hari dan membatasi kontak dengan orang lain. Seseorang dapat tertular COVID-19 melalui berbagai cara, yaitu: 1) Tidak sengaja menghirup percikan ludah (droplet) yang keluar saat penderita COVID-19 batuk atau bersin, 2) Memegang mulut atau hidung tanpa mencuci tangan terlebih dulu setelah menyentuh benda yang terkena cipratan ludah penderita COVID-19, 3) Kontak jarak dekat dengan penderita COVID-19. Virus Corona dapat menginfeksi siapa saja, tetapi efeknya akan lebih berbahaya atau bahkan fatal bila terjadi pada orang lanjut usia, ibu hamil, orang yang memiliki penyakit tertentu, perokok, atau orang yang daya tahan tubuhnya lemah, misalnya pada penderita kanker. Pada kasus yang parah, infeksi virus Corona bisa menyebabkan beberapa komplikasi seperti pneumonia (infeksi paru-paru), infeksi sekunder pada organ lain, gagal ginjal, acute cardiac injury, acute respiratory distress syndrome, dan kematian. Sampai saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah infeksi virus Corona atau COVID-19. Oleh sebab itu, cara pencegahan yang terbaik adalah dengan menghindari faktor-faktor yang bisa menyebabkan Anda terinfeksi virus ini, yaitu: 1) Terapkan physical distancing, yaitu menjaga jarak minimal 1 meter dari orang lain, dan jangan dulu ke luar rumah kecuali ada keperluan mendesak, 2) Gunakan masker saat beraktivitas di tempat umum atau keramaian, termasuk saat pergi berbelanja bahan makanan, 3) Rutin mencuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer yang mengandung alkohol minimal 60%, terutama setelah beraktivitas di luar rumah atau di tempat umum, 4) Jangan menyentuh mata, mulut, dan hidung sebelum mencuci tangan, 5) Tingkatkan daya tahan tubuh dengan pola hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan bergizi, berolahraga secara rutin, beristirahat yang cukup, dan mencegah stres, 6) Hindari kontak dengan penderita COVID-19, orang yang dicurigai positif terinfeksi virus Corona, atau orang yang sedang sakit demam, batuk, atau pilek, 7) Tutup mulut dan hidung dengan tisu saat batuk atau bersin, kemudian buang tisu ke tempat sampah, 8) Jaga kebersihan benda yang sering disentuh dan kebersihan lingkungan, termasuk kebersihan rumah. Untuk orang yang diduga terkena COVID-19 atau termasuk kategori ODP (orang dalam pemantauan) maupun PDP (pasien dalam pengawasan), ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar virus Corona tidak menular ke orang lain, yaitu: 1) Lakukan isolasi mandiri dengan cara tinggal terpisah dari orang lain untuk sementara waktu. Bila tidak memungkinkan, gunakan kamar tidur dan kamar mandi yang berbeda dengan yang digunakan orang lain, 2) Jangan keluar rumah, kecuali untuk mendapatkan pengobatan, 3) Bila ingin ke rumah sakit saat gejala bertambah berat, sebaiknya hubungi dulu pihak rumah sakit untuk menjemput, 4) Larang orang lain untuk mengunjungi atau menjenguk Anda sampai Anda benar-benar sembuh, 5) Sebisa mungkin jangan melakukan pertemuan dengan orang yang sedang sedang sakit, 6) Hindari berbagi penggunaan alat makan dan minum, alat mandi, serta perlengkapan tidur dengan orang lain, 7) Pakai masker dan sarung tangan bila sedang berada di tempat umum atau sedang bersama orang lain, 8) Gunakan tisu untuk menutup mulut dan hidung bila batuk atau bersin, lalu segera buang tisu ke tempat sampah. Kondisi-kondisi yang memerlukan penanganan langsung oleh dokter di rumah sakit, seperti melahirkan, operasi, cuci darah, atau vaksinasi anak, perlu ditangani secara berbeda dengan beberapa penyesuaian selama pandemi COVID-19. Tujuannya adalah untuk mencegah penularan virus Corona selama berada di rumah sakit.

