Bahan diskusi TPM#89 Guru Belajar @kampusgurucikal
Salah satu miskonsepsi saya tentang literasi, terutama yang berhubungan dengan literasi numerasi adalah kalau siswa bisa mengerjakan soal cerita, berarti ia memiliki literasi numerasi yang baik. Miskonsepsi lain, yang saya lihat juga banyak terpatri di sebagian besar guru matematika adalah jika siswa sudah bisa berhitung, atau jika bisa menggunakan rumus dengan tepat untuk menjawab soal cerita dengan benar, berarti bisa matematika. Setiap saya mengajar, fokus saya adalah bagaimana menerangkan konsep matematika dengan jelas dan memakai soal cerita yang berhubungan dengan kehidupan siswa sehari-hari.
Saya baru tersadar bahwa saya memiliki miskonsepsi ini dari dua peristiwa, yang sebenarnya berkaitan. Pertama, saat itu saya sedang mengajar tentang materi pengukuran dan konversi satuan. Mengingat saya mengajar di tingkat sekolah menengah, saya berpikir pasti siswa tidak akan mengalami kesulitan dan hanya mengulang karena sudah pernah diajarkan di tingkat dasar. Saya beri soal cerita dengan konversi satuan, mereka bisa mengerjakan dengan benar. Lalu, saya memberi tugas siswa untuk mengukur lebar lapangan futsal dengan pita ukur yang biasa dipakai tukang bangunan. Ternyata, tidak semua siswa bisa membaca angka-angka yang tertera di pita ukur. Ada yang bersikeras bilang kalau lebar lapangan futsal itu 1 meter, yang setelah saya lihat kembali, ternyata 24,11 m. Siswa hanya melihat angka 1 di titik akhir pengukuran dan tidak paham seberapa panjang 1 m atau 24 m.
Kemudian, yang kedua saat saya saya banyak menjumpai siswa yang bergantung sekali dengan buku kumpulan rumus matematika. Tanpa buku rumus itu, seakan mereka tidak berdaya dan merasa bodoh saat mereka tidak bisa menentukan rumus apa yang harus dipakai untuk menyelesaikan soal matematika. Belum lagi siswa yang selalu merasa cemas berlebihan setiap kali ada pelajaran matematika, walau saya sudah berusaha untuk memberikan pandangan bahwa matematika tidak susah. Ada juga siswa yang berpandangan bahwa matematika tidak penting dalam kehidupan dan hanya membuat pusing saja.
Saya mencoba untuk mencari referensi mengajar di Internet dan akhirnya bertemu dokumen OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menyelenggarakan penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) yang menerangkan tentang literasi matematika sebagai salah satu kompetensi yang diujikan. Menurut PISA 2015 (OECD 2018, hal. 51), ada 4 poin yang membedakan guru mengajar literasi matematika dengan mengajar ilmu matematika. Pertama, guru harus bisa membuat setiap individu nyaman dalam membuat formula, memakai dan menginterpretasikan matematika dalam berbagai konteks. Kedua, guru harus bisa membuat siswa menalar dengan logis matematis serta menggunakan konsep, prosedur, fakta serta perangkat matematika untuk menggambarkan, menerangkan serta memprediksi sebuah kejadian. Ketiga, guru bisa mengembangkan kapasitas siswa dalam mengenal peran dan keberadaan matematika dalam kehidupan, yang akan membantunya membuat keputusan dan penilaian yang bijak. Kemampuan ini pastinya diperlukan siswa untuk menjadi warga negara dengan pemikiran yang konstruktif, mau terlibat aktif, dan bersikap reflektif dalam mengatasi setiap permasalahan.
Saya juga membaca tentang Gerakan Literasi Nasional yang digalakkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, yang salah satunya mengembangkan literasi numerasi (Panduan GLN, 2017). Dimana, guru harus mengembangkan pengetahuan dan kecakapan siswa untuk dua tujuan. Pertama, guru mengembangkan siswa hingga bisa memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan, dan mengomunikasikan berbagai macam angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari. Kedua, bisa menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) untuk mengambil keputusan.
