MATA AIR » Napak Tilas
Model Ideal Kyai Indonesia
6 Juli 2009 09:55:46 | Share
Oleh: A. Mustofa Bisri
Bila Hadlratussyeikh KH. M Hasyim Asy’ari (kelahiran 1871), KH. Abdul Wahab Hasbullah (kelahiran 1888), KH Bishri Sansuri (kelahiran 1886), dan kyai-kyai seangkatan mereka pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, kita sebut generasi NU angkatan pertama, maka generasi berikutnya–katakanlah generasi kedua—merupakan generasi penerus yang benar-benar pewaris sikap dan perjuangan para pendahulunya. Angkatan kedua ini paling tidak mewarisi keikhlasan sikap dan perjuangan angkatan sebelumnya. Pemahaman yang dalam dan kekokohan memegang ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sekaligus kecintaan kepada tanah air Indonesia. (KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah seorang pendiri NU berkata,“Berdirinya NU adalah untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengajak bangsa ini untuk cinta kepada tanah airnya.”)
Generasi kyai NU pertama yang mencontohkan dan mengajarkan patriotisme; benar-benar berhasil mencetak generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu dan mengamalkan akhlak luhur Islam, tapi juga patriot-patriot bangsa teladan. Pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan yang tinggi. Sebagaimana generasi sebelumnya, generasi angkatan kedua ini belajar ilmu Islam dari sumber-sumbernya dan dari guru-guru yang memiliki kesinambungan ilmiah dari guru ke guru. Dan sebagaimana generasi sebelumnya, merasakan pahit-getirnya perjuangan membela tanah air melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Generasi kedua ini umumnya--baik langsung atau tidak--merupakan santri-santri Hadlratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari yang menjadi kebanggaan Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan pernah beberapa kali dipercaya menjadi menteri Agama republik ini, yaitu KH Masykur (kelahiran 1902); KH.M. Dachlan (kelahiran 1909); KH Muhammad Ilyas (kelahiran 1911); KH. A. Wahid Hasyim (kelahiran 1914); KHA. Wahib Wahab (1918); dan KH. Saifuddin Zuhri (kelahiran 1919).
KH. Muhammad Ilyas, justru merupakan santri kesayangan dan kepercayaan Hadlratussyeikh yang dalam usia 18 tahun sudah dijadikan Lurah Pondok Pesantren Tebuireng. KH. M. Ilyas tidak hanya disayangi dan dipercaya oleh Hadratussyeikh, tapi bahkan tampaknya juga diserahi “membimbing” atau setidaknya menjadi kawan belajar dan berjuang putra beliau, adik sepupu KH. M Ilyas sendiri, KHA. Wahid Hasyim.
Hal itu terlihat dari kedekatan dan kebersamaan kedua tokoh kesayangan tersebut, sejak bersama-sama ngaji di Tebuireng, mondok di Pesantren Siwalan Panji, belajar ke Mekkah, melakukan pembaharuan pendidikan di pesantren, hingga bersama-sama berjuang dan berkhidmah untuk Indonesia. Ini semua tentulah tidak terlepas dari pengarahan guru besar mereka, Mahakyai Muhammad Hasyim Asy’ari.
Meski keduanya mengaji Islam melalui bahasa Arab dan pernah belajar di Arab (Mereka ke Mekkah tahun 1932, KHA. Wahid Hasyim kembali ke Indonesia tahun 1933 dan KHM. Ilyas tahun 1935) dan menguasai bahasa al-Quran seperti pemilik bahasa itu sendiri, namun sedikit pun mereka tidak kehilangan ke-Indonesia-an mereka. Bahkan, ketika mereka berada di luar negeri, perhatian mereka terhadap Indonesia dan bangsanya sama sekali tidak mengendur.
Bandingkan dengan mereka yang sebentar saja keluar negeri–bahasa negeri singgahan mereka pun belum sebenarnya mereka kuasai--tiba-tiba sikap mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Padahal, mereka dibesarkan dan masih hidup di tanah air mereka. Masih makan hasil bumi dan minum air tanah airnya sendiri.
