BAHTSUL MASA'IL-HUKUM NIKAH VIA VIDEO CALL

Hukum Nikah Via Video Call Atau 3G

Posted on Juli 23, 2009 by Forsan Salaf

Dari : Abdulkadir Assegaf < kadir.segaff@gmail.com >

Dalam jawaban nikah lewat telepon diatas antum mengatakan nggak sah, lalu bagaimana kalo nikah lewat teknologi spt video call, atau 3G, atau yg sejenis dg hal tsb?

FORSAN SALAF menjawab :

Diantara syarat-syarat nikah adalah hadirnya dua saksi laki-laki yang adil, berakal, baligh, mendengar dan melihat prosesi akad (ijab dan qabul). Adapun menyaksikan lewat layar dan mendengarkan lewat telepon tidak disebut hadir. Oleh karena itu, menyaksikan lewat video call, 3G atau yang sejenisnya tidak sah.Tujuan syari’at mensyaratkan hadirnya dua saksi secara fisik adalah untuk lebih berhati-hati dan menghindari adanya rekayasa dalam pernikahan, sebab masalah nikah terkait erat dengan hukum halal-haramnya seorang perempuan bagi laki-laki, agar tidak terjerumus ke lembah perzinaan. Disamping itu, juga untuk menjaga ikatan pernikahan dari kemungkinan terjadinya ingkar dari pihak suami maupun istri.

Referensi :

  1. 1. Hasyiah Bujairomi ala Khotib/ III/285-287

  2. 2. Tuhfatul Muhtaj /VII /227

حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 3 / ص 286)

وَمِمَّا تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالضَّبْطُ وَلَوْ مَعَ النِّسْيَانِ عَنْ قُرْبٍ وَمَعْرِفَةِ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ قَوْلُهُ : ( وَالضَّبْطُ ) أَيْ لِأَلْفَاظِ وَلِيِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ ، فَلَا يَكْفِي سَمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ ؛ لِأَنَّ الْأَصْوَاتَ تَشْتَبِهُ وَيَنْبَغِي لِلشَّاهِدَيْنِ ضَبْطُ سَاعَةِ الْعَقْدِ لِأَجْلِ لُحُوقِ الْوَلَدِ .

حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 3 / ص 287)

وَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الشَّاهِدَيْنِ أَيْضًا السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالضَّبْطُ وَمَعْرِفَةُ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَكَوْنُهُ غَيْرَ مُتَعَيَّنٍ لِلْوِلَايَةِ وَأَشْيَاءٌ أُخَرُ . وَلَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ الشُّهُودِ لِلزَّوْجَةِ وَلَا أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ بِنْتُ فُلَانٍ بَلْ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ الْحُضُورُ ، وَتُحْمَلُ الشَّهَادَةُ عَلَى صُورَةِ الْعَقْدِ حَتَّى إذَا دُعُوا لِأَدَاءِ الشَّهَادَةِ لَمْ يَحِلَّ لَهُمْ أَنْ يَشْهَدُوا أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ بِنْتُ فُلَانٍ بَلْ يَشْهَدُونَ عَلَى جَرَيَانِ الْعَقْدِ كَمَا قَالَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ ؛ كَذَا بِخَطِّ شَيْخِنَا الزِّيَادِيِّ شَوْبَرِيٌّ ، وَهُوَ تَابِعٌ لِابْنِ حَجَرٍ .

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 7 / ص 227)

( وَلَا يَصِحُّ ) النِّكَاحُ ( إلَّا بِحَضْرَةِ شَاهِدَيْنِ ) قَصْدًا أَوْ اتِّفَاقًا بِأَنْ يَسْمَعَا الْإِيجَابَ وَالْقَبُولَ أَيْ الْوَاجِبَ مِنْهُمَا الْمُتَوَقِّفَ عَلَيْهِ صِحَّةُ الْعَقْدِ لَا نَحْوَ ذِكْرِ الْمَهْرِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ { لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ } الْحَدِيثَ وَالْمَعْنَى فِيهِ الِاحْتِيَاطُ لِلْأَبْضَاعِ وَصِيَانَةُ الْأَنْكِحَةِ عَنْ الْجُحُودِ وَيُسَنُّ إحْضَارُ جَمْعٍ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاحِ

حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 3 / ص 285)

( وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إلَّا بِوَلِيٍّ ) أَوْ مَأْذُونِهِ أَوْ الْقَائِمِ مُقَامَهُ كَالْحَاكِمِ عِنْدَ فَقْدِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ عَضْلِهِ أَوْ إحْرَامِهِ ( وَ ) حُضُورِ ( شَاهِدَيْ عَدْلٍ ) لِخَبَرِ ابْنِ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا : { لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ ، وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ ، فَإِنْ تَشَاحُّوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ } وَالْمَعْنَى فِي إحْضَارِ الشَّاهِدَيْنِ الِاحْتِيَاطُ لِلْأَبْضَاعِ وَصِيَانَةُ الْأَنْكِحَةِ عَنْ الْجُحُودِ . وَيُسَنُّ إحْضَارُ جَمْعٍ زِيَادَةً عَلَى الشَّاهِدَيْنِ مِنْ أَهْلِ الْخَيْرِ وَالدِّينِ

