Mahfud vs Everybody


Mengapa perlu merujuk ke masa lampau?  Supaya bisa belajar tentang sesuatu yang belum kita lihat, atau setelah mengkajinya kita lebih percaya diri dengan apa yang ditemukan dari pemikirann kita sendiri. Aristoteles

DPR dan Pak Mahfud memberikan tayangan yang agak menghibur kemarin saat rapat dengar pendapat tindak pidana pencucian uang. Sebagai praktisi pendidikan, melihat debat kemarin,  seperti menonton pertunjukan teatrikal yang indah. 


Sependek pengetahuan saya, saya menafsirkan Debat sebagai dialog yang penuh tensi, tujuannya adalah mempengaruhi psikologis manusia agar pemikiran yang diajukan dapat diterima. Substansi debat, adalah dialog, namun dalam istilah filsafat, dialog yang memiliki modus dan metodis dikenal dengan nama dialektika. Dialektika dalam bahasa yunani he dialektike yang merupakan kata sifat yang dijadikan kata benda, kata tersebut berasal dari kata kerja dialegomai. Kata terakhir diturunkan dari dialego, bentukan kata depan dia (lewat/melalui) dan kata kerja legein (berbicara). 


Dialektika mirip dengan dialog, namun bukan berarti segala bentuk percakapan adalah dialektika. Yang disebut dialektika hanyalah percakapan dialogis yang mengikuti aturan tertentu yaitu mempunyai modus dan metodis di dalamnya. KBBI mendefinisikan dialektika sebagai "hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara menyelidiki suatu masalah".


Dialektika banyak disajikan oleh beberapa pemikir diantaranya ada Dialektika Socrates (Maieutike), Dialektika Platon (Episteme), Dialektika Aristoteles (Doksografi), Dialektika Schopenhauer (Eristic) dan lain sebagainya. Kali ini saya akan mencoba mengeja apa itu Dialektika Eristik, kemudian dikaitkan dengan konteks debat antara DPR dan Pak Mahfud, sehingga forum tersebut terlihat Pak Mahfud dapat begitu cemerlangnya menang dalam debat. 

 

Dialektika Eristik diperkenalkan oleh Schopenhauer, Dialektika bagi dirinya adalah manifestasi kehendak untuk menang.  Dialektika Eristik mencari kemenangan argumen, lepas dari soal apakah argumen itu salah atau benar. Orientasi dialektika eristik adalah perdebatan demi kenikmatan berdebat, di mana yang terpenting bukanlah kebenaran, melainkan bagaimana berperang memenangkan pendapat sendiri, dalam situasi apa pun, per fas et nefas (entah kita benar atau salah, dalam keadaan apa pun), kita harus menang! Menurut Schopenhauer.


Dialektika Eristik diperkenalkan dalam bukunya, The Art of Being Right. Dalam buku tersebut dijabarkan banyak sekali skema agar bisa memenangkan perdebatan. Pada artikel ini saya coba untuk mencirikan dua cara yang digunakan Pak Mahfud dalam perdebatan kemarin.  Pertama Pak Mahfud menggunakan metode argumentum ad hominem (menyerang individu/lembaga lawan bicara). Saat debat Pak Mahfud menggunakan sebuah metafora yang memojokan yaitu, Markus (Makelar Kasus) untuk anggota DPR,  walaupun kasus tersebut sudah lama, namun pak Mahfud mengasosiasikan bahwa seluruh anggota DPR adalah pemain dalam titip, menitip kasus. Sehingga secara psikologi lembaga tersebut sudah tidak dapat lagi berkelit dan malah menyatakan diri bahwa terdapat noda-noda hitam pada tiap anggotanya. Dalam kata lain anggota DPR menguatkan metafora yang diajukan Pak Mahfud. 


Kedua, Pak Mahfud menggunakan restorsio argumenti (membalikan argumen kelawan). Saat itu Pak Arteria, mengancam mempidanakan PPATK, Menteri dan Menko yang membocorkan dokumen rahasia ke publik dengan ancaman empat tahun penjara, kemudian Pak Mahfud saat awal rapat dengar pendapat membalikan argumen kelawan dengan menggunakan ancaman pidana menghalang-halangi penyidikan penegakan hukum, dengan memberikan ilustrasi ada satu orang yang sudah mempunyai putusan hukum terkait menghalangi penyidikan yang sudah menjadi putusan pengadilan dengan pidana 7,5 tahun penjara. 


Dari kedua metode tersebut sudah cukup untuk “membungkam” lawan, sehingga terlihat bahwa Pak Mahfud terasa dominan walaupun sendirian. Hal tersebut saya rasa tidak dipelajari satu dua hari saja, dengan banyaknya pengalaman Pak Mahfud, saya kira tanpa mengetahui metode dan modus yang diungkapkan oleh Schopenhauer Pak Mahfud sudah mempraktekkannya secara naluriah. Jam terbang memang tidak pernah dusta. Namun kita bisa ahli walaupun jam terbang kita sedikit, yaitu dengan memahami teori/ pengalaman yang digunakan oleh pendahulu kemudian dipraktekan pada kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penting sekali kita untuk merujuk ke masa lampau seperti yang dikemukakan Aristoteles dalam pembuka artikel ini. Apakah kamu sepakat?