Opinion 

Pentingkah Kemampuan Generalis di Abad 21?

Jika Anda merasa kewalahan dan bingung terhadap kesulitan global, Anda sedang berada di jalur yang benar. Proses global menjadi terlalu rumit untuk dipahami oleh satu orang- Harari


Bekal Universitas

Hari-hari saya selain mengajar saya senang sekali melihat tayangan Youtube, ketika saya selesai mengajar kemudian memasuki jam makan siang saya selalu padukan kegiatan saya dengan melihat tayangan youtube, sesekali saya tidak melihat tayangannya hanya mendengarkan audionya. Saya mendengar saat itu wawancara pak Gita Wirjawan dengan narasumbernya berbicara mengenai kecerdasan secara generalis dan spesialis. Topik itu mengerutkan dahi saya ketika pak Gita memilih bahwa kecerdasan secara generalis lah yang akan menjadi penentu dalam ketidakpastian masa depan. kemudian saya berpikir, bagaimana Pak Gita bisa memilih kecerdasan generalis di era spesialis? Sedangkan perguruan tinggi kita dibuat spesifik penguasaaan di satu bidang ilmu.

Saya mencoba mencari referensi mengenai pernyataan Pak Gita, saya temukan sebuah buku yaitu Range karya dari David Epstein. Identifikasi masalah yang pertama saya pikirkan adalah bagaimana peran Universitas yang merujuk pada kekhususan bidang atau bisa disebut spesialisasi dapat dikritik untuk menerapkan metodologi pengajaran yang mendukung kecerdasan secara generalis?

Untuk menjawab itu saya menemukan pemikiran dari Flynn, Flynn adalah tokoh yang menguji pemikiran konseptual dan kritikal mahasiswa. Dia menguji mahasiswa tingkat senior Universitas Negeri terkemuka di Amerika dengan nilai rata-rata baik dalam peringkat IPK. Dari hasil uji cobanya dia mendapat kesimpulan bahwa mahasiswa yang bisa menghasilkan nilai baik (di Universitas), tidaklah mempunyai kemampuan kritikal tentang makna yang luas. Selanjutnya dalam wawancara dengan Epstein, Flynn menyatakan "Universitas-universitas terbaik sekali pun tidak mengembangkan kecerdasan kritikal, mahasiswa tidak dibekali untuk menganalisis dunia modern, kecuali di area pengkhususan bidang mereka. Pendidikan mereka terlalu terbatas."

Output dari Universitas yang menyelenggarakan pendidikan terbatas dapat menyebabkan keterpakuan kognitif menurut Connolly pakar psikolog di Inggris yang berarti tidak ada hal lain yang dapat dikerjakan selain di bidang keahliannya.


Universitas Menjadi Generalis?

Dunia modern sangat cepat berubah, perubahan adalah konstanta itu sendiri. 10 tahun yang lalu mungkin kita tidak berpikir bahwa dengan hanya berada di rumah kita bisa memperoleh uang, atau melihat munculnya profesi-profesi baru berkat adanya teknologi informasi yang berkembang sangat cepat seperti Content Creator, Influencer, Gamers, Programers, dan sebagainya. Cepatnya peralihan profesi yang dominan menggunakan teknologi bukti adaptifnya manusia menggunakan teknologi sebagai sarana mencari rezeki.

Selain nilai positif dari perkembangan teknologi juga terdapat perubahan secara mental dan perilaku sosial, baru-baru ini di Malaysia seorang peneliti dalam paparan penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat angka penurunan partisipasi mahasiswa di negaranya dikarenakan influencer media sosial. Influencer yang mempunyai anggapan bahwa perkuliahan itu tidak berguna karena berbeda secara realita di dunia keprofesian, atau lebih ekstrimnya tidak membuat menjadi kaya (dibuktikan dengan mereka tidak kuliah, namun tetap kaya). Influencer tersebut mulai untuk mempengaruhi penontonnya melalui medium yang mereka punya di media sosial. Selain itu beberapa Jurnal Ilmiah juga menyatakan bahwa link and match antara lulusan Universitas ke dunia kerja banyak yang tidak sesuai dengan jurusan di Universitasnya. Universitas sebagai komoditas pendidikan perlu memikirkan dan merancang ulang, bagaimana sistem mereka dapat adaptif dalam perkembangan teknologi dan ketidakpastian abad 21. Flynn menganggap bahwa bekal terbaik untuk menganalisa dunia modern adalah mengedepankan konsep pemikiran kritikal. University of Washington sudah mulai menerapkan kelas yang bernama INFO 198/BIOL 106B yang berfokus pada prinsip dasar yang luas untuk memahami dunia antardisipliner dan secara kritis mengevaluasi sembuaran informasi harian, ketika kelas itu diumumkan pertama kali pada tahun 2017, pendaftarannya langsung penuh pada menit pertama.

Pada dunia sekolah, konsep pengajaran sudah diarahkan menuju pada pembelajaran abad 21 yaitu menerapkan 4C (Critical Thinking and problem solving, Communication, Collaboration, Creativity and innovation) Berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi, kolaborasi, kreatifitas dan inovasi. Secara lebih luas, sekolah harus mengecilkan keterampilan teknis dan menekankan keterampilan kehidupan tujuan yang umum. Inti dari pembelajaran berbasis 4C adalah menanamkan kemampuan kepada peserta didik untuk belajar hal-hal baru dan kemampuan untuk menghadapi perubahan.

Dari sini kita bisa melihat gap pengajaran di sekolah dan Universitas yaitu, sekolah sudah menerapkan pembelajaran untuk mengembangkan pemikiran konseptual yang bisa menggabungkan gagasan baru diberbagai konteks, yang berarti sebagai salah satu ciri dari kecerdasan generalis, sedangkan universitas masih mengadopsi pengkhususan bidang.

Estimasi Fermi

Jika kita tidak bisa berharap pada Universitas, atau lembaga yang menerapkan pembelajaran pengkhususan bidang yang sepertinya tidak dapat menjawab percepatan dan ketidakpastian abad 21, sebagai pembelajar tentu ada metode dalam menerapkan pembelajaran yang mencoba untuk melakukan pendekatan antardisipliner, yaitu dengan pendekatan estimasi Fermi.

Pendekatan Fermi di perkenalkan oleh Epstein, secara sederhana pendekatan ini dapat memecah suatu masalah dengan cara, menggunakan yang sedikit kita ketahui untuk memulai memeriksa apa yang tidak kita ketahui, semacam masalah "mencari kesamaan".

Sebagai contoh jika kita terapkan kedalam sains, terdapat pertanyaan berapa panjang diameter Bumi? misalkan ketika itu pertanyaannya diajukan secara spontan dan tidak boleh melihat internet. kita berpikir bumikan besar, jadi tidak mungkin untuk mengukurnya langsung. Kalau begitu, pakai informasi-informasi kecil yang kita ketahui.

Pertama, jika kita tinggal di Amerika, nah yang saya tahu adalah jarak antara New York dan Los Angeles sekitar 3.000 mil.

Kedua, saya juga tahu kalau jarak antara zona waktu sekitar 1.000 mil. Jadi dari New York ke LA terpisah sejauh 3 zona waktu. Oke. Karena Bumi kita berotasi dalam waktu 24 jam, maka ada 24 zona waktu di Bumi. Artinya keliling Bumi sekitar 24×1.000𝑚𝑖𝑙=24.000𝑚𝑖𝑙 .

Ketiga, rumus keliling lingkaran (yang berarti mencari keliling Bumi) kan

𝐾=𝜋×𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

Misalnya nilai 𝜋 kita ambil 3,14. Jadi

24.000=3,14×𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

Maka diameternya = 24.0003,14≈8.000

Dapat deh. Jadi panjang diameter Bumi sekitar 8.000 mil. Kalau dikonversi ke dalam satuan kilometer, maka sama saja dengan 12.874 km. ketika melihat jawaban di google diameter Bumi 12.742, margin kesalahannya adalah 1%. Pendekatan Fermi bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan.