Dari sini saya baru tersadar ternyata selama ini saya hanya memaparkan ilmu matematika. Saya banyak bicara di depan kelas menerangkan konsep, dan tidak mengembangkan literasi numerasi dan matematika siswa. Saya hanya menerangkan ilmunya saja, memberikan rumus dan menuntun siswa mengerjakan soal-soal latihan. Siswa terbentuk pola berpikir matematisnya untuk menyelesaikan soal, tetapi bukan untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya. Siswa tidak memiliki kemampuan mengomunikasikan cara berpikirnya dan membuatnya bertanggung jawab atas solusi penyelesaiannya. Saya hanya membuat matematika menyenangkan dengan permainan, tetapi siswa tetap tidak bisa melihat korelasi antara konsep dengan penggunaannya.
Akhirnya, saya mengubah pola mengajar yang saya lakukan di kelas. Pertama, saya membuat sesi “Math Telling” atau “Cerita Matematika”. Jadi, bukan saya yang banyak bicara, tetapi siswa yang bercerita tentang konsep matematika. Pada sesi ini, kami tidak membahas aplikasi rumus atau penyelesaian soal cerita. Saya minta siswa tidak perlu membawa buku kumpulan rumus ke dalam kelas. Tetapi, kami bercerita tentang istilah, sejarah, dan berbagai perspektif menyangkut konsep yang sedang dibahas. Saya minta siswa menceritakan pengalaman mereka menggunakan konsep matematika.
Contoh, saat pembelajaran tentang bilangan pecahan, siswa bercerita setiap kali mereka memotong pizza atau kue ulang tahun ke dalam kepingan yang lebih kecil. Lalu, diskusi dilanjutkan dengan menalar apa arti kata bilangan pecahan. Ada yang menjawab angka yang ada angka atas dan bawah dengan garis tengah. Ada yang menjawab angka dengan pembilang dan penyebut. Jawaban-jawaban tersebut terdengar seperti definisi yang biasa ditulis di buku teks atau kumpulan rumus.
Saya arahkan diskusi ke arti kata dasar pecahan, yaitu kata “pecah”. Saya bertanya kepada siswa arti kata pecah, atau arti barang kalau pecah. Siswa menjawab pecah berarti tidak utuh, tidak menyatu. Dari kedua kata tersebut saya minta siswa membuat kalimat tentang pecahan. Hingga mereka tersadar bahwa “bilangan pecahan adalah bagian dari bilangan yang tadinya utuh (bulat)” dan “bilangan pecahan bukan bilangan bulat”. Kami coba pula melihat dari sisi sejarah, bahwa ternyata bangsa Mesir pertama kali menggunakan pecahan untuk membandingkan sesuatu dengan yang lain. Setelah itu, sebagai hasil diskusi siswa menuliskan di dalam buku catatannya definisi mereka sendiri tentang pecahan dan membacakannya di depan kelas.
Hal kedua yang saya lakukan lebih sering memberikan visualisasi dari perhitungan yang selama ini mereka lakukan. Saya pikir awalnya siswa masuk ke sekolah menengah sudah paham tentang operasional hitung pecahan, karena sudah diajarkan di sekolah dasar. Saya mengajar awalnya hanya dengan menerangkan prosedur, angka, dan simbol. Ternyata, banyak siswa yang tidak tidak paham mengapa penyebut harus disamakan saat menambahkan atau mengurangi pecahan dengan penyebut yang berbeda. Hampir semua siswa mengatakan karena memang rumusnya begitu. Akhirnya saya memakai visualisasi dengan alat peraga (seperti biji congklak, lego, dan sebagainya) dan pemodelan akan membantu siswa melihat wujud nyata dari konsep penjumlahan pecahan yang abstrak. Saya lalu mengambil kepingan lego seperti tampak pada gambar. Di susunan lego sebelah kiri, saya memberikan contoh bagaimana menyamakan pecahan. Lego warna kuning disetarakan dengan 1, yang besarnya sama dengan 2 lego warna merah yang bernilai ½, dan sama dengan 4 lego warna biru yang biru bernilai ¼. Kemudian di lego sebelah kanan, saya mencontohkan keping ½ ditambah keping ¼. Saya susun dua keping ¼ di bawah keping ½ , menandakan mereka setara. Sehingga siswa bisa melihat bahwa hasil penjumlahannya berupa 3 keping lego ¼ atau ¾.