KOMENTAR
Muhammad Nadif (dif) menulis:
lunturnya nilai-nilai luhur dari ulama salaf merupakan krisis yang harus cepat ditangani, umat tidak lagi sami'na waatho'na pada ulama, apa penyebab ini semua? umat yang mulai menjauhi ulama atau ulama yang mulai cinta dunia?
Irfan azis (Ipank) menulis:
mencintai adalah memberi bukan mengharap. mereka yang penuh cinta tak berhenti memberi sampai mati. dan...mereka yang mencibir tanah airnya sendiri adalah orang sombong berhati growong. mereka IMPOTEN untuk memberi dan berbakti kepada tanahairnya, juga lupa menghormati yang tua, enggan menyayangi yang muda, dan lupa mengasihi sesama.
wallohu a'lam
Rizal Octofianto Datau (JaL) menulis:
saestu.. betul.. correct..
ternyata apa yg saya cermati selama ini juga diperhatikan oleh gus mus..
Didin Riswanto (Kang DidinMERAHPUTIH) menulis:
sok!
radityo ariadi nugroho (radit) menulis:
sekarang banyak Kyai yg gampang di curigai/gak tahandicurigai ktika beliau2 sedang berihktiar utk jama'ah/jam'iyah.
apakah ini krn rasa pkewuh antara jama'ah dg jam'iyah Gus
ali arifianto (arif) menulis:
sangat sayang kalau para pemuda sekarang belum bisa seperti itu....termasuk diriku!!!masih mencoba untuk belajar
Didin Riswanto (Kang DidinMERAHPUTIH) menulis:
berproses
fitri yuliani (yuli) menulis:
ya semoga kita di jauhkan dari sifat kacang lupa kulitnya . bagaimanapun juga kita tetap orang indonesia walaupun kita pernah ke luar negri
Taufik cahyadi (Adi) menulis:
Bgmn pandangan saudara smua ttg tman2 kita yg mengi2nkn tegakny daulah khilafah islamiyah?klo pndangan menrt NU bgmn?
Sirojuddin Shodiq Alfarothy (Shodiq) menulis:
Memang benar semua yg sdh dprediksikan oleh Sayyidina Muhammad SAW,.
Semuanya sdh terjadi, & inilah jaman akhir,.
Semoga Qt djadikan Alloh SWT sbg org yg bener, & dimasukkan kdalam klmpok org2 yg bner,.
Aamiin,.3
Achmad Rif'an (Aan) menulis:
masih banyak juga kyai kampung yang tan kinawruhan dan sengaja atau tak sengaja ingin dikenal hanya karena keikhlasannya dalam dakwah ilallah, asli!mereka pulalah kyai model indonesia.
ahmad zamyuri (zamyuri) menulis:
saatnya orang nu untuk unjuk gigi.ayo anak nu lebih kreatif dan berani.ingat faham faham wahabi merayap berusaha merebut masjid yang jelas jelas nu.jangan biarkan nu jadi kecil di mata wahabi ,tabuh genderang perang dakwah lawan wahabi yang sok alim.benar .pura pura masuk ke nu.padahal setelah ada kesempatan mereka akan merebut masjid nu lalu di rubah jadi faham wahabi
Anda harus menjadi anggota dan login terlebih dahulu untuk bisa memberikan komentar
Tasawuf dan Akhlak
17 Februari 2009 23:53:20 | Share
Oleh: A. Mustofa Bisri
Kalau kita memperhatikan sejarah, tampaklah bahwa kemunculan ‘tren’ tasawuf selalu mengiringi kondisi masyarakat Muslim yang tidak seimbang. Ataukah terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan akhirat, terlalu semangat dengan ilmu tanpa peduli amal, terlalu fanatik terhadap syariat tanpa peduli ruhnya, atau terlalu mulia bicara tanpa peduli tengiknya perilaku.