PENDAPAT ULAMA TENTANG AKAD NIKAH DENGAN BANTUAN VIDEO CONFERENCE LEWAT JARINGAN VOICE OVER INTERNET PROTOCOL (VOIP)

Untuk dapat menentukan status hukum suatu perbuatan hukum, menurut syariat Islam harus diketahui terlebih dahulu sumber hukum Islam yang paling solid. Dengan memahami sumber hukum aslinya, akan lebih mudah beristimbat hukum dalam berbagai persoalan. Berdasarkan ketetapan yang paling kuat, dan diakui jumhur ulama Islam, sumber hukum dalam Islam hanyalah satu yaitu wahyu, dalam bentuk firman-Nya (Al-Qur’an), dan sabda nabi-Nya (Hadits), baru kemudian ijma para sahabat, atsarnya, lalu pendapat perseorangan diantara mereka.

Ijma ulama bukanlah sumber hukum, namun merupakan pedoman atau yurisprudensi hukum Islam, sedangkan Qiyas merupakan suatu cara berijtihad (menggali sumber hukum), jadi qiyas itu bukan sumber hukum, tetapi alat untuk beristimbat (menggali), hukum Islam.

Salah satu syarat perkawinan adalah ijab-Qabul yang harus diucap pada satu pertemuan (majlis) yang dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, harus diucapkan oleh orang-orang yang sama hukum berhak melaksanakan akad tersebut.

Karena dalam hukum Islam ditegaskan bahwa perkawinan secara tegas dinyatakan tidak dianggap sebagai sakramen (yang bernilai ritual) melainkan sebagai perjanjian (akad) semata-mata. Rukun-rukun atau unsur-unsur esensialnya adalah ijab (pernyataan kehendak dari wali untuk menikahkan calon pengantin wanita dengan calon pengantin lelaki ijab qabul (pernyataan penerimaan dari calon pengantin pria terhadap ijab tersebut) tanpa ucapan keagamaan apapun, walaupun yang disebut terakhir ini pada umumnya dianggap sebagai syarat yang bernilai hukum tetapi para fuqaha’ di masa kini banyak yang mempermasalahkannya.

Menurut Abd al-Rahman al-Jazairi makna “satu majlis” adalah keterlibatan langsung antara wali atau pun yang mewakilinya dan calon suami atau yang mewakilinya, dalam pelaksanaan ijab-qabul beberapa ulama mensyaratkan juga hadirnya dua orang saksi, keterlibatan langsung disini berarti adanya ikut serta kedua belah pihak dalam melangsungkan sighat ijab-qabul, yang dipentingkan disini adalah bukan bersatunya individu secara fisik.

Dengan demikian, jaringan internet atau sarana telekomunikasi lainnya bisa dikategorikan sebagai “satu majlis” jika komunikasi yang berlangsung masih dalam konteks yang sama. Dalam hal ini, konteksnya adalah akad ijab dan qabul yang disampaikan, ketakhadiran fisik calon suami tidak lagi menjadi rintangan sahnya perkawinan.

Dalam persoalan akad nikah dengan bantuan video conference para ulama berbeda pendapat menanggapi hal tersebut.

Pertama, selain dari madzhab Hanafi, para ulama berpendapat bahwa syarat orang yang melakukan akad nikah adalah semua pihak harus berada dalam satu tempat dan satu waktu secara bersamaan. Karena itu, akad nikah yang tidak dilaksanakan pada satu tempat walaupun kedua belah pihak dapat saling berkomunikasi tetap dihukumi tidak sah. Menurut Imamiyah, Hambali dan Syafi’i, akad dengan tulisan (surat dan sebagainya) tidak sah.

Kedua, madzhab Hanafi menyatakan bahwa akad nikah menggunakan alat teleconference hukumnya sah. Kesimpulan tersebut diperoleh karena menurut golongan ini, yang dimaksud dengan majelis yang menjadi keharusan dalam setiap akad bukanlah keberadaan dua orang yang melakukan ijab qabul di dalam satu tempat secara fisik. Bisa saja tempat keduanya berjauhan, tetapi apabila ada alat komunikasi yang memungkinkan keduanya melakukan proses pernikahan dalam satu waktu yang bersamaan, maka hal itu tetap dinamakan satu majelis, sehingga akad yang dilaksanakan tetap dihukumi sah.

Kalau melihat dua pendapat ini, maka yang menjadi akar permasalahannya adalah perbedaan dalam mempersepsikan syarat satu majelis sebagai syarat dalam pernikahan.

