INFO KITA

19/03/2012 09:23

Deklarasi Kempek

Para peserta Seminar Internasional “Peran Ulama Pesantren dalam Mengatasi Terorisme Global” yang dibuka oleh Presiden Republik Indonesia ke-3, Professor Dr.-Ing. B.J. Habibie di Pondok Pesantren Majlis Tarbiyyatul Mubtadi’ien, Kempek, Cirebon, dari tanggal 16 s.d. 18 Maret 2012, diselenggarakan atas kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan Republik Federal Jerman, telah bertemu dan berdialog dalam suasana yang bersahabat dan kondusif.

Para peserta datang dari berbagai negara, antara lain dari Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat, dengan berbagai latar belakang seperti tokoh agama, penegak hukum, ilmuwan sosial, politik dan keamanan. Tukar-pikiran berhasil memperoleh masukan-masukan berharga dari berbagai perspektif, meliputi agama, dimensi sejarah dan kontemporer, aspek-aspek kultural baik internasional/global dan nasional serta upaya menghadapi dan mengatasinya.

Terorisme global adalah suatu kejahatan dan harus dihentikan dalam segala bentuk dan wajahnya serta sampai ke akar-akarnya. Peserta seminar sepakat meletakkan acuan dasar untuk menghadapi, menangani dan mengatasi terorisme secara global dan nasional, oleh sebab itu perlu adanya tekad dan tindaklanjut konkret. Peserta mengusulkan pengembangan mekanisme berupa kebijakan, legislasi dan program yang mendukung upaya tersebut.

Para Peserta Seminar Menyatakan:

1. Agama-agama menganut prinsip bahwa Rahmat Allah adalah untuk semua ciptaan, oleh karena itu ciptaan Allah S.W.T. HARUS dilindungi dengan mengembangkan prinsip-prinsip Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan Islamiyah), Ukhuwah Wathoniyah (Persaudaraan Kenegaraan), Ukhuwah Basyariah (Persaudaraan Kemanusiaan), Rahmatan lil ’alamin (Rahmat universal untuk semua ciptaan Allah).

2. Terorisme adalah masalah semua orang, sehingga gerakan antiterorisme harus melibatkan dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, lokal, nasional dan internasional.

3. Meningkatkan pemberdayaan rakyat, terutama yang terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, antara lain meliputi bidang kesejahteraan (HAM & Keadilan Sosial) dan bidang pendidikan (melek informasi/informed society, pendidikan yang selaras/seimbang antara akal pikiran dan hati).

4. Meningkatkan pemberdayaan dan peran Ulama Pesantren dalam membangun antara lain toleransi dan multikulturalisme melalui program- program khusus.

5. Menguatkan dan meningkatkan formasi serta keuletan spiritualitas umat/awam.

6. Menyusun undang-undang/legislasi yang kuat dan memadai yang berorientasi pada kemaslahatan umum.

7. Mendirikan Institut Pengkajian untuk Perdamaian (Peace Research Institute) dengan kaidah-kaidah antar agama, multikultural dan ilmiah.

8. Meningkatkan kerjasama dengan Institut-institut Internasional dalam hal kebudayaan, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi , dalam rangka memperkokoh perdamaian di dunia.

9. Menggalang jejaring kerjasama dan dialog antar-agama secara global berpegang pada prinsip-prinsip tasaamuh (toleran), tawassuth (moderat) dan tawaazun (berimbang).

Deklarasi Kempek ini dikeluarkan di Kempek, Cirebon, pada Ahad, 18 Maret 2012

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA (UNU)

Universitas NU, Berakar Nilai Pesantren, Membangun Kultur Ilmiah

Perguruan tinggi Islam di Indoensia masih menyimpan pertanyaan. Sumber dan arah pendidikan sering terasa jauh dari idealisme pendidikan tinggi Islam. Sebagian terlalu liar sehingga melunturkan nuansa keislamannya, sebagian yang lain terlalu kolot dan tidak ramah. Lalu bagaimana dengan Perguruan Tinggi NU? Adakah revitalisasi atau adaptasi pendidikan model pesantren yang lazim di NU? Apa yang harus dilakukan para kader potensial NU untuk mewujudkan semua ini? Berikut hasil perbincangan Mahbib Khoiron dari NU Online dengan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta Drs HM Mujib Qulyubi, MH, Rabu (7/3), di kantor STAINU Jl. Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.