Selain visual dengan lego, saya memberikan pemodelan persegi seperti yang terlihat pada gambar. Saya membagi persegi pada kolom untuk sebuah pecahan dan pada baris untuk pecahan yang ditambahkan. Kemudian, gambar garis sesuai jumlah kolom dan baris sehingga setiap pecahan tergambar dengan bentuk segi empat yang sama besar. Terlihat bahwa ada 6 segi empat yang diarsir dari total 8 segi empat yang terbentuk atau setara dengan ¾.
Langkah ketiga yang saya lakukan adalah melatih metakognisi atau kemampuan siswa berpikir dan mengevaluasi hasil pemikirannya. Jika sebelumnya saya hanya bertanya berapa hasil atau angka jawaban, sekarang saya menambahkan item soal menalar dengan pertanyaan, “Perjelas jawabanmu dengan alasan yang kuat.” Soal ini berbeda dengan menguraikan jawaban esai, yang menjelaskan langkah per langkah. Yang saya minta adalah alasan kuat mengapa siswa mengambil langkah tersebut dan sejauh mana ia yakin dengan jawabannya. Siswa dengan literasi numerasi yang kuat biasanya akan bisa memberikan penalaran dengan diagram maupun paparan alasan yang jelas.
Selain itu, saya mulai eksplorasi proyek-proyek yang meminta siswa memecahkan permasalahan riil di lingkungannya dengan konsep matematika yang sudah dipelajari. Contoh proyek paling sederhana adalah memasak, karena banyak jumlah bahan yang dipakai biasanya pecahan seperti ½ kg tepung atau ¼ kg gula. Dalam memasak juga biasanya memakai rasio dari bahan-bahan yang dipakai supaya rasa masakannya sedap. Siswa bisa mengukur dan membandingkan seberapa banyak tepung ½ kg dan ¼ kg. Lalu, saya meminta refleksi dari siswa sejauh mana proyek yang dilakukan membuat mereka melihat kegunaan matematika dalam kehidupan nyata.
Saat ini, saya melihat banyak perubahan dari sisi perilaku dan sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Mereka tidak lagi bergantung pada buku rumus dan mulai melihatbahwa matematika memang berguna bagi kehidupan. Walaupun masih ada satu dua yang cemas dan masih harus berjuang dalam matematika. Saya pun sampai sekarang masih belajar untuk bisa mengembangkan kemampuan literasi numerasi, yang akhirnya mengarah ke literasi matematika. Namun, saya merasa sudah berada di jalan yang benar saat ada satu siswa saya yang bilang, “Teacher, akhirnya saya paham, kalau matematika itu bukan rumus, tetapi cara kita mencari jalan keluar dari masalah. Seperti kalau kita masuk labirin dan banyak jalan bercabang, yang penting cari jalan sampai ke pintu keluar, kan?” Saya langsung semangat menjawab, “Ya, kamu benar sekali.”
Referensi:
OECD (2018), “PISA for Development Mathematics Framework”, in PISA for Development Assessment and Analytical Framework: Reading, Mathematics and Science, OECD Publishing, Paris. [DARING] https://doi.org/10.1787/9789264305274-5-en. Diakses tanggal 6 Januari 2019.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017). “Panduan Gerakan Literasi Nasional”. [DARING] http://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-content/uploads/2017/08/panduan-gln.pdf. Diakses tanggal 6 Januari 2019
Depok, 17 Februari 2019
Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan untuk bisa berbagi dengan guru-guru hebat yang tergabung dalam Kelompok Guru Belajar (KGB) Depok dalam Temu Pendidik Daerah (TPD) yang ke #12. Bersama Ibu Icha dari Rumah Bermainku, saya membawakan sebuah topik "Guru Digital yang Memanusiakan Hubungan."