Golongan Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliah menyatakan bahwa yang dimaksud satu majlis itu adalah berkumpul dalam satu tempat dan satu waktu. Menurut mereka agar pernikahan dapat sah semua pihak yang terlibat dalam prosesi akad nikah harus berkumpul secara fisik. Bahkan menurut madzhab Syafi’i walaupun pihak yang terkait dalam akad sudah berkumpul dalam satu tempat, namun bila satu di antara mereka tidak dapat melihat yang lainnya,karena gelap atau lainnya, maka pernikahan itu dianggap tidak sah.

Sedangkan dalam madzhab Abu Hanifah, yang dimaksud satu majelis ialah di mana dua orang yang melakukan akad dapat berkomunikasi secara langsung dan melaksanakan akad dalam waktu yang bersamaan. Jadi media apapun saja dapat digunakan asalkan hal itu dapat menghubungkan dua belah pihak tanpa ada kemungkinan terjadinya manipulasi. Dalam hal ini maka sah hukumnya menggunakan media untuk melaksanakan akad nikah.

Menjawab soal ijab kabul, Rifyal Ka’bah, hakim agung, menyatakan, selama dapat diyakinkan bahwa ‘suara’ di seberang sana adalah orang yang berkepentingan, maka hal tersebut sah-sah saja. Soal pengertian satu majelis, Rifyal berpendapat pengertian satu majelis saat ini tidak bisa disamakan dengan satu majelis zaman nabi.

Rifyal yang menyabet gelar master dari Department of Social Sciences, Kairo Mesir, ini menganalogikan ijab dan kabul perkawinan dengan perdagangan yang menurut Islam juga harus dilakukan dalam satu majelis.

Namun bukan berarti Rifyal setuju dengan penggunaan seluruh media komunikasi untuk ijab kabul perkawinan jarak jauh. Ia berpendapat teleconference dan telepon sebagai sarana yang memungkinkan ketimbang surat elektronik (surel), SMS dan faksimili. Alasan Rifyal lebih bersifat otentifikasi media yang digunakan. Artinya, sulit untuk memastikan bahwa surel, SMS maupun faksimili yang dikirimkan tersebut benar-benar dikirim oleh orang yang bersangkutan.

Senada dengan Rifyal, Abdus Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyadari perkembangan dunia saat ini tidak bisa lagi membatasi ijab dan kabul harus dalam satu ruang dan waktu.

Menurut Abdus Salam, inti dari ijab dan kabul adalah akad atau perjanjian. Karenanya, sama dengan Rifyal, Abdus Salam, berpendapat akad nikah atau ijab kabul sama dengan ijab kabul dalam jual beli. Beliau mengatakan bahwa pada prinsipnya sama harus ada ijab dan kabul yang jelas. Apabila kedua pihak yang berakad ini tidak berada satu majelis, kemudian melalui bantuan teknologi keduanya dapat dihubungkan dengan sangat meyakinkan, menurutnya dapat ‘dihukumi’ satu majelis.

Begitupun dengan perceraian jarak jauh. Menurut Nawawi, ijab kabulnya sama dengan akad, sehingga kalau terpenuhi prinsip-prinsip kepastian, perceraian bisa dilakukan jarak jauh. Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan buku laporan pelatihan hakim Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian satu majelis tidak harus duduk dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul melalui telepon dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan banyak orang.

Sementara itu, Moqsith Ghazali dari The Wahid Institute menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menanggapi persoalan ijab kabul jarak jauh ini. Menurutnya, ketika menggelar prosesi ijab kabul, kedua mempelai harus hadir. Menurutnya sebenarnya hal ini (akad nikah melalui video conference) masih kontroversial, hampir semua imam fikih berpendapat ijab kabul harus satu majelis. Namun ulama kontemporer, dengan menimbang persoalan ekonomi, baru-baru ini memperbolehkan perkawinan jarak jauh.

Ada beberapa riwayat jenis pernikahan yang pada prinsipnya mengarah kepada dukungan mengenai dibolehkannya pernikahan melalui jalur internet, riwayat-riwayat tersebut ialah:

عن عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لرجل ان أزوجك فلانة قال نعم و قال للمرأة أترضين ان أزوجك فلانا قالت نعم فزوج احدهما صاحبه فدخل بها

Dari Uqbah bin Amir, bahwa Nabi SAW pernah berkata kepada seorang laki-laki, “Sukakah engkau aku kawinkan dengan si Fulanah? Ia menjawab, “Ya!, dan Nabi bertanya kepada si wanitanya, “Sukakah engkau aku kawinkan dengan si Fulan?” wanita itu menjawab, “ya”, lalu dikawinkan antara mereka, terus mereka jadi suami isteri,” (HR. Abu Dawud).