Menurut Bapak kondisi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sekarang seperti apa?

Saya masih melihat pendidikan tinggi Islam kita di Indoensia mengalami keguncangan. Setelah dulu kita berkiblat ke Timur Tengah, sekarang Islamic studies kita sudah ke Amerika, Australia, dan lainya. Bersamaan dengan itu perguruan tinggi kita sudah banyak yang menjadi universitas. Sedikitnya sudah ada lima IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Ini berakibat kiblat kita mengalami ketidakjelasan.

Berbarengan dengan itu pula, kita melihat sudah banyak Sekolah Tinggi Agama Islam, IAIN, atau bahkan UIN itu sudah berlomba-lomba untuk membuka fakultas umum untuk disiplin exact, sehingga ciri khas keislaman kita sebenarnya sedang mencari bentuk. Tidak jelas. Ya, secara umum kondisinya seperti itu.

Idealnya, upaya-upaya yang harus dilakukan?

Harus ada pembongkaran kembali tentang disiplin ilmu. Harus ada pembicaraan lebih serius tentang disiplin ilmu menurut Islam. Sehingga nanti, misalnya, ekonomi Islam itu masuk ke mana. Kalau ekonominya masuk ke Dikbud, tapi begitu ada Islamnya masuk ke Departemen Agama. Ada potensi terjadinya rebutan kapling dan tarik menarik. Sehingga kalau ada mahasiswa yang menekuni ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah ini kiblatnya ke Depag atau ke Dikbud. Apalagi sekarang ada uforia umat bersyari’ah yang tinggi. Meskipun juga harus digali kembali, maksudnya syari’ah di sini apa. Isinya syari’ahnya itu apa. Jadi sudah tegas, hal-hal yang berbau Islam punya daya tarik tersendiri bagi mahasiswa.

Keguncangan yang Bapak maksud apa terjadi juga di perguruan tinggi NU?

Perguruan tinggi NU tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dari perundang-undangan sistem pendidikan nasional yang ada. Mau nggak mau akhirnya ikut terseret, dan ini yang kita sayangkan. Ini terjadi pula di Muhammadiyah, dan perguruan tinggi ormas yang lain. Selama mereka tidak memiliki perguruan tinggi yang representatif, selama belum jelas kita berkiblat ke Dikbud atau ke Menag, ya seperti ini. Ini kita sayangkan. Padahal di NU itu kan punya modal yang sangat bagus di tingkat SLTA yang tidak dimiliki ormas lain, yakni modal pesantren. Di pesantren keilmuan sangat dihargai dan dinamis, tetapi saat memasuki perguruan tinggi, mahasiswa mengulangi materi yang pernah diajarkan. Lulusan pesantren kan umumnya mengambil studi Islam baik di fakultas syari’ah, ushuluddin atau bahasa Arab. NU dirugikannya di sini karena secara keilmuan menjadi turun. Walaupun secara teoritis dan wawasan naik, tapi secara substansi turun. Makanya banyak anak lulusan pesantren di perguruan tinggi merasa santai. Untungnya sebagian dari mereka bisa memanfaatkan waktunya untuk ekstrakurikuler.

Untuk STAINU sendiri, misi dan proyeksi ke depan kira-kira seperti apa?

