Bab 5
Meneladani Peran Ulama Penyebar Ajaran Islam di Indonesia
Meneladani Peran Ulama Penyebar Ajaran Islam di Indonesia
Memahami sejarah masuknya Islam ke Indonesia dan peran tokoh ulama dalam penyebarannya.
menganalisis sejarah masuknya agama Islam di Indonesia dan perkembangan kesultanan di Indonesia
menganalisis tokoh penyebar ajaran Islam di Indonesia
membuat dan bagan timeline sejarah tokoh ulama penyebar Islam di Indonesia
Tahukah kalian bahwa kedatangan Islam di Indonesia berkat jasa para ulama yang menyebarkan Islam secara damai. Sehingga mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Penting untuk kalian ketahui bahwa Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan Islam di Mesir, Arab Saudi dan lain sebagainya. Hal ini terkait dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia yang memiliki lintasan garis sejarahnya tersendiri.
Perlu kalian pahami bahwa agama Islam mudah diterima oleh penduduk Indonesia dikarenakan mudahnya syarat-syarat untuk masuk agama Islam. Untuk menjadi seorang muslim, seseorang cukup mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu syahadat tauhid dan syahadat rasul. Di samping itu, Islam disebarkan oleh para da'i dengan cara damai. Kegigihan dan semangat para juru dakwah melalui berbagai saluran islamisasi di Indonesia juga berperan penting terhadap keberhasilan dakwah di Indonesia.
Kapan Islam masuk ke Nusantara Indonesia?. Siapakah yang membawa Islam ke Nusantara Indonesia?. Daerah mana di antara pulau-pulau di Nusantara yang merupakan daerah pertama masuknya Islam?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu memunculkan beragam pendapat dan jawaban dari para sejarahwan.
Wilayah Nusantara sangat luas, posisi geografisnya terletak di persimpangan jalur perdagangan antara India, Cina, dan Arabia. Maka sulit untuk memastikan wilayah mana yang pertama kali menerima ajaran Islam. Oleh karena itu, ada beberapa teori tentang masuknya agama Islam di Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku "Api Sejarah Jilid 1". Teori-teori tersebut yaitu:
Teori Gujarat oleh Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje
Menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat. Snouck Hurgronje berkeyakinan bahwa tidak mungkin Islam masuk ke Indonesia langsung berasal dari Arabia tanpa melalui ajaran tasawuf yang berkembang di Gujarat, India. Wilayah Kerajaan Samudra Pasai merupakan daerah pertama penerima ajaran agama Islam, yakni pada abad ke-13 Masehi. Teori ini tidak menjelaskan secara rinci antara masuk dan berkembangnya Islam di wilayah ini. Tidak ada penjelasan mengenai madzhab apa yang berkembang di Samudra Pasai. Maka muncul pertanyaan besar, mungkinkah saat Islam datang langsung mampu mendirikan kerajaan yang memiliki kekuasaan politik besar?
Teori Makkah oleh Prof. Buya Hamka
Buya Hamka menggunakan berita yang diangkat dari Berita Cina Dinasti Tang sebagai acuan teori ini. Menurutnya, masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi. Berdasarkan Berita Cina Dinasti Tang, ditemukan pemukiman saudagar Arab di wilayah pantai barat Sumatera.
Dari sini disimpulkan Islam di bawa masuk ke Indonesia oleh para saudagar yang berasal dari Arab. Jika kita perhatikan, kerajaan Samudra Pasai didirikan pada abad ke-13 M atau tahun 1275 M, artinya bukan awal masuknya Islam tetapi meruapakan perkembangan agama Islam.
Teori Persia oleh Prof. Dr. Husein Djajadiningrat
Menurut teori ini, Islam masuk dari Persia dan madzhab Syi'ah. Pendapat ini didasarkan pada sistem mengeja bacaan huruf Al-Qur'an, terutama di Jawa Barat yang menggunakan ejaan Persia.
Teori ini dipandang lemah, karena tidak semua pengguna sistem baca tersebut di Persia sebagai penganut Syi'ah. Pada saat itu, Baghdad sebagai ibu kota Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang mayoritas khalifahnya merupakan penganut Ahlussunnah Wal Jama'ah. Lebih dari itu, adanya fakta bahwa mayoritas muslim Jawa Barat bermadzhab Syafi'i sekaligus berpaham Ahlussunnah Wal Jama'ah, bukan pengikut Syi'ah.