ان أم حبيبة كانت تحت عبيد الله بن جحش فمات بأرض الحبشة فزوجها النجاشي رحمه الله من النبي صلى الله عليه و سلم و أمهرها أربعة آلاف درهم و بعث حبيب اليه مع شرحبيل بن حسنة فقبل النبي صلى الله عليه و سلم

Bahwasannya Ummu Habiebah adalah isteri Ubaidillah bin Jajsy. Ubaidillah meninggal di negeri Habasyah, maka raja Habasyah (semoga Allah memberi rahmat kepadanya) menikahkan Ummu Habiebah kepada Nabi SAW, ia bayarkan maharnya 4000 dirham, lalu ia kirimkan Ummu Habiebah kepada Nabi SAW bersama Syurahbiel bin Hasanah. Lalu Nabi SAW menerimanya”. (HR. Daud, dan Nasa’i)

Dari dua hadits di atas memberikan informasi bahwa menikahkan seorang wanita kepada seorang laki-laki tanpa keduanya bertemu itu boleh-boleh saja, asal kedua-duanya suka. Bahkan nikah model ini (keduanya tidak saling bertemu), justru lebih aman, asal sudah saling mengetahui watak dan kepribadian masing-masing sebelumnya. Tidak berpola pendekatan, yang lazim berjalan selama ini, justru akhirnya sering menimbulkan persoalan psikologis di kemudian hari, dan bahkan sampai sering mengubah hubungan hukumnya.

Dengan demikian, jaringan internet atau sarana telekomunikasi lainnya bisa dikategorikan sebagai “satu majlis” jika komunikasi yang berlangsung masih dalam konteks yang sama. Dalam hal ini, konteksnya adalah akad ijab dan qabul yang disampaikan, ketidak-hadiran fisik calon suami tidak lagi menjadi rintangan sahnya perkawinan.

Secara umum hikmah pernikahan melalui jalur internet sama halnya dengan hikmah pernikahan menggunakan jalur biasa (konvensional). Hanya saja secara teknis memang ada bedanya, pernikahan melalui jalur internet dapat menjangkau jarak jauh. Bisa dipergunakan oleh mereka yang berada berjauhan tempat, sedangkan pernikahan biasa hanya dimanfaatkan oleh mereka yang berdekatan jaraknya.

– See more at: http://hakamabbas.blogspot.co.id/2014/04/pendapat-ulama-tentang-akad-nikah.html#sthash.iY9gmtXN.dpuf – See more at: http://hakamabbas.blogspot.co.id/2014/04/pendapat-ulama-tentang-akad-nikah.html#sthash.iY9gmtXN.dpuf

REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini teknologi telepon genggam semakin canggih, di antaranya adalah fasilitas jaringan 3G.

3G atau third generation adalah istilah yang digunakan untuk sistem komunikasi mobile (hand phone) generasi selanjutnya. Sistem ini akan memberikan pelayanan yang lebih baik dari apa yang ada sekarang, yaitu pelayanan suara, teks dan data.

Jasa layanan yang diberikan oleh 3G ini adalah jasa pelayanan video, akses ke multimedia dan lain-lain. Dengan fasilitas ini, yakni dengan video call, seseorang dapat berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan bicara.

Oleh sebab itulah, jika akad ijab dan qabul melalui surat atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama mazhab, maka akad ijab dan qabul menggunakan fasilitas jaringan 3G, yakni melalui video call lebih layak untuk dibolehkan.

Dengan surat atau utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan qabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat dan utusan masih dianggap satu waktu (satu majelis). Sedangkan melalui video call, akad ijab dan qabul benar-benar dilakukan dalam satu waktu.

Dalam akad ijab qabul melalui surat atau utusan, pihak pertama yakni wali tidak mengetahui langsung terhadap pernyataan qabul dari pihak calon suami. Sedangkan melalui video call, lebih baik dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara langsung (baik mendengar suara maupun melihat gambar) pernyataan qabul dari pihak calon suami, demikian pula sebaliknya.

Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang melakukan akad ijab dan qabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi pemalsuan.

Dengan demikian, akad ijab dan qabul melalui video call sah secara syar’i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad ijab dan qabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sah nikah yang lain.

Apabila akad ijab dan qabul melalui video call sah antara wali dengan calon suami, maka sah juga untuk akad tawkil (mewakilkan) dari pihak wali kepada wakil jika wali mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga akad ijab dan qabul melalui video call antara wakil dengan mempelai pria.

Sekalipun demikian, alangkah baiknya akad ijab dan qabul dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak secara langsung.

