KRL seri ED101 atau KRL Rheostatik adalah KRL non-AC yang pernah beroperasi di lintas Jabodetabek. KRL Ciujung sejak tahun 1976 hingga tahun 2013, setelah dihapuskannya seluruh operasional KRL non-AC pada tanggal 25 Juli 2013. KRL ini diproduksi bersama secara Completely Built-Up (CBU) oleh Nippon Sharyo, Kawasaki Heavy Industries, dan Hitachi, Ltd. sejak tahun 1976 hingga tahun 1987. KRL dengan jumlah 120 unit ini menggunakan teknologi Rheostat.
KRL ini memiliki 2 model, yaitu model dengan body mild steel yang diproduksi pada tahun 1976-1984, dan KRL dengan body stainless steel yang diproduksi pada tahun 1986-1987. KRL ini didatangkan bersamaan dengan KRD MCW 301 daan 302 yang diproduksi di pabrik yang sama. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuknya yang mirip. Desain kereta ini juga cukup mirip dengan KRL di Jepang, yaitu KRL JNR seri 101 dan 103. Kereta ini menggunakan teknologi Rheostat, karena selain saat itu teknologi Chopper belum banyak digunakan namun juga untuk mengurangi biaya pembuatan. Teknologinya juga mirip dengan KRL JNR seri 101 dan 103. Penampilan yang mencolok dari KRL ini adalah tutup semboyan berbentuk "dasi kupu-kupu" yang berada di atas kaca kabin masinisnya, meskipun perlahan-lahan hampir keseluruhannya telah dihilangkan.
KRL ini merupakan KRL yang andal karena frekuensi kendala yang sangat rendah jika dibandingkan dengan KRL-KRL ekonomi lainya seperti BN-Holec. KRL ini juga tidak memiliki masalah suku cadang seperti KRL BN-Holec yang disebabkan pabriknya (BN-Bombardier dan Holec Ridderkerk) tutup, ini terbukti bahwa masih banyak KRL Rheostatik yang beroperasi sampai akhir masa dinasnya, kecuali unit yang dirucat akibat kecelakaan.
Seluruh unit KRL ini berada dalam perawatan Balai Yasa Manggarai serta tersebar di beberapa depo di Jabodetabek dari awal sampai akhir masa dinasnya. KRL ini pernah berdinas di semua lintas KRL Jabodetabek. Sebenarnya beberapa KRL ini masih beroperasi hingga tahun berikutnya, 2014. tetapi bukan untuk penumpang, melainkan untuk inspeksi, karena setelah dilihat ke dalam gerbong, tidak ada penumpang alias kosong.
SEJARAH
KRL ini sudah beroperasi di Indonesia sejak masa-masa PJKA, yaitu pada tahun 1976. KRL ini hadir untuk menggantikan lokomotif-lokomotif listrik bekas belanda seperti ESS 3201. KRL ini menjadi KRL paling legendaris di Indonesia, karena KRL ini sudah berdinas di Indonesia selama 37 tahun dan menjadi tulang punggung perkereta apian di jabodetabek kala itu. KRL ini terbuat dari dua jenis baja, yaitu mild steel dan stainless steel. KRL ini didatangkan bersamaan dengan KRD MCW 301 dan MCW 302. KRL ini merupakan KRL non-AC yang menggunakan kipas angin dan pintu otomatis, tetapi pintu otomatis KRL tersebut mulai rusak pada dekade 1990-an, saat atapers dan vandalisme merajalela, serta mulai menumpuknya penumpang.
KRL mild steel diimpor pada tahun 1976 sebanyak 20 unit atau 5 rangkaian, pada 1978 dengan jumlah yang sama, pada 1983 sebanyak 24 unit atau 6 rangkaian, dan pada 1984 sebanyak 16 unit atau 4 rangkaian. Pada KRL yang diimpor tahun 1976, KRL ini memiliki 2 pintu dan tangga untuk memudahkan penumpang yang naik di peron pendek, seperti di Jakarta Kota. KRL yang diimpor pada tahun 1978-1984 memiliki 3 pintu, dan pintu tinggi dengan pijakan kaki.
Sementara itu, KRL yang memiliki bodi stainless steel diimpor pada tahun 1986 sebanyak 20 unit atau 5 set, dan pada tahun 1987 dengan jumlah yang sama. KRL ini menggunakan 3 pintu dan pintu tinggi dengan pijakan kaki. KRL Rheostatik Stainless yang didatangkan pada tahun 1987 juga dirakit di PT INKA Madiun, meskipun komponennya tetap didatangkan dari Jepang. Lalu, KRL yang diimpor sejak tahun 1978, yaitu KRL Rheostatik Mild dan Stainless Steel dengan 3 pintu pun dilengkapi dengan toilet pada kereta ujungnya.