Gereja Katolik menaruh penghormatan khusus kepada orang yang berkekurangan dan lemah. Orang sakit dan cacat perlu ditolong untuk melangsungkan kehidupannya senormal mungkin. Tindakan euthanasia langsung yang merupakan usaha untuk mengakhiri hidup orang cacat, sakit, dan sekarat tidak dapat diterima secara moral. Tindakan menghentikan prosedur medis yang membebani, berbahaya, luar biasa, dan tidak proporsional dengan hasil yang akan didapatkan dapat dibenarkan. Gereja Katolik memberikan pelayanan khusus yang disebut pastoral orang sakit. Melalui pelayanan ini, Gereja memberikan kesaksian tentang kehidupan melalui para uskup, imam, diakon, para religius, dan umat awam. Pelayanan ini memiliki dasar dalam Kitab Suci (Yak 5:14-15). Dalam pelayanan ini, Gereja Katolik dalam paroki bekerjasama dengan rumah-rumah sakit yang ada di wilayahnya. Pelayanan yang diberikan adalah pelayanan doa sampai pelayanan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Gereja Katolik juga mempunyai hari khusus untuk mendoakan orang sakit di seluruh dunia yang dikenal dengan Hari Orang Sakit Sedunia. Peringatan yang diadakan pada tanggal 11 Februari ini dicetuskan oleh Paus Yohanes Paulus II pertama kali tahun 1993 dan. Tanggal 11 Februari adalah peringatan bagi Bunda Maria Lourdes dan menjadi saat bagi semua orang beriman untuk meluangkan “waktu khusus untuk berdoa dan berbagi kepada saudara-saudara yang menderita sakit.” Berkenaan dengan merebaknya wabah COVID-19, Gereja Katolik tetap memberikan pelayanan kepada orang sakit dengan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.

Penggunaan Obat-obatan Berbahaya

NARKOBA merupakan singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya. Dikenal juga istilah NAPZA, yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Kedua istilah ini dipakai untuk menyebut bahan-bahan yang saat digunakan dapat mempengaruhi kinerja tubuh dan mempunyai resiko kecanduan. Di Indonesia, peredaran dan penggunaan narkoba melalui UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Dalam pembahasan ini, kita mengikuti penggolongan yang merinci obat berbahaya tersebut ke dalam 3 klasifikasi, yaitu Narkotika, Psikotropika, dan   Zat Aditif.

Mengapa narkoba disalahgunakan? Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan, yaitu:

Kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan kepribadian yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan obat-obat terlarang ini. Berkenaan dengan penyalahgunaan narkoba, ada tahapan pemakaian yang biasanya dilalui:

Gereja Katolik pertama-tama mengambil alih pandangan sesuai hukum negara yang tidak bertentangan dengan iman dan moral. Pemakaian obat yang memiliki resiko bahaya tetap diperbolehkan asal diawasi dan dikendalikan oleh orang yang ahli dalam bidang medis (dokter). Gereja Katolik menganggap penyalahgunaan narkoba sebagai hal yang tidak bermoral karena narkoba membuat seseorang tidak dapat berpikir dan menilai secara wajar serta mengakibatkan kerusakan tubuh. Katekismus Gereja Katolik 2291 menyatakan, “Pemakaian narkotika mengakibatkan kerugian besar bagi kesehatan dan kehidupan manusia. Selain penggunaan obat-obatan karena alasan medis semata-mata, pemakaian narkotika merupakan kesalahan susila yang bobotnya berat. Pembuatan narkotika secara tersembunyi dan perdagangan narkotika sungguh memalukan; oleh daya godanya, mereka secara langsung turut menyebabkan pelanggaran-pelanggaran berat melawan hukum moral.” Katekismus Gereja Katolik 2290 menyatakan, “Kebajikan penguasaan diri menjauhkan segala bentuk keterlaluan: tiap penggunaan makanan, minuman, rokok, dan obat-obatan yang berlebihan. Siapa yang dalam keadaan mabuk atau dengan kecepatan tinggi membahayakan keamanan orang lain dan keamanannya sendiri di jalan, di air, atau di udara, membuat dosa besar.” 

Catatan Akhir

Inti ajaran Katolik mengenai hidup manusia adalah “karena martabat manusia ada selama hidup manusia, penghormatan terhadap hidup manusia haruslah berlangsung sepanjang hidup manusia, sejak adanya hidup manusia  sampai dengan kematian naturalnya.” Persoalan modern yang dihadapi Gereja berkaitan dengan manusia adalah hal yang berkaitan dengan permulaan hidup, perjalanan hidup, dan akhir hidup manusia. Dalam menghadapi gelombang persoalan modern tersebut, Gereja berusaha memberikan jawaban yang berdasarkan iman, moral, dan kesusilaan. 