Ijab dan qabul dilakukan via video call apabila memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan untuk masing-masing pihak bertemu secara langsung. Wallahu ‘alam bish shawab.(Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

Home » Kontemporer » Pernikahan » Akad Nikah Via Vidieo Call

By: Admin http://www.FatwaTarjih.com on 13.40.00

AKAD NIKAH VIA VIDEO CALL

(disidangkan pada Jum’at, 16 Jumadats-Tsaniyah 1429 H / 20 Juni 2008)

Pertanyaan:

Dewasa ini, seiring dengan kemajuan teknologi, antara dua pihak dapat berkomunikasi secara mudah melalui suara dan gambar menggunakan hand phone yang mempunyai fasilitas video calldalam jaringan 3G. Berkenaan dengan itu, apakah hukumnya melakukan akad ijab qabul (pernikahan) antara wali dengan pihak mempelai pria yang jaraknya berjauhan melalui video call ?

Mohon jawabannya dan terima kasih.

Jawab:

Akad nikah sah secara syar’i jika memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun nikah menurut jumhur ulama ada lima, yaitu adanya mempelai pria, adanya mempelai wanita, adanya wali nikah, hadirnya dua orang saksi, dan akad ijab-qabul. Masing-masing rukun tersebut ada syaratnya. Khusus tentang ijab qabul, ada 4 syarat, yaitu:

  1. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis

  2. Kesesuaian antara ijab dan qabul. Misalnya wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya Khadijah..”, kemudian calon suami menjawab: “Saya terima nikahnya Fatimah …”, maka nikahnya tidak sah, karena antara ijab dan qabul tidak sesuai.

  3. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijabnya sebelum qabul dari pihak lain (calon suami). Jika sebelum calon suami menjawab wali telah menarik ijabnya, maka ijab dan qabul seperti ini tidak sah.

  4. Berlaku seketika, maksudnya nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya Khadijah besok atau besok lusa”, maka ijab dan qabul seperti ini tidak sah.

Yang dimaksud dengan ijab qabul dilakukan dalam satu majlis pada syarat pertama, adalah ijab dan qabul terjadi dalam satu waktu. Suatu akad ijab dan qabul dinamakan satu majlis jika setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera mengucapkan qabul. Antara ijab dan qabul tidak boleh ada jeda waktu yang lama. Sebab jika ada jeda waktu lama antara ijab dan qabul, qabul tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab. Ukuran jeda waktu yang lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon suami menolak untuk menyatakan qabul. Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan nikah sekalipun sedikit, juga sekalipun tidak berpisah dari tempat akad.

Berdasarkan pengertian tersebut, ijab dan qabul tidak harus dilakukan antara dua pihak dalam satu tempat. Para ulama imam madzhab sepakat tentang sahnya akad ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau utusan. Misalnya ijab dan qabul dilakukan melalui surat atau utusan dari wali yang dikirimkan kepada calon suami. Jika akad ijab dan qabul melalui surat, yang dimaksud dengan majlis akad yaitu tempat suami membaca surat yang berisi ijab dari wali di hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat yang berisi ijab dari wali segera mengucapkan qabul, maka akad dipandang dilakukan dalam satu majlis. Jika akad ijab dan qabul melalui utusan, yang dimaksud dengan majlis akad yaitu tempat utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon suami di hadapan para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab dari wali, calon suami segera mengucapkan qabul, maka akad dipandang telah dilakukan dalam satu majlis.

Pada zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan hanya terbatas melalui alat komunikasi surat atau utusan. Dewasa ini, alat komunikasi berkembang pesat dan jauh lebih canggih. Seseorang dapat berkomunikasi melalui internet, telepon, atau melalui tele-conference secara langsung dari dua tempat yang berjauhan. Alat komunikasi telepon atau hand phone (HP), dahulu hanya bisa dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara (berbicara) dan Short Massage Service(SMS: pesan singkat tertulis). Saat ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya adalah fasilitas jaringan 3G. 3G atau third generation adalah istilah yang digunakan untuk sistem komunikasi mobile (hand phone) generasi selanjutnya. Sistem ini akan memberikan pelayanan yang lebih baik dari apa yang ada sekarang, yaitu pelayanan suara, teks dan data. Jasa layanan yang diberikan oleh 3G ini adalah jasa pelayanan video, akses ke multimedia dan lain-lain. Dengan fasilitas ini, yakni dengan video call, seseorang dapat berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan bicara.

Oleh sebab itulah, jika akad ijab dan qabul melalui surat atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama madzhab, maka akad ijab dan qabul menggunakan fasilitas jaringan 3G, yakni melaluivideo call lebih layak untuk dibolehkan. Dengan surat atau utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan qabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat dan utusan masih dianggap satu waktu (satu majlis). Sedangkan melalui video call, akad ijab dan qabul benar-benar dilakukan dalam satu waktu. Dalam akad ijab qabul melalui surat atau utusan, pihak pertama yakni wali tidak mengetahui langsung terhadap pernyataan qabul dari pihak calon suami. Sedangkan melalui video call, lebih baik dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara langsung (baik mendengar suara maupun melihat gambar) pernyataan qabul dari pihak calon suami, demikian pula sebaliknya. Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang melakukan akad ijab dan qabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi pemalsuan.

