Dr. Hardi Prasetyo, UNTUK PENDIDIKAN PUBLIK,
LUSI Sebagai Pusat Unggulan Studi Mud Volcano di Indonesia dan Dunia
Telah menghasilkan Doktor, Master, Sarjana LUSI di manca negara.
Ke depan Lusi oleh DP BPLS, Menteri PUPERA, diarahkan sebagai suatu Cagar Geologi (GeoPark), dengan Situs Utama Semburan bersiklus Geyser Lusi, yang analogi dengan Geyser di Yellow Stone National Park.
Bambang P. Istadi, Gatot H. Pramono,
Prihadi Sumintadireja, Syamsu Alam
Marine and Petroleum Geology
Volume 26 (2009) 17-24-1739
Ditinjau, Dianalisis dan Dialihbahasakan ke Indonesia Oleh: Dr. Hardi Prasetyo
Sub-laman (5):
1-ISI-TEMATIK RINCI 2-NASKAH-LENGKAP W-NASKAH ASLI X_DAFTAR GAMBAR Y-REFERENSI
ISTADI 2009 >
Mud volcano yang dikenal sebagai Lupsi, pertamakali menyembur 29 Mei 2006 di Jawa Timur, Indonesia.
Semburan Lupsi telah berlanjut lebih dari dua tahun, dan dapat berlanjut beberapa tahun mendatang. Sehingga berpotensi menimbulkan dampak pada daerah yang lebih luas lagi.
Pertanyaan mendasar adalah sebesar besar dampak yang mungkin ditimbulkan pada daerah tersebut ke depan?
Jawaban dari pertayaan di atas menurut penulis buku yang penting adalah menyediakan suatu skenario yang terbaik (the best case scenario) untuk merelokasi warga, infrastruktur, mengelola kerusakan lingkungan dan ekonomi yang ditimbulkannya.
Untuk membuat suatu prediksi yang lebih akurat terhadap kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, diperlukan adanya pemahaman terhadap proses-proses geologi yang mengendalikan evolusi mud volcano.
Pada makalah ini, telah dibangun suatu simulasi model 3-dimensi untuk memperkirakan daerah yang dapat tekena dampak untuk periode lebih dari 10 tahun. Dengan fokus pada perioda dari Desember 2007 sampai Juni 2010.
Sebagai masukan dari model utama adalah kecepatan semburan lumpur, kecepatan subsidence dan topografi.
Prediksi dari model tersebut telah divalidasi dengan membandingkan hasil citra satelit pada perioda yang sama, yaitu bulan Desember 2007.
Model lumpur mengalir ke barat, utara dan timur:
Hasil pemodalan mengindikasikan bahwa aliran lumpur cenderung menyebar ke arah barat dan khususnya ke timur dan utara dari daerah terdapak saat ini.
Dinamika kondisi bawah permukaan di daerah terdampak menimbulkan resiko geohazard, yang akan didiskusikan dalam makalah.
Mud volcano Lusi terjadi pada bidang patahan:
Telah terbentuk mud volcano secara alami pada lokasi Lupsi. Berdasarkan analisis diketahui bahwa pergerakan aliran lumpur berlangsung sepanjang bidang patahan.
Secara lebih regional, telah berkembang banyak mud volcano di daerah ini (Jawa Timur dan Jawa Tengah), dan karena itu sangat besar jumlah lumpur yang telah disemburkannya.
Dinamika tektonik akan merusak tatanan struktur permukaan:
Gerakan tektonik yang konstan telah dan akan terus merusak tatanan struktur permukaan, infrastruktur, rumah dan tanggul-tanggul serta menyebabkan luapan lumpur.
Pergerakan horizontal dan vertikal akan lebih merusak infrastruktur, khususnya jalan raya, pipa gas dan pipa PDAM.
Berlanjutnya reaktivasi patahan dan pembentukan rekahan dan rongga-rongga menyebabkan munculnya gas bubble pada daerah dengan radius 2-3 km dari pusat semburan Lumpur, yang berada sepanjang kelurusan dari zona lemah.
Tidak ada peluang untuk dapat menghentikan semburan lumpur. Upaya menghentikan semburan lumpur tidak mungkin untuk dapat dilakukan dengan pemboran Relief Well yang baru (sebelumnya telah dilakukan 2 RW).
Karena beberapa masalah akan timbul pada sumur relief ke depan. Terutama adanya pergerakan tanah sehingga akan menyebabkan ketidakstabilan peralatan anjungan, lokasi, selubung pemboran akan runtuh dan memutuskan tail pemboran.
Bila Relief Well baru tetap akan diimplementasikan, diperkirakan akan mengalami situasi loss dan kick sehingga dapat kehilangan tekanan di dalam selubung.
Selanjutnya akan menyebabkan lobang pemboran tersumbat, oleh adanya pergerakan.
Diperkirakan tidak ada lokasi yang jelas (ideal) untuk dapat melakukan pemboran sumur Relief Well tersebut.
Pemboran yang dilaksanakan dari sisi luar daerah subsidence tidak efektif, karena pergerakan horizontal juga akan sangat besar.
Bila semburan lumpur dapat dihentikan pada satu lokasi, diperkirakan akan muncul di lokasi lainnya sepanjang zona patahan Watukosek.
Semburan lumpur secara alami akan berhenti ketika dicapai keseimbangan antara tekanan permukaan (surface) dan masa di bawah permukaan (subsurface).
Dalam makalah ini, suatu modal simulasi tiga dimensi telah dibangun untuk memperkirakan waktu dan luasnya daerah genangan.
Model simulasi ini dikembangkan dengan menerapkan pendekatan GIS (Geographic Information System).
Sebagai masukan model berasal dari beberapa set data. Model tersebut telah dikalibrasi menggunakan data lapangan luapan lumpur dan citra satelit bulan Desember 2007.
Pada model prediksi, diperkirakan besaran, waktu pertumbuhan mud volcano dan penenggelaman tanah.
Pengamatan secara periodik di daerah yang ditentukan sebagai daerah bahaya pada resiko geohazard diperlukan untuk memutahirkan model, khususnya dalam mengidentifikasikan pengaktifan kembali patahan sepanjang sumbu kelurusan zona patahan Watukosek dan patahan-patahan lainnya.
Kecepatan lumpur, subsidence, dan runtuhnya tanggul merupakan data yang dinamis, sehingga data baru yang tersedia harus diintegrasikan pada model untuk menyempurnakan suatu perkiraan secara lebih realistik.
Gambar. 1. Lokasi Lusi kira-kira 30m selatan dari Surabaya. Kerangka Tektonik Regional (Regional tectonic framework) Jawa Timur (atas kanan) memperlihatkan arah patahan regional NE–SW dan E–W. Peta gayaberat Bouguer (Bouguer gravity map) diproses dengan menggunakan nilai densitas sebesar 2.65 g/cc, daerah Jawa Timur memperlihatkan adanya pusat pengendapan dari Cekungan Jawa Timur (East Java Basin’s depositional centers) ditandai dengan warna biru yang dikontrol oleh patahan utama.