Tasawuf, seperti bisa kita pahami dari ungkapan-ungkapan para tokohnya, merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia. Metode para sufi adalah membersihkan hati dan memperhalus budi. Contoh dan teladan mereka adalah Rasulullah SAW yang berbudi luhur dan menyatakan bahwa ia diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.
Kehidupan yang serba materi, keberagamaan yang serba daging, dan tata pergaulan yang serba didasari kepentingan, ternyata telah membuat masyarakat seperti sakit jiwa. Ketidaknalaran meruyak menghinggapi sektor-sektor kehidupan hampir tanpa kecuali. Yang paling mencolok adalah ketidaknalaran dalam kehidupan berpolitik. Maka, para pakar pun sibuk berdiskusi dan melemparkan teori-teori reformasi dan perbaikan.
Lalu, apa yang ditawarkan tasawuf? Melihat kondisi yang seperti itu, tasawuf menawarkan reformasi dan perbaikan mulai dari pondasi Akhlak. Perbaikan ala tasawuf adalah perbaikan dari dalam diri. Sufi-sufi besar tidak hanya melakukan-dan telah berhasil melakukan- perbaikan diri, tapi sebagaimana dicontohkan pemimpin agung mereka Nabi Muhammad SAW, mereka juga berjuang untuk membantu masyarakat dengan cara mendidik mereka dan melakukan kontrol terhadap para penguasa.
Akhlak yang mulia, telah berhasil menorehkan catatan dengan tinta emas pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz dalam lembaran sejarah Dinasti Umayyah. Umar sang khalifah, sebagai penguasa, telah berhasil ‘mereformasi’ diri-nya dengan meretas akar keburukan: menempatkan materi dan dunia di puncak perhatian. Mendudukkan materi dan dunia di tempatnya yang sebenarnya adalah yang pertama-tama diupayakan khalifah yang dijuluki Umar Kedua ini, setelah sebelumnya ditempatkan di tempat yang terlalu tinggi dan penting.
Maka, tidak heran apabila ada yang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai khalifah kelima dari Khulafa’ Rasyidiin.
Tanpa menyebut nama tasawuf atau sufi sekali pun, kiranya kita bisa sepakat bahwa akhlak atau budi pekerti merupakan jawaban paling asasi bagi mereformasi diri dan negeri kita ini. Anda bayangkan saja, apabila para pemimpin, petinggi, dan para politisi di negeri ini berakhlak mulia. Berbudi luhur; jujur, berani mengaku salah, punya malu, tahu diri, berhati bersih, rendah hati, penuh kasih sayang, dermawan, tidak culas, tidak serakah, tidak hasud, tidak sombong; dst. Namun, bagaimana itu bisa menjadi kenyataan bila mereka masih menganggap dunia ini sebagai tujuan hidup dan materi adalah hal penting nomer wahid?
KOMENTAR
rais sonaji (rais) menulis:
Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mau merubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.”
(Al-Qur’an, Ar Ra’ad (Guruh), Surat ke – 13, ayat 11)
Mudah diucapkan, namun betapa sangat berat untuk direalisasikan, la haula wala quwata illa billah...
Salam,
Henky setiawan (Henky) menulis:
mainset yang ada dalam pikiran kita slama ini harus segera berubah..... ya di mulai dari diri sendiri tentunya? setuju mbah....??
Didin Riswanto (Kang DidinMERAHPUTIH) menulis:
kita mendambakan pemimpin yang berbudi luhur; jujur, berani mengaku salah, punya malu, tahu diri, berhati bersih, rendah hati, penuh kasih sayang, dermawan, tidak culas, tidak serakah, tidak hasud, tidak sombong;
apakah ada?
maksudnya dalam era sekarang?
apakah mungkin ada?
untuk bisa menjadi pemimpin saja mesti mengeluarkan dana dan materi sedemikian banyaknya!!!
sseakan pemimpin lahir dari sebuah proses jual beli.!!!
aduhhhhh... Indonesiaku
imam munadjad (imam) menulis:
Negeri ini memang" Republik Daging " Pemimpin politisi berpolitik " Dagang sapi" rakyat jadi " sapi perahan"Achlakul kharimah akankah menjadi "Roh" pada setiap"daging"?