STAINU ini sesungguhnya sasaran antara. Tentu kita semua sebagai warga Nahdliyyin harus jujur dan sadar bahwa dunia perguruan tinggi kita sangat tertinggal. Kita selama ini memang lebih banyak menggeluti pesantren atau madrasah. Berbeda dengan teman kita di Muhammadiyah yang banyak bergelut di sekolah dan perguruan tinggi. Sadar akan kondisi ini maka kita tidak boleh diam seribu bahasa. Saya yakin, kita nanti akan mempunyai universitas yang bagus.

Nah, STAINU ini ke depan kita proyeksikan menjadi UNU (Universitas Nahdlatul Ulama). Sudah menjadi prioritas bersama dari PBNU baik dari Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPT NU), Lembaga Pendidikan Maarif NU, bahkan STAINU sendiri dari dalam. Kami sudah berusaha betul dari berbagai segi untuk mewujudkan berdirinya UNU Jakarta. Dari tiga belas program Pak Said (Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, red) selama priode beliau antara lain yang diprioritaskan adalah STAINU Jakarta menjadi UNU Jakarta. Jadi UNU Jakarta cikal bakalnya ya dari STAINU Jakarta ini. STAINU yang selama ini masih menangani prodi-prodi agama, nanti akan menjadi fakultas agama.

Untuk mengantisipasi tergerusnya unsur keislaman di Universitas Nahdlatul Ulama sebagaimana yang Bapak khawatirkan tadi?

Kita akan memperkuat setiap fakultas itu dengan kebutuhan masyarakat. Tentu akan kita sesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya UNU Jakarta akan mengadakan fakultas pertanian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Itu untuk yang materi umum. Untuk yang agama, kita sudah punya basis yang cukup bagus di NU. Kita punya tradisi kuat di kitab kuning. Orang NU itu militansinya tinggi dalam hal agama, tapi argumentasinya kurang.

Nah, di UNU nanti itu khususnya untuk fakultas agama bisa memperkuat amaliyah Ahlussunnah waljama’ah secara aqliyah dan naqliyah, sehingga berimbang. Jadi ajaran NU bisa diterima seperti dulu lagi, ya militan tapi sekaligus dibekali dasar alasan yang kuat. Kita kalau menghadapi ideologi transnasional, Wahabi, kan seringnya marah-marah. Kita tidak bisa mengimbangi dengan apa yang mereka lakukan. Kalau mereka mempunyai sistem yang bagus, ya kita bikin sistem yang bagus; kalau mereka bikin buku, ya kita juga bikin buku; kalau mereka dakwah dengan radio, ya kita lewat radio juga. Artinya, kita tidak cukup memperkuat ahlussunnah wal jamaah dengan pidato-pidato, atau dengan teori-teori yang sudah tidak sesuai dengan keadaan zaman. Mengumandangkan Islam rahmatan lil’alamin, ya melalui perguruan tinggi. Itu yang pertama.

Yang kedua, NU ini kan sudah terkotak-kotak oleh politik. Karena longgarnya NU banyak kader-kader politik ini menyebar di mana-mana. Mereka tidak bisa ketemu dalam satu forum sebab mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Nah, yang mempertemukan mereka ini ya perguruan tinggi, karena di tempat ini mereka dijauhkan dari kepentingan politik. Yang ada adalah kepentingan ilmu. Kita berharap dari perguruan tinggi NU yang bagus ini menjadi poros persatuan umat Islam.

Sebagai tambahan, Kongres ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) beberapa waktu lalu ada yang luar biasa. Kita menemukan bukti riil bahwa intelektual dan sarjana kita ada di mana-mana. Latar belakangnya pun bermacam-macam, ada yang dari PKB, PPP, Golkar, PDI, dan lain-lain. Bagaimana mengaktualisasikan ilmu dari ISNU ini? Saya kira ya di perguruan tinggi ini.

Apakah ada upaya menjadikan ISNU sebagai pihak yang turut berkontribusi di perguruan tinggi NU?