Contoh di atas adalah cara dalam memahami pendekatan Fermi. Inti dari pendekatan estimasi Fermi adalah sebagai pembelajar kita harus menjadi manusia yang mempunyai kelenturan kognitif untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sangat cepat dan meminimalisir pemahaman dari satu unsur bidang.

Jadi sekarang kamu pro pendekatan generalis atau spesialis? mari diskusikan di kolom komentar.


Memantaskan Diri Menjadi Guru yang Merdeka

Pendidikan bukanlah menabur benih pada dirimu, melainkan menumbuhkan benih-benih yang ada dalam dirimu (Jalaluddin Rumi)

Hingar Bingar melanda dunia pendidikan kita ketika pandemi Covid 19 datang. Penutupan sekolah secara serentak dan mendadak membuat kebingungan bagi para guru. Terlebih lagi bagi para siswa dan orang tuanya karena ketidaktahuan bagaimana menyikapi keadaan tersebut. Pada waktu itu para pendidik seperti berjalan disebuah ruangan yang berliku tanpa adanya penerangan. Akhirnya insting berbicarara kepada hati untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan Whatsapp Group, saat itu juga era pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi informasi dimulai.

 Rasa ragu muncul karena melihat tidak efektifnya pembelajaran jika hanya mengandalkan Whatsapp Group, beberapa pelatihan saya ambil mulai mengenai pembelajaran dengan menggunakan Microsoft, bersama Microsoft Indonesia, pembelajaran menggunakan rangkaian aplikasi dari Google bersama REFO Indonesia, hingga merancang Asesemen berbasis digital bersama Quizizz Indonesia.

Pelatihan-pelatihan yang saya lakukan terasa kering sekali, bersifat teknis mengenai cara menggunakan platform aplikasi tersebut, tidak menyentuh faktor esensial mengenai pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik. Setelah rangkaian pelatihan saya jalani, saya memilih untuk mengikuti dan menyimak bincang pendidikan yang dilakukan oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan. Lembaga yang menginisiasi adalah Vox Populi Institute Indonesia. Pada saat itu saya mengikuti sesi yang berjudul Learning Loss Menjadi Learning Gain.

Setelah dari pelatihan itu benar-benar saya dibuat pusing oleh kedua istilah asing itu. setelah berselancar melalui dunia maya saya menyadari bahwa arti dari learning loss adalah kehilangan kemampuan belajar yang dialami oleh peserta didik. Setelah mengetahui pengertian sederhana tersebut saya memberanikan diri untuk membaca jurnal-jurnal pendidikan dan artikel pendidikan mengenai Learning loss.

Berbekal rasa penasaran saya yang meledak-ledak akhirnya riset kecil-kecilan itu menjadi sebuah buku yang berjudul "Learning Loss di Indonesia: Serta Alternatif Solusi Pemecahannya" bersama dengan Penerbit Irfani. Rasa keingintahuan, dan keraguan mengenai pelatihan-pelatihan yang selama ini saya alami hanya bersifat teknikal, akhirnya saya memerdekakan diri untuk mencari apa permasalahan yang ada saat penutupan sekolah, dan apa yang harus dilakukan oleh guru untuk tetap melayani peserta didik secara optimal yang berakhir menjadi sebuah karya.  

Pareto Laws Untuk Merdeka Mengajar

Belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, berharap untuk masa depan. Yang penting jangan berhenti mempertanyakan (Albert Einstein)

Pada masa-masa belajar dan mengajar dari rumah kendala pembelajaran adalah sumber daya teknologi yang mahal, baik berupa kuota data internet maupun alat komunikasi digital seperti gawai dan juga laptop. Keluhan terbesar adalah bagaimana kuota data yang dimiliki peserta didik yang terbatas. Selain itu saya memikirkan bagaimana keadaan ekonomi keluarga peserta didik yang beberapa darinya ada orang tua murid yang terkena pemutusan hubungan kerja pada masa pandemi.

Dari masalah tersebut saya berpikir bagaimana menyelesaikannya. Beruntungnya saya ketika berselancar di Youtube saat saya mengaktifkan fitur autoplay muncul video mengenai Prinsip Pareto (Pareto Laws). Prinsip Pareto ditulis dalam buku Living the Way 80/20 karya Richard Koch. Koch menceritakan bahwa untuk menggapai 80% hasil, usaha yang kita butuhkan adalah 20%. Argumen Koch membuat saya mencoba menyelami pemikirannya. Inti dari Parreto Laws adalah suatu kegiatan jika kita mengetahui hasil apa yang ingin kita dapatkan, kita bisa mencari cara super produktif untuk menggapainya dan mengabaikan cara-cara remeh yang memakan waktu dalam mengetahui hasilnya.

Mengetahui hal tersebut saya langsung menyusun tujuan pembelajaran selama pandemi dengan menggunakan Prinsip Pareto. Apa yang saya susun? saya menyusun konsep pembelajaran yang paling sederhana serta menekan durasi pembelajaran tatap muka dikarenakan keterbatasan kuota peserta didik, sehingga lebih banyak waktu digunakan pembelajaran secara asinkronus oleh peserta didik.

Walaupun ditekan sedemikian rupa menggunakan prinsip Pareto, kegiatan literasi tetap dilakukan. Dimulai dari pra pembelajaran, mereka mengisi presensi dengan berkewajiban menuliskan link cerita pada google form yang dipilihnya secara bebas dan merdeka. cerita yang dipilih peserta didik beragam, ada yang mengenai cerita rakyat, cerita fiksi, fabel, dan juga laporan berita terkini. kemudian menuliskan point point cerita yang dibacanya kembali pada google form presensi. Selain itu setelah berdoa saat memasuki awal pembelajaran saya memilih secara acak peserta didik untuk menceritakan kembali apa yang dia baca. Itulah salah satu ikhitiar saya menjaga kegiatan literasi tetap menyala selama masa belajar dari rumah.

Pembelajaran yang saya lakukan hanya 30 menit ketika tatap maya, setelahnya untuk penugasan dan diskusi dilakukan secara asinkronus melibatkan aplikasi dari pelatihan-pelatihan yang saya ikuti. Untuk menjaga kualitasnya saya mengusahakan untuk selalu tatap maya. Dalam kegiatan tersebut kegiatan pembelajaran yang saya lakukan tetap menggunakan Prinsip Pareto yaitu dengan meringkas kompetensi dasar yang ada dalam kurikulum, sehingga yang diterima oleh peserta didik adalah materi ajar yang esensial.

Apa hasil yang didapatkan selama menggunakan prinsip Pareto adalah waktu belajar yang efisien sehingga peserta didik dapat membantu dan berbakti kepada orang tuanya di rumah, peserta didik menjadi lebih fokus terhadap materi yang diringkas namun tidak menghilangkan esensi materi, dan terlebih guru dapat mengembangkan dan mengupgrade diri secara berkelanjutan melalui webinar yang diselenggarakan oleh Kemendikbud-Ristek, Dinas Pendidikan, maupun organisasi atau lembaga yang memiliki konsen terhadap pendidikan.

Merdeka belajar yang diterapkan dalam kegiatan belajar dari rumah cukup sulit di implementasikan secara ideal oleh peserta didik, oleh karena itu ketika dibuka kembali sekolah dengan menyelenggarakan tatap muka terbatas, hal tersebut disambut oleh suka cita oleh sebagian besar guru, peserta didik dan juga orang tua murid.

Merdeka Belajar dengan Heautagogy

Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna keperluan umum. (Ki Hadjar Dewantara)

Merdeka belajar dan merdeka mengajar adalah suatu hal yang berkelindan. Pada prinsipnya sebelum menerapkan merdeka belajar guru harus menerapkan konsep merdeka mengajar. Merdeka mengajar menurut hemat penulis adalah, menerapkan kegiatan mengajar yang mengukur efektifitas, serta kebermanfaatan bagi peserta didik. Oleh karena itu proses mengajar harus secara kontinyu dievaluasi agar mengetahui sampai dimana efektifitas dan kebermanfaatanya.