Rahman Afandie (Rahman) menulis:
nah ini gus yang ditunggu-tunggu. seandainya semua pemimpin ( calon pemimpin )negara di "DRILL" tasawuf dlm arti yang sebenarnya, INSYA ALLAH bangsa kita , negara kita akan selalu diRAHMATI oleh ALLAH swt. misalnya saja mau nglenggono kemenangan dan atau kekalahan, terus saling membantu yang menang untuk membangun negara, tidak malah ngolok-olok, ngelek-elek yang mendapat kemenangan. Wah jan gandem tenan. Bagaimana Gus ?
achmad saifullah (saiful) menulis:
The last and the end of Ahlakul Karimah is Muhammad SAW. Mau dari sudut pandang apapun tasawuf apalagi. Kalau ada orang yang jauh dari jejak Baginda Rosul, dengan segala modelnya, gampang membandingkannya, Jejak Rosul. NOTHING ELSE.
arieyanto (arie) menulis:
kalau menurut orang ndeso memang fase pendewasaan diri itu penuh liku,,,
seperti halnya negeri kita ini.
sebenarnya ada celah untuk bisa menjadi negara maju, yaitu dengan menggunakan fasilitas yg diberikan para penjajah itu sendiri seperti zaman dahulu...
teknologi dan fasilitas yg ada sebagai sarana menguasai kita,,,kita gunakan untuk menangkal tujuan mereka,
karena sejarah akan terulang dengan baju atau bingkai yang berbeda.
sekian,,
ali asikin (ali) menulis:
selama ada niat dan kemauan... Insya Allah itu bisa terwujud.
arif khunaifi (nefi) menulis:
Alhamdulillah, matur suwun mbah Mus atas tulisannya yang selalu menambah hati menjadi tentram. Semoga Allah terus memberkahi panjenengan dan keluarga.
Benny Setiawan (Benny) menulis:
Kalau ditanya semua orang tentang kebenaran akhlak yang terpuji, ternyata semuanya menginginkan insan-insan yang berakhlak mulia, baik yang ditanya sejahat penjahat yang jahat tapi toh itu hanya keinginan sendiri untuk orang lain, permasalahannya tidak dimulai dari diri sendiri hanya berharap orang lain yang berakhlak mulia setelah itu baru mau mengikuti.... main tunggu-tungguan.
CHOIRUL HUDDA (CHOIRUL/HUDDA/SALIM) menulis:
Untuk Bangsa Indonesia! kita punya banyak politikus yang hanya hebat di atas mimbar di lapangan N0L besar. Banyak komentar malas bekerja. Hanya kritik tajam terhadap lawan tetapi kerjanya tidak sebaik lawan politiknya yg dikritik. Sepertinya kita ini dibuat bosan dengan hal-hal yang demikian itu, sehingga dalam pelaksanaan mulai pilakades, pilkada kab/kota, provinsi dan yad pilcaleg serta pilpres, rusuh dan banyak golput. Mestinya politikus kita ini masih perlu banyak belajar demokrasi. (mungkin kali ini ke Amerika? Bgm pesta demokrasi di Amerika?) Namun demikian kita mesti banyak bersyukur, di Indonesia masih ada dan selalu lahir seorang pemimpin, mudah-mudahan yad lahir pemimpin yang lebih baik, Insyaallah, Amien.
Ciptoko Maskur (Ciptoko) menulis:
selama ketakutan terhadap kemiskinan, kedudukan, nafsu, dll.....melebihi rasa takut kita terhadap Allah, maka ketakutan-ketakutan itulah yang akan menjadi Tuhan dalam hidup ini, sehingga beragama menjadi terasa hambar saja....
