Jalanan Austria sebuah cermin budaya *)

Post date: Apr 22, 2013 3:29:17 PM

Wina, 22 April 2013

Kontributor: Zulaicha Parastuty, @parastuty

Setiap kali membuka koran, melihat berita di televisi mengenai Indonesia atau pun membaca linimasa akun Twitter saya, maka berita kecelakaan selalu menghiasi (selain berita dengan awalan K yang lain). Hingga pada beberapa masa, saya menghindari untuk membaca berita tentang Indonesia karena terlalu mengerikan yang membuat perasaan saya bercampur aduk. Seberapa mengerikankah angka kecelakaan di Indonesia? Data statistik kecelakaan lalu lintas yang dilansir oleh BPS, menunjukkan bahwa angka kecelakaan di Indonesia pada tahun 2010 adalah 66.488 kasus dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 19.873 orang dan 26.196 orang dengan luka berat dan 63.809 dengan luka ringan. JIka dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka angka diatas meningkat sebanyak kurang lebih 5.6% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2011, Departemen Perhubungan mencatat bahwa terjadi kasus kecelakaan sebanyak 203.334 kecelakaan dimana 72% kecelakaan melibatkan sepeda motor. Angka-angka yang dicatat oleh BPS ataupun Departemen Perhubungan tersebut tentu lebih kecil dari kenyataan yang ada di jalan. Kita tentu sering melihat kasus kecelakaan yang tidak terlapor ke Kepolisian. Dengan penduduk Indonesia di tahun 2010 sebanyak 237.641.326 orang, maka fatalitas kecelakaan di Indonesia per 100 ribu penduduk adalah kurang lebih 28 orang. Tinggi atau rendahkah angka ini? Negara dengan fatalitas terendah adalah Swedia dengan 3 orang saja per 100 ribu penduduk. Negara-negara dengan fatalitas rendah antara lain Islandia, Belanda, Singapura dan Inggris dengan angka 4-5 orang.

Tingginya angka kecelakaan di Indonesia disebabkan oleh berbagai hal yang sangat sistemik. Mulai dari dari infrastruktur jalan, kelayakan kendaraan, sistem transportasi dan lalu lintas, penegakan hukum, pendidikan berkendara hingga pengemudinya sendiri. Peraturan telah dibuat, rambu-rambu telah dipasang (walaupun tidak sempurna) namun tanpa pemahaman atas peraturan dan rambu tersebut (disertai dengan penegakan hukum), sulit rasanya menurunkan angka kecelakaan di Indonesia. Lalu pertanyaan saya adalah dimanakah dan kapankah kita mengetahui tentang peraturan dan rambu lalu lintas serta etika berkendara?

Di Indonesia, seseorang dengan mudahnya mendapatkan Surat Ijin Mengemudi atau SIM. Anak-anak dengan umur 12-15 tahun pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor dimana syarat umur untuk mendapatkan SIM C (untuk kendaraan roda dua) adalah 17 tahun. Syarat umur yang sama juga berlaku untuk SIM A (untuk mobil). Kita dengan mudah menemui siswa dengan berkendara sepeda motor dan mobil sedang memarkir di SMP dan SMA-nya. Pelanggaran secara berjamaah dan transparan telah dilakukan. Orang tua, guru, masyarakat sekitar bahkan polisi dan pemerintah membiarkan pelanggaran ini terjadi. Jika persyaratan umur telah dilanggar, tentunya proses mendapatkan SIM juga diliputi pelanggaran. Hampir semua pengendara tidak pernah mengikuti ujian teori atau praktik ketika mengajukan SIM. Kalaupun ada, ujian itu dilakukan hanyalah formalitas dimana para petugas akan membantu memberikan jawaban pada komputer. Sementara ujian praktik, digunakan simulator untuk mempercepat proses ujian praktik. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah pemohon SIM yang luar biasa tinggi. Padahal pada kedua ujian inilah pengemudi dituntut untuk mengetahui, memahami dan mempraktikkan etika berkendara, peraturan dan rambu lalu lintas. Jika proses kedua ujian ini dilangsungkan secara jujur, saya yakin hanya segelintir saja yang bisa lulus. Hal ini dikarenakan pengetahuan atas materi ujian tersebut tidak diberikan secara formal melainkan harus belajar mandiri.

