Oleh : Ibnu Zahid Abdo el-Moeid
Disampaikan pada acara
"Upaya Penyatuan Kalender Islam Global"
23 Shofar 1437 H./ 5 Desember 2015 M.
Aula BAU Kampus 3 Universitas Muhammadiyah Malang
الحمد لله الذي رفع السموات بغير عمد ترونها, الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب. والصلاة والسلام على سيد الأفلاك سيدنا محمد القائل "جعل الله لكم الأهلة مواقيت ، فإذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ، فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين" : أما بعد
Persatuan umat Islam adalah dambaan semua orang Islam, namun sampai saat ini keinginan tersebut hanyalah impian semata, terutama ketika kita mengawali puasa maupun hari raya. Perbedaan penentuan hari-hari besar Islam, khususnya Romadlon, Idul Fitri dan Idul Adha, selalu menimbulkan kebingungan di masyarakat. Di dalam memulai Puasa maupun Hari Raya baik hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha umat Islam tidak bisa serentak dalam memulainya. Di satu negara memulai hari raya pada hari Rabu dan di negara lainnya ber hari raya pada hari berikutnya, bahkan di negara kita sendiri yang mayoritas penduduknya muslim perbedaan dalam memasuki awal puasa maupun hari raya bisa mencapai lima hari, namun, Alhamdulillah, dengan sikap saling menghargai sesama umat Islam perbedaan tersebut tidak sampai pada tahap yang perlu dikhawatirkan.
Perbedaan itu sunnatulloh sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari sebuah hadist yang bersumber dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW. datang dari gunung dan melewati Masjid Bani Mu’awiyah/Masjid Ijabah. Beliau memasuki masjid tersebut dan sholat disana serta berdo’a sangat panjang, setelah selesai kemudian beliau berkata :
“Aku memohon Tuhanku tentang tiga hal, maka Alloh mengabulkan dua permintaanku dan menolak satu permintaanku: 1. Aku memohon agar umatku tidak diadzab dengan kelaparan, maka permohonanku ini dikabulkanNya. 2. Aku juga memohon agar umatku tidak diadzab dengan ditenggelamkan, maka permohonanku inipun dikabulkan oleh-Nya. 3. Akupun memohon agar mereka tidak dirusak dengan perpecahan dan perbedaan pendapat, maka permohonanku yang ini tidak dikabulkan oleh Alloh SWT”.
Perbedaan pendapat tersebut tidak semestinya terus berlangsung dan kita kembangkan dengan dalih hadits diatas serta dengan dalih "Perbedaan diantara umatku adalah rohmat". Kita harus terus berupaya untuk mendapatkan titik temu perbedaan tersebut akan halnya Rosululloh SAW sendiri sangat mengidam-idamkan persatuan umat Islam sebagimana do'a Nabi di Masjid Ijabah tersebut.
Firman Allah di dalam Al-Quran yang artinya kurang lebih:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS Ali Imran:103)
Al-Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Alloh Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan persatuan merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]
FAKTOR PERBEDAAN
Hampir semua ulama telah sepakat bahwa dalam menentukan awal bulan qomariyah yaitu dengan adanya hilal, bukan planet maupun fenomena lainnya.
Firman Alloh di dalam AlQur'an.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji" (Al-Baqoroh 189)
Secara garis besar berbedaan penentuan awal bulan qomariyah timbul karena perbedaan metode dalam menemukan apa yang disebut dengan hilal tersebut, yang satu dengan rukyat dan yang lainnya dengan hisab. Dari kedua metode tersebut yang dicari adalah sama yakni hilal.