Semburan lumpur terjadi 29 Mei 2006 pada 5 lokasi tersebar/terpisah satu dengan lainnya, membentuk suatu kelurusan berarah NNE-SSW, kira-kira berjarak 200 m jauhnya dari sumur Eksplorasi Banjarpanji-1 (disebut BJP-1) di Sidoarjo.
Pusat Semburan Lupsi berlokasi kira-kira 30 km selatan dari Surabaya, Jawa Timur Indonesia. Lokasi Lupsi kira-kira berjarak 700 m dari kelurusan Zona Patahan Watukosek.
Pada bulan-bulan pertama (Mei-Juni 2006) semburan lumpur panas terjadi kecepatan aliran (flow rate) sebesar 50.000 m3/hari. September 2006 kecepatan semburan meningkat menjadi 125.000 m3/hari. Mencapai maksimum sebesar 156.000 m3/hari pada Desember 2006. Desember 2008 menurun kembali dengan kecepatan mendekati 90.000 m3/hari.
Sampai saat ini, penyebab semburan lumpur panas di Sidoarjo masih terus menjadi bahan perdebatan, antara lain Mazzini et al., 2007; Davies et al., 2007, 2008; Tingay et al., 2008; Sawolo et al., 2008; Istadi et al., 2008.
Sebagai konsekuensi itu untuk mendapatkan solusinya (menghentikan atau mengurangi debit semburan) masih menjadi masalah.
Bila semburan lumpur bermula dari suatu ledakan bawah permukaan (underground blowout), sehingga secara teori ia akan dapat dihentikan dengan menggunakan pemboran sumur relief (drilling relief well) untuk memotong lubang asli BJP-1. Dilanjutkan dengan memompakan lumpur berat diikuti dengan penyemenan.
Namun bila semburan ternyata dikendalikan oleh suatu pengaktifan kembali patahan-patahan yang sebelumnya telah ada, dan tidak ada hubungan dengan lubang sumur BJP-1. Sehingga sangat tidak mungkin untuk menghentikan semburan.
Pada awal kejadian, karena lokasi Lupsi dekat dari lokasi pemboran BJP-1, maka sangat rasional bila masyarakat umum telah mengasumsikan bahwa semburan disebabkan oleh UGBO dari sumur BJP-1
Setelah seluruh data set secara komprehensif diintegrasikan dan dianalisis, didasarkan data lapangan dan analisis tekanan menjadi lebih jelas bahwa antara sumur BJP-1 dan fenomena semburan lumpur tidak mempunyai hubungan satu dengan lainnya (Sawolo et al., 2008). Dengan argumen yaitu:
Tekanan fluida di sumur bor sangat rendah untuk merekahkan lubang bor.
Tidak ada fluida di lobang bor yang berpropagasi melalui rekahan ke permukaan, saat BOP pada posisi terbuka.
Lobang sumur telah terbuka dan pada kondisi total mati saat sumur menyembur dengan kecepatan 50.000 m3/hari dan hanya berjarak 200m dari semburan.
Penulis makalah beranggapan bahwa yang paling mungkin sebagai pemicu semburan lumpur adalah reaktivasi dari sistem Patahan Watukosek (Mazzini et al., 2007).
Sehingga kasus semburan Lupsi tidak dapat lagi dihentikan, dan diprediksi akan mengalir berabad-abad lamanya.
Selama ini telah banyak dilaksanakan studi mud volcano yang telah ada. Namun sangat sedikit diketahui kondisi sebelum dan selama tahap awal dari semburan mud volcanic.
Lupsi merupakan suatu yang khusus, karena proses-proses geologi dari saat kelahirannya hingga kondisi saat ini (tahap perkembangan runtuh menjadi kaldera) dapat diamati secara langsung.
Makalah ini akan memusatkan perhatian pada potensi dampak dan kaitannya dengan resiko geohazard terhadap kelanjutan semburan lumpur pada tahun-tahun mendatang (potential impact and related geohazard risks from the continued mud eruption in the years to come).
Gambar 2. Peta Geologi dan sebaran mud volcano di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Titik merah mengidentifikasikan lokasi mud volcano, beberapa diantaranya digunakan sebagai analogi pengembangan mud volcano Lupsi. (Peta dimodifikasi dari Gafoer and Ratman, 1999.)
Beberapa model telah diusulkan untuk menguraikan kompleksitas Cekungan Jawa Timur (East Jawa Basin), diantaranya van Bemmelen (1949), De Genevraye and Samuel (1972), Hamilton (1979), Hall (2002), Sribudiyani et al. (2003), Smyth et al. (2005), and Prasetyadi et al. (2006).
Cekungan Jawa Timur berkembang sebagai cekungan busur belakang (back-arc-basin), merupakan hasil dari subduksi Lempeng Samudera Australia ke arah baratlaut di bawah kontinen Sunda selama akhir Kapur.
Suatu sistem tektonik ekstensi (extensional tectonic system) berlangsung selama Tersier Awal disebabkan oleh interaksi antara lempeng-lempeng Pasifik, Eurasia, dan Australia yang komplek. Membentuk sistem graben ekstensi (extensional graben systems) dan selanjutnya berkembang cekungan peregangan (rift basins).
Berkembang seri setengah graben dan berarah sepanjang bidang lemah Pre-Tersier NE-SW, berubah menjadi arah Timur-Barat dan lebih ke selatan.
Dua arah yang berbeda ini dikenal sebagai konfigurasi struktur dari Cekungan Jawa Timur.
Gambar. 3. Patahan Watukosek terdiri dari 2 patahan yang sejajar dimana Kali Porong mengalami pelurusan arah aliran searah bidang patahan, gawir patahan (escarpment) Watukosek menunjukkan adanya bagian blok terangkat pada bidang sesar. Kedudukan Lupsi berada sepanjang bidang sesar Watukosek.
Patahan-patahan dengan arah timurlaut terbentuk sebagai struktur utama, selanjutnya ditafsirkan sebagai arah patahan-patahan batas lempeng yang berlangsung pada zona subduksi dan prisma akrasi pada zaman Kapur.
Patahan membentuk sub-basin NE-SW:
Arah kedua dari patahan berkembang di selatan dari cekungan dibatasi oleh jalur lipatan utara, dimana sub-cekungan ditentukan dengan patahan-patahan berarah Timur-Barat, dan deposenter berarah sejajar dengan pulau Madura dan bagian utara pantai Jawa Timur.
Orientasi NE-SW, membentuk struktur rendahan (structural low) dari beberapa sub cekungan yang memanjang dari lepas pantai di Laut Jawa sampai ke bagian daratan Jawa Timur.
Konfigurasi basement dan basement ridge:
Konfigurasi batuan dasar (basement) dengan orientasi struktur NE-SW terdiri dari deretan punggungan basement (basement ridge)yang berkembang baik.
Dengan selingan struktur graben yang membentuk deposenter, terdiri dari sedimen Tersier.