Terdapat tiga ilmu mengajar yang penulis ketahui, yaitu pendagogik, andragogik dan heautogogik (heautagogy). Satu diantaranya baru penulis kenal yaitu heautagogik. Heutagogik ialah studi tentang pembelajaran mandiri, yang menerapkan pendekatan holistik untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, dengan menempatkan peserta didik sebagai ‘agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi, sebagai akibat dari pengalaman pribadi’ (Hase dan Kenyon: 2007).

Penulis merupakan guru kelas VI Sekolah Dasar. Dari hari kehari saya melihat bahwa peserta didik aktif dalam mengaktualisasi diri ke dalam media sosial miliknya, seperti Tiktok, Youtube, Instagram dan lain-lain. Dikarenakan isu tersebut saya mulai memikirkan apakah bisa saya mengkorelasikan media sosial sebagai wahana mereka mengaktualisasikan diri sebagai kegiatan belajarnya. Dari definisi heatugogy itu saya menyadari bahwa, mereka pasti bisa menjadi penyaji ilmu pengetahuan dan memproduksi konten yang bermanfaat.

Pelajaran dikelas saat itu materi mengenai perkembangbiakan hewan secara vegetatif. Saya memaparkan hanya 20% materi pembelajaran, kemudian 80% saya memberikan langkah kerja membuat sebuah proyek (Project Based Learning) Menebar Pengetahuan Pada Media Sosial. Saat diberikan langkah kerja peserta didik bebas memilih untuk tumbuhan apa, jenis vegetatif buatannya apa, dan platform mana yang dia pilih untuk mengupload karyanya, sehingga merdeka belajar menjadi gagasan yang membumi. Dengan cara itu peserta didik lebih mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna, sekaligus melatih skill komunikasi dan berpikir kritis yang menjadi salah satu keahlian yang diperlukan pada Abad 21 yang dinyatakan oleh UNESCO. 

Sekian kisah yang bisa saya bagikan, Kaum Guru tetap semangat menebar manfaat!

Artikel ini saya tulis pada kolom Indonesiana https://www.indonesiana.id/read/150282/merdeka-mengajar-dengan-pareto-laws-merdeka-belajar-dengan-heautagogy#


Bagi orang yang percaya, penjelasan tidak diperlukan. Bagi orang yang tidak percaya, penjelasan ada gunanya - St. Thomas Aquinas

Sebuah laporan dari World Bank yang berjudul Janji Pendidikan Indonesia pada tahun 2020 menyoroti Pandemi Covid-19 akan berakibat terhadap pendidikan di Indonesia. Jika pembaca sudah membaca laporan tersebut, terdapat 12 rekomendasi untuk memperkuat pembelajaran di masa Pandemi Covid 19 bagi Indonesia.

Penguatan pembelajaran sebagai dasar rekomendasi World Bank berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Yarrow, Masood dan Afkar menyatakan bahwa peserta didik di Indonesia akan kehilangan 16 poin pada poin bidang membaca di PISA (Programme for International Student Assessment) dan setara dengan hilangnya pendapatan US $367 perorangan per tahun di masa depan akibat periode penutupan selama empat bulan dari 24 Maret hingga akhir September 2020 (Yarrow,Masood, dan Afkar: 2020).

Menarik jika dibahas bahwa keterampilan pada bidang membaca berpengaruh terhadap pendapatan di masa depan adalah hal baru yang penulis ketahui. jika kita mengganti kurs dolar tersebut ke dalam kurs Indonesia, berarti kehilangan pendapatan sebesar Rp5.253.696 (Kurs 24 November 2021).

Potret hasil PISA dalam bidang membaca juga sungguh memilukan hasil keterampilan membaca siswa pada tahun 2000 dengan tahun 2018 berada dalam score yang sama yaitu 371 bisa dibilang bahwa keterampilan pelajar dalam bidang membaca berjalan di tempat selama 18 tahun.

Para penggiat literasi banyak yang mempermasalahkan mengenai hasil asesmen dari PISA, argumennya banyak yang berkata bahwa standar yang dilakukan tidak sesuai dengan budaya dan praktik pendidikan di Indonesia. Jadi hasil yang didapatkan bisa saja bias.

Penulis tidak setuju dengan argumen ini, sebagai sebuah data yang diolah secara profesional dalam kaidah akademik, harusnya data tersebut menjadi sebuah refleksi besar bagi stake holder bidang pendidikan untuk bahu membahu memperbaiki kondisi ini.

Selain itu pada laporan PISA tahun 2018 yang dirilis pada 3 Desember 2019 menyatakan bahwa guru-guru di Indonesia tergolong memiliki antusiasme yang tinggi. Antusiasme para guru Indonesia termasuk empat tertinggi setelah Albani, Kosovo, dan Korea. Hal positif ini tentu menggembirakan bahwa para guru memiliki rasa ingin tahu yang tinggi setidaknya untuk belajar menggali kompetensinya dalam mengajar.

Kembali lagi pada keterampilan membaca yang mempengaruhi pendapatan dan juga data mengenai keterampilan membaca kita yang seakan berjalan di tempat. Perlu adanya langkah yang revolusioner untuk menggugah murid-murid untuk meningkatkan keterampilan membacanya.

Program Gerakan Literasi Sekolah Jangan Menjadi Jargon yang Utopis

Manusia berhenti berpikir saat mereka berhenti membaca - Denis Diderot

Terdapat program yang sangat baik mengenai literasi yang digagas oleh Kemendikbud melalui Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Di dalamnya terdapat program literasi yang harus dijalankan oleh setiap sekolah.

Semangat program ini adalah meningkatkan keterampilan membaca peserta didik, menulis, mengkomunikasikan ide dan gagasannya. selain itu sekolah juga harus menyediakan sumber baca yang relevan dengan siswa serta mendekatkan peserta didik dengan buku, seperti membuat pojok baca disetiap kelas.

Keterampilan berbahasa dibagi menjadi dua bagian yaitu keterampilan reseptif (menerima informasi) dan keterampilan produktif (memproduksi informasi). Keterampilan reseptif berbahasa terdiri dari membaca dan mendengarkan, keterampilan produktif berbahasa dari menulis dan berbicara.

Kegiatan literasi di sekolah harus diprioritaskan kepada kemampuan berbahasa produktif khususnya menulis, dengan menulis setidaknya siswa memerlukan input-input bahan bacaan untuk memperkaya khazanah tulisannya, sehingga dengan penekanan kemampuan berbahasa produktif, dapat sekaligus meningkatkan kemampuan berbahasa reseptif.

Pada sekolah dasar, pengenalan dunia tulis menulis bisa melalui menggali imajinasi peserta didik, dengan membuat tulisan cerpen dan fabel. Karya fiksi penting pada periode ini. Guru mengarahkan peserta didik untuk memulai dengan membuat ide cerita, menguraikan menjadi ide pokok, kemudian diurai kembali menjadi sebuah paragraf utuh dalam satu rangkaian cerita. Peran guru dalam mendengarkan imajinasi anak untuk dituliskan ke dalam sebuah tulisan menjadi penting.

Pada sekolah menengah, menulis bisa dilakukan dengan penekanan karya non fiksi, seperti membuat sebuah karya essai berdasarkan disiplin ilmu yang diminati. kemampuan mengolah fakta, kemudian membuat sebuah opini dari fakta tersebut menjadi penting. peserta didik dapat diajak untuk mengetahui bagaimana mencari sebuah fakta, kemudian melihat kelemahan atau kelebihan dari fakta tersebut kemudian dielaborasi menjadi sebuah opini.