Daftar Pustaka:

http://heribertuspalmono.wordpress.com/2007/06/25/hello-world/. Diakses 4 Maret 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Evangelium_Vitae. Diakses 8 Maret 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/In_vitro_fertilization. Diakses 9 Maret 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Donum_Vitae. Diakses 9 Maret 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Dignitas_Personae. Diakses 9 Maret 2010.

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id413.htm. Diakses 10 Maret 2010.

http://www.guttmacher.org/pubs/2008/10/15/IB_Abortion_Indonesia.pdf. Diakses 10 Maret 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia. Diakses 11 Maret 2010.

http://belajarpsikologi.com/pengertian-narkoba/. Diakses 28 Mei 2012.

http://en.wikipedia.org/wiki/Culture_of_life. Diakses 28 Mei 2012.

http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-narkotika-dan-golongan-jenis-bahan-narkotik-pengetahuan-narkotika-dan psikotropika-dasar. Diakses 28 Mei 2012.

http://wiki.answers.com/Q/What_is_the_Catholic_Church%27s_teaching_on_drugs. Diakses 28 Mei 2012.

http://www.amnesty.org/en/death-penalty/numbers. Diakses 28 Mei 2012.

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2010/11/23/2010-11-23__19-44-55.pdf. Diakses 28 Mei 2012.

http://www.catholic.com/quickquestions/what-is-the-churchs-teaching-on-extraordinary-care-for-the-sick. Diakses 28 Mei 2012.

http://www.catholicenquiry.com/life-and-death/what-about-drugs-tobacco-and-alcohol.html. Diakses 28 Mei 2012.

http://www.catholiceducation.org/articles/sexuality/se0079.html. Diakses 28 Mei 2012.

http://www.vatican.va/archive/ccc_css/archive/catechism/p3s2c2a5.htm. Diakses 28 Mei 2012.

http://en.wikipedia.org/wiki/World_Day_of_the_Sick. Diakses 1 Juni 2012.

http://saintfelix.co.uk/dir/?page_id=121. Diakses 1 Juni 2012.

http://thericatholic.com/news/detail.html?sub_id=4751. Diakses 1 Juni 2012.

http://www.stdominic.net/LiturgySac/AnointSick.asp. Diakses 1 Juni 2012.

Al. Purwahadiwardoyo MSF. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius. 1990.

CB. Kusmaryanto. Moral Hidup, Diktat Mata Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. 2005.

David C. Thomasma, “Assisted Death and Martyrdom”, dalam  Christian Bioethics 4 (1998) 122 – 142 dalam http://www. informaworld.com/smpp/content~db=all~content=a714015428. Diakses 9 Maret 2010.

Edouard Bone. Bioteknologi dan Bioetika. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

H. Pidyarto G, O.Carm. “Perlu ‘Dokter Jaga’ di Gereja” dalam HIDUP No. 20 Tahun ke-59. 15 Mei 2005.

Komisi Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Libreria Editrice Vaticana. Diunduh dari: http:// www. vatican. va/ roman_curia/ pontifical_councils/ justpeace/ documents/ kompendium_text_id.pdf.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Jakarta dan Yogyakarta: Penerbit OBOR dan Kanisius. 1996.

Kurt Bayertz. “Human Dignity: Philosophical Origin and Scientific Erosion of an Idea” dalam Kurt Bayertz (ed.), Sanctity of Life and Human Dignity. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. 1996.

Maria Etty. “Berpulang pada Nurani” dalam HIDUP No. 15 tahun LVI. 14 April 2002.

Maria Martina, P.Karm. Dogma. “Iman Katolik : Embrio Adalah Manusia Seutuhnya” dalam Vacare Deo (Media Pengajaran Komunitas Tritunggal Mahakudus) dalam www.holy trinity carmel.com. Diakses 4 Maret 2010.

Merry Dame Cristy Pane. Virus Corona dalam https://www.alodokter.com/virus-corona Diakses 13 Juni 2020. 

William Chang, OFM Cap. Bioetika, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

Yoseph Kristianto, dkk. Menjadi Murid Yesus, Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/K Kelas XI. Yogyakarta: Kanisius. 2010.