5. SERAT TRY PAMA
SERAT TRIPAMA
Program digital ini dikembangkan untuk melestarikan dalam mendukung proses
pelestarian sastra daerah di Indonesia. Hasil dari program digital ini berupa karya
sastra Jawa yang disalin dalam bentuk teks digital format pdf. Semoga tujuan site ini adalah menjadi salah satu sumber digital
karya-karya sastra Jawa dapat dibaca, ditelusuri atau diunduh oleh para sutrisna
budaya ataupun masyarakat secara bebas.
Salam asah asih asuh.
Nuwun.
TRIPAMA
Karangan Pangeran Mangkunegara IV.
Bait 01
Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni
caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih
Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun
ingkang den antepi, nuhoni trah utama”.
Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan
ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan,
oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.
Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan
siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat
patriotik; inilah yang disebut manusia utama.
Bait 02.
Lire lalabuhan triprakawis, guna bisa sanes kareng karya, binudi dadya
unggule, kaya sayektinipun duk bantu prang Manggada nagri, amboyong
putri damas katur ratunipun, purune sampun tetela, aprang tanding lan ditya
Ngaka nagri, Suwanda mati ngrana.
Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah
guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi
keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke
negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati
dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan
purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah
berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan
Sumantri gugur dalam medan perang.
Bait 03
Wonten malih tuladan prayogi, satriya guna nagri ing Ngalengka, Sang
Kumbakarna arane, tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami, duk wiwit
prang Ngalengka, dennya darbe atur, Mring raka amrih raharja. Dasamuka
tan kengguh ing aturyekti, mengsah wanara.
Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang ksatria agung dari negeri
Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun
berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan
kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau
berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera.
Bait 04
Kumbakarna kinon mansah jurit, mring kang raka sira tan lenggana,
nglungguhi kasatriyane, ing tekad datana sujud, amung cipta labuh nagari,
lan noleh yayah rena nyang leluhuripun, wus mukti haning Ngalengka
mangke, arsa rinusak ing bala kapti punagi mati ngrana”.
Kumbakarna setelah, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan
musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena
memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya
sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia
tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara,
keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih
baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka
tetapi (di rusak) prajurit kera.
Bait 05
Wonten malih kinarya palupi, Suryaputra narpati Ngawangga, lan Pandawa
tur kadange len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati, nagri Ngastina
kinarya gul agul, manggala golonganing prang, Bratayuda ingadeken
sepopati, ngalaga ing Kurawa.
Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari
Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi
sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati
dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam
perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.
Bait 06
Den mungsuhken kadange pribadi, aprang tanding lan Sang Dananjaya, Sri Karna suka manahe, dene nggenira pikantuk, marga denya arsa males sihira Sang Duryudana, marmanta kalangkung, denya ngetok kasudirane,
aprang rame Karna mati jinemparing, sembaga wiratama. Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satusatunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama”.
Bait 07
Katri mangka sudarsaneng jawi, pantes agung kang para prawira, amirata
sakadare, ing lelabuhanipun, hawya kongsi buang palupi, manawa tibeng
nista, ina estinipun senadyan tekading budya, tan prabeda budi panduming
dumadi, marsudi ing Kautaman.
Bait 08
Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua
para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap
(kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh
kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada
lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam
keutamaan.