Keterampilan menulis menjadi sangat penting, ketika Amerika Serikat menyadari penurunan daya saing, solusi yang dibuat untuk sekolah dasar dan sekolah menengah adalah mewajibkan pelajaran mengarang. (Godzich: 1994)

Guru Pahlawan Masyarakat

Ketidakmampuan kita mengetahui sesuatu bukan berarti sesuatu itu tidak ada- Seyyed Hossein Nasr

Jika penurunan kemampuan membaca berkelindan dengan turunnya pendapatan di masa depan. Hal yang dilakukan guru adalah kembali memupuk kemampuan literasi peserta didiknya agar mempunyai bekal pengetahuan yang cukup di masa depan.

Pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang memberdayakan, saya rasa argumen Yarrow dkk mengenai penurunan kemampuan membaca berpengaruh pada penurunan penghasilan menggunakan kacamata profesi saat ini, padahal menurut World Economic Forum (2018) 65% siswa yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar akan bekerja pada bidang yang hari ini belum tercipta.

Tapi pertanyaan berikutnya adalah, perlukan kemampuan membaca di dunia profesi yang belum terdefinisikan saat ini? tentu sangat perlu! membaca akan meningkatkan kemampuan Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah) yang menjadi salah satu keterampilan Abad 21 yang direkomendasikan oleh UNESCO.

Jadi walaupun peserta didik kita belum mengetahui apa profesi yang dijalani nanti di masa depan, pembekalan oleh guru khususnya dalam meningkatkan kemampuan membaca sebagai jalan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah yang sangat diperlukan di dunia kerja menjadi sebuah keharusan.

Guru harus bertindak menyelesaikan masalah-masalah yang dikemukakan di atas seperti apa yang dikatakan oleh Guy Kawasaki; Jika kita harus meletakkan seseorang di atas alas sejarah, taruhlah guru, mereka adalah pahlawan masyarakat.

Artikel ini dipublikasikan di Indonesiana 

https://www.indonesiana.id/read/150186/menyoal-masa-depan-literasi-peserta-didik-indonesia-langkah-awal-identifikasi-menyiapkan-merdeka-belajar


Hari Guru Nasional, Dewantara, dan Peradaban Kita



Penanda penting dari gerak maju peradaban barat pada era pencerahan terletak pada transformasi budaya tentara, dari kalangan yang kurang membaca, mau membeli buku, hingga akhirnya punya kepustakaan sendiri

-Lucian Febvre & Henry-Jean Martin

Peradaban Pendidikan Indonesia

Peradaban manusia yang sudah terbentuk menemukan beberapa kemajuan, kemunduran, bahkan stagnan. Peradaban Indonesia telah mengenal aksara pada abad ke-4 Masehi yang ditandai dengan ditemukannya prasasti Yupa yang beraksara Pallawa dengan bahasa Sansekerta di Kalimantan Timur milik kerajaan Kutai Kartanegara. Prasasti Yupa terdiri dari 7 isi (Muarakaman 1-7). Di dalamnya menceritakan silsilah kerajaan dan juga bagaimana seorang Raja memberi sumbangan kepada kaum Brahmana. Perjumpaan dengan aksara oleh nenek moyang kita, lalu menuliskannya pada prasasti merupakan wujud pengamalan literasi.

Pada zaman pemerintah kolonial Belanda institusi modern awal yang dibangun adalah sekolah keguruan (Sekolah Pelatihan Guru Pribumi). Sistem pendidikan guru yang dibangun oleh Belanda diakui oleh dunia internasional sampai pada suatu masa Pemerintah Malaysia saat terjadi defisit guru dan meminta melatih guru di negaranya, guru-guru di Indonesia didatangkan untuk mendidik orang-orang melayu di sana. Pada masa kini Malaysia berada jauh di atas Indonesia jika kita meminjam benchmarking dari PISA.

Data diolah secara pribadi oleh penulis (Sumber Gambar: Pribadi)

Dari grafik yang ditampilkan mengenai hasil PISA Indonesia dan Malaysia pada tahun 2018 ternyata Indonesia kalah dalam semua lini, baik dari membaca, matematika, dan sains.

Zaman kolonial Belanda para pendiri bangsa yang merasakan pendidikan yang baik, mempunyai pondasi literasi yang kuat. Suatu peristiwa ketika Bung Karno saat menerima tamu Sutoto, tidak mempunyai uang untuk menyuguhkan makanan kepadanya. Lalu ketika itu muncullah seorang wartawan di depan rumahnya. Ia menuliskan sebuah tajuk untuk wartawan yang lewat depan rumahnya selama 15 menit. Setelah selesai Bung dibayar 2 Rupiah. Uang 2 Rupiah tersebut dibelanjakan kopi dan peyeum untuk Sutoto. 15 Menit tulisan yang dilakukan tidak melihat referensi, ia mengandalkan kekuatan ingatannya untuk memadukan interkorelasi teori dan isu yang sedang hangat dibahas, yaitu mengenai kolonialisme di Indonesia.

Karya yang hebat juga dari Bung karno adalah Indonesia Menggugat yang menjadi "Pledoi" (pidato pembelaan) saat masih berusia 29 tahun, sehingga membuka mata internasional mengenai kekejaman kolonialisme di Indonesia. Tidak lupa "Penyambung Lidah Rakyat", dan juga "Di Bawah Bendera Revolusi" juga menjadi sebuah karya-karya yang ditulis oleh Bung Karno.

Bung Hatta menyusun buku "Alam Pikiran Yunani", sekaligus sebagai mas kawin untuk istrinya. Tan malaka yang mengurangi pembelian baju dan juga makanannya untuk membelanjakan buku serta alat tulis, setelah itu ia membuat buku yang menjadi magnum opus, MADILOG (Materialisme Dialektika dan Logika).

Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka pernah mengenyam profesi menjadi guru. Sukarno pernah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Bung Hatta pernah mengajar beberapa anak muda ketika pengasingan di Banda Neira. Tan Malaka pernah mengajar anak kuli di Tanjung Morawa di Deli, Sumatera Utara. Selain itu juga pernah mengajar pada Sekolah Rakyat di Semarang.

Sistem persekolahan Belanda telah melahirkan generasi emas pejuang-pemikir Indonesia yang hebat, dengan tingkat literasi yang kuat, euridisi yang luas, serta penguasaan multibahasa. sehingga menjadi bagian dari warga "republik kepustakaan dunia" (Respublica Litteraria) (Latif, 2020).

Refleksi Hari Guru Nasional

Hari Guru pada tanggal 25 November 2021 bertemakan "Bergerak Dengan Hati Pulihkan Pendidikan" dari tema tersebut dapat dilihat terdapat hal yang perlu dilakukan dengan hati, untuk memulihkan pendidikan. Pertanyaannya adalah sejak kapan pendidikan kita sakit dan perlu dipulihkan? Apakah selama penutupan sekolah pada masa pandemi ini, atau jauh dari masa itu. Sistem pendidikan kita perlu dipulihkan. Penyakit kronis terhadap dunia pendidikan jauh sebelum masa pandemi COVID-19, karena reputasi pendidikan di Indonesia selalu kedodoran.

Masalah pendidikan yang dibicarakan dewasa ini masih berkutat kepada masalah pendidikan satu dasawarsa lalu, yaitu mengenai upah guru, masalah guru terhadap pembelajaran, pengejewantahan kurikulum di lapangan yang jauh panggang dari api dan juga sarana prasarana sekolah yang kurang memadai.

Terdapat masalah fundamental dan esensial mengenai pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara yang merumuskan beberapa konsep pendidikan yang masih relevan hingga masa kini, dan sebagai refleksi bagi praktisi dan pembuat kebijakan di Indonesia.

Pendidikan Ala Ki Hajar Dewantara

Menurut pandangan Ki Hajar Dewantara pendidikan (opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran (onderwijs). Bila pengajaran lebih terbatas pada pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan, pendidikan bermaksud menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdeka hidup batin itu terdapat dari pendidikan (Dewantara, 1977).