Saya kira ini bukan sekadar upaya, tapi keharusan. Bahkan bukan hanya ISNU saja tapi juga LP Ma’arif, LPT NU, Fatayat, dan lainnya. Mereka semua harus kita rangkul. Kalau memang ada kecenderungan untuk menjadi dosen, dan sudah memenuhi kualifikasi, maka kita rekrut. Jaringan di dalam kita perkuat, jaringan di luar juga kita perkuat. Tanpa itu kita sulit menjadi besar. Saya melihat potensi NU yang sangat besar ini masih tercecer-cecer, belum bersinergi secara utuh.

Untuk jaringan keluar, kita harus cukup terbuka dengan siapapun yang sehaluan dengan kita, bahkan luar negeri sekalipun. Kemarin kita sudah memberikan contoh dengan membuka kerja sama dengan Universias Ibnu Thufail, Universias Sa’ad Ibnu Malik, bahkan beberapa waktu lalu melalui PCI NU (Pengurus Cabang Istimewa NU) Mesir sudah dijajaki untuk bisa bekerjasama dengan Al-Azhar University. Kalau di Aljazair kita sudah kontak Dubesnya, Pak Ni’am Saim, dan beliau sudah welcome. Ini yang akan kita rajut menjadi kukuatan perguruan tinggi NU. Tentu yang bebas dari kepentingan politik praktis.

Kalau semua sesuai harapan Insya Allah akan mengembalikan kebesaran tradisi keilmuan di NU, dan otomatis akan membesaran NU sendiri di mata umat. Saya optimis itu.

Tantangan terbesarnya kira-kira apa?

Pertama, SDM (sumber daya manusia) NU kurang terbiasa mengurus perguruan tinggi yang bagus. Betul kata orang, kita masih terbiasa mengurus madrasah atau pesantren. Sehingga mencari figur yang mendudukan lembaga perguruan tinggi yang tidak seperti pesantren itu susah. Seperti saya ini sering dipanggil dengan sebutan “kiai”, lama-lama menjadi pesantren STAINU ini. Akibatnya, dinamika dan demokratisasi berembug menjadi berkurang. Ini harus kita pisahkan, karena perguruan tinggi harus di-manage sebagaimana perguruan tinggi, bukan seperti pesantren.

Kedua, belum ada contoh yang sukses di NU tentang mekanisme dan cara yang bagus. Termasuk belum seimbang antara kuantitas masa dan jumlah perguruan tinggi yang ada. Kalaupun disebutkan Unisma (Universitas Islam Malang) atau Unwahas (Universitas Wahid Hasyim Jombang), itu kan baru satu-dua. Dibanding Muhammadiyah sangat kontras, jumlah perguruan tinggi mereka justru terlalu banyak. Itu sebetulnya juga bukan dosa orang sekarang karena dulu kita memahami sekolah itu seperti Belanda. Akhirnya menempuh pendidikan di pesantren, kemudian jadi kiai, bikin pesantren lagi, begitu seterusnya. Saya ingat tahun 1977 sarjana pertama NU itu Pak Asnawi Lathif. Itu sekitar tahun 60-70an. Dengan gelar “BA” sebagai ketua IPNU banyak dibanggakan oleh orang NU.

Nah sekarang ini tidak seperti ini lagi kita. Kader kita yang sarjana S2, S3, bahkan guru besar sudah sangat banyak, dan sudah merambah ke perguruan tinggi negeri, tidak hanya di perguruan tinggi Islam tapi juga di ITB (Institut Teknologi Bandung), IPB (Institut Pertanan Bogor), UI (Universitas Indonesia), dan lain-lain. Dan sebenarnya juga sedang mencari-cari bagaimana mereka bisa mengabdi untuk NU ini. Saya di STAINU sudah menerima banyak sekali lamaran-lamaran kader-kader NU yang sudah memenuhi kualifkasi S2 dan S3. Jadi kalau kelak menjadi UNU sudah memenuhi persyaratan administratif kualitatif.

Bagaimana mengatur porsi unsur pesantren dalam universitas tanpa harus menghilangkan idealisme universitas sebagai lembaga intelektual yang demokratis?