Dengan demikian akad ijab dan qabul melalui video call sah secara syar’i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad ijab dan qabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sah nikah yang lain. Apabila akad ijab dan qabul melalui video call sah antara wali dengan calon suami, maka sah juga untuk akad tawkil (mewakilkan) dari pihak wali kepada wakil jika wali mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga akad ijab dan qabul melalui video callantara wakil dengan mempelai pria.

Sekalipun demikian, alangkah baiknya akad ijab dan qabul dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak secara langsung. Ijab dan qabul dilakukan via video call apabila memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan untuk masing-masing pihak bertemu secara langsung.

Wallahu ‘alam bish-shawab. *hom)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com

PERNIKAHANNYA ORANG BISU

Jumat, 13 April 20122komentar

PERTANYAAN :

Felecercmantune Wonk Sparu

as’Slamu’alaikum Wr. Wb. mau nanya gimana hukumnya 0rang bisu menikah …???

Tolong d jelaskan. sYukrOn

JAWABAN :

>> Dhimas Sholehen

Wa’alaikum salam..

1.Dgn pake bhasa isyarat yg jelas dan dapat dimengerti..

2.kalo pake bhasa isyarat tdk dpat dimengerti paka akatnya pake tulisan..

hasyiyah syarqowi.juz 2/225

>> Abdurrahman As-syafi’i

wa’alaikum salam wr.wb. Kalo isyarat tidak mampu,nulis juga g tidak bisa..boleh dgn perantara walinya.

و ينعقد باشارة اخرس مفهمة و قيل لا ينعقد النكاح الا بالصغة العربية فعليه يصبر عند العجز الى ان يتعلم او يوكل

اعانة الطالبين ٣ /٢٧٧

>> Masaji Antoro

Wa’alaikumsalam…

Cara Ijab Qabul orang bisu dalam akad nikah bisa dilakukan dengan isyarat, dengan syarat bila isyaratnya sharih (jelas), jika tidak sharih, dalam arti isyaratnya menimbulkan kinayah atau ia bisa menulis maka bila ia masih bisa mewakilkan ia harus mewakilkan dan jika tidak bisa mewakilkan maka ijab qabulnya boleh dilakukan dengan isyarat kinayah atau dengan tulisan karena darurat.

واما ان كان زوجا فان كانت اشارته صريحة عقد بها وان كانت كناية او كان له كتابة فان امكنه التوكيل وكل والا عقد بها للضرورة

Bila ia seorang (calon suami) maka bila isyaratnya sharih (jelas) maka ia bisa diakadi dengan isyaratnya, bila isyaratnya kinayah (masih memberikan pengertian lain selain nikah) atau ia bisa menulis maka bila ia memungkinkan mewakilkan ia harus mewakilkan, bila tidak bisa mewakilkan maka ijab qabulnya boleh dilakukan dengan isyarat kinayah atau dengan tulisan karena darurat.

Hamisy al-Iqnaa II/125

( إيمَاءُ الْأَخْرَسِ وَكِتَابَتُهُ كَالْبَيَانِ ) بِاللِّسَانِ ( بِخِلَافِ مُعْتَقَلِ اللِّسَانِ ) وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : هُمَا سَوَاءٌ فِي وَصِيَّةٍ وَنِكَاحٍ وَطَلَاقٍ وَبَيْعٍ وَشِرَاءٍ وَقَوَدٍ وَغَيْرِهَا مِنْ الْأَحْكَامِ

Isyarat orang bisu dan tulisannya seperti penjelasan dengan lisannya berbeda dengan orang yang terikan lisannya.Imam As-Syafi’i berkata “Isyarat dan tulisannya sama dalam berbagai masalah-masalah hukum seperti dalam hal wasiat, nikah, talak, jual beli, qishas dan sebagainya.

Radd al-Muhtaar 29/272

Wallaahu A’lamu Bis Showaab.

RUKUN DAN SYARAT SAH PERNIKAHAN

RUKUN DAN SYARAT SAH PERNIKAHAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqih Munakahat

Dosen Pengampu : Miftah AF

Oleh:

Aprilia Ambarwati (132211075)

Ahmad Haidar (132211076)

Sofiani Novi Nuryanti (132211078)

Safar utomo (132211079)

FAKULTAS SYARI`AH

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) WALISONGO

SEMARANG

2014

  1. PENDAHULUAN

  2. Latar belakang

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan bagai mana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.