Guru sebagai seorang yang melakukan pengajaran juga harus memahami makna pendidikan. Pengajaran yang selama ini dilakukan juga harus membumikan konsep dari pendidikan, yaitu menuntun kodrati manusia agar mereka selamat dan bahagia batinnya dalam menempuh pembelajaran. Menuntun sebagaimana yang dimaksud adalah guru tidak memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun, mengeluarkan potensi-potensi agar bertumbuh. Dari situlah muncul istilah education (educare; ex-educare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam sang anak.

Sudah sampai di mana bapak dan ibu guru merefleksikan apa arti pendidikan di dalam pengajaran selama ini. Sudahkah anak dituntun pribadinya, sudahkah guru mengetahui potensi yang ada pada peserta didik. Serta apakah sudah memberikan layanan pendidikan yang membuat peserta didik bahagia? Jika kita sudah memahami makna mengenai pendidikan kita sekarang beralih kepada sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang menjadi pemikiran Ki Hajar Dewantara terkenal dengan nama tri-kon (kontinu, konvergen, dan konsentris): kontinu atau bersambung dengan alam kebudayaan sendiri secara tak tercerabut dari akal masa lalu; konvergen dengan perkembangan aliran-aliran kebudayaan sedunia; agar dapat konsentris atau bersatu dalam alam kebudayaan universal secara berkepribadian (Dewantara, 1977).

Dengan kata lain sistem pendidikan menurut Ki Hajar dilaksanakan secara bersambung, tidak loncat-loncat sehingga membangun kontruksi pemikiran bagi peserta didik. Sistem pendidikan juga tidak boleh menutup diri, penggabungan atau asimilasi kebudayaan diperbolehkan asalkan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia serta tidak tercerabut dari jati diri bangsa.

Menuntun Peserta Didik

Sejak lama sekali mungkin apa yang kita pikirkan mengenai makna pendidikan dan pengajaran kita mengalami miskonsepsi. Pendidikan dan pengajaran adalah dua pilar utama dalam pembentukan perilaku, pikiran dan keterampilan peserta didik.

Guru juga tidak boleh memaksakan, Ki Hajar memberikan sebuah perumpamaan yang menarik, bahwa peserta didik itu merupakan sebuah kertas yang di dalamnya terdapat sketsa tipis-tipis. Fungsi guru adalah menebalkannya jika memang itu merupakan potensi dan minat serta bakatnya, dan juga menghapus garis sketsa tersebut apabila cenderung termasuk dalam perilaku atau kebiasaan negatif di kemudian hari.

Ki Hajar Dewantara juga memaparkan dalam menuntun peserta didik diberikan waktu secara berkala untuk memperhatikan individu, jadi kegiatan pembelajaran tidak melulu dilakukan secara klasikal. Perlu dilakukan identifikasi mengenai minat bakat, asesmen mengenai potensi yang dapat dibentuk oleh guru dari peserta didik.

Membangkitkan Peradaban Kita

Bagi kebanyakan orang-orang kita "yang bertitel" ¬ saya pakai perkataan ini akan pengganti intelektuil, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah bagi orang-orang bertitel itu pengertian ilmu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara. Sutan Sjahrir

Guru hebat tentu melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Mengoreksi diri ketika salah, atau meningkatkan pemahaman dan pengetahuan yang orientasinya untuk pengembangan keprofesian. Guru hebat Indonesia merupakan ujung tombak dalam perubahan secara revolusioner pendidikan kita. Pendidikan kita dewasa ini masih terjebak dalam prinsip hafal-menghafal, membaca teks tanpa memahami makna, dan terkesan guru menjejali ilmu pengetahuan.

Perubahan kita hari ini selain menuntun peserta didik dalam menemukan potensi, minat serta bakatnya juga harus kembali mengangkat martabat peradaban Indonesia di Dunia. Amerika Serikat pernah mengalami kemunduran daya saing bangsa, solusi yang diambil adalah membuat kurikulum yang mewajibkan pelajaran tentang mengarang (composition) di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Godzich, 1994).

Kegiatan literasi merupakan keutamaan dalam melaksanakan pembelajaran. pentingnya literasi juga sebagai organ kemajuan sosial. kemunduran dalam tingkat literasi menimbulkan ancaman terhadap kemajuan dan demokrasi (Lerner, 1958)

Kegiatan literasi bagi peserta didik jangan hanya sekadar membaca, namun juga melakukan pembelajaran menulis. Pembelajaran menulis membuat peserta didik mencari sumber tulisan dan juga melakukan analisa mengenai informasi atau data yang didapatkan, kemudian merumuskan menjadi sebuah tulisan yang padu. Jika tulisan yang dibuat mengenai kesusastraan peserta didik mengeksplorasi dirinya dengan membuat sebuah imajinasi tokoh dan konflik dari cerita atau tulisan yang dibuat.

Sebagai ilustrasi pada zaman dulu era kolonial, di Sekolah diwajibkan membaca sejumlah buku dan disertai tugas mengarang. Pada tingkat sekolah menengah (AMS), setiap siswa wajib menulis satu karangan setiap minggu; 18 karangan satu semester, 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun (Ismail, 2009).

Bangsa kita bangsa besar, sejarah peradaban kita juga menggambarkan mengenai kegiatan literasi yang kuat. Founding Nation kita adalah intelektual besar yang kuat dalam kegiatan literasinya pula. Kaum guru, masa depan pendidikan Indonesia ada ditanganmu. Kaum guru bukan orang bertitel yang mengenyahkan ilmu pengetahuan seperti kata Sjahrir, kaum guru adalah intelektual dan pahlawan peradaban.

Selamat Hari Guru Nasional 2021


Artikel asli dapat dibaca di sini 

Guru Bukan Pahlawan

Guru dengan pahlawan serupa tapi tak sama

Bulan Agustus adalah bulan yang penuh dengan romantisme sejarah di Indonesia. Kisah-kisah heroik zaman dahulu membekas, namun cepat sekali terlupakan. Para pelaku sejarah dan saksi mata sejarah dalam bulan Agustus diberi panggung untuk menceritakan kerasnya perlawanan, keindahan berkorban untuk Nusa Bangsa, dan kepiawaiannya mengatur siasat ketika memperjuangkan kemerdekaan.

Bulan Agustus pula lahirlah tokoh Indonesia yaitu Bung Hatta, lebih tepatnya pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Dua hal yang bisa kita ingat dari Bung Hatta adalah kesederhanaan dan "gilanya" terhadap buku. Kesederhanaan dan Buku melekat erat juga pada identitas profesi guru. Seorang Seniman besar Iwan Fals, mengabadikan itu dalam sebuah karyanya yang berjudul Oemar Bakri.

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri Umar Bakri

Banyak ciptakan menteri

Oemar Bakrie

Bikin otak orang seperti otak Habibie

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie

Seperti dikebiri (Iwan Fals - Oemar Bakri 1981)

lagu tersebut memperlihatkan imaji dari seorang guru, sebagai seorang yang membimbing serta menciptakan para tokoh yang berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Penghasilan yang di kebiri juga menjadi sebuah isu yang masih hangat dibicarakan dewasa ini. Persoalan yang diangkat Iwan Fals dalam lagunya pada tahun 1981 masih relevan hingga saat ini.

lalu apa persamaan antara guru dan juga pahlawan dalam tindakan? Persamaannya ditandai oleh kerasnya perlawanan bagi guru adalah melawan dirinya sendiri tetap ikhlas dalam menjalani sebuah profesi, keindahan berkorban seorang guru adalah ketika menggunakan uang pribadinya untuk membuat sebuah media pembelajaran yang bermakna untuk siswanya ketika perutnya lapar, dan kepiawaian siasat guru adalah mengatasi penghasilan yang telat masuk ke rekening dengan melakukan pekerjaan sampingan.

Guru dan Tuntutan

Aku Rela dipenjara asalkan dengan buku-Hatta

Seperti yang saya ulas di atas, bahwa ada kesamaan antara guru dengan bung Hatta, yaitu kesederhanaan dan buku. Buku adalah salah satu sahabat terbaik Hatta, saat kita mengetikan kata Hatta di mesin pencarian, foto Hatta selalu hadir dengan buku sebagai background-nya. Buku juga menjadi mas kawin saat Hatta menikahi Bu Rahmi. Tidak ada hal terbaik bagi seorang mencintai buku ketika memberikan sebuah persembahan pada hari bersejarah sebuah buku.