Formasi Ngimbang:
Pengendapan sedimen klastik dan bentukan karbonat (carbonate buildup) Formasi Ngimbang berlangsung selama Eosen dan Oligosen Awal.
Sekuen Oligosen Akhir dan Miosen dipisahkan dari sekuen di bawahnya oleh ketidakselarasan, yang menyediakan suatu bentukan karbonat dengan arah umum NNE-WSW.
Batugamping Terumbu:
Perkembangan platform, dikenal sebagai Batugamping Kujung, terjadi pada Oligosen. Sedangkan Terumbu Prupuh dan Tuban berkembang pada Miosen Awal dan Pertengahan
Tektonik Transpresi:
Perioda tektonisme berawal pada Miosen Akhir berlanjut sampai Pleistosen.
Tektonisme tersebut menghasilkan rezim transpresi disebabkan oleh pergerakan lateral yang berarah Timur-Barat.
Sebagai hasil adalah terbentuknya struktur antiklin dengan orientasi timur barat.
Batulumpur Formasi Kalibeng dan Pucangan:
Sedimentasi Pliosen dan Pleistosen terdiri dari batulumpur (mudstone) yang didominasi oleh klastika volkanik Formasi Kalibeng dan Pucangan yang berpropagasi ke arah timur, dengan ketebalan antara 2400-3000m.
Volkanik di Jawa sebagai sumber batuan:
Material volkanik tersebut berasal dari sumber klastik busur volkanik Jawa di selatan daerah Sidoarjo.
Batulumpur Formasi Kalibeng pada kondisi overpressure:
Batulumpur Formasi Kalibeng berada pada kondisi tekanan tinggi/berlebih (over pressure), yang menempati sebagian besar dari cekungan.
Pengendapan yang cepat:
Satuan batuan tersebut telah diendapkan dengan cepat. Kecepatan sedimentasi dan penimbunan batuan serpih yang tebal pada deposenter terjadi selama Pliosen dan Pleistosen, menghasilkan zona ‘under-compacted shales’.
Zona sedimen bersifat plastis:
Zona tersebut sangat plastis dan mengalami tekanan berlebih karena tersedianya pemerangkapan air yang berlebih dan pematangan(maturity) material yang kaya organik.
Formasi Kalibeng sebagai sumber dari mud volcano di Jawa:
Kebanyakan mud volcano yang diketemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bersumber dari satuan sedimen Formasi Kalibeng.
14 mud volcano di Jawa:
Di sekitar Lupsi sekurang-kurangnya telah diketahui terdapat 14 mud volcano yang telah diidentifikasikan di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Jawa Timur ideal untuk pembentukan mud volcano:
Aktif tektonik berbarengan dengan tersedianya tekanan berlebih dari sedimen matang yang kaya dengan material organik, menempatkan Jawa Timur sebagai daerah yang sangat ideal untuk berkembangnya mud volcanism.
Peran P. Watukosek untuk pembentukan mud volcano Lupsi:
Keberadaan sistem patahan Watukosek di daerah Lupsi menyediakan suatu saluran (conduit) lumpur, fluida dan gas untuk menembus berasal dari suatu horizon dalam mengalir ke permukaan, selanjutnya membentuk mud volcano Lupsi.
Dampak semburan Lusi:
Semburan lumpur panas di Sidoarjo telah mengubur rumah, desa, sekolah, perusahaan, dan mengungsikan ribuan warga.
Potensi resiko bencana geologi (geohazard risks) berlanjut pada daerah yang berpenduduk padat serta terdapat banyak aktivitas masyarakat dan infrastruktur.
Antisipasi skenario kasus terburuk:
Studi pemodelan terhadap pertumbuhan dan potensi geohazard merupakan bagian antisipasi resiko (risks anticipation) dan perencanaan untuk skenario kasus terburuk dari mud volcano Lupsi dan daerah sekitarnya.
Studi kasus mud volcano di Jatim dan Bleduk Kuwu:
Studi mud volcano lainnya di Jawa Timur telah digunakan sebagai pengkajian bencana geologi (geohazard assessment).
Khususnya mud volcano Bleduk Kuwu yang sampai sat ini masih aktif di Jawa Tengah, terdiri dari komplek mud volcano dengan lokasi erupsi lumpur yang berganda pada radius 3,5 km dari pusat semburan utama. Serta menunjukkan beberapa penghubung atau saluran aktif (the presence of several active conduits).
Gambar 4. Subsidence diukur dengan GPS pada 33 lokasi. Dua pengukuran GPS berkelanjutan dicirikan dengan label A dan B, diplot kecepatan subsidence rata-rata (subsidence rate) 1,9 dan 3,9 cm/hari untuk lokasi RW-1 dan RW-2. Elip warna kuning adalah penafsiran daerah yang mengalami subsidence hasil dari analisis data satelit InSAR.
Awal Lupsi terdiri dari 5 titik semburan:
Pada awalnya Lupsi terdiri dari lima semburan lumpur, selanjutnya hanya satu yang terus menyembur atau aktif hingga sekarang ini.
Sangat mungkin bahwa saluran semburan lumpur yang tidak aktif tersebut suatu saat dapat diaktifkan kembali, atau terjadi suatu semburan baru pada lokasi yang lain.
Bubble dengan gas terbentuk di zona lemah atau reaktifasi patahan:
Studi ini berpendapat bahwa kemungkinan semburan lumpur atau yang lebih dikenal sebagai lokasi gas bubble atau lokasi baru semburan terjadi sepanjang zona lemah atau patahan-patahan yang diaktifkan kembali atau suatu zona sesar baru (new fault zone).
Bubble berjumlah 90 bersifat berfluktuatif:
Bubble-bubble yang menyemburkan gas metan telah diidentifikasi berjumlah lebih dari 90 lokasi, dan umumnya berasosiasi dengan rekahan-rekahan.
Kondisi bubble tersebut berfluktuatif, beberapa diantaranya lebih aktif daripada yang lainnya, sedangkan yang lainnya mengecil atau bahkan telah mati.
Gas bubble mudah dan sulit terbakar:
Pada kebanyakan kasus, kandungan gas metan tersebut tidak bersifat mudah terbakar (non-flammable), karena hanya mengandung konsentrasi yang rendah dari pemisahan gas yang cepat di udara.
Namun pada bubble dengan semburan yang kuat, maka konsentrasi gas metan cukup tinggi dan mudah terbakar.
Terjadinya kebocoran pada penyekat:
Rembesan gas dari rekahan-rekahan ini memberikan kepercayaan terjadinya kebocoran penyekat dan hilangnya kapasitas penyekatan dari patahan-patahan yang ada.
Di samping itu serpih pada struktur geologi yang menutupinya, mengandung akumulasi gas.
Bubble dengan gas bersumber dari lapisan dalam:
Terdapatnya bubble gas juga memberikan kepercayaan bahwa subsidence bukan merupakan fenomena yang berasal dari dekat permukaan. Sebagai hasil dari pembebanan permukaan oleh berat dari lumpur atau kompaksi dari lapisan tanah lunak.
