The Ritz, Toko Bangku Kekuasaan 

ASN di Indonesia merupakan profesi yang menjadi primadona, sehingga setiap tahunnya, berduyun-duyun orang yang mencoba peruntungan dalam seleksinya, termasuk saya. Sebagaimana mana artikel kemarin mengenai apakah keberuntungan itu ada? Saya tetap pada kesimpulan bahwa keberuntungan itu tidak ada jika kita kaitkan dengan konteks seleksi ASN. Sejauh apapun anda memandang ada kolega anda yang anda yakini tidak cukup baik dari anda namun bisa lulus dalam seleksinya itu adalah pemikiran subjektif anda, asumsi tidak bisa menjadi acuan pikir. 


Sebagai salah satu pegawai pemerintah, saya rindu sekali mengkritik.  Menjadi ASN adalah menuju jalan sunyi, karena tak lagi bersuara. Suara-suara sinisme yang disampaikan publik, seakan-akan menjadi sebuah koin, pada bagian muka merupakan kritik pada diri saya atau lembaga, pada bagian belakang merupakan hasrat saya yang terdalam bahwa saya adalah bagian dari publik.  Dualisme tersebut menggugah batin, namun kali ini saya memilih bagian belakang untuk menuntaskan kekesalan saya.


Dewasa ini banyak kasus disebabkan oleh ASN, seperti kekayaan tidak wajar, serta pencucian uang yang sudah diendus oleh KPK, PPATK. Korupsi sudah tidak pada hirarki puncak pejabat publik yang lahir dari partai politik, namun ke umbies menengah dan umbies tinggi.


Dari kelakuan keluarga yang nir adab, flexing barang mewah, hingga gaya hidup yang tidak mencerminkan kesederhanaan tampil di permukaan. SJW (Social Justice Warrior) dengan keterampilan stalkingnya mulai menguliti satu persatu pejabat publik. Hingga akhirnya terlihat mana yang dirasa aneh untuk kemudian diviralkan, setelah viral, kebanyakan hukum akan bekerja, sehingga ramai di media sosial penggunaan hastag #NoViralNoJustice sebagai oli penegakan hukum di Indonesia. 


Saat ini saya memang mengikuti pemberitaan di media sosial mengenai seorang Sekda (Sekretaris Daerah), yang dikuliti karena hedonnya istri dan anak nya. Cuplikan video flexing barang mewah istri, dan gaya hedon putrinya dibanjiri komentar di media sosial.  Sebagai seorang suami dan ayah, adalah naluri untuk melindungi istri dan anaknya dari dalam bahaya.


Beberapa hari ini beliau sibuk klarifikasi,  pertama barang mewah yang dipamerkan adalah barang KW. Kedua menyatakan bahwa pesta ulang tahun anaknya itu sebenarnya berada disebuah toko yang bernama The Ritz Carlton. Setelah fakta-fakta dihadirkan bahwa semua ucapannya adalah omong kosong, beliau tetap berkilah. Dengan berat hati saya katakan beliau telah menghina akal sehat publik.  


Sekda adalah karir ASN tertinggi di Pemerintah Daerah, menurut PP No 84 Tahun 2000, Sekda masuk kedalam jabatan Eselon 1b, setara dengan Kepala Kepolisian Daerah. Seorang Sekda jarang sekali yang ditempati oleh orang politik, biasanya yang menjadi Sekda adalah ASN karir putra daerah. Sekda biasanya memulai jabatan dalam posisi staff, kemudian merangkak naik ke jabatan tertinggi dalam hirarki ASN Pemerintah Daerah yaitu Sekda. Sekda merupakan kaki tangan dari pejabat publik yang dipilih oleh rakyat dari partai politik, yaitu Gubernur, dan Wakil Gubernur biasanya ia dimintai masukan dan saran mengenai “budaya” yang ada, dan bagaimana “sistem kerja” yang selama ini bekerja. Sekda bisa dibilang kompas hidup, bagi Gubernur, dan Wakil Gubernur. 


KEMENPANRB menekankan untuk menegakan sistem merit dalam menggenjot produktivitas ASN. Jabatan-jabatan yang ada harus sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Dari sini berarti beliau merupakan ASN dengan kualifikasi tinggi, kompetensi tinggi dan kinerja terbaik untuk menduduki jabatan tersebut.  Namun sekali lagi, mengapa harus membohongi masyarakat? Sekarang semua akses informasi terbuka, pernyataan-pernyataan bisa diuji kredibilitasnya, dengan fakta-fakta yang bisa didapat dengan mudah.


Dengan menghina akal publik, sudah sepatutnya Gubernur memberhentikan Sekda dan mempersilahkan PPATK dan KPK turut terlibat dalam pengusutan seperti apa yang dilakukan oleh Sri Mulyani pada ASN Pajak. Dengan begitu, Gubernur telah mendengar suara rakyat, karena ia diberi mandat oleh rakyat untuk menjabat. Jika tidak terjadi akan ada efek domino, jika seorang Gubernur tidak mendengar suara rakyatnya, maka dapat terjadi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahannya. Hal ini dapat menyebabkan munculnya konflik sosial dan ketidakstabilan politik di daerah tersebut. Akibatnya, pembangunan dan kemajuan daerah tersebut dapat terhambat dan tidak berjalan dengan efektif.


Cukup, sepertinya saya harus kembali ke jalan sunyi, saya cukupkan tulisan ini dan kembali membaca, membaca modul Latsar saya mengenai teori Good Governance, sebagai penutup saya bacakan sedikit ya pak Gub,  teori Good Governance adalah teori yang mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan pengelolaan yang baik dalam pengelolaan ASN. Dalam teori ini, manajemen ASN harus mampu memberikan pelayanan publik yang efektif, efisien, dan terukur, serta mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan.


Duh jadi kangen latsar kan pak 😂