Guru juga sama dengan Hatta, selalu dekat dengan buku, buku pembelajaran, yang selalu menjadi rujukan dalam mengajarkan peserta didik. Guru juga memberikan buku pada hari bersejarah, yaitu buku rapor saat kenaikan kelas.

Tidak ada perbedaan dari keduanya, lalu mengapa penghargaan bagi guru selalu menjadi orientasi paling akhir? selain itu juga sering di hujani kritik habis-habisan karena tidak bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Contoh kritik oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada acara PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) tahun 2018 silam bahwa sertifikasi guru tidak berdampak pada kualitas pendidikan di Indonesia. Sehingga perlu peninjauan strategi dalam memanfaatkan jumlah anggaran 20% APBN untuk pendidikan untuk memperbaiki kualitas guru dan pendidikan kita.

Guru, riwayatmu kini dihujani kritik, serupa tapi tak sama dengan pahlawan namun penghargaan yang didapatkan adalah tuntutan.

Di belakang mulai muncul samar-samar teriakan "Belajarlah guru, jika berhenti belajar kamu layak berhenti mengajar."


Artikel asli dapat dibaca disini 


Filsafat Pendidikan Freire dan Dinamika Pendidikan Hari Ini


Di dunia ini terjadi dehumanisasi, yaitu satu kelompok manusia menindas kelompok lainnya – Paulo Freire

Filsafat Pendidikan Freire berangkat dari konsep mengenai manusia dan dunia. Orientasi Pendidikan yang dipikirkan Freire adalah bagaimana Pendidikan dapat mengawal ke arah realitas diri peserta didik.  Pendidikan untuk pembebasan adalah tesis besar dalam pemikiran Freire.

Pendidikan kita hari ini belum menyentuh isu bahwa realitas kita hidup dengan masa pandemi, pandemi ini berhadapan langsung dengan menularkan atau ditularkan wabah. Dengan adanya pertemuan tatap muka terbatas yang mulai diizinkan oleh beberapa daerah akan menjadi bom waktu yang kemudian berdampak langsung pada generasi penerus, khususnya peserta didik di usia sekolah.

Semangat adanya tatap muka terbatas dikarenakan adanya disparitas antara peserta didik dengan ekonomi menengah ke bawah dengan peserta didik dengan ekonomi menengah ke atas. Disimpulkan bahwa peserta didik dengan ekonomi rendah akan kesulitan mengakses pembelajaran karena sumber daya hardware-nya terbatas, baik gadget, laptop, maupun kuota. Selain itu menurut beberapa data bahwa peserta didik dengan ekonomi rendah daya dukung orang tua dalam membimbing pembelajaran juga tidak cukup baik. Oleh karena itu prioritas utama dimana tatap muka terbatas menjadi salah satu opsi menanggulangi disparitas itu.

Semangat ini jika dibaca secara singkat dapat menemukan makna ‘kebaikan’ dalam argument yang disampaikan oleh Kemendikbud-Ristek. Jika kita urai ternyata ada hal yang luput yaitu adalah kepastian memperoleh pembelajaran yang berkualitas saat tatap muka dilakukan dan juga  bagaimana dapat terhidar dari marabahaya wabah yang mengintai?

Kesiapan Sumber Daya Sekolah

Sumber daya sekolah secara infrastruktur pasti sudah dipenuhi oleh sekolah yang bersiap tatap muka, seperti pengaturan jarak tempat duduk, tempat cuci tangan yang melimpah, sirkulasi udara yang baik dsb, yang diatur dalam ceklis kesiapan sekolah tatap muka. Selain itu guru sebagai pengajar juga dipersiapkan dengan melaksanakan vaksinasi sebanyak dua kali.  Pelatihan-pelatihan guru yang dilakukan dalam melaksanakan PTM terbatas di website Guru Belajar yang diselenggarakan oleh Kemendikbud-Ristek.

Rencana tatap muka terbatas melupakan unsur esensialnya, cara mengemas pembelajaran yang meaningfull bagi peserta didik sehingga bisa mempunyai ‘nilai’ ketika durasi waktu tatap muka terbatas yang terbatas pula.  Selain itu apa langkah utama yang dilakukan oleh pemerintah Ketika muncul klaster baru setelah masa pandemi ini, yang nantinya bila peserta didik menjadi OTG menularkan kepada orang tuanya. Sudah kita ketahui Bersama sudah ada ribuan orang yang menjadi yatim piatu selama masa pandemi ini. Apakah kehidupan serta pendidikan berkualitas akan ditanggung oleh pemerintah? Hal ini yang menjadi kecemasan banyak orang tua/ wali murid Ketika mengizinkan anaknya mengikuti tatap muka terbatas.

Masyarakat banyak yang percaya bahwa salah satu cara menaiki tangga kehidupan yang lebih baik adalah dengan adanya Pendidikan, namun menyerahkan anaknya sebagai harapan menaiki tangga tersebut dalam mengikuti Pendidikan ditengah situasi wabah merupakan pertimbangan yang cukup sulit. 

Guru dan Cara Pandang Kritis

Seperti yang kita sampaikan diatas tesis besar Freire adalah Pendidikan untuk pembebasan.  Langkah pertama guru adalah menyiapkan seluruh daya dan upaya untuk melakukan perbaikan pembelajaran. Pembelajaran terbaik menurut Freire adalah melakukan dialog, sehingga mencegah Pendidikan ala bank, yang secara singkat Freire menolak paham bahwa guru adalah sumber yang maha tau, peserta didik mengunyah pengetahuan yang disampaikan oleh guru.

Peserta didik yang mengalami stress atau kesulitan belajar prioritas utama berikanlah cara melakukan afirmasi positif agar ketika peserta didik dalam masa kesulitannya dapat terbantu dengan mensugesti dirinya sendiri, karena sejatinya belajar adalah keperluan dan kepentingan dirinya dalam menaiki tangga kehidupan yang lebih baik.

Cara terbaik dalam singkatnya waktu pembelajaran tatap muka terbatas adalah menceritakan kisah, kisah-kisah yang membuatnya terinspirasi. Misalnya adalah bagaimana seorang tokoh melalui perjalanan mendaki dan sukar dalam memperoleh kesuksesan dalam bidang keagamaan (tokoh-tokoh Agama), kesuksesan dalam bidang finansial (pendiri startup dan bisnis) dan kesuksesan dalam pengetahuan (peraih nobel, atau medali-medali kompetisi). Hal-hal tersebut dapat menjadikan sebuah semangat bagi peserta didik dalam mengembangkan dirinya. Ajak peserta didik juga melakukan perencanaan diri menghadapi masa depan dari cerita-cerita yang diilhaminya.

Selanjutnya konten untuk pembelajaran disediakan dengan melibatkan pemahaman penuh. Seperti pembelajaran yang menggunakan penalaran, melakukan konstruksi pemikiran dengan cara pencarian informasi secara mandiri, melakukan pemecahan masalah.

Pembelajaran yang mengasah naluri kreatif dan kemandirian sangat penting bagi perkembangan kemampuan abad 21. Sehingga pembelajaran seperti ini baiknya dilakukan secara asikronus dan terjadwal dengan tagihan tugas dari beberapa pertemuan yang dilakukan. Tagihan tugas setiap hari yang dilakukan oleh murid dapat menyebabkan stress peserta didik selain itu peserta didik melakukan hal tersebut seakan-akan hanya sebagai penggugur kewajiban, sehingga pembelajaran tidak membekas dalam benak peserta didik.

Paul feyerabend dalam bukunya Against Method menyatakan manusia dewasa ini terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu; dengan demikian manusia dan ilmu pengetahuannya akan mati lemas.  Cara-cara baru harus melampaui keadaan hari ini. kebutuhan untuk menggunakan akal pikiran kita yang membebaskan diri dan peserta didik kadang kala menerobos cara-cara tradisional, khususnya pada isu yang kedua.