Teori Cina oleh Prof. Dr. Slamet Muljana
Menurut Slamet Muljana, Sultan Demak merupakan keturunan Cina, lebih dari itu menurutnya, Wali Songo juga merupakan keturunan Cina. Pendapat ini didasarkan pada Kronik Klenteng Sam Po Kong.
Misalnya, Sultan Demak Panembahan Fatah dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong bernama Panembahan Jin Bun. Sultan Trenggana disebutkan dengan nama Tung Ka Lo. Sedangkan Wali Songo, Sunan Ampel dengan nama Bong Swi Hoo, Sunan Gunung Jati dengan nama Toh A Bo.
Perlu diketahui bahwa menurut kebudayaan Cina, penulisan sejarah yang terkait dengan penulisan nama tempat dan nama orang yang bukan dari negeri Cina, juga ditulis menurut bahasa Cina. Maka sangat mungkin seluruh nama-nama raja Majapahit juga dicinakan dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong Semarang. Pertanyaannya, mengapa nama Sultan Demak dan para Wali Songo yang dicinakan dalam Kronik Klenteng Sam Po Kong dianggap sebagai orang Cina? Tentu hal ini merupakan salah satu titik kelemahan teori ini.
Teori Maritim oeh N.A. Baloch
Walaupun di Makkah dan Madinah terjadi perang selama kurun waktu sepuluh tahun antara 1-11 H/622-623 M, namun tidak memutuskan jalur perdagangan laut yang sudah menjadi tradisi sejak lama. Jalur perdagangan tersebut adalah jalur antara Timur Tengah, India, dan Cina. Hubungan perdagangan ini semakin lancar pada masa Khulafaur Rasyidin (11-41 H/632-661 M). Banyak juga para sahabat Nabi saw. yang berdakwah keluar Madinah, bahkan di luar Jazirah Arab.
Menurut N.A. Baloch, hal itu terjadi karena umat Islam memiliki kemampuan dalam penguasaan perniagaan melalui jalur maritim. Melalui jalur ini, yakni pada abad ke-1 H atau abad ke-7 M, agama Islam dikenalkan di sepanjang jalur niaga di pantai-pantai tempat persinggahannya. Proses pengenalan ajaran Islam ini, berlangsung selama kurun waktu abad ke-1 sampai abad ke-5 H/7-12 M. Fase berikutnya adalah pengembangan agama Islam, terjadi mulai abad ke-6 H sampai ke pelosok Indonesia. Saudagar pribumi berperan penting dalam proses pengembangan agama Islam di pedalaman-pedalaman. Dimulai dari Aceh pada abad ke-9 M dan diikuti tumbuh dan berkembangnya kerajaan Islam di berbagai wilayah.
Kesultanan Samudra Pasai
Sultan Malik Al-Saleh adalah pendiri kesultanan Islam pertama, yaitu Samudra Pasai yang terletak di Lhokseumawe, Aceh Utara. Awal berdirinya kesultanan ini diketahui dari batu nisan makam Raja Malik Al-Saleh yang meninggal pada 696 H atau 1297 M. Setelah Malik Al-Saleh wafat, pemerintahan dipegang berturut-turut oleh keturunannya, yaitu Sultan Muhammad Malik Al-Taher, Sultan Ahmad, dan Sultan Zainul Abidin.
Letak Samudra Pasai yang cukup strategis untuk perdagangan, mampu mengundang pedagang-pedagang lain untuk singgah di sana. Kesultanan ini mampu memanfaatkan ramainya perdagangan Internasional yang dilakukan oleh para pedagang asing.
Selain di bidang ekonomi, Kesultanan Samudra Pasai juga berkembang sebagai pusat perkembangan Islam di Nusantara. Catatan perjalanan Ibnu Batutah pada pertengahan abad ke-14 (tahun 746 H / 1345 M) menggambarkan besarnya perhatian penguasa Kesultanan Samudra Pasai terhadap Islam. Menurutnya, Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345), putra Malik al-Saleh penguasa ketiga kesultanan tersebut adalah orang yang sangat taat menjalankan shalat di masjid istana dan melakukan kajian terhadap Al-Qur'an. Ia juga dikenal sebagai seorang yang sangat dekat dan menghargai para ulama ahli hukum Islam. Lebih dari itu, kondisi tersebut selanjutnya menjadikan Samudra Pasai sebagai basis islamisasi di wilayah sekitar. Para ulama dan pedangan muslim memberikan kontribusi penting dalam pembentukan Kesultanan Malaka pada abad ke-14.