Saya kira itu sesuai dengan slogan Pak Said untuk kembai ke pesantren. Saya memaknai “kembali ke pesantren” itu bukan kita harus mondok lagi secara fisik, tapi kita kembali ke nilai-nilai pesantren, yaitu ketulusan, kesederhanaan, dan penghormatan tinggi terhadap keilmuan.

Soal penghormatan kepada kiai saya kira menjadi keharusan. Tapi harus kita pilah mana kiai yang punya kapasitas keilmuan dan spiritualitas yang mumpuni sehingga layak dihormati dan mana yang tidak. Dengan kecenderungan kiai politik yang cukup massif sekarang, hal ini menjadi sulit. Kiai dulu tidak banyak berkecimpung langsung di dunia politik, tapi pengabdiannya terhadap umat luar biasa. Nah, hari ini susah sekali menemukan yang seperti itu.

Jadi unsur-unsur pesantren harus tetap ada di perguruan tinggi. Tradisi pesantren harus ada. Tapi soal demokratisasi juga harus tetap ada. Bukan berarti pesantren tidak demokratis, tapi secara manajemen perguruan tinggi dan pesantren berbeda. Perguruan tinggi tidak harus dipimpin oleh figur sentris seperti pesantren. Manajemennya harus kolektif, demokratisasi intelektual harus tetap ada, budaya filsafat ilmu juga harus ada, dialog harus ada, budaya diskusi juga harus hidup. Jadi tidak boleh semua yang dari dosen dan rektor itu benar. Rektor bisa dikasih masukan dan harus menerima masukan. Model pendidikan pesantren cocok diterapkan dengan kultur pesantren, tapi perguruan tinggi punya kultur lain. []

« Back to archive Halaqoh

|

|

|

|

Halaqoh Linked

Halaqoh List Comment

permintaan [ 17/03/2012 11:52 ]

MI Al-fatah Sraten Cluring Banyuwangi

tolong beri kami foto2 tokoh NU mulai th.1926 sampai sekarang

[ close ]

Ilmuwan Peringatkan “Keadaan Darurat Kemanusiaan”

AFP

AFP – Jum, 30 Mar 2012

London (AFP/ANTARA) - Ilmuwan terkemuka pada Kamis menyerukan KTT Rio mendatang akan bergulat dengan penyakit lingkungan yang kata mereka menunjuk ke "keadaan darurat kemanusiaan dalam skala global."

Dalam sebuah deklarasi "State of the Planet" yang dikeluarkan setelah konferensi empat hari, para ilmuwan mengatakan Bumi sekarang menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari air, polusi dan hilangnya spesies dalam rantai makanan.

Mereka meminta tindak lanjut KTT Bumi 1992 pada 20-22 Juni untuk merombak tata kelola lingkungan dan menyapu sebuah fiksasi dengan PDB (Produk Domestik Bruto) sebagai barometer tunggal kesejahteraan.

"Fungsi berkelanjutan dari sistem Bumi telah telah kesejahteraan peradaban manusia di abad-abad terakhir yang berisiko," kata pernyataan yang dikeluarkan di Konferensi "Planet Under Pressure".

"Ancaman-ancaman ini berisiko pada intensifikasi ekonomi, krisis ekologi dan sosial, menciptakan potensi untuk darurat kemanusiaan dalam skala global."

Konferensi ini mengumpulkan hampir 3.000 ilmuwan lingkungan, ekonom, eksekutif bisnis dan pembuat kebijakan dalam Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio.

Dalam pesan yang direkam, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan ia menyambut deklarasi, dan mengatakan bahwa "waktu yang ... tidak bisa lebih baik."

"Perubahan iklim, krisis keuangan dan pangan, air dan energi keamanan mengancam kesejahteraan manusia dan peradaban seperti yang kita tahu," katanya.

Ban menambahkan bahwa ia sedang mempertimbangkan menunjuk sebuah badan ilmiah atau penasihat ilmiah utama untuk menasihatinya dan organ PBB lainnya.