Pemerintah yang menerbitkan kebijakan tatap muka terbatas, tentu tau konsekuensi yang dihadapkan kedepan, seperti muncul klaster sekolah. Oleh karena itu jika kita asumsikan pandemi seperti bulan Juli 2021 kemarin harus ada langkah-langkah pertanggung jawaban yang terukur. Jika pemerintah tidak mampu, panggil semua stake holder dalam bidang kesehatan. Mengapa bidang Kesehatan? Karena bisnis yang settle saat masa pandemi adalah bidang Kesehatan. Selain itu juga mengajak para filantropis. Keduanya diminta untuk  semaksimal mungkin berdonasi dalam rangka membantu peserta didik yang ditinggal orang tua karena imbas dari masa pandemi, menyiapkan fasilitas Kesehatan yang tersedia serta terjangkau jika terkena wabah dan juga melengkapi kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang ekonomi lemah dalam pemerolehan sumber daya dalam mengakses pembelajaran.

Dengan bergotong royong kita akan meragukan argumen dari Freire bahwa hari ini terjadi dehumanisasi di Indonesia.

Artikel asli dapat di baca disini 

Jalan Panjang Menyusuri Masa Depan Pendidik di Masa Pandemi Covid 19

Tidak ada kemajuan lewat keselarasan dan kerukunan, karena itu akan membatasi diri pada yang sudah ada. Yang baru memerlukan langkah baru. Langkah baru dengan sendirinya mengganggu keselarasan,dan langkah tersebut diambil karena yang sudah ada dianggap tidak memadai. (Franz Magnis Suseno: 2019)


Sebuah laporan dari World Bank yang berjudul Janji Pendidikan Indonesia pada tahun 2020 menyoroti Pandemi Covid-19 akan berakibat terhadap pendidikan di Indonesia. Jika pembaca sudah membaca laporan tersebut, terdapat 12 rekomendasi untuk memperkuat pembelajaran di masa Pandemi Covid 19 bagi Indonesia.

Penguatan pembelajaran sebagai dasar rekomendasi World Bank berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Yarrow, Masood dan Afkar menyatakan bahwa peserta didik di Indonesia akan kehilangan 16 poin pada poin bidang membaca di PISA (Programme for International Student Assessment)dan setara dengan hilangnya pendapatan US $367 perorangan per tahun di masa depan akibat periode penutupan selama empat bulan dari 24 Maret hingga akhir September 2020 (Yarrow,Masood, dan Afkar: 2020).

Menarik jika dibahas bahwa keterampilan pada bidang membaca berpengaruh terhadap pendapatan di masa depan adalah hal baru yang penulis ketahui. jika kita mengganti kurs dolar tersebut ke dalam kurs Indonesia, berarti kehilangan pendapatan sebesar Rp5.271.496,25 (Kurs 15 Agustus 2021).

Potret hasil PISA dalam bidang membaca juga sungguh memilukan hasil keterampilan membaca siswa pada tahun 2000 dengan tahun 2018 berada dalam score yang sama yaitu 371 bisa dibilang bahwa keterampilan pelajar dalam bidang membaca berjalan di tempat selama 18 tahun.

Para penggiat literasi banyak yang mempermasalahkan mengenai hasil asesmen dari PISA, argumennya banyak yang berkata bahwa standar yang dilakukan tidak sesuai dengan budaya dan praktik pendidikan di Indonesia. Jadi hasil yang didapatkan bisa saja bias.

Penulis tidak setuju dengan argumen ini, sebagai sebuah data yang diolah secara profesional dalam kaidah akademik, harusnya data tersebut menjadi sebuah refleksi besar bagi stake holder bidang pendidikan untuk bahu membahu memperbaiki kondisi ini.

Selain itu pada laporan PISA tahun 2018 yang dirilis pada 3 Desember 2019 menyatakan bahwa guru-guru di Indonesia tergolong memiliki antusiasme yang tinggi. Antusiasme para guru Indonesia termasuk empat tertinggi setelah Albani, Kosovo, dan Korea. Hal positif ini tentu menggembirakan bahwa para guru memiliki rasa ingin tahu yang tinggi setidaknya untuk belajar menggali kompetensinya dalam mengajar.

Kembali lagi pada keterampilan membaca yang mempengaruhi pendapatan dan juga data mengenai keterampilan membaca kita yang seakan berjalan di tempat. Perlu adanya langkah yang revolusioner untuk menggugah murid-murid untuk meningkatkan keterampilan membacanya.

Program Gerakan Literasi Sekolah Jangan Menjadi Jargon yang Utopis

Terdapat program yang sangat baik mengenai literasi yang digagas oleh Kemendikbud melalui Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Di dalamnya terdapat program literasi yang harus dijalankan oleh setiap sekolah.

Semangat program ini adalah meningkatkan keterampilan membaca peserta didik, menulis, mengkomunikasikan ide dan gagasannya. selain itu sekolah juga harus menyediakan sumber baca yang relevan dengan siswa serta mendekatkan peserta didik dengan buku, seperti membuat pojok baca disetiap kelas.

Keterampilan berbahasa dibagi menjadi dua bagian yaitu keterampilan reseptif (menerima informasi) dan keterampilan produktif (memproduksi informasi). Keterampilan reseptif berbahasa terdiri dari membaca dan mendengarkan, keterampilan produktif berbahasa dari menulis dan berbicara.

Kegiatan literasi di sekolah harus diprioritaskan kepada kemampuan berbahasa produktif khususnya menulis, dengan menulis setidaknya siswa memerlukan input-input bahan bacaan untuk memperkaya khazanah tulisannya, sehingga dengan penekanan kemampuan berbahasa produktif, dapat sekaligus meningkatkan kemampuan berbahasa reseptif.

Pada sekolah dasar, pengenalan dunia tulis menulis bisa melalui menggali imajinasi peserta didik, dengan membuat tulisan cerpen dan fabel. Karya fiksi penting pada periode ini. Guru mengarahkan peserta didik untuk memulai dengan membuat ide cerita, menguraikan menjadi ide pokok, kemudian diurai kembali menjadi sebuah paragraf utuh dalam satu rangkaian cerita. Peran guru dalam mendengarkan imajinasi anak untuk dituliskan ke dalam sebuah tulisan menjadi penting.

Pada sekolah menengah, menulis bisa dilakukan dengan penekanan karya non fiksi, seperti membuat sebuah karya essai berdasarkan disiplin ilmu yang diminati. kemampuan mengolah fakta, kemudian membuat sebuah opini dari fakta tersebut menjadi penting. peserta didik dapat diajak untuk mengetahui bagaimana mencari sebuah fakta, kemudian melihat kelemahan atau kelebihan dari fakta tersebut kemudian dielaborasi menjadi sebuah opini.

Keterampilan menulis menjadi sangat penting, ketika Amerika Serikat menyadari penurunan daya saing, solusi yang dibuat untuk sekolah dasar dan sekolah menengah adalah mewajibkan pelajaran mengarang. (Godzich: 1994)

Pengetahuan adalah Pondasi Masa Depan

Francis Bacon pada tahun 1602 menerbitkan Manifesto Sains yang berjudul The New Instument, dalam manifesto tersebut Bacon berargumen bahwa pengetahuan adalah kuasa. Harari memaparkan lebih detail, bahwa yang dimaksud adalah ujian pengetahuan bukan karena pengetahuan itu benar atau tidak, akan tetapi pengetahuan itu dapat memberdayakan kita atau tidak. (Harari: 2018)

Jika penurunan kemampuan membaca berkelindan dengan turunnya pendapatan di masa depan. Hal yang dilakukan guru adalah kembali memupuk kemampuan literasi peserta didiknya agar mempunyai bekal pengetahuan yang cukup di masa depan

Pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang memberdayakan, saya rasa argumen Yarrow dkk mengenai penurunan kemampuan membaca berpengaruh pada penurunan penghasilan menggunakan kacamata profesi saat ini, padahal menurut World Economic Forum (2018) 65% siswa yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar akan bekerja pada bidang yang hari ini belum tercipta.