  1. Rumusan masalah

  2. Apa pengertian rukun, syarat, dan sah?

  3. Apa sajakah rukun nikah itu?

  4. Apa sajakah syarat sah nikah?

  5. Apa saja syarat sah dari rukun nikah?

  6. Tujuan

  7. Mengetahui pengertian rukun, syarat dan sah

  8. Mengetahui apa saja yang menjadi rukun dalan pernikahan

  9. Mengetahui syarat-syarat dari pernikahan

  10. Mengetahui syarat dari rukun pernikahan

  1. PEMBAHASAN

  2. Pengertian rukun, syarat, dan sah

Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus di penuhi. Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.[1]

Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’I dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun tidak ada. Dalam syari’ah rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Perbedaan rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. [2]

  1. Rukun nikah

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :

1.) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan

2.) Adanya wali dari pihak wanita

3.) Adanya dua orang saksi

4.) Sighat akad nikah[3]

Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat :

a.) Imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :

– Wali dari pihak perempuan

– Mahar (mas kawin)

– Calon pengantin laki-laki

– Calon pengantin perempuan

– Sighat aqad nikah[4]

b.) Imam syafi’I mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :

– Calon pengantin laki-laki

– Calon pengantin perempuan

– Wali

– Dua orang saksi

– Sighat akad nikah[5]

c.) Menurut ulama khanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.

d.) Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat :

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan di gabung satu rukun :

– Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan

– Adanya wali

– Adanya dua orang saksi

– Dilakukan dengan sighat tertentu[6]

  1. Syarat sahnya perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri.

Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :

  1. Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 )

  2. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.[7]

  3. Syarat-syarat rukun nikah

Secara rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :

1.) Syarat-syarat kedua mempelai

  1. Calon mempelai laki-laki

Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama yaitu :

– Calon suami beragama Islam

– Terang ( jelas ) bahwa calon suami itu betul laki-laki

– Orangnya diketahui dan tertentu

– Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri

– Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya

– Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)

– Tidak sedang melakukan ihram

– Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri

– Tidak sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 ) [8]

  1. Calon mempelai perempuan

Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :

– Beragama Islam.

– Terang bahwa ia wanita

– Wanita itu tentu orangnya

– Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)

– Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah

– Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)

– Tidak dalam ihram haji atau umrah[9]

2.) Syarat-syarat ijab Kabul

Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali. Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan. Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan.[10] Perkawinan wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah. Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa difahami.

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.

Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Khanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.

Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atautazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali. Sedangkan khanafi membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.[11]

3.) Syarat-syarat wali

Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah.[12] Berdasarkan sabda Nabi SAW :

لَا نِكَاحَ اِلَّابِ اْلوَلِيىِّ (رواه الخمسى)

“tidak sah pernikahan tanpa wali”

اَيّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِإِدِ نِ وَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَااْالمَهْرُ بِمَاسْتَحَلَّ مِنْ فرْجِهَافَإِنِ اسْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىٌّ لَهُ (رواه الخمسة الا النسا ئى)

perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin walinya perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan, sultanlah yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah kecuali An-Nasaiy)[13]

Khanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan bukan untuk mengawinkan perempuan awam.

Anak kecil, orang gila, dan budak tidak mendapat wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.

Abu khanifah dan abu yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal dan sudah dewasa sebagai berikut :

sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik ia gadis ataupun janda,… akan tetapi yang disukai adalah apabila ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad nikahnya.

Akan tetapi bagi walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak kufu’ (tidak sepadan) atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil

Bahkan apabila ia mengawini diri sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak sepadan) dan tanpa keridhoan walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah dan abu yusuf adalah ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan dapat mengajukan pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan keputusan dengan adil, karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan yang demikian itu untuk mencegah adanya perselisihan.

Menurut riwayat yang lain wali juga berhak menghalangi perkawinan yang demikian itu dengan cara meminta kepada hakim agar memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi si istri itu belum melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab apabila sudah demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta perceraiannya dengan maksud agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga kandungan.

Dan apabila suaminya kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar mitsil, apabila wali dapat menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat menerima ia dapat mengajukan kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan tersebut.

Akan tetapi apabila si perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak mempunyai wali sama sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib siapapun tidak berhak menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan akadnya, baik itu ia kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar mitsil ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab dengan keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada tanggung jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu tersebut, dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari kewenangan wali-walinya (fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet. 1968/1388)[14]

Wali hendaknya menanyakan calon mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut ini :

عَنْ اِبْنُ عَبَّاسْ اَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ : اَلثَيِّبٌ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَاوَاْلبِكْرُ تُسْتَأْدَ نُ فِيْ نَفْسِهَا وَإِدْنُهَا صُمَاتُهَا (رواه الجماعة الا البخاروفي رواية لااحمد وابى داود والنسا ئى) اْلبِكْرٌيَسْتَأْمِرُهَا

“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah SAW berkawa : janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaklah diminta izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan oleh jam’ah kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasaiy dikemukakan :

وَاْلبِكْرُيَسْتأْمِرُهَاأَبُوْهَا

dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”

Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :

  1. Bapak

  2. Kakek dan seterusnya keatas

  3. Saudara laki-laki sekandung/seayah

  4. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah

  5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah

  6. Paman sekandung/seayah

  7. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah

  8. Saudara kakek

  9. Anak laki-laki saudara kakak[15]

Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :

a.) Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhoan yang dikawinkan itu.

b.) Wali nasab yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin perempuan. wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta keturunnnya menurut garis patrilineal.

c.) Wali hakim.[16]

4.) Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.[17]

Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik. Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.