Deklarasi konferensi mengatakan dampak manusia di Bumi sekarang begitu besar sehingga era baru - "yang disebut Anthropocene", sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani untuk manusia - telah muncul.

Globalisasi telah menunjukkan bahwa ekonomi dan masyarakat sekarang "sangat saling berhubungan dan saling tergantung," katanya.

Perubahan ini telah membawa stabilitas dan inovasi tetapi menciptakan sebuah sistem yang rentan terhadap stres mendadak, seperti krisis keuangan global dan lonjakan harga pangan yang telah ditampilkan.(nn/ml)

Presiden-Sekjen PBB Bicarakan Masalah Papua

Bogor (ANTARA) - Masalah gangguan keamanan di Papua menjadi salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan bilateral antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon yang berlangsung sekitar satu jam.

Dalam konferensi pers usai pertemuan bilateral di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa, Presiden menegaskan kepada Ban Ki-moon bahwa menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah Indonesia adalah salah satu tugas konstitusional yang wajib dijalankan oleh pemerintah.

Meski demikian, Kepala Negara juga menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk menindak para prajurit dan aparat kepolisian yang melanggar hukum dan hak asasi manusia di Papua.

"Manakala ada hal-hal bertentangan dengan disiplin ataupun hak asasi manusia yang bisa dilakukan oleh prajurit atau anggota polisi kami, Indonesia juga menegakkan hukum atasnya," ujar Presiden.

Ummat beragama

Selain masalah Papua, pertemuan bilateral dengan Sekjen PBB juga membahas tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

"Kami juga membicarakan upaya Indonesia untuk menjaga kerukunan di antara umat beragama. Meskipun selalu ada tantangan seperti yang dihadapi beberapa negara, kami terus berupaya menjaga kerukunan di antara komponen bangsa Indonesia," tutur Presiden Yudhoyono.

Dalam pertemuan bilateral, Presiden dan Sekjen PBB juga membicarakan berbagai masalah global dan regional seperti situasi di Timur Tengah, Afrika Utara, dan juga ancaman konflik di Selat Hormuz.

"Di tingkat regional kami juga membicarakan, mendiskusikan perkembangan di Laut China Selatan, Myanmar, Semenanjung Korea, maupun juga perbatasan Thailand dan Kamboja," ujar Presiden.

Dalam bidang kesejahteraan sosial, Presiden membicarakan upaya tercapainya tujuan pembangunan emas atau Millenium Development Goals (MDG) bagi seluruh negara-negara di dunia.

Menurut Presiden, dalam pembicaraan tersebut juga dibahas mengenai peningkatan hubungan bilateral Indonesia-PBB dalam kerangka kerja sama strategis.

Hargai RI

Sedangkan Ban Ki-moon dalam keterangannya menyampaikan apresiasi atas peran aktif Indonesia dalam kancah pergaulan Internasional.

"Saya mengucapkan terima kasih kepada Presiden Yudhoyono untuk partisipasi aktif Indonesia dalam PBB," ujarnya.

Ban Ki-moon berharap Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam pengiriman pasukan perdamaian PBBB dapat terus meningkatkan partisipasinya. Ia pun mengapresiasi Presiden Yudhoyono sebagai kepala negara yang pernah menjadi anggota pasukan perdamaian PBB di Bosnia pada era 90-an.

"Saya berharap kontribusi Indonesia dalam operasi penjaga perdamaian PBB, khususnya dalam misi-misi tersulit PBB seperti di Haiti, Lebanon, dan Darfur," ujarnya.

Ban Ki-moon dalam keterangannya juga menyampaikan penghargaan atas peran Indonesia dalam mencari solusi masalah global seperti mengatasi perubahan iklim.

Sedangkan Presiden Yudhoyono menyampaikan kesiapan Indonesia untuk meningkatkan peran internasional sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945. (tp)

Berita Lainnya