Abd. Rahman (Rahman) menulis:
Saya tertegun ketika membaca tulisan Gus Mus di atas. Tertegun karena fakta dan realita bak langit dan bumi. Fakta bahwa perpolitikan kita belum mampu meletakkan etika-moral keagamaan sebagai kerangka dasarnya.
Saya kemudian merefleksi diri sejenak, memikirkan bagaimana jika suatu saat nanti diberi amanah untuk menjalankan kekuasaan.Akankah saya mampu memegang amanah itu sebagai suatu perintah sakral yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya?
Orang mampu memberikan kritik, masukan sesuai ideal-moral keagamaan ketika ia belum terjun langsung ke lapangan.Kondisi akan jauh berubah dan tantangan yang dihadapi jauh lebih besar dari pada apa yang dibayangkan sebelumnya ketika menjalaninya sendiri.Saya tidak mampu memberi jawaban kecuali telah menerima amanah itu.Tapi yang jelas,semoga dengan i'tikad baik kita mampu menjalaninya.
deni heryana (deni) menulis:
memang kondisi yang memaksa kita harus memisahkan antara dunia dan akherat. tidak ada lagi hukum kausalitas sebab-akibat transendental. seperti para koruptor yang rajin beribadah.
harap maklum
Udin Sahrudin.HS (Udin) menulis:
kuncinya adalah sejauh mana ke"ihsan"an kita dalam berprilaku dimana pun dan kapanpun
EFRIZAN (RIE) menulis:
Tasawuf itu undangan, Akhlak itu nur purba.
thommy (thom) menulis:
assalamualaikum
ya sungguh elok rupanya apa kata gus mus diatas yang dimana pabila seorang pemimpin mempunyai akhlak mulia. Berbudi luhur; jujur, berani mengaku salah, punya malu, tahu diri, berhati bersih, rendah hati, penuh kasih sayang, dermawan, tidak culas, tidak serakah, tidak hasud, tidak sombong; dst.
namun kiranya zamanm sekarang sudah punah ketasawufan dalam memimpin seperti itu,adabaiknya...bangsa kita memang harus belajar sejarah-sejarah tokoh-tokoh ketasawufan...terlebih pada generasi2 sekarang ini.
wassalam
syamsu nur ramadhan (syamsu) menulis:
ya bagaimana kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain klo kita sendiri tidak memilikinya ?
kita sudah terlalu sakit jiwa, jadi susah mana dulu yang harus diperbaiki akhlknya
andri sudibyo (andri) menulis:
lha wong contohnya sudah jelas kok ya para pemimpin kita pada ndak pada mau belajar..
isnaidin mamonto (is) menulis:
apakah akhlak dan budi pekerti masih dimiliki oleh pemimpin negeri ini......?
Wibowo Setyo Utomo (Bowo) menulis:
Astaqfirullah. Memang benar Kyai teori dasar politik yang hampir pasti dipakai para politisi kita adalah cara merebut kekuasaan dg di awali pertanyaan, apa, bagaimana dan Kapan dan seperti tulisan Kyai ...."dalam dunia politik juga tidak ada lawan dan kawan abadi kecuali hanya kepentingan "..... Padahal harusnya politik itu seni memperoleh kekuasaan. Karena seni maka politik itu harusnya indah, santun dan humanis. Maka sempatkan walau sedikit agar selalu baca sastra, dalami tasauf, dengarkan suara hati.
Anda harus menjadi anggota dan login terlebih dahulu untuk bisa memberikan komentar
Tawassuth dan Tatharruf
15 September 2005 20:34:11 | Share
Oleh: A. Mustofa Bisri
Sudah selayaknya umat Islam menjadi ummatan wasatha, umat tengah-tengah, sebagaimana diisyaratkan kitab suci mereka Al-Quran Q. 2: 143). Rasul mereka, Nabi Muhammad saw tidak hanya mengajarkan tapi juga senantiasa mencotohkan sikap dan perilaku tengah-tengah. Tawassuth wal I’tidal.