Topik ini sebenarnya dari sebuah diskusi di WAG Guru Belajar Depok yang membahas tentang guru digital.
Apakah guru digital itu berarti siswa belajar dengan guru robot atau perangkat komputer saja?
Apakah guru yang menggunakan perangkat teknologi dan membuat video pembelajaran itu yang disebut guru digital?
Jadi guru digital itu apa sih?
Buat saya, guru digital itu bukan hanya yang bisa memanfaatkan dan mengajarkan teknologi saja. Guru digital juga bukan robot. Guru digital justru seorang manusia yang bisa mengaitkan pelajaran yang diajarkannya, dengan kehidupan nyata serta membuat manusia satu sama lain saling bekerjasama dan berkolaborasi membina hubungan.
Lebih lengkapnya, sila cek di presentasi ya. Dan yang berminat gabung KGB Depok, bisa hubungi /DM instagram @kgbdepok
Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman mengajar di depan guru-guru hebat yang bergabung dalam komunitas @kampusgurucikal di Sekolah Cikal, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Dengan tema "KEMAMPUAN BERPIKIR", ada 5 pembicara yang membagikan pengalaman mereka tentang kemampuan berpikir apa yang harus diberikan kepada siswa untuk bekal mereka di abad 21 dalam acara Temu Pendidik Daerah Kelompok Guru Belajar Jakarta Selatan.
Ada Ibu Pratama Muchrani dari Aljabr Islamic School yang bercerita bagaimana cara mengasah keterampilan berpikir dalam pelajaran sains.
Saya membahas tentang pentingnya siswa memiliki kemampuan berpikir matematis, yang berbeda dengan pengajaran matematika seperti pada umumnya. Di abad ke 21 ini, pengajaran matematika harus bisa membuat siswa mengerti konsep, berpikir kritis dan kreatif dalam menerapkannya untuk memecahkan permasalahan yang ada di lingkungannya.
Ada Ibu Pima Aditya dari Sekolah Cikal yang menerangkan tentang pentingnya Design Thinking dalam pembelajaran dengan membekali siswa untuk bisa berempati.
Ibu Ida dari KGB Jakarta Timur yang membahas tentang RPP Kurikulum 2013 yang harus memiliki elemen-elemen penting untuk berpikir.
Bapak Rizky Satria dari Sekolah Cikal Amri Setu menceritakan pengalamannya mengasah siswa berpikir dengan mengajukan berbagai jenis pertanyaan.
Yang terakhir, ditutup dengan pemaparan Bapak Adi Kurnia tentang implementasi HOTS dalam pembelajaran.
Dalam kegiatan ini, saya banyak belajar dari guru-guru yang memberikan materi maupun yang mengajukan pertanyaan. Sambil merefleksi sejauh mana saya sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengantarkan siswa bersaing di masa depan.
Alhamdulillah, tulisan saya dimuat di Surat Kabar Guru Belajar edisi ke 18 dengan tema: PENDIDIKAN INKLUSI, PENDIDIKAN UNTUK SEMUA.
Tulisan saya berjudul: Menuju Pendidikan IDEA (Inclusion, Diversity, Equity, and Accomplishment) dalam Kelas Matematika. Dalam tulisan tersebut saya membahas bagaimana saya mengatur pembelajaran dalam pelajaran matematika di kelas dengan mengacu pada Inclusion (setiap siswa terlibat aktif, tidak ada yang diabaikan), Diversity (mengolah keberagaman kapabilitas kognitif dan psikomotor siswa), Equity (memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang), serta Accomplishment (meraih prestasi dan perkembangan sesuai kompetensi).
Selain itu, saya juga menjabarkan bagaimana saya membagi pembelajaran dalam 5 tahap: engage (memikat perhatian siswa), explore (menjelajahi teori dengan pertanyaan dan aktivitas), explain (memperdalam teori untuk aplikasi), elaborate (menjabarkan aplikasi dengan proyek), dan evaluate (mengevaluasi pembelajaran).
Penasaran? Yuk, segera baca. Klik gambar sampul di sebelah ini ya.