Pada masa PJKA, seluruh KRL Rheostatik, baik itu KRL Rheostatik Mild dan Stainless Steel, dioperasikan sebagai KRL kelas ekonomi (KL3), dan pada saat itu, beroperasi di sebagian besar jalur di Jakarta dan juga menuju Bogor, mengingat jalur-jalur lain di Jabodetabek pada masa PJKA saat itu belum terelektrifikasi.
Pada masa Perumka, yang dimulai pada tahun 1991, KRL Rheostatik pun mengalami fase kedinasan berikutnya, dimana kereta ini memiliki tiga kelas, tidak seluruhnya kelas ekonomi lagi seperti pada masa PJKA. Pertama, sempat ada satu set yang ditambahkan AC untuk perjalanan kereta api luar biasa (KLB) Presiden Soeharto saat meresmikan jalur layang Manggarai-Jakarta Kota pada tahun 1992, dan setelah digunakan sebagai KLB Presiden Soeharto, KRL ini tetap menjadi KRL kelas eksekutif (KL1) untuk Pakuan AC rute Bogor-Jakarta Kota pp. Meskipun demikian, AC hanya tersedia di kereta berkabin.
Tersedia pula KRL Ekspres non-AC kelas bisnis (KL2) yang dilayani dengan KRL Rheostatik berbodi stainless steel. Pada masa Perumka, untuk KRL kelas ekonomi (KL3) dilayani oleh seluruh KRL Rheostatik Mild dan sebagian KRL Rheostatik Stainless. Pada masa Perumka ini pula, KRL Rheostatik yang menjadi kereta kelas ekonomi mulai mengalami penurunan kondisi yaitu pintu yang tidak bisa menutup secara otomatis lagi, karena sering kali kereta ini diganjal pintunya di kala jam sibuk. Lalu, pada tahun 1993, dua rangkaian KRL Rheostatik juga terlibat dalam salah satu kecelakaan kereta api terparah di Indonesia, yaitu kecelakaan kereta api Ratu Jaya pada 2 November 1993, yaitu antara dua KRL Ekonomi yaitu KRL Rheostatik Mild dan Stainless Steel, yang mengakibatkan 2 kereta dari masing-masing set rusak, sehingga 2 kereta sisa dari masing-masing set digabung menjadi KRL "Catdog"
Pada masa-masa ini juga KRL-KRL baru buatan PT INKA Madiun seperti KRL ABB-Hyundai, BN-Holec, dan Hitachi juga beroperasi, tetapi posisi KRL Rheostatik tidak tergeser, karena kebutuhan armada KRL juga terus meningkat dengan elektrifikasi yang sudah selesai pada jalur Bekasi, Serpong, dan Tangerang, ditambah dengan jalur ganda yang sudah diperpanjang dari Depok sampai dengan Bogor pada dekade 90-an ini.
Pada era 90-an akhir, seiring makin banyaknya penduduk, pengguna KRL pun makin meningkat. Atapers muncul pada tahun 90-an akhir, karena jumlah armada KRL yang tidak mengimbangi jumlah penumpang. Pintu KRL Rheostatik pun rusak seluruhnya, dan dari pihak Balai Yasa Manggarai juga tidak pernah memperbaiki pintu KRL ini saat Pemeliharaan Akhir (PA), sampai akhir KRL ini beroperasi. Itulah sebabnya KRL ini pintunya selalu terbuka sejak akhir tahun 90-an. Vandalisme juga sering menimpa KRL ini, terlihat banyak coretan di bodi maupun interior KRL, khususnya saat KRL ini menjadi KRL Ekonomi (KL3).
Pada tahun 2000, datanglah KRL AC eks-Jepang pertama di Indonesia, yaitu KRL Toei seri 6000, yang dihibahkan oleh Pemerintah Kota Tokyo, Jepang. Dengan adanya KRL AC seri 6000 yang lebih nyaman untuk layanan Express, sejak tahun 2000 KRL Rheostatik kelas eksekutif dan bisnis pun mulai turun kelas menjadi KRL ekonomi (KL3). Meskipun demikian, KRL Rheostatik Bisnis masih beroperasi sampai dengan tahun 2004 di jalur Tangerang sebagai KRL Express non-AC, dan pada tahun 2004, bersamaan dengan datangnya KRL seri 103 milik JR East, seluruh KRL Rheostatik sudah menjadi kelas ekonomi (KL3) karena perannya sebagai KRL Express sudah digantikan oleh KRL Toei seri 6000 dan JR 103. Bersamaan dengan dijadikannya seluruh KRL Rheostatik baik yang Mild Steel maupun Stainless Steel sebagai KRL kelas ekonomi, toiletnya pun dihilangkan, termasuk pada KRL yang sudah menjadi kelas ekonomi pada masa-masa awal berdinasnya.