Sikap Tawassuth wal I’tidal, tengah-tengah dan jejeg akan mempermudah kita untuk berlaku adil dan istiqamah, dua hal sangat mulia sekaligus sulit yang sering diseru-tegaskan Al-Quran. Untuk menjadi orang yang adil dan istiqamah akan lebih sulit lagi –kalau tidak mustahil-- bagi mereka yang tidak membiasakan sikap dan perilaku tawassuth wal i’tidal.
Kebalikan dari tawassuth wal i’tidal ialah tatharruf, ekstrim, berlebih-lebihan. Dari segi pengerahan energi, tatharruf kiranya jauh lebih banyak memerlukan energi dibanding tawassuth; seperti halnya meninggalkan maksiat tentu lebih tidak ribet mengerahkan energi katimbang melakukan maksiat. Hidup sederhana alias tawassuth jauh lebih sederhana katimbang hidup mewah, berlebih-lebihan.
Tapi entah mengapa manusia justru lebih suka yang ribet dan sulit yang memerlukan banyak mengeluarkan energi dan beresiko, katimbang yang gampang dan aman. Yang halal, misalnya, begitu banyaknya dibanding yang haram, tapi orang cenderung mencari yang haram yang jelas beresiko.Jangan-jangan ini ‘perangai turunan’. Segala yang ada di sorga dihalalkan untuk Bapak Adam dan ibu Hawa dan hanya satu yang diharamkan, lho kok beliau-beliau tertarik kepada yang satu itu.
Manusia juga cenderung bersikap tatharruf dari pada tawassuth. Padahal tatharruf mempunyai resiko yang sering kali sangat berat dan parah. Makan-minum berlebihan, beresiko sakit; senang dan benci berlebihan, beresiko tidak bisa adil dan obyektif; menyenangi dunia berlebihan, beresiko melupakan akherat; mengagumi pendapat sendiri, beresiko ujub dan takabbur; bahkan ibadah yang berlebihan, beresiko bosan dan tidak bisa istiqamah.
Celakanya lagi, dunia sekarang ini sepertinya ‘dikuasai’ oleh dua ‘ideologi’ berlawanan yang sama-sama tatharruf, ibarat hitam dan putih. Yang satu diwakili oleh George W. Bush dan satunya lagi oleh Osama bin Laden. Masing-masing merasa paling benar dan menganggap yang lain mutlak salah. Karena masing-masing merasa paling benar, maka dalil mereka pun sama: Laisa waraa-al haqqi illal baathil, di balik yang benar hanya ada yang salah. Yang benar adalah kami dan yang salah adalah mereka. Dan yang salah harus dibasmi. Bush bilang, siapa yang tak ikut Amerika adalah teroris dan harus dihancurkan. Sementara Osama menganggap siapa yang tidak memusuhi Amerika adalah jahannam yang mesti dibom. Masing-masing pun memperlihatkan keganasannya kepada yang lain. Dan sikap tatharruf seperti ini, rupanya juga sudah menjalar di negeri kita. Resiko dari ini, Anda sendiri dapat ikut merasakannya.
Apakah itu merupakan bagian dari azab Allah kepada manusia akhir zaman ini? Soalnya seperti disebutkan dalam Al-Quran, ada model siksa yang berupa: “… yalbisakum syiyaa-an wayudziiqa ba’dhakum ba’sa ba’dh..”, “mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik yang berseberangan lalu mencicipkan keganasan sebagian kalian kepada sebagian yang lain..” (Q. 6: 65)
Waba’du; dalam dunia yang seperti ini, bukankah sangat relevan apabila kita kembali ke MataAir, kepada ajaran dan contoh agung kita Nabi Muhammad SAW bagi mengembangkan sikap dan perilaku tawassuth wal I’tidaal sebagai ummatan wasathaa dalam upaya rahmatan lil’aalamiin?
Wallahu a’lam.
KOMENTAR
Belum ada komentar untuk tulisan ini
Anda harus menjadi anggota dan login terlebih dahulu untuk bisa memberikan komentar
»
»
»
»
»
»
»