Tapi juga sebagai pengaruh dari lapisan yang lebih dalam di bawah permukaan bumi, dimana gas berasal dari sumber yang dalam.
Pembentukan gas secara termogenik (thermogenic origin):
Kromatografi dari contoh gas bubble berasal dari dekat pusat kawah semburan yang diambil Juli 2006 mengindikasikan bahwa komposisinya terutama terdiri dari metan.
Namun keberadaannya berasal dari gas berat dengan kuantitas yang kecil termasuk etana, propan, butana, dan pertan.
Ditafsirkan gas-gas tersebut berasal dari termogenik (thermogenic origin) dan mengalir melalui rekahan-rekahan yang panjang.
Perhatian pada daerah terjadi reaktivasi patahan:
Daerah yang secara khusus patut mendapatkan perhatian adalah di daerah yang mengalami reaktivasi patahan-patahan, dimana pergerakan diferensial telah menciptakan shear stress.
Pergerakan horisontal dan vertikal:
Daerah di dalam radius 2-3 km dari pusat semburan telah mengalami pergerakan horisontal dan vertikal yang sejajar dengan arah bidang patahan.
Secara umum pergerakan tersebut mempunyai variasi spasial dan temporal dalam besaran dan arahnya.
Dampak dari perekahan terhadap masyarakat dan infrastruktur:
Sebagai akibat dari terjadinya perekahan dari reaktivasi patahan-patahan yang sebelumnya telah eksis adalah rusaknya rumah warga, bangunan-bangunan dan infrastruktur yang berada di dekatnya.
Indikasi pergerakan patahan pada rel kereta api:
Pergerakan sesar tersebut adalah dextral (pergerakan menganan), yang dapat diamati dari pergerakan rel kereta api yang terjadi pada September 2006. Di mana pergerakan patahan berlangsung lebih besar dari pergerakan subsidence yang diukur dengan GPS.
Patahan menyebabkan pipa gas dan PDAM patah atau pecah:
Pecahnya pipa gas dan pipa PDAM pada lokasi yang sama mendukung bahwa pergerakan berlangsung sepanjang bidang patahan.
Patahan mengendalikan timbulnya bubble gas:
Berlanjutnya pergerakan sepanjang patahan-patahan juga tampaknya menyebabkan munculnya lebih banyak lagi bubble gas.
Berlanjutnya subsidence membentuk daerah depresi diisi lumpur:
Berlanjutnya subsidence telah membentuk suatu daerah depresi berbentuk baskom atau kerucut, yang terjadi sebagai akibat berlanjutnya semburan lumpur diikuti pembebanan.
Terjadinya subsidence telah membentuk suatu ruang, cekungan alami yang selanjutnya diisi lumpur.
Viskositas Lusi yang rendah, sulit akumulasi secara vertikal:
Tingginya kandungan air dari lumpur yaitu dengan perbandingan antara 70-50% air terhadap lumpur, berarti bahwa lumpur mempunyai viskositas yang lebih rendah. Sehingga secara vertikal tidak dapat mengendap untuk membentuk suatu struktur gunung yang tinggi (steep mountain-like structure).
Lumpur menyebar ke samping dan menekan tanggul-tanggul:
Lumpur cenderung menyebar ke samping sehingga bertambahnya tekanan pada lumpur akan mempengaruhi tanggul-tanggul, sampai pada kondisi dapat runtuh dan menimbulkan banjir.
Resiko daerah terdampak meluas makin besar:
Daerah di sekitar area terdampak dihadapkan pada suatu resiko banjir lumpur yang makin luas.
Tanggul-tanggul dan kolam penampungan lumpur sementara pada situasi darurat.
Tanggul tersebut dibangun hanya dari tanah dan material batuan sehingga tidak stabil.
Jebolnya tanggul-tanggul yang terjadi pada masa lalu telah menyebabkan banjir lumpur panas (temperatur 85-95oC) dan menyebabkan kecelakaan manusia atau kepunahan binatang.
Kegagalan tanggul ke depan makin besar:
Ke depan kegagalan tanggul berpotensi terjadi saat lumpur tumbuh dan meningkatkan tekanan hidrostatik pada dinding tanggul.
Masyarakat harus dipersiapkan:
Saat resiko kegagalan tanggul adalah besar, maka sebagai alternatif rute alternatif transportasi publik harus disiapkan untuk memelihara keberlanjutan akses.
Indikator resiko geohazard dan pengendali mekanismenya:
Dalam aspek resiko geohazard, bukti-bukti dan perhatian daerah mencakup:
· Retak dan pecahnya pipa gas dan pipa PDAM (shear and subsidence);
· Melengkungnya rel kereta api (shear/faulting and subsidence);
· Retak jalan (subsidence);
· Gangguan integritas dari selubung relief well (subsidence and shearing), 5) runtuh tanggul (subsidence);
· Bubble gas tampaknya terjadi di sepanjang rekahan atau sona lemah (shear/faulting and subsidence).
Upaya menghentikan semburan selama ini:
Beberapa upaya dengan menggunakan berbagai metoda dan teknik untuk menghentikan semburan telah dilaksanakan.
Sekurang-kurangnya pada masa Timnas PSLS empat metoda yang telah diimplementasikan untuk menghentikan semburan.
4 Metoda yang telah diterapkan yaitu:
(1) Snubbing Unit (re-entry of the Banjarpanji-1 well),
(2) Well Side Tracking,
(3) Relief Wells, dan
(4) Rangkaian bola-bola beton dengan densitas tinggi High Density Chained Balls (HDCB).
Upaya ini tanpa sukses dan telah berhadapan dengan isu keamanan dan tantangan bawah permukaan.
Keberhasilan menghentikan semburan sangat kecil:
Keberhasilan untuk menghentikan semburan sangat kecil, bahkan bila semburan dapat dihentikan dengan sukses.
Akan sangat mungkin bahwa semburan lumpur yang baru dapat terjadi dimana saja.
Semburan akan keluar dari bidang Patahan Watukosek:
Diperkirakan bahwa semburan lumpur lainnya (baru) akan bermula sepanjang bidang patahan Watukosek (kira-kira 1 km) ke selatan dari Lupsi.
Keberlanjutan semburan dan intensitas:
Aliran lumpur terus berlangsung kuat. Saat ini kecepatan semburan mendekati 90.000 m3/hari (Agustus 2008).
Baseline informasi dari RW-1 dan RW-2 untuk menghentikan semburan:
Informasi geologi penting tentang Lusi berasal dari relief wells drilled (RW-1 dan RW-2) untuk menghentikan semburan lumpur.
Kondisi dan kejadian Lusi berdasarkan data sumur eksplorasi:
Operasi sumur eksplorasi dilaksanakan antara bulan Juni 2006 dan Januari 2007, dan menghasilkan kondisi dinamika geologi dari Lusi mud volcano yang didiskusikan di bawah ini.