Sebagian besar ulama berpendapat saksi merpakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat syafi’I, khanafi, hanbali.

Bagaimana kalau saksi seorang, lalu datang seorang saksi lagi?

Menurut kebanyakan ulama dua orang saksi itu wajib ada bersama, demikian pendirian ulama khuffah. Sedang menurut ulama madinah , termasuk imam malik, akad nikah sah apabila didatangi oleh seorang saksi, kemudian datang lagi seorang saksi, jika perkawinan itu diumumkan.[18]

  1. PENUTUP

  2. Kesimpulan

Rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan. Menurut jumhur ulama rukun pernikahan sendiri ada lima yaitu adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah ( yang masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu ). Dan syarat sah pernikahan pada garis besarnya ada dua yaitu calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri, akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

  1. Kritik dan saran

Demikianlah makalah tentang Rukun dan Syarat sah pernikahan yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Abdul Rahman.2010. Fiqih Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media

Sudarsono .1922. Pokok-Pokok hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta

Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. 1983. Ilmu Fiqih Jilid II. Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam

Abdullah, Abdul Ghani.1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1994

[1] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.45-46

[2] Gemala dewi SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta : kencana, 2005) Hal.49-50

[3] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010) Hal.46

Dr. Abdul Ghani Abdullah,SH. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. ( Jakarta : Gema Insani Press, 1994 ) Hal. 81

[4] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Op.cit. Hal.48

[5] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Op.cit. Hal.48

[6] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010) Ha.46-48

[7] Ibid. Hal.49

[8] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.50

[9] Ibid.Hal.55

[10] Gemala dewi, SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta : kencana, 2005) Hal.63

Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992) Hal.602

[11] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal. 56-59

Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal. 98

[12] Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.602

[13] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.59

Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal.100-101

[14] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.59-64

Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal.100-108

[15] Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.602

[16] Ibid. Hal.603

Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal. 107

Dr. Abdul Ghani Abdullah,SH. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. ( Jakarta : Gema Insani Press, 1994 ) Hal. 83

[17] Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.604

[18] Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) hal.108-109

Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.64-65

5

TUGAS/MAKALAH/ RUKUN & SYARAT NIKAH/ SITI RAMDANI/SEMESTER 8 @2014

  1. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah5. Bukan mahram bakal suami6. Belum pernah dili’an ( sumpah li’an) oleh bakal suami.7. Terang orangnya8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrahc. Syarat wali sebagai berikut :1.

Beragama Islam2.

Baligh3.

Berakal4.

Tidak dipaksa5.

Terang lelakinya6.

Adil ( bukan fasik )7.

Tidak sedang ihram haji atau umrah8.

Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah(mahjur bissafah)9.

Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.

6

TUGAS/MAKALAH/ RUKUN & SYARAT NIKAH/ SITI RAMDANI/SEMESTER 8 @2014

  1. Syarat saksi1.

Beragama Islam2.

Laki-laki3.

Baligh4.

Berakal5.

Adil6.

Mendengar {tidak tuli}7.

Melihat (tidak buta)8.

Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)9.

Tidak pelupa ( mughhaffal)10.

Menjaga harga diri ( menjaga muru’ah)11.

Mengerti maksud ijab dan qobul12.

Tidak merangkap menjadi walie.

Ijab dan Qabul Ijab dan qabul harus berbentuk dari asal kata “inkah” atau”tazwij” atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut yang dalam bahasaIndonesia berarti “Menikahkan”.Contoh :1.

Ijab dari wali calon mempelai perempuan : Hai Wulan bin, saya nikahkanfulanah, anak saya dengan engkau, dengan ;mas kawin (mahar).2.

kabul dari calon mempelai pria ; saya terima nikahnya fatimah binti……..dengan maskawin (mahar)…………

7

TUGAS/MAKALAH/ RUKUN & SYARAT NIKAH/ SITI RAMDANI/SEMESTER 8 @2014

BAB IIIPENUTUP

3.1. KesimpulanDari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambilkesimpulan, yaitu sebagai berikut :1.

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dansyarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sahatau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandungarti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukundan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yangharus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.2.

Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi

wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkanengkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan

engkau

dengan Fulanah”).

3.2. SaranSebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan ribuan terimakasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam pembuatanmakalah ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari katakesempurnaan, tetapi kami semua telah berusaha semaksimal munkin dalam pembutan makalah yang amat sederhana ini. Maka, dari pada itu . kami semua sangat berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehinggadalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik.

Advertisements

Advertisement

Report this ad

Report this ad