Day 16 - Day 18
www.instagram/teacherandri
www.instagram/teacherandri
Link: https://www.instagram.com/p/BhOQnCSBPOP/?taken-by=teacherandri
Tusuk konde menjadi perbincangan hangat saat ini berkaitan dengan sebuah puisi yang membandingkannya dengan cadar. Tanpa ingin memperdebatkan lebih jauh, artikel ini hanya ingin menyampaikan sebuah filosofi yang berkaitan dengan tusuk konde, yaitu filosofi angka satu (1).
Dalam konsep matematika, angka satu (1) merupakan awal bilangan asli dan termasuk dalam bilangan bulat. Bentuk angka satu dengan dua garis lurus, yang satu pendek miring dan lainnya tegak memanjang, berpotongan membentuk satu sudut ini awalnya dipelopori oleh Muhammad bin Musa Al -Khwarizmi. Kemudian, tusuk konde merupakan salah satu aksesoris penghias rambut wanita sejak jaman dulu. Tidak hanya di Indonesia, budaya memakai tusuk konde juga dilakukan oleh wanita-wanita dari negara Asia timur seperti Jepang, Korea, dan China.
Bentuk tusuk konde hampir sama dengan angka 1, dengan bagian gagang yang ramping untuk menusuk bagian rambut dengan hiasan di bagian ujungnya. Fungsi dari tusuk konde adalah untuk menahan supaya rambut yang digelung tidak jatuh dan berantakan. Beda dengan jepit rambut yang hanya nangkring di kepala, memakai tusuk konde lebih mengikat dan menancap di rambut sehingga lebih terasa keberadaannya.
Angka satu berarti yang paling utama. Tusuk konde berbentuk angka satu berarti bahwa wanita yang mengenakannya harus diutamakan, dan dimuliakan. Karena wanitalah anak-anak terlahir di dunia, dan tumbuh menjadi anak terpelajar. Kontribusi wanita sebagai pendamping hidup tidak bisa dinomorduakan.
Selain itu, filosofi angka satu dalam tusuk konde mengingatkan hanya satu junjungan yang disembah dalam hidup, yaitu Sang Pencipta, dan hanya satu junjungan dalam keluarga, yaitu suami. Posisinya di kepala supaya sang wanita pemakainya selalu ingat. Tusukan konde akan secara tidak langsung menyadarkan diri siapa junjungannya, kemanapun ia pergi.
Sekali lagi, ini bukan mau membandingkan. Adalah hak wanita untuk memilih aksesoris mana yang ingin dikenakannya. Asalkan satu, tujuannya bukan untuk memamerkan keindahan. Namun, untuk mengingatkan siapa junjungannya dalam hidup ini.
Link: https://www.instagram.com/p/BhQ-mL9hyU-/?taken-by=teacherandri
Sore ini alhamdulillah bisa menikmati musik dari seorang pemusik yang dedikasinya luar biasa dalam perkembangan musik Indonesia. Dialah @iwanfals yang profilnya sudah terkenal di seluruh pelosok negeri. Ilustrasi di atas diambil saat Konser Situs Budaya Jawa Tengah, Kerajaan Mataram Kuno sedang berlangsung. Salah satu lagunya yang pernah berkumandang adalah Mata Indah Bola Pingpong. Namun, bukan tentang indahnya mata, bukan pula tentang Iwan Fals. Kali ini yang akan dikupas adalah tentang mata matematika.
Berada di sebuah konser, mata biasa hanya melihat kepala orang-orang berkumpul mendekati panggung. Mata menatap tak berkedip musisi yang berada di atas panggung. Tata panggung yang apik pun memanjakan mata dengan keindahan.
Berbeda dengan mata matematika, yang memandang dari balik pikiran. Saat melihat ilustrasi konser di atas, mata matematika akan mulai mengestimasi berapa orang yang datang memenuhi areal konser. Mata matematika juga bisa mencermati ada himpunan atau kelompok dalam massa penonton konser. Mengamati panggung, mata matematika mencermati apakah proporsi gambar latar panggung sudah pas atau tidak. Mata matematika memilah bentuk geometris dalam desain panggung, seperti bentuk sudut, dimensi panggung, dan sebagainya.
Mata matematika dimiliki setiap orang dan bisa dikembangkan pada anak. Mata matematika adalah salah satu cara untuk orang tua atau pendidik berbicara matematika di luar soal atau pekerjaan rumah yang biasanya diberikan. Berkomunikasi dengan mata matematika ini bisa setiap saat dan di mana saja, dan berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Baik sedang berbelanja, menonton konser musik ataupun menonton pertandingan olahraga.
Tidak hanya itu, mata matematika akan membiasakan anak untuk mengambil keputusan dengan perhitungan dan prediksi yang lebih matang. Mata matematika membuat anak mengerti bahwa angka tidak hanya ada di atas kertas saja. Tetapi ada wujud angka dalam hidup dan nyata berpengaruh pada kehidupan manusia.
Link: https://www.instagram.com/p/BhTXnhgh5PQ/?taken-by=teacherandri
Percaya tidak kalau matematika itu rasanya sedap? Pasti banyak yang tidak percaya. Malah banyak yang bilang kalau matematika itu rasanya seperti menelan obat pahit. Namun ternyata, matematika ada di setiap masakan.
Bagaimana bisa begitu? Memasak itu pakai feeling saja, bukan pakai matematika. Apalagi resep turun temurun yang biasanya diajarkan langsung, tanpa menghitung. Baiklah bila tidak percaya, mari simak penjelasan berikut.
Seperti yang sering dikatakan mendiang pak Bondan saat beliau mencicipi berbagai masakan, setiap makanan yang ‘maknyus’ pasti memiliki takaran yang pas. Komposisi bahan-bahan yang membentuk sebuah makanan harus dengan perbandingan yang tepat supaya rasa makanan ‘maknyus’ sedapnya.
Coba lihat setiap resep makanan, pasti ada takaran berapa gram, berapa gelas, berapa mililiter, berapa sendok teh, berapa sendok makan, dan lain sebagainya. Jika tidak sesuai takaran, pasti makanan tidak akan terasa sedap. Contoh, jika takaran garam tidak pas, maka akan terasa keasinan saat garam terlalu banyak atau akan terasa hambar karena kurang garam.
Selain itu, memasak juga membutuhkan waktu dan suhu yang tepat. Terlalu lama memasak, bahan yang tadinya segar menjadi layu. Terlalu panas menyalakan oven, suhu yang tinggi membuat kue yang dipanggang menjadi gosong. Para chef yang hebat biasanya memiliki presisi tinggi untuk pengaturan waktu dan suhu peralatan masak.
Apalagi jika memasak untuk jumlah besar seperti untuk rumah makan atau katering. Pasti membutuhkan perhitungan yang luar biasa untuk memastikan bahan makanan cukup membuat makanan yang dipesan.
Saya sendiri tidak bisa memasak. Jadi, untuk mereka yang pintar memasak, sebenarnya juga jago matematika. Yang berarti matematikanya lebih pintar dari saya. Setuju?