Skenario Lupsi keluar dari bidang patahan:
Erupsi lumpur dapat dari bidang patahan, bukan dari lubang bor
RW-1 menghadapi daerah deformasi geologi atau zona Patahan:
RW-1 menembus suatu bidang patahan dan saat pemboran diteruskan lumpur pemboran hilang dan terjadi kicks.
Seperti kondisi di bawah permukaan, jaringan patahan telah diaktifkan kembali dan dibentuk.
Diasumsikan sumur BJP-1 tidak menembus patahan:
Sedangkan sumur BJP-1 tidak menembus patahan dan fluida pemboran berhasil bersirkulasi setelah terjadinya semburan lumpur.
Aktivitas patahan aktif menimbulkan banyaknya bubble aktif:
Meningkatnya jaringan patahan aktif menghasilkan semakin banyak bubble gas di daerah tersebut.
Beberapa diantaranya berkembangnya di dekat dari sumur relief dimana memperlihatkan kondisi yang membahayakan terhadap keamanan pengoperasian operator dan peralatan untuk operasi relief well.
Masalah pada saat reentry BJP-1:
Pada awal dari re-entry sumur BJP-1, operasi tidak ada masalah, namun penurunan dan pergerakan horisontal bermula, sehingga permasalahan mulai timbul.
Dampak subsidence dan pergerakan horisontal pada pengoperasian sumur:
Subsidence dan pergerakan horisontal telah menyebabkan tight hole, key seating, equipment failure, casing collapse and buckling, moving upwards from deep to shallow zones in BJP-1 well as well as RW-1 and RW-2 wells. Even a wellhead drop was observed.
1) Integritas casing sulit untuk dicapai saat deformasi bertambah.
2) Pergerakan termasuk horizon dangkal dan dalam saat casing runtuh;
3) Keamanan pengoperasian dari sumur relief tergantung pada integritas dari tanggul-tanggul melindungi lumpur terhadap banjir di daerah operasi sumur pemboran.
Pergerakan sepanjang bidang sesar dan dampaknya:
Namun ketika tekanan pada tanggul-tanggul bertambah, ia dapat runtuh sehingga menyebabkan banjir lumpur panas. Pergerakan yang berbeda sepanjang patahan telah menyebabkan rekahan dan pergerakan menghasilkan tanggul-tanggul runtuh pada beberapa waktu.
Semburan sulit, aliran Lupsi lama, perhatian ditujukan pada geohazard:
Ketika tidak ada indikasi bahwa semburan lumpur akan berhenti secepatnya dan upaya untuk menghentikan aliran lumpur tidak sukses, sebagai konsekuensi pemahaman terhadap geohazard risks menjadi sangat penting.
Perkiraan resiko geohazard untuk perencanaan wilayah:
Perkiraan terhadap resiko dan luas daerah yang dapat terkena dampak dari semburan yang berlangsung dan penurunan menjadi bagian penting didalam perencanaan untuk masyarakat dan prasarana.
Studi dan survei diperlukan untuk memahami perilaku dari mud volcano ini dan di dalam membangun model perkiraan.
Pentingnya nilai atau dimensi aliran lumpur:
Memahami dimensi aliran lumpur menjadi bagian penting untuk menghitung kecepatan erupsi, hal ini merupakan suatu kunci masukan pada model simulasi.
Metoda yang diterapkan:
· Pelaksanaan survei dilakukan dengan melakukan 51 lokasi pengukuran pada daerah genangan lumpur tahun 2006. Ketinggian aliran lumpur diukur menggunakan pita dan membandingkan dengan daerah sekitarnya yang tidak tergenang. Luas genangan dari daerah banjir dihitung menggunakan citra satelit IKONOS.
· Luas dan ketebalan digunakan untuk menghitung volume dan merata-ratakan kecepatan semburan selama interval lebih dari satu bulan.
· Survei dilangsungkan pada Mei 2007, dengan 42 titik survei dalam upaya untuk mengkuantitatifkan perubahan dalam dimensi lumpur, volume dan kecepatan erupsi satu tahun setelah awal semburan.
· Volume lumpur telah dihitung dengan program GIS yang mampu untuk melakukan analisis 3-D. Volume dihitung menggunakan metoda cut and fill dimana volume dihitung ketika material telah dipindahkan atau dihasilkan.
Genangan Lupsi Juni dan Juli 2006:
Untuk bulan Juni dan Juli 2006, daerah genangan lumpur mencapai 111 dan 179 hektar, perhitungan volume adalah 1,1 juta m3 dan 2,5 juta m3.
Genangan Lupsi Mei 2007:
Daerah genangan lumpur telah meningkat menjadi 628 ha walaupun telah dibangun tanggul-tanggul, atau lima kali lebih besar dari daerah genangan Juni 2006, perhitungan volume lumpur meningkat menjadi 37,3 juta m3.
Hasil Gayaberat
Nilai ‘gravity low’ di bawah semburan:
Sangat menarik adalah adanya lapisan yang mempunyai angka rendah di sekitar kawah semburan Lupsi dan dengan nilai tinggi di bagian timurlaut. Rendahnya nilai anomali The low residual Bouguer anomaly values mencakup daerah seluas 1,3 km2 dan ditafsirkan sebagai dampak struktur bawah permukaan yang dangkal shallow subsurface structural effect.
Batas bidang sesar:
Batas antara nilai anomali Bouguer yang rendah dan tinggi ditafsirkan sebagai suatu zona patahan dengan komponen slip yang normal/strike
Perubahan density mencerminkan kondisi struktur bawah permukaan:
Perubahan bulk density ditafsirkan sebagai perubahan kondisi bawah permukaan karena tekanan dan perubahan densitas dipercaya penyebaran masa di bawah tanah disebabkan oleh pergerakan dari masa, fluida dan gas.
Bukti pengurangan masa pada pusat semburan:
Angka gayaberat mikro yang rendah mengindikasikan adanya pengurangan masa pada sekitar pusat semburan lumpur pada kedalaman 1700 m, sesuai dengan data set terdahulu.
Meningkatnya nilai anomali negatif dipicu oleh subsidence sebagai konsekuensi meningkatnya volume yang hilang:
Pada Lupsi meningkatnya nilai anomali negatif sebagaimana dilihat dari peta microgravity time-lapse antara Agustus 2006-Agustus 2006, dipercaya adanya peningkatan subsidence disebabkan oleh peningkatan volume lumpur yang hilang.
Perubahan pada pola gayaberat mikro (microgravity patterns) terhadap waktu memberikan kepercayaan terhadap adanya penyebaran kembali masa dan mobilisasi lumpur (redistribution and mud remobilization), atau aliran fluida serpih yang bertekanan lebih (fluidized over-pressured shale flowing) diperlihatkan dengan panah merah ke dalam conduit yang plastis sepanjang kelurusan Patahan Watukosek.
Gambar 5.
Peta gayaberat regional Anomali (Bouguer anomaly map) memperlihatkan terdapatnya deposenter sebagaimana dicirikan oleh nilai Bouger yang rendah (lower Bouguer values) di timurlaut Lupsi.