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16-17. sejak penaklukan Malaka beralih ke Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah adalah orang yang dianggap berperan meletakkan landasan berdirinya Kesultanan Aceh. Selama masa kekuasaannya (1514-1530), wilayah kekuasaan Aceh tidak terbatas hanya di lembah Sungai Aceh, yang kemudian dikenal dengan Aceh Besar, tetapi sudah menjangkau beberapa wilayah lain di sekitarnya. Pada 1520, ia menaklukkan Daya di ujung barat, dan selanjutnya Pidie dan Pasai di belahan Timur masing-masing pada 1521 dan 1524.
Menyangkut proses pembentukannya menjadi sebuah kesultanan, penting ditekankan bahwa wilayah Kesultanan Aceh memang sangat potensial sebagai penghasil barang-barang komoditi yang laku di pasar internasional. Daerah-daerah kekuasaan Ali Mughayat Syah tersebut, khususnya Pidie, Pasai dan Daya terkenal sebagai penghasil utama lada dan rempah-rempah di Sumatra. Penguasaan atas daerah itu menjadi sangat strategis bagi perkembangan kesultanan. Di bidang ekonomi, daerah-daerah tersebut menjadi pemasok kebutuhan para pedagang internasional. Penguasa wilayah tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan politik Kesultanan Aceh. Hal ini berlangsung pada masa kekuasaan sultan-sultan Aceh berikutnya, yang berhasil membawa kesultanan tersebut sebagai pemegang kontrol politik dan ekonomi di kawasan barat Nusantara.
Kesultanan Demak
Kesultanan Demak merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa yang berdiri pada awal abad ke-16. Berdirinya Kesultanan Demak merupakan babak penting dalam proses islamisasi di Jawa. Ahli sejarah kesulitan untuk menentukan tahun berdirinya Kesultanan Demak karena tidak tersedianya data-data sejarah yang memadai. Penguasa pertama Kesultanan Demak adalah Raden Patah (1500-1518). Dia seorang keturunan raja Majapahit dari istri seorang putri keturunan Campa (negara kuno di Vietnam Tengah), yang dihadiahkan kepada raja Palembang. Berdirinya Kesultanan Demak mempunyai makna penting dalam sejarah Islam di tanah Jawa. Kesultanan ini dianggap menandai berakhirnya era Hindu-Budha Majapahit. Dalam perkembangannya, Demak memperlihatkan peran yang besar dalam proses islamisasi masyarakat Jawa.
Kesultanan Demak mencapai zaman kemajuannya pada masa kekuasaan Sultan Trenggono yang berkuasa pada tahun 1524 hingga 1546. Ia melakukan perluasan wilayah kekuasaan kesultanan dan meninggal dalam pertempuran di Panarukan, dalam upaya melakukan ekspansi wilayah. Pada masa kekuasaan Trenggono, Demak berkembang menjadi kesultanan terkemuka dan pusat islamisasi. Selain itu, masjid Demak terkenal sebagai tempat berkumpulnya Wali Songo (sembilan wali) yang dianggap paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.
Kesultanan Banten
Kedatangan Islam di pesisir utara Jawa Barat bagian barat (Banten) berkaitan dengan kehadiran Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. Ia menempatkan putranya Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama di daerah Banten sejak abad ke-16. Kesultanan ini merupakan bekas wilayah Pajajaran. Sebelum Sunan Gunung Djati tinggal di Banten dan Cirebon, sudah terdapat pemeluk Islam di pesisir utara Jawa Barat, terutama di kota-kota pelabuhan, seperti Banten, Sunda Kalapa, dan Cirebon. Mereka adalah penduduk Kesultanan Pajajaran yang mulai tertarik dengan ajaran agama Islam. Islam mulai berkembang setelah Banten dikuasai oleh Sunan Gunung Djati sebelum 1526 Masehi.
Maulana Hasanuddin memiliki hubungan keluarga dengan Sultan Demak melalui perkawinan. Perkawinan Maulana Hasanuddin dengan putri Sultan Trenggono berpengaruh pada perkembangan politik di Banten. Dari perkawinan tersebut, Maulana Hasanuddin memperoleh dua orang anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara. Anak kedua disebut demikian karena ia diangkat menjadi penguasa Jepara setelah menikah dengan anak Ratu Kali Nyamat, penguasa Jepara, sedangkan Maulana Yusuf sebagai anak pertama menggantikan ayahnya pada 1570 sebagai Sultan Banten.
Kesultanan Mataram
Kyai Ageng Pamanahan merupakan pendiri kesultanan Mataram. Setelah meninggal tahun 1575, Pamanahan digantikan oleh anaknya, Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pada masa pemerintahan Sutawijaya inilah Mataram dapat memperluas wilayahnya