Di negara-negara maju, pemerintahnya sangat serius dalam meningkatkan keselamatan di jalan. Berbagai peraturan dibuat dan ditegakkan untuk menekan angka kecelakaan. Hal yang paling mendasar adalah pendidikan berkendara. Untuk mendapatkan SIM, calon pengendara wajib mengikuti kursus di sekolah mengemudi. Tidak ada kasus yang namanya belajar secara otodidak atau belajar dengan kawan atau kerabat. Calon pengendara wajib mengikuti kelas tentang cara mengemudi, etika berkendara, peraturan lalu lintas serta pengetahuan tentang kendaraan. Materi tentang hak dan kewajiban dalam mengemudi juga diberikan. Terdapat ujian bagi materi teori ini. Jika calon pengendara tidak lulus atas pengetahuan ini, maka calon pengendara tidak bisa melanjutkan tahap praktik mengemudi. Setelah puluhan jam berlatih mengemudi, maka calon pengendara bisa mengajukan ujian praktik mengemudi yang meliputi kemampuan parkir dan mengemudi di jalan. Praktik mengemudi secara langsung di jalan ini memakan waktu kurang lebih 1 jam. Selain ujian mengemudi, ujian praktik bisa juga meliputi ujian mengganti ban atau mengenai keselamatan mobil. Saking panjangnya proses mendapatkan SIM,maka lulus dari ujian SIM merupakan peristiwa besar seperti layaknya lulus ujian sekolah formal

Ketika melakukan ujian praktik, pengetahuan teori dan etika berkendara sangat penting dan berguna. Ini terbukti ketika saya mengikuti ujian praktik mengemudi mobil untuk mendapatkan SIM di Austria. Meskipun telah mengemudi selama puluhan tahun di Indonesia, gaya mengemudi saya menunjukkan bahwa saya kurang memahami peraturan lalu lintas. Karena terbiasa dengan jalanan di Indonesia yang carut marut saling serobot, maka saya biasanya memilih untuk bersikap hati-hati, apalagi jika ditarungkan dengan pengendara sepeda motor yang mengendara seperti orang gila. Gaya mengemudi yang terlalu hati-hati ini, mengundang komentar guru saya bahwa saya tidak memahami aturan. Seperti misalnya di perempatan, jika tidak terdapat tanda segitiga putih dengan bingkai merah (yield sign) maka harusnya saya tidak memperlambat kendaraan karena saya memiliki prioritas melaju dan kendaraan dari arus yang lain yang harus menunggu. Begitu juga dengan aturan ‘the rights of the right‘ atau hak bagi pengendara di sebelah kanan. Karena saya tidak mengikuti ujian teori (karena telah memiliki SIM Indonesia), saya menanyakan kepada guru saya mengenai kursus teori dan ujiannya. Secara singkat, guru tersebut mengatakan kepada saya bahwa hal yang terpenting dari pendidikan berkendara adalah pemahaman bahwa ketika mengemudi, seorang pengemudi bukan hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri tapi juga atas hidup orang lain. Salah satu bentuk tanggung jawab yang saya amati adalah, teman-teman saya memilih untuk jalan kaki atau menggunakan taksi usai merayakan pesta tahun baru (yang biasanya dilalui dengan minuman keras) dibandingkan dengan memaksa diri mengendarai mobil. Saya tercenung dan bertanya apakah di Indonesia setiap (atau mayoritas) pengemudi dan lingkungannya memahami sebab dan akibat dari tindakan melanggar peraturan lalu lintas? Kasus Xenia maut, Sumber Kencono maut dan yang terakhir BMW maut yang mungkin bisa menjawab pertanyaan saya.

After all, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” seperti yang disampaikan Nelson Mandela.

*) artikel serupa juga dimuat di Warta Ubaya, sebuah tabloid bulanan Universitas Surabaya