Data residual gravity untuk Lupsi (kanan) dan daerah sekitarnya mencirikan suatu gayaberat rendah (gravity low), dimana ditafsirkan sebagai subsidence disebabkan oleh menghilangnya lumpur di daerah tersebut, dan adanya patahan-patahan pada daerah dengan kontras densitas yang tinggi (high density contrast areas) (perubahan signifikan pada kontur).
Pergerakan horizontal dan vertikal mencirikan arah dan besaran pergerakan (surface movement direction and magnitude).
Gambar 6. Peta anomali gayaberat-mikro selang waktu (Microgravity time-lapse anomaly map), Perioda bulan September 2006–Augustus 2006 (kiri) dan perioda Oktober 2006–Augustus 2006 (kanan).
Angka gayaberat mikro positif (Positive microgravity values) menunjukkan bahwa masa meningkat dan ada pemasukan (mass increase and recharge), dimana angka negatif memberikan dugaan subsidence disebabkan oleh hilangnya lumpur atau fluida (mud/fluid withdrawal).
Bila daerah pegunungan di baratdaya dan daerah baratlaut sebagai daerah imbuhan (recharged) dari dinamika hidrogeologi Lupsi, maka aliran lava akan berlangsung pada perioda yang lama.
Anomali gayaberat negatif karena adanya perbedaan densitas dikaitkan dengan peningkatan semburan:
Anomali negatif juga memperlihatkan adanya densitas kontras dengan daerah sekitarnya, dari 150-200 mGal sangat konsisten dengan adanya peningkatan kecepatan semburan lumpur dari 50.000 menjadi 100.000 m3/hari, September 2006.
Anomali positif terkait dengan pergerakan masa sepanjang bidang sesar:
Anomali positif dengan sebaran dengan arah NE-SW sangat selaras dengan kelurusan patahan di daerah ini menunjukkan bahwa anomali tersebut terkait dengan pergerakan aliran lumpur sepanjang bidang patahan.
Variasi anomali terutama searah dengan sistem Patahan Watukosek yang berarah NNE-SSW
Pengembangan pemodelan tiga dimensi:
Suatu model simulasi tiga dimensi telah dibangun untuk memperkirakan daerah yang terdampak oleh aliran lumpur selama 10 tahun, dengan perhatian khusus pada bulan Desember 2007 sampai Juni 2010.
Parameter model:
Parameter model adalah 1) kecepatan semburan (rate of eruption), 2) kecepatan subsidence. Dan 3) topografi.
Metoda/tekonologi yang digunakan:
Pola subsidence berhubungan dengan sebaran patahan di daerah, sehingga beberapa data digunakan untuk menentukan termasuk 1) VLF, 2) resistivity, 3) microgravity anomaly changes, dan 4) daerah subsidence ditentukan dengan perkiraan subsidence dari InSAR data.
Lama semburan berdasarkan besarnya volume sumber lumpur:
Lamanya semburan lumpur diperkirakan dari volume formasi serpih bertekanan berlebih (over-pressure shale formation) yang dapat menyembur ke permukaan.
Penentuan ketebalan lampiran serpih bertekanan tinggi:
Ketebalan dari penampang serpih dengan tekanan tinggi ditentukan dari kurva kompaksi yang telah dikembangkan dari data sonic log, menggunakan formula the Reiga–Clemenceau equation (Issler, 1992):
4 ¼ 1 _ tma
tlog!1=x
Dimana: 1) 4 ¼ porosity, 2) tma ¼ transit time of the matrix (67.05 ms), 3) tlog ¼ transit time from the wire line log and 4) x ¼ acoustic formation factor (2.19).
Model terhadap daerah genangan yang diperkirakan dan disini masukan model telah disesuaikan untuk mendapatkan keseusian dengan realitas lapangan.
Survey VLF (kanan atas) sepanjang lintasan garis merah, sedangkan survei ‘geolistrik’ (resistivity survey) pada kanan bawah sepanjang lintasan dengan warna kuning.
Kedua survei mengidentifikasikan terdapatnya patahan dangkal (shallow faults) yang tertutup oleh tanah atas. Patahan ini selaras dengan Sistem Patahan Watukosek.
Fig. 7. Hasil awal model simulasi lumpur untuk Desember 2007 (garis putus oranye) divalidasi dengan pengamatan dari citra satelit Crisp Januari 2008.
Kurva kompaksi di sumur BJP-1 (gambar 8) dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian paling atas terdiri dari formasi Kabuh, Pucangan1 dan Pucangan 2 dari 0-980m.
Model Sejarah Penguburan (burial history):
Karena data tidak tersedia maka model sejarah penguburan menggunakan kurva kompaksi dari Sclater and Christie (1980).
Kompaksi Formasi Kalibeng Atas:
Bagian tengah terdiri dari Formasi Kalibeng Atas, dengan litologi didominasi dengan serpih, dan kurva kompaksi jatuh pada kategori formasi di bawah nilai kompaksi (under compacted) atau tekanan berlebih (over-pressured).
Secara sismik, merupakan suatu sona dengan kecepatan rendah (low velocity zone) sebagaimana diperlihatkan pada profil interval velocity.
Zone ini merupakan sumber lumpur, dan ketebalannya telah digunakan untuk memperkirakan volume dari lumpur yang berpotensi menyembur.
Bagian lebih bawah terdiri dari Formasi Kalibeng 2, dimana litologi didominasi oleh batupasir volkanik, dan kurva kompaksi jatuh pada kisaran kompaksi normal (normal compaction).
Gambar 8. Kurva kompasi (compaction curve) dari sumur Banjarpanji-1 memperlihatkan terdapatnya serpih pada kondisi under-compacted dan over-pressured shale pada Formasi Kalibeng 1 Atas.
Formasi Kalibeng Bawah:
Perkiraan ketebalan Formasi Kalibeng over pressure:
Perkiraan ketebalan dari Formasi Kalibeng 1 over pressured 640m. Zona tekanan berlebih ini didominasi oleh serpih antara interval 1860-1220m di sumur BJP berkorelasi dengan zona kecepatan rendah (low velocity) sebagaimana diperlihatkan oleh penampanginterval velocity dari data BJP-1.
Gambar 9. Penampang Seismik LUSI – Banjarpanji-1 – Tanggulangin-1 – Porong-1 – Porong collapse structure.
Struktur Porong collapse berlokasi kira-kira 7 km dari LUSI merupakan suatu mud volcano purba, dimana subsidence dibuktikan dan terdapat beberapa patahan yang tampaknya berperan sebagai penghubung (conduit) dari aliran lumpur.
Sama halnya sejumlah patahan yang terdapat dekat sumur BJP-1 (200 m dari LUSI) kemungkinan telah diaktifkan kembali dan berperan sebagai saluran untuk semburan lumpur dan keluarnya gas, disini tampaknya bubble gas keluar sepanjang bidang patahan.