Kelompok Pertama
Pendapat pertama menentukan adanya hilal dengan rukyat hilal secara langsung dengan mata telanjang (naked eye) pada waktu maghrib setelah terjadinya ijtimak (conjungtion). Dan jika tidak berhasil melihat hilal maka menyempurnakan bilangan bulan 30 hari yakni Istikmal
Rosululloh SAW. Bersabda :
وَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : جَعَلَ الله لَكُمُ الأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ
Artinya : Rosululloh SAW bersabda, "Alloh telah menjadikan bagi kamu hilal sebagai tanda waktu bagi kamu, maka berpuasalah kamujika melihal hilal, dan berbukalah kamu jika melihat hilal, jika tertutup mendung maka sempurnakan bulan 30 hari"
Dan banyak lagi hadits yang seirama dengan hadits diatas dengan redaksi yang berbeda, akan tetapi intinya melihat hilal secara langsung dengan mata telanjang, sehingga Para ulama empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi'I dan Hambali) sepakat bahwa menentukan hilal awal bulan qomariyah adalah dengan melihat secara langsung dengan mata telanjang, dan jika terhalang, yakni tidak terlihat maka menyempurnakan bulan 30 hari (istikmal).
Kelompok Kedua
Pendapat kedua menentukan hilal dengan metode hisab. Adanya hilal (wujudul hilal) di atas ufuk secara hisab sudah cukup dijadikan dasar penentuan awal bulan tanpa harus terlihat maupun tidaknya hilal tersebut. Bulan terbenam setelah terbenamnya matahari dengan syarat setelah terjadinya ijtimak/konjungsi, berapapun ketinggian hilal diatas ufuk tidak menjadi syarat, pun juga terlihat maupun tidaknya hilal juga tidak menjadi syarat. Pendapat ini biasa disebut dengan Wujudul Hilal.
Al Qur’an menjelaskan bahwa peredaran matahari dan bulan adalah berdasarkan perhitungan artinya tidak berjalan secara serampagan. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Quran
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Perintah melakukan rukyat adalah perintah beralasan. Ilat perintah rukyat adalah karena umat zaman Nabi saw adalah umat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak bisa melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasululloh Saw dalam sebuah
عن إبن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : « إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ. الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ». يَعْنِى ثَلاَثِينَ ثُمَّ قَالَ :« وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ». وَضَمَّ إِبْهَامَهُ يَعْنِى تِسْعًا وَعِشْرِينَ يَقُولُ مَرَّةً ثَلاَثِينَ ، وَمَرَّةً تِسْعًا وَعِشْرِينَ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar beliau berkata : Rosululloh SAW bersabda “Kita adalah umat yang Ummi, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung(menghitung peredaran bulan), Bulan itu begini, begini, dan begini, yakni 30. Selanjutnya berkata dan bulan itu begini, begini dan begini, sambil menyimpulkan ibu jarinya, yakni 29 hari. Beliau berkata bulan itu satu tempo 30 dan satu tempo 29 hari.” (HR Bukhori)
HISAB DAN RUKYAT SEBAGAI PENENGAH PERBEDAAN
Tidak bisa dipungkiri terjadi dua perbedaan yang sama-sama mempunyai dasar dari alqur’an maupun sunnah. Kita tidak bisa menyalahkan salah satunya karena perbedaan dalam memahami Al-Quran dan Al-Sunnah adalah keniscayaan, pun juga argumennya yang sama sama kuat baik dipandang dari sisi dalil dan sain.
Di dalam ranah fiqih ada sebuah kaidah “Keluar dari perbedaan pendapat adalah diutamakan”. Artinya tidak harus membenarkan salah satu pendapat dan menyalahkan pendapat yang lainnya. Lebih kongkritnya menggunakan perhitungan hisab untuk memprediksi adanya hilal yang bisa dirukyat atau Imkanur rukyah
Untuk mengakomodir pendapat yang menguatkan hisab tanpa menyalahkan pendapat yang mensyaratkan terukyatnya hilal maka dalam menentukan awal bulan dihisab dengan pendekatan ilmu hisab yang mempertimbangkan terlihatnya hilal yang kira-kira bisa dilihat terlepas dari perbedan batas imkanur rukyah/visibilitas hilal yang sampai saat ini belum bisa disepakati bersama.
Hisab Imkanur rukyah adalah hisab dan bukan rukyat sehingga jangan dipahami sebagai rukyat, karena dengan hisab imkanur rukyah sudah bisa diprediksi kapan jatuhnya awal bulan qomariyah ratusan tahun yang akan datang tanpa menunggu rukyat akhir bulan.
Hisab dan rukyat tidaklah bisa dipisahkan karena keduanya saling berhubungan. Hisab lahir karena adanya rukyat, setelah melakukan rukyat kemudian dianalisa dengan seksama akhirnya menghasilkan ilmu hisab. Kemudian dikoreksi lagi dengan rukyat selanjutnya sehingga menghasilkan data empirik baru sebagai koreksi atas hisab sebelumnya, ini berjalan berulang-ulang sampai sekarang sehingga perkembangan ilmu hisab mencapai tingkat keakurasian yang tinggi.
Ternyata ilmu hisab yang tidak lain adalah ilmu pasti, dalam menghitung gerhana bulan 4 April 2015 terjadi perbedaan yang signifikan antara satu metode hisab dengan metode hisab yang lainnya.. Mengingat bahwa ilmu hisab bukanlah dogma agama yang cukup hanya dipercayai dan tidak bisa diutak-atik, namun ilmu hisab adalah ilmu eksak, dimana perhitungannya berdasarkan data-data empirik hasil rukyat/observasi estafet para ahli hisab ratusan tahun yang lalu sampai sekarang. Ahli hisab sejati akan selalu mencari kebenaran dari perhitungan hisabnya sehingga hisab yang dipakai benar-benar hisab qoth'I yang realistis sesuai dengan di lapangan.
Perhitungan hisab tetaplah hepotisis prediction, prediksi semata, sepasti pasti hisab hakikatnya tidak pasti sehingga hisab tidak harus berhenti sampai disini tetapi haruslah tetap melakukan observasi terus menerus walaupun bukan dalam kapasitas menentukan awal bulan, namun untuk mengkalibrasi perhitungan dengan kenyataan astronomi yang real.
KALENDER ADMINISTRASI DAN KALENDER IBADAH
Memang tidak mudah mempersatukan dua pendapat antara yang cenderung hisab dengan yang cenderung rukyat murni dengan mendekatan hisab Imkanur rukyah. Kalau memang tidak bisa disatukan keduanya maka bisa di carikan solusi dengan membedakan antara kalender ibadah dengan kalender administrasi.
Kalender administrasi disusun dan disatukan dengan pendekatan hisab imkanur rukyah sementara untuk urusan ibadah bagi yang masih belum sreg dengan hisab murni bisa melakukan rukyat tanpa harus merubah kalendernya. Artinya bisa jadi penganut rukyat baru mulai berpuasa pada tanggal 2 hijriyah menurut kalender administrasi.
Salah satu yang cukup besar dalam mempengaruhi perbedaan awal bulan adalah adanya kalender. Dengan kalender yang satu walaupun bersifat administratif akan banyak mempengaruhi pikiran awal seseorang dalam menentukan awal bulan ibadah, sedikit banyak bisa meminimalisir penentuan akhir dalam menentukan tanggal 1 bulan hijriyah.
PENYATUAN KALENDER SECARA GLOBAL
Melihat seringnya umat Islam berbeda dalam dalam penentuan awal bulan hijriyah selama ini mengakibatkan munculnya wacana penyeragaman puasa dan hari raya secara global. Yang dimaksud dengan kalender global adalah kalender yang berlaku secara global, seluruh dunia dalam satu kalender dan tidak dibatasi dengan matla’ masing masing.
Untuk menuju kalender global harus ada otoritas tunggal yang sedikit memaksa, karena perbedaan memahami dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli (rasio) bersifat debatebel, sulit rasanya untuk menyatukannya tanpa adanya otoritas tunggal.
Sebelum menuju kalender Islam global, paling tidak diawali dengan penyatuan kalender secara regional. Indonesia sebagai negara muslim yang paling banyak penduduknya harus bisa menjadi contoh negara Islam yang lainnya tidak seperti sekarang yang justru paling banyak perbedaanya dalam memulai awal bulan hijiryah yang konon sampai 5 hari.
Makalah dalam format PDF bisa didownload di : MAKALAH PDF