Masa-masa KRL Rheostatik sejak tahun 2000 sangatlah memprihatinkan, dengan membludaknya penumpang yang naik ke atap dan bergelantungan di pintu kereta serta naik di kabin masinis, dengan perawatan yang kurang baik dan vandalisme yang marak pada saat itu, membuat KRL ini terlihat lebih tua dibandingkan dengan KRL eks-Jepang yang umurnya kurang lebih sama. Meskipun demikian, KRL Rheostatik masih bisa diandalkan karena ketersediaan suku cadang yang cukup dan juga mampu berdinas pada jalur yang tidak bisa dilewati oleh KRL non-AC lain yang lebih baru seperti KRL BN-Holec dan Hitachi, seperti jalur Serpong dan Tangerang.
Pada tahun 2009, Balai Yasa Manggarai membuat satu rangkaian KRL Rheostatik dengan kabin rakitan, yaitu KRL "Djoko Lelono" dan pada tahun 2011, dibuatlah satu rangkaian dengan kabin rakitan lagi yaitu KRL "Marcopolo". KRL "Djoko Lelono" juga pintunya sudah bisa kembali berfungsi seperti pada masa-masa awal kereta ini beroperasi. Dan bersamaan dengan dipensiunkannya KRL Ekonomi, KRL ini juga perlahan-lahan dipensiunkan, dan terakhir kali beroperasi pada 24 Juli 2013.
Sejak tak lagi dioperasikannya seluruh KRL ekonomi non-AC, KRL Rheostatik disimpan di Depo KRL Depok dan Balai Yasa Manggarai. KRL Rheostatik dengan body mild steel sebagian dikirim ke Stasiun Purwakarta dan Stasiun Cikaum untuk diafkirkan. Sementara KRL Rheostatik stainless steel ada yang masih disimpan di Depo KRL Depok atau di Balai Yasa Manggarai, karena tidak menutup kemungkinan untuk direkondisi menjadi KRL AC, tetapi akhirnya ada juga yang ikut dirucat ke Purwakarta. Akan tetapi, komponen dan instrumen KRL Rheostatik yang masih berfungsi dengan baik terlebih dahulu dilepas dan disimpan sebelum dibawa ke Purwakarta dan Cikaum untuk dirucat, sedangkan bogie dan rodanya ditumpuk disana juga.
Tetapi, sampai saat ini belum ada tanda-tanda KRL ini akan dihancurkan menjadi besi tua, tetapi hanya ditumpuk saja di Purwakarta, kemungkinan hanya untuk mengosongkan depo maupun Balai Yasa Manggarai agar dapat memuat KRL JR East 205 yang baru.
Lalu, akhirnya sisa KRL Rheostatik yang tidak dikirim ke Purwakarta pun dikirim ke Stasiun Cikaum. Yaitu KRL Rheostatik Catdog dan satu trainset KRL Rheostatik batch 1 produksi 1976, yang ironisnya sudah diberi stiker Benda Cagar Budaya oleh divisi heritage turut dikirim ke Stasiun Cikaum. Menjelang akhir tahun 2018, beberapa KRL Rheostatik di Stasiun Purwakarta pun sudah ada yang ditandai untuk dirucat. Sampai saat ini, masih belum ada tanda-tanda KRL ini akan dipreservasi, padahal KRL ini adalah KRL paling legendaris di Indonesia dan sangat bersejarah karena merupakan KRL modern pertama di Indonesia.
Pada awal tahun 2019, hampir seluruh KRL Rheostatik yang ditumpuk di Purwakarta sudah dirucat, kecuali beberapa kereta yang ditandai untuk tidak dirucat. Terdiri atas 1 kepala kabin trainset KRL Rheostatik,2 kereta motor tengah produksi 1983,dan 8 unit KRL Rheostatik trainset Djoko Lelono. Sebelumnya, penandaan antara kereta yang tidak dirucat dan yang dirucat telah dilakukan pada akhir tahun 2018.
DATA TEKNIS
Bodi gerbong : Mild Steel
Stainless Steel
Panjang gerbong : 20.000 mm
Lebar : 3.180 mm
Tinggi : 3.755 mm
Pintu : 2-3 pintu di setiap sisi
Kecepatan maksimum : 100 km/jam
Percepatan : 2,0 km/h/s
Perlambatan : 3,5 km/h/s (normal)
4,5 km/h/s (darurat)
Sistem traksi : Hitachi, Ltd. Kontrol rheostat tipe MMC-HTB-20
Motor traksi : Motor DC seri tipe HS-836-Urb
Daya mesin : 120 kW Ă— 8 = 960 kW
Transmisi : Hitachi, Ltd. Motor Generator (MG) 20 kVA
Tipe : HS-544Gr
Sistem listrik : 1.500 V DC
Metode pengambilan arus : Pantograf
Bogie : NT-40 (Unit TC)
ND-112 (Unit M1)
Rem kereta : Rem dinamis, Electromagnetic Direct Brake (SELR)
Alat perangkai : AAR No. 10A
Kerja majemuk : Hanya sesama KRL Rheostatik
Lebar sepur : 1067 mm