Gambar 10. Peta basis data seismik refleksi di overlay dengan citra satelit. Perbedaan garis lintasan menunjukkan perbedaan umur dan garis hitam adalah penampang seismik lintasan pada Gambar 9.
Daerah Lusi diidentifikasikan dengan peta residual gravity dari Gambar 5. Sebagai catatan daerah struktur Porong collapse di beri warna bayangan, dengan mencakup sebagaian daerah Lusi dibandingkan dengan Lusi ditafsirkan pada darah over-pressured shale area.
Porong berbatasan dengan mud volcano yang telah digunakan sebagai analogi untuk membangun model subsidence Lusi.
Luas Zona Seismik dengan kecepatan rendah (Low velocity zone):
Secara seismik zona kecepatan rendah diperlihatkan pada gambar 9. Perhitungan data diperkirakan 2 km2 dan 1,3 km.
Perhitungan lama semburan dengan asumsi semburan 100.000m3/hari:
Perhitungan lamanya semburan Lupsi adalah volume (ketebalan dikali dengan rata-rata daerah), dengan asumsi kecepatan semburan 100.000 m3/hari, menunjukkan durasi semburan dapat bervariasi antara 23 sampai 35 tahun.
Konstrain prediksi lama semburan dan mekanisme aliran:
Prediksi tersebut tergantung dari volume masa di bawah permukaan dan kondisi tekanan.
Dalam hal ini faktor-faktor seperti serpih overpressure, kegempaan (seismicity) dan tektonik mempengaruhi lamanya semburan dan mekanisme aliran.
Lama semburan terkait aliran masuk:
1) Skenario cepat berhenti: Aliran akan berhenti secepatnya bila tidak ada pemasukan atau imbuhan air dari luar, dan 2) Skenariolama berhenti: akan menjadi lama bila sistem berhubungan dengan suatu imbuhan air.
Aliran tidak beraturan (fluktuasi):
Kemungkinan lain bila aliran tidak beraturan, dimana aliran lumpur berhenti, tekanan yang terbangun dan meluasnya penutup, maka aliran akan mulai lagi.
Waktu pengukuran:
Kecepatan semburan dihitung berdasarkan pada dimensi lumpur yang dilaksanakan 2006 dan 2007.
Identifikasi sumber lumpur dari kurva kompaksi:
Gambar 8 kurva kompaksi dari sumur BJP-1 memperlihatkan hadirnya zona serpih dari Formasi Kalibeng 1 Atas yang berada di bawah kompaksi (under-compacted) dan mengalami over-pressured.
Identifikasi dari data seismik refleksi:
Secara seismik, zona tersebut merupakan lapisan-lapisan dengan kecepatan rendah sebagaimana diperlihatkan pada penampanginterval velocity.
Zona ini ditentukan sebagai sumber dari lumpur, dan besarnya ketebalan telah digunakan sebagai alat bantu untuk memperkirakan volume lumpur yang berpotensi menyembur.
Perhitungan kecepatan antara volume dan semburan harian: Kecepatan semburan lumpur dihitung dengan membagi antara volume lumpur dengan jumlah hari semburan.
Hasil perhitungan:
Hasil perhitungan kecepatan semburan untuk bulan Juni dan Juli 2006 sebesar 50.785 m3/hari dan 44.671 m3/hari, sedangkan kecepatan semburan dari bulan Mei 2007 dengan dimensi sebesar 111.042m3/hari, lebih dua kali lebih besar dari tahun 2007. Sehingga angka tersebut digunakan untuk melakukan Pemodelan.
Citra satelit untuk mengkoreksi model:
Data citra satelit IKONOS Januari 2008 digunakan untuk mengkoreksi model.
Mendapatkan angka kecepatan semburan yang realistis:
Disimpulan bahwa kecepatan 111.042m3/hari terlalu besar. Maka selanjutnya kecepatan 90.000 m3/hari memberikan angka yang lebih realistis.
Subsidence
Asumsi hubungan subsidence dan semburan:
Subsidence akan terus berlanjut bila semburan lumpur masih berlangsung.
Konsepsi penyebab semburan:
Subsidence kemungkinan merupakan hasil dari kombinasi dari releksasi tanah karena aliran lumpur, pembebanan karena berat lumpur menyebabkan daerah makin mengalami kompaksi, perpindahan tanah, transformasi geologi struktur dan tektonik (Abidin et al., 2007).
Perhitungan kecepatan dan cakupan/luas daerah:
Kecepatan subsidence dihasilkan terutama dari pengukuran GPS, sedangkan luas dari subsidence dihasilkan dari data InSAR. Pola subsidence juga dipengaruhi oleh sistem patahan di daerah (dalam hal ini Sistem Patahan Watukosek).
Waktu pengukuran GPS:
Pengukuran subsidence dari GPS antara 29 Juni 2006 sampai 12 April 2007 digunakan dalam model.
Besaran (magnitude) Subsidence:
1) Tertinggi: Besaran (magnitude) Subsidence tertinggi sebesar 5,53cm/hari terjadi berada di dekat dari pusat semburan. 2) Terendah:kecepatan terendah sebesar 0,04 cm/hari terkonsentrasi di luar daerah subsidence sebagaimana diidentifikasikan dari citra InSAR.
Ekspresi permukaan subsidence seperti baskom:
Ekspresi permukaan dari subsidence ditentukan dengan bentuk baskom atau bentuk seperti cekungan (basin-like shape).
Seperti halnya struktur runtuh Porong (Porong collapse structure) yang berjarak 7 km dari daerah Lusi.
Analogi dengan struktur Runtuh Porong:
Struktur Porong Collapse merupakan mud volcano purba (paleo mud volcano) yang memperlihatkan kawah, pipa penghubung, dan beberapa patahan menghasilkan slumping secara gayaberat (gravitational slumps) dan struktur intrusive.
Sehingga diperkirakan berkembang sebagai struktur piercement (pembubungan) pergerakan ke atas dari sedimen over-pressure di bawah diapir serpih (shale diaper).
Volume awal dan kecepatan:
Volume awal lumpur adalah 37,3 juta m3 dan kecepatan aliran 90.000 m3/hari.
Simulasi model daerah lumpur dan volume sampai Juni tahun 2010 diperlihatkan pada Tabel 1.
Untuk perioda 6 bulan, ekspansi area ditutupi lumpur diperkirakan antara 25 sampai 292 hektar.
Berlanjutnya volume lumpur dengan masukan yang konstan. Sehingga Juni 2020 diprediksi volume sebesar 136 juta m3 dan maksimum pada daerah terdampak sebesar 1448 juta m3.
Gambar 11 memperlihatkan perluasan daerah kemungkinan terdampak oleh Lumpur.
Dari bulan Desember 2007 sampai Juni 2008, lumpur akan menyebar ke arah timur, karena daerah ini relatif datar dan tidak mempunyai infrastruktur yang signifikan.
Banjir dapat terjadi di daerah barat. Jalan raya dan rel kereta api berada di sisi ini, sehingga prioritas penanggulangan harus diberikan pada tanggul di bagian barat.