Tapi pertanyaan berikutnya adalah, perlukan kemampuan membaca di dunia profesi yang belum terdefinisikan saat ini? tentu sangat perlu! membaca akan meningkatkan kemampuan Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah) yang menjadi salah satu keterampilan Abad 21 yang direkomendasikan oleh UNESCO.

Jadi walaupun peserta didik kita belum mengetahui apa profesi yang dijalani nanti di masa depan, pembekalan oleh guru khususnya dalam meningkatkan kemampuan membaca sebagai jalan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah yang sangat diperlukan di dunia kerja menjadi sebuah keharusan.

Guru harus bertindak menyelesaikan masalah-masalah yang dikemukakan di atas seperti apa yang dikatakan oleh Guy Kawasaki; Jika kita harus meletakkan seseorang di atas alas sejarah, taruhlah guru, mereka adalah pahlawan masyarakat.

Sekali lagi Guru adalah Pahlawan Masyarakat dalam menyambut Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke 76. Merdeka!

Artikel asli bisa dibaca di sini 


Polemik Sertifikasi Guru dan Solusinya

Sertifikasi guru menjadi polemik kembali. Hal ini didasari pada pidato Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani pada acara Dialog Publik Pendidikan Nasional dan Halal Bihalal pada tanggal 10 Juli 2018. Beliau menyatakan anggaran 20% untuk pendidikan yang diperjuangkan pada tahun 2009 hingga sekarang belum mencapai hasil yang maksimal untuk pendidikan di Indonesia.[1] Beliau juga menyatakan bahwa anggaran 20% pendidikan untuk menjawab amanat undang-undangan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun tujuan ini belum terpatri dalam diri pendidik untuk mewujudkannya.


Perbaikan pendidikan dimulai dengan mensertifikasi para guru yang dimulai pada tahun 2005 yang berlandaskan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tujuan untuk diadakannya sertifikasi guru untuk meningkatkan kualitas guru dan profesionalismenya. Terhitung pada tahun 2007 – 2017 terdapat 1.471.812 guru yang tersertifikasi.[2] Pada awalnya sertifikasi guru dikhususkan untuk guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang mendapatkan jam mengajar 24 jam dalam seminggu. Pada tahun 2017 Kemendikbud mengubah formatnya. Sertifikasi guru bisa di dapatkan oleh guru honorer dan PNS bila mengikuti PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) dan sekarang berubah namanya menjadi PPG (Pelatihan Profesi Guru) yang bekerja sama dengan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) yang berkualitas.


Desain yang sudah dibuat untuk mengubah profesionalisme kerja guru dan profesionalismenya nyatanya masih jauh untuk mengubah peringkat Indonesia dibidang pendidikan yang selalu berada pada kisaran peringkat 10 paling bawah survey yang dilakukan oleh OECD, PISA. pada tahun 2015 skor sains 403, skor membaca 397, skor matematika 386. Bandingkan dengan Vietnam yang sama anggaran pendidikannya 20% dengan Indonesia yaitu skor sains 525, skor membaca 487, skor matematika 495.[3]


Dari paparan di atas jelas ada yang salah dari sistem pendidikan kita mengenai pengelolaan dana 20% untuk pendidikan yang tiap tahun selalu naik yaitu pada tahun 2009 sebesar 53 Triliyun, pada tahun 2013 sebesar 419 Triliyun dan pada tahun 2018 sebesar 444 Triliyun harus segera ditemukan solusi agar pendidikan di Indonesia lebih baik. [4]


Solusi yang penulis tawarkan ada tiga yaitu pertama perbaikan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) Lembaga penjaminan mutu pendidikan hanya sebatas mengirim kuesioner kepada sekolah terkait untuk mengetahui pendidik, peserta didik, dan data-data lapangan mengenai proses pendidikan yang saya kira tidak relevan dan kurang ditindak lanjuti. Pemerintah harus membuat peran LPMP turun langsung ke grassroot membuat evaluasi proses pendidikan secara radikal dan menyeluruh, dari sistem sekolah, manajemen sekolah, dan proses pelayanan pendidikan. Kerja sama dengan para pakar pendidikan untuk sebagai pembimbing sekolah tersebut sampai unggul dalam kualitas manajemen, sistem dan layanan pendidikan ke peserta didik. Baik bila LPMP juga bekerja sama dengan auditor independen agar diketahui kondisi pendidikan di lapangan dengan data valid, nyata, dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan data yang ada dilapangan.


Kedua evaluasi menyeluruh LPTK di Indonesia, Kemenristek Dikti menyatakan dari seluruh program studi di Indonesia, program studi Pendidikan menempati program studi terbanyak di Indonesia dengan banyak 5.728 prodi. LPTK baik negeri atau swasta jangan hanya melihat calon mahasiswa menjadi komoditas untuk menjalankan roda ekonomi universitas. Rekrutmen calon guru harus dimulai dengan seleksi yang ketat dan lulusan terbaik yang diusulkan menjadi calon guru yang kompeten. Pemerintah melalui Kemenristekdikti juga harus mencabut LPTK abal-abal yang menjalankan proses perkuliahan yang tidak sesuai prosedur, baik tenaga ajar yaitu dosen yang belum mempunya kualifikasi akademik Strata dua ataupun sarana prasarana Universitas yang mendukung.


Ketiga adalah dana sertifikasi harus di breakdown dengan kategori misalnya dengan membagi ketiga klasifikasi, pertama untuk membeli kebutuhan teknologi, kedua kesempatan belajar menuju strata dua, dan terakhir adalah seminar dan workshop dalam bentuk kartu seperti KJP (Kartu Jakarta Pintar). Sertifikasi bukan lagi uang yang bisa ditarik secara cash namun dengan program-program yang diklasifikasikan. Kemudian diberi sistem poin bila guru tersebut sudah menjalankan hal-hal tersbut besaran gaji dinaikan sesuai dengan poin yang didapatkan. Sehingga sertifikasi murni hanya meningkatkan kualitas guru dalam mengajar bukan uang cash yang nantinya bisa disorientasi penggunaan yang tidak sesuai dengan tujuan program sertifikasi yang dicanangkan pemerintah.


Dalam mensukseskan program ini Pemerintah bisa bekerja sama dengan membuka tender untuk perusahaan teknologi dalam menyediakan alat-alat atau kebutuhan guru, kedua pemerintah bisa bekerja sama dengan LPTK untuk proses kesempatan belajar Strata dua, dan ketiga pemerintah bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga untuk membuat seminar dan workshop untuk menambah keilmuan pendidik.


Ketiga solusi tersebut bisa menjadi rujukan kepada Kementrian Pendidikan dalam menentukan arah kebijakan terkait dengan kualitas pendidikan di Indonesia yang menjadi harapan semua anak bangsa.


Sumber:

[1] Sylke Febrina. 2018. Sri Mulyani: Sertifikasi Guru Hanya Untuk Dapat Tunjangan. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4107894/sri-mulyani-sertifikasi-guru-hanya-untuk-dapat-tunjangan. Diakses 14 Juli 2018

[2] Kurniasih Budi. 2017. Seritifikasi Guru Bagaimana Nasibnya Kini. https://edukasi.kompas.com/read/2017/10/27/16340051/sertifikasi-guru-bagaimana-nasibnya-kini- Diakses pada 14 Juli 2018

[3] OECD 2015 Data Base http://www.oecd.org/pisa/data/2015database/

[4] Sylke Febrina. 2018. Cerita Sri Mulyani Anggarkan 20% APBN untuk Pendidkan. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4107156/cerita-sri-mulyani-anggarkan-20-apbn-untuk-pendidikan?_ga=2.185527337.1826195163.1531543641-996167645.1531543640.