Reorientasi Perayaan Hari Kartini

"Ada sesuatu yang sangat istimewa tentang seorang wanita yang mendominasi dunia laki-laki. Kekuatan, keanggunan, kecerdasan, dan keberanian dibutuhkan untuk tidak pernah mengucapkan kata tidak." Rihanna


“Mamah, aku mau mainan.” Hal tersebut saya sering bicarakan kepada Ibu saya ketika masih kecil, dari sorot mata nya saya tau dia tidak akan memberikan mainan tersebut, namun terdapat jurus jitu lainnya yaitu dengan rengekan. Hal tersebut tidak juga membuat Ibu saya bergeming, ketika itu saya mencoba mengalihkan kemauan saya yaitu beralih kepada buku, karena dahulu pusat perbelanjaan dekat dengan domisili saya, toko mainan bersebelahan langsung dengan toko buku. 


Ketika saya bicara ingin buku terdapat mimik muka yang berubah, dengan nada yang semula membiarkan rengekan saya Ibu saya menunduk dan memberikan saya pertanyaan, “seperti apa buku yang kamu mau.” jawab saya tidak tahu dengan nada memelas dan menggelengkan kepala, namun dengan cepat tangan saya dituntun ke toko buku tersebut. Umur saya kira-kira 7 tahun waktu itu. Ibu saya merupakan seorang guru, menurut saya ia tahu betul bahwa buku merupakan satu penunjang pengetahuan yang baik untuk anaknya, namun karena penghasilan guru yang kecil pada masa itu, sehingga buku yang saya tunjuk, sesekali ia melihat harga dan mengecek isi dompetnya, terus berulang kali, sampai dirasa menemukan buku yang sesuai dengan isi dompetnya ia memilihkan buku tersebut kepada diri saya. Saya yang ketika itu tidak bisa memilih merasa bahwa buku tersebut merupakan buku yang pas untuk saya, ketika itu malah bukan buku, saya ingat adalah majalah Bobo. Hal ini merupakan ingatan saya yang paling membekas mengenai buku, dan juga seorang perempuan yang memberikannya. 


Bicara mengenai perempuan, pada bulan April ini bisa kita identikan sebagai bulan perjuangan perempuan, dimana salah satu tanggal di bulan April diberikan sebagai penghormatan kepada seorang pejuang perempuan yaitu R.A. Kartini. Peringatan hari Kartini di Indonesia masih cenderung dengan memperlihatkan bagaimana perempuan atau laki-laki di rias, dengan menggunakan kebaya, sanggul, blangkon, kumis-kumisan dan lain sebagainya. Dilengkapi dengan baju adat,  dengan keanggunan dan kegagahannya berjalan di catwalk. Adakah menurut pembaca kesalahan-kesalahan pembudayaan tersebut? 


Menurut hemat saya, Hari Kartini tidak bisa dijadikan sebagai peringatan seperti yang dijelaskan di atas.  Perjuangan-perjuangan yang diberikan tak sesederhana itu, Hari Kartini diharapkan sebagai cerminan perempuan yang berjuang melawan dominasi patriarki, kesulitan akses terhadap pendidikan dan memperjuangkan keadilan. 


Cerita Kartini kala itu ia tidak bisa berkuliah di Belanda, karena ia seorang perempuan yang dalam tradisi zaman tersebut tidak membutuhkan ‘bangku’ pendidikan tinggi, kemudian ia malah dinikahkan dan meninggal muda pada 17 September 1904, kurang lebih pada usia 25 tahun. Kisah tersebut memberikan satu isu penting untuk diperjuangkan  yaitu pendidikan yang setara.


Kartini dikenal dengan beberapa karya.  Beberapa surat-surat yang ditulisnya kemudian dijadikan sebuah buku, Door Duisternis tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, beberapa puluh tahun kemudian diterbitkan buku berjudul Kartini oleh F.G.P Jaquet yang merupakan kumpulan surat-surat Kartini yang lebih lengkap kepada Ny. Abendanon dan Suaminya. 


Berhubungan dengan perempuan yang mencerahkan, Prof Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Indonesian Historiography memberi tanggapan penting mengenai mentalitas perempuan, pada bukunya ia bercerita mengenai sebuah novel yang berkisah tentang kehidupan di suatu “sekolah liar” di Bandung pada 1933. Novel itu berjudul Buiten het Gareel, artinya kira-kira jalur bebas ditulis dalam bahasa Belanda oleh Soewarsih Djojopoespito. Sebelumnya saya sudah pernah menulis mengenai itu kisah mengenai ketekunan dan keprihatinan oleh Soewarsih Djojopoespito dapat anda baca di sini.


Sartono bercerita dalam bukunya mengenai novel tersebut merupakan cerita mengenai pergolakan perjuangan dalam hantaman depresi ekonomi tahun 1930, dan represi penjajah tak berkesudahan, namun tetap memperjuangkan kemerdekaan. Menurut nya novel tersebut juga bisa menjadi salah satu sumber sejarah, karena isinya yang memukau dan menginspirasi dalam bidang politik mengenai nilai-nilai semangat perjuangan.


Dari satu kesimpulan pembacaan saya, Kartini dan Soewarsih Djojopoespito merupakan representasi kemajuan perempuan melalui olah pikir. Pembudayaan Hari Kartini di Indonesia harus ditinjau serius, bahwa keindahan dan kecantikan wanita, semoga tidak dicirikan kembali dengan menggal-menggol di atas panggung dengan hiasan dan pernak-pernik baju adat dibubuhi sedikit gincu. Perayaan Hari Kartini, adalah Perayaan Pikiran, dan Perjuangan. Apakah kalian memiliki saran untuk perayaan Hari Kartini? 


Terima kasih telah membaca, dukungan anda dalam proses kreatif penulisan sangat amat berarti, jika anda ingin mendukung saya silahkan bisa dilakukan di sini