Memaknai Pengalaman

Sejarah selalu berulang, pertama sebagai tragedi kedua sebagai dagelan. Dengan kata lain tak ada formula yang bisa dipakai berkali-kali, dimana saja, pada situasi dan kondisi apapun -Marx (diolah ulang oleh penulis)


Di Agora, konon kearifan ditemukan dengan cara kegelisahan dan ketidaktahuan. Ada satu kalimat dari Socrates: Ia (Sokrates) tak tahu apa-apa, kecuali bahwa ia tahu ia tak tahu apa-apa. Agora pada masa zaman Yunani kuno merupakan pusat Kota, dimana Socrates mengajukan tanya jawab kepada orang-orang. 


Socrates dalam bertanya bertujuan untuk mengusik pola pikir masyarakat, agar tidak terlena dari kesesatan pikir. Jika ia tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan, ia akan terus bertanya. Socrates akhirnya menjadi seorang yang menjengkelkan, sehingga pada tahun 399 sebelum Masehi ia dihukum mati. 


Pada masa kini, tidak terlihat lagi wujud Sokrates yang merendahkan dirinya untuk bilang ia tidak tahu, zaman kini semua orang berlomba untuk berkomentar hal-hal yang sebenarnya ia kurang memahami dan mendalami apa isu yang dibahasnya. 


Dalam buku The Dead of Expertise (Matinya Kepakaran), Nichols semacam membuat pledoi untuk para pakar agar tidak ditinggalkan, karena seseorang bisa disebut pakar dan dapat berkomentar tentang sebuah isu diperlukan latar belakang keilmuan dan proses riset yang panjang. 


Manusia kini hanya dengan berbekal sebuah opini di internet kemudian dengan bebasnya berkomentar pada isu-isu yang tidak ia kuasai secara mendalam. Hal ini tidak bisa dilakukan, karena akan berdampak pada misinformasi dan miskonsepsi dari isu tersebut. Bagi Nichols 90 % yang berada pada dunia maya adalah sampah, dan tidak bisa dijadikan landasan dalam mengklaim kebenaran. Nichols menyatakan bahwa spesialisasi di suatu bidang masih diperlukan, agar kelak jika ada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat kepada para pakar bisa diputuskan dan dipertanggungjawabkan berdasarkan pengalaman dan keilmuan yang dimilikinya. 


Bicara mengenai pengalaman dan keilmuan kini seperti ada garis demarkasi diantara keduanya. Mereka berdiri sendiri-sendiri. Sebagai contoh dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar celotehan: “Karyawan itu sangat berpengalaman karena sudah 15 tahun menggeluti profesi tersebut.”  “Pak X sudah lama menjadi Guru, sudah sekitar 30 tahun ia mengajar. Sependek pengetahuan saya setelah membaca Nichols, saya memberi kesimpulan bahwa pakar adalah gabungan antara keilmuan dan pengalaman.  Dalam celotehan tersebut, terasa hanya ada pengalaman yang tampak, sehingga saya meragukan apakah dengan pengalaman belasan dan puluhan tahun tersebut saja seseorang bisa disebut sebagai ahli.


Terkadang saya menemukan kenyataan yang tidak sesuai. Seorang yang berpengalaman tidak lagi peduli dengan keilmuan, baginya praksis yang dilakukan sehari-hari sudah berdasarkan keilmuan yang didapatkan pada awal ia menekuni bidang.  Hal demikian sudah cukup untuk menjalani hari-hari di profesinya. Saya paham, namun ia lupa zaman punya dialektikanya, ia terus berubah-ubah, keilmuan yang dimilikinya dahulu mungkin sudah tidak relevan di masa kini. Dengan kegelisahan tersebut saya mengajukan pertanya, apa itu pengalaman? 


Alfred North Whitehead seorang filsuf dan matematikawan asal Inggris, ia menyatakan: “Pengalaman adalah suatu proses kreatif. Ia “menciptakan” yang sebelumnya tak ada, tentu saja bukan dari nol.” Kemudian ia melanjutkan: “Hidup adalah arus dan tiap kali ia adalah sebuah peristiwa, dan setiap peristiwa adalah “production of novelty.” 


Dari definisi diatas saya akhirnya mengerti mengapa pengalaman selalu identik dengan waktu, karena kehidupan selalu menemui sebuah peristiwa, kemudian setiap peristiwa yang ditemui dapat memproduksi sebuah temuan kebaruan sebagai penunjang makna pengalaman yang disematkan.


Orang yang berpengalaman tidak bisa disematkan kepada orang  yang hanya melakukan kegiatan repetitif di profesinya tanpa menemui kebaharuan, atau malah alergi dengan kebaharuan. 


Kalimat sakti penyangkalannya adalah, “zaman saya dulu, gapapa kok menggunakan metode konservatif seperti ini, outputnya juga tidak jelek-jelek amat.”  “Susah ya begini, tidak bisa dengan cara yang biasa saja?” Jika keluar pernyataan resisten terhadap kebaharuan, ia tidak lagi bisa dibilang sebagai orang yang berpengalaman apalagi seorang pakar. 


Seorang yang berpengalaman perlu input pemahaman baru dalam menemui peristiwa-peristiwa yang akan dihadapi di masa depan. Hal ini berarti, yang bisa disebut orang berpengalaman tidak hanya mengandalkan pengalaman masa lalu, namun juga terus memperbarui dan memperkaya wawasannya dengan belajar dan menghadapi hal-hal baru. Tidak ada formula yang bisa dipakai berkali-kali, dimana saja, pada situasi dan kondisi apapun seperti kata Marx. Jika formula-formula lama tersebut tetap dilakukan,  selamat anda telah menjadi dagelan dalam sejarah.