Gambar 11. Perkiraan pertumbuhan lumpur dari Desember
Waktu pengukuran:
Kecepatan semburan dihitung berdasarkan pada dimensi lumpur yang dilaksanakan 2006 dan 2007.
Identifikasi sumber lumpur dari kurva kompaksi:
Gambar 8 kurva kompaksi dari sumur BJP-1 memperlihatkan hadirnya zona serpih dari Formasi Kalibeng 1 Atas yang berada di bawah kompaksi (under-compacted) dan mengalami over-pressured.
Identifikasi dari data seismik refleksi:
Secara seismik, zona tersebut merupakan lapisan-lapisan dengan kecepatan rendah sebagaimana diperlihatkan pada penampanginterval velocity.
Zona ini ditentukan sebagai sumber dari lumpur, dan besarnya ketebalan telah digunakan sebagai alat bantu untuk memperkirakan volume lumpur yang berpotensi menyembur.
Perhitungan kecepatan antara volume dan semburan harian: Kecepatan semburan lumpur dihitung dengan membagi antara volume lumpur dengan jumlah hari semburan.
Hasil perhitungan:
Hasil perhitungan kecepatan semburan untuk bulan Juni dan Juli 2006 sebesar 50.785 m3/hari dan 44.671 m3/hari, sedangkan kecepatan semburan dari bulan Mei 2007 dengan dimensi sebesar 111.042m3/hari, lebih dua kali lebih besar dari tahun 2007. Sehingga angka tersebut digunakan untuk melakukan Pemodelan.
Citra satelit untuk mengkoreksi model:
Data citra satelit IKONOS Januari 2008 digunakan untuk mengkoreksi model.
Mendapatkan angka kecepatan semburan yang realistis:
Disimpulan bahwa kecepatan 111.042m3/hari terlalu besar. Maka selanjutnya kecepatan 90.000 m3/hari memberikan angka yang lebih realistis.
Subsidence
Asumsi hubungan subsidence dan semburan:
Subsidence akan terus berlanjut bila semburan lumpur masih berlangsung.
Konsepsi penyebab semburan:
Subsidence kemungkinan merupakan hasil dari kombinasi dari releksasi tanah karena aliran lumpur, pembebanan karena berat lumpur menyebabkan daerah makin mengalami kompaksi, perpindahan tanah, transformasi geologi struktur dan tektonik (Abidin et al., 2007).
Perhitungan kecepatan dan cakupan/luas daerah:
Kecepatan subsidence dihasilkan terutama dari pengukuran GPS, sedangkan luas dari subsidence dihasilkan dari data InSAR. Pola subsidence juga dipengaruhi oleh sistem patahan di daerah (dalam hal ini Sistem Patahan Watukosek).
Waktu pengukuran GPS:
Pengukuran subsidence dari GPS antara 29 Juni 2006 sampai 12 April 2007 digunakan dalam model.
Besaran (magnitude) Subsidence:
1) Tertinggi: Besaran (magnitude) Subsidence tertinggi sebesar 5,53cm/hari terjadi berada di dekat dari pusat semburan. 2) Terendah:kecepatan terendah sebesar 0,04 cm/hari terkonsentrasi di luar daerah subsidence sebagaimana diidentifikasikan dari citra InSAR.
Ekspresi permukaan subsidence seperti baskom:
Ekspresi permukaan dari subsidence ditentukan dengan bentuk baskom atau bentuk seperti cekungan (basin-like shape).
Seperti halnya struktur runtuh Porong (Porong collapse structure) yang berjarak 7 km dari daerah Lusi.
Analogi dengan struktur Runtuh Porong:
Struktur Porong Collapse merupakan mud volcano purba (paleo mud volcano) yang memperlihatkan kawah, pipa penghubung, dan beberapa patahan menghasilkan slumping secara gayaberat (gravitational slumps) dan struktur intrusive.
Sehingga diperkirakan berkembang sebagai struktur piercement (pembubungan) pergerakan ke atas dari sedimen over-pressure di bawah diapir serpih (shale diaper).
2007 sampai 2010. Catatan lebar penyebaran (lebar) lumpur adalah ke timur dan ke barat, karena viskositas lumpur rendah dan topografi datar (flat).
Sebaran ke utara dan selatan terhambat oleh adanya tanggul atau pematang Kali Porong dan Ketapang.
Simulasi memperlihatkan bahwa lumpur tidak akan berekspansi ke utara, dan ke selatan karena dibatasi oleh sungai.
Gambar 12. Pandangan penampang memperlihatkan prediksi pertumbuhan lumpur dan subsidence dari Desember 2007 sampai Juni 2010.
Bulan Desember 2008, lumpur akan mulai membanjiri daerah barat dimana terdapat jalan raya dan rel kereta api. Tanggul bagian barat harus diperkuat untuk menjaga agar lumpur tidak membanjiri jalan dan rel.
Juni 2009, beberapa kilometer jalan akan tergenang lumpur. Karena itu direkomendasikan bahwa jalan raya dan rel alternatif harus disiapkan (antara lain direlokasi) untuk mengantisipasi kehilangan akses karena banjir lumpur.
Pengecekan pada Desember 2008 memperlihatkan bahwa lumpur tidak membanjiri jalan raya dan rel kereta api, sebagai hasil dari implementasi perkuatan tanggul-tanggul barat.
Gambar 12 memperlihatkan perkiraan evolusi pandangan penampang. Puncak relatif stabil pada ketinggian 21 m dan mencapai ketinggian maksimum 26 m dekat pusat semburan.
Gambar 13. Subsidence yang berlangsung, ketika ia membentuk suatu ruang kosong secara alami diisi lumpur tapi juga menyebabkan kerusakan.
Tingginya kecepatan subsidence di pusat semburan dicerminkan oleh penenggelaman dari permukaan subsidence sebelumnya yang mencapai 63 m pada Juni 2010.
Kecepatan subsidence diperkirakan 9 m per 6 bulan sampai Desember 2008, lalu berkurang menjadi 8 m/6 bulan sampai 2010.
Gambar 13 memperlihatkan perkiraan pertumbuhan dari 4,1 dan 6,4 km pada Desember 2007 mendekati 6,4 menjadi 8,4 km Juni 2010.
Subsidence terbesar didapatkan dekat dari semburan utama, dan membentuk suatu struktur depresi yang menyerupai kerucut. depression-cone-like structure.
Perkembangan daerah subsidence diperlihatkan denga lingkaran merah, luas 6,4 km dari utara ke selatan pada simulasi Desember 2007. Pada bulan Juni 2010, diperkirakan akan memperluas 8,4 km.
Daerah yang dilindungi oleh tanggul-tanggul kemungkinan tidak tergenang oleh lumpur namun akan mengalami penurunan ke depan.
Banyak rumah-rumah pada daerah subsidence akan mengalami kerusakan seperti dinding retak karena danya pergerakan selama proses penurunan.