Bab 4
Al-Qur'an dan Hadis adalah Pedoman Hidupku
Al-Qur'an dan Hadis adalah Pedoman Hidupku
Memahami sumber hukum Islam dan pentingnya menjaga lima prinsip dasar hukum Islam (al-Kulliyat al-Khamsah).
Menjelaskan pengertian dan fungsi masing-masing sumber hukum Islam
Mengelompokkan contoh hukum Islam sesuai sumber hukumnya
Membandingkan peran dan kedudukan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum
Apa hukum melaksanakan shalat?
Apa hukum minum minuman khamr?
Apa hukum merokok?
Apa hukum sedekah?
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut.
Wajib (farḍu), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
Haram (taḥrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya.
Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.
Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan.
Definisi al-Qur'an
Dari segi bahasa, al-Qur'an berasal dari kata qara'a -yaqra''u - qira'atan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur'an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mushaf, dimulai dengah surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah swt. berfirman:
Artinya: "Sungguh, al-Qur'an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar." (Q.S. al-Isra/17: 9)
Kedudukan al-Qur'an sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur'an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur'an merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam al-Qur'an:
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah swt. (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S. an-Nisa'/4: 59)
Dalam ayat yang lain Allah swt. menyatakan:
Artinya: "Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur'an) kepada (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat." (Q.S. an-Nisa'/4: 105)
Berdasarkan dua ayat di atas, jelaslah bahwa al-Qur'an adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur'an sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab suci al-Qur'an ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
Kandungan Hukum dalam al-Qur'an
Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an ke dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang ghaib yang terangkum dalam rukun iman (arkanu iman), yaitu iman kepada Allah swt., malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada' qadar Allah swt.
Syari'ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khaliq (Pencipta), yaitu Allah swt. yang disebut ibadah maghdah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah ghairu maghdah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan shalat, haji, zakat, puasa, dan lain sebagainya.
Hukum Mu'amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dengan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.
Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur'an juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur'an menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik berakhlak kepada Allah swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah swt. yang lain. Pendeknya, berakhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah swt. hubungan antara manusia dan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tercermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.
Definisi Hadis / Sunnah
Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.
Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut:
Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang ini.
Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.
Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai sumber hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur'an. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur'an, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut.
Hal ini sebagaimana firman Allah swt. :
Artinya: "... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah." (Q.S. al-Hasyr/59: 7)
Demikian pula firman Allah swt. dalam ayat yang lain:
Artinya: "Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketauhilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka." (Q.S. an-Nisa'/4: 80)
Fungsi Hadis terhadap al-Qur'an
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah swt. melalui al-Qur'an kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur'an.
Fungsi hadis terhadap al-Qur'an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut:
Menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang masih bersifat umum
Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur'an
Menerangkan maksud dan tujuan yang ada dalam al-Qur'an
Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'an
Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut:
Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang berbunyi:
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka." (H.R. Bukhari, Muslim)
Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi'in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya: "Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya." (H.R. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
Hadis Shahih, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw.,, tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
Hadis Hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis shahih, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
Hadis Da'if, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis shahih dan hadis hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
Hadis Maudu', yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ijtihada - yajtahidu - ijtihadan yang berarti mengarahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid.
Syarat-Syarat Berijtihad
Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat.
Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad.
Memiliki pengetahuan luas dan mendalam
Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah)
Memahami cara merumuskan hukum (istinbat)
Memiliki keluhuran akhlak mulia
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur'an dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur'an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Artinya: "Dari Mu'az, bahwasannya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, "Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?" Mu'az berkata, "Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur'an)." Lalu Nabi berkata, "Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?" Mu'az menjawab, "Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw." Kemudian, Nabi bertanya lagi, "Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?" Mu'az menjawab, "Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra'yi) tanpa bimbang sedikit pun." Kemudian, Nabi bersabda, "Maha Suci Allah swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya." (H.R. Darami)
Bentuk-Bentuk Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma' di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur'an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan atau menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur'an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan.
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syariat Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar kerugian atas kerugian kepada pemiliki barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.
PENERAPAN SUMBER HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN
Petunjuk Umum:
Setiap murid menjelaskan kasus atau perkara yang telah didapat.
Menjelaskan sumber hukumnya (Al-Qur'an, Hadis, Ijma', atau Qiyas)
Mencari dan menuliskan dalil yang telah didapat, serta penjelasan hukumnya.
Menyajikan hasil dalam bentuk laporan singkat, yang akan dipresentasikan di depan kelas.
JUDUL